Assalamualaikum..!"
"Waalaikumsalam" Desma dan nenek Aisyah serempak menjawab salam dari Mohzan yang sudah berdiri diambang pintu. Pakaian dan wajahnya sedikit kotor juga kusut."Dari mana Nak, kok terlambat pulang. Berkali-kali mama telponin tapi tidak ada jawaban. Chat juga centang satu." Desma memberondong pertanyaan pada putranya dengan nada cemas.
"Maaf Ma, hp Mohzan abis baterai. Tadi Mohzan ke gedung tua, disana tidak bisa ngecas hp." Sahut Mohzan menjelaskan sambil mencium punggung tangan ibunya. "Ooh.." Jawab Desma dengan perasaan lega.
"Neneeeek...!! Nenek pasti rindu kan sama cucu nenek yang ganteng ini.." Ujar Mohzan lalu mendekati nenek Aisyah yang sedang duduk diatas sebuah kursi dihadapan meja makan. Diatas meja makan nampak beberapa piring dan mangkuk berisi makanan. Sepertinya nenek Aisyah baru saja selesai makan malam.Nenek Aisyah mengembangkan kedua tangannya bersiap menyambut tubuh cucu kesayangannya itu di pelukannya. Mohzan tahu apa yang diinginkan neneknya, ia datang mendekat dan membiarkan kedua tangan nenek Aisyah memeluk tubuhnya.
"Mohzan sudah makan..? Ayo sini makan biar nenek ambilin nasinya." Ucap nenek Aisyah setelah ia melepaskan pelukannya ditubuh Mohzan."Mohzan masih kenyang Nek, tadi sore sudah makan bakso dengan adik-adik geng." Jawab Mohzan."Ooh, bagaimana kabar adik-adikmu disana ? semua sehat kan..?" Nenek Aisyah bertanya. "Sehat Nek..!" Jawab Mohzan sambil meletakkan sepatunya diatas rak sepatu."Mohzan... Ayo cepetan mandi ! Di pavilyun sudah ada yang menunggu dari tadi. Katanya mau mengerjakan PR matematika." Kata Desma pada putranya yang masih nampak dekil.
"Iya Ma." Jawab Mohzan lalu segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan badan.Selang berapa belas menit kemudian ia sudah keluar dari kamarnya. Mohzan sudah nampak bersih dan rapi. Wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang tinggi dengan kedua pangkal lengan sedikit berisi sungguh nampak semakin menawan.
Mohzan segera menuju ke ruang pavilyun yang memang sengaja diperuntukkan untuk kegiatan belajar mengajar. Disana ada beberapa pasang kursi dan meja tempat belajar siswa, ada sepasang kursi meja lagi didepan untuk Mohzan dan sebuah papan tulis mika berwarna putih yang tergantung didinding bagian depan.
Beberapa spidol dan penghapus papan tulis tersimpan disebuah kotak diatas meja Mohzan. Lalu ada sebuah lemari yang terletak disudut ruangan bagian depan yang berisi beberapa buah buku yang ditata dengan rapi.
"Maaf kalau lama menunggu." Sapa Mohzan kepada dua orang remaja putri yang berumur sekitar 16 tahun. Keduanya sama-sama duduk di bangku kelas tiga SMU.
"Tidak apa Bang Mohzan" Sahut salah seorang gadis dari mereka berdua. Gadis itu sangat cantik dengan wajah agak mirip dengan wajah gadis Tionghoa. Kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit. Rambutnya yang panjang sangat lurus berwarna pirang.Sedang seorang gadis yang satunya lagi juga tidak kalah cantik. Kulitnya juga putih halus tapi raut wajahnya seperti orang asia. Rambutnya yang hitam legam dan dipotong sebahu, nampak berkilau ditimpa sinar lampu di ruangan itu. Tapi walaupun nampak berbeda yang jelas keduanya berasal dari keluarga kaya raya. Itu bisa dilihat dengan kehalusan kulit mereka dan busana berkelas yang mereka kenakan.
"Bisa disebutkan namanya masing-masing biar Abang bisa memanggil dan membedakan." Ujar Mohzan ramah. Mohzan tahu kalau usia kedua gadis ini lebih muda dari dirinya yang kini telah genap berusia 22 tahun.
"Saya Ramona Bang, panggil saja Mona." Ujar gadis berambut pirang."Saya Khalista Bang, biasa dipanggil Lista." Jawab gadis berambut hitam legam."Baik, apa yang bisa Bang Mohzan bantu..?" Tanya Mohzan memulai pelajaran setelah kedua gadis itu memperkenalkan diri.
Kedua gadis itu mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya. Lalu mereka memilih sebuah buku yang lebih tipis yang bertuliskan LKS Matematika Kelas 3 SMU.
"Kalian satu kelas..?" Tanya Mohzan.Kedua gadis itu mengangguk."Oke kalau begitu tidak ada perbedaan pelajaran. Kalian bisa belajar berbarengan." Tukas Mohzan mulai mengamati soal yang tertulis di lembaran LKS yang disodorkan oleh salah seorang gadis itu padanya.Mohzan kemudian menjelaskan cara singkat dan jitu untuk menjawab pertanyaan yang ada di dalam buku itu. Si gadis berambut pirang nampak antusias mendengar penjelasan Mohzan. Sekali-kali ia mengajukan pertanyaan yang langsung dijawab oleh Mohzan.
Sedangkan gadis yang satu lagi malah lebih asyik memandangi Mohzan. Ia terpana memandang kegantengan guru les muda itu."Khalista, apakah kamu mengerti..?" Pertanyaan Mohzan mengagetkan Khalista yang nampak tidak konsentrasi memperhatikan pelajaran.
" Mee..mengerti Bang..!" Jawab Khalista terbata-bata."Kalau mengerti coba jawab soal nomor 7." Perintah Mohzan."Kamu juga Mona, jawab soal nomor 7!" Perintah Mohzan kepada Ramona si rambut pirang.Mohzan memberi beberapa menit waktu untuk menyelesaikan soal yang ia tugaskan.
"Sudah..?" Mohzan bertanya setelah beberapa saat menunggu."Sudah Bang...!" Jawab mereka.Mohzan memeriksa kedua buku gadis itu.Ramona melingkari huruf B dengan jawaban adalah 2, sedangkan Khalista melingkari huruf D dengan jawaban adalah 1.Mohzan lalu menuliskan pembahasan dipapan tulis tentang soal matriks dalam soal nomor 7 tersebut."Jadi jawabannya adalah B yaitu 2 !" Ujar Mohzan.
Ramona bersorak senang karena ia berhasil menjawab dengan benar. Sedangkan Khalista nampak cemberut melirik kearah Ramona.Mohzan kemudian menjelaskan soal-soal berikutnya. Ramona dan Khalista memperhatikan dengan seksama."Oke, hari ini sudah cukup. Sampai jumpa lain kesempatan !" Ujar Mohzan menutup pembelajaran pada hari itu untuk kedua gadis itu.
Ramona dan Khalista merapikan buku-bukunya dan memasukkan kedalam tas masing-masing. Dihalaman sudah menunggu sebuah mobil mewah dengan seorang sopir pribadi. Setelah mengucapkan terima kasih kedua gadis itu berpamitan. Mohzan melanjutkan kegiatan belajar mengajar pada kelas berikutnya.Sementara itu didalam mobil wajah Khalista nampak kesal kepada Ramona. Ia merasa dipermalukan dihadapan Mohzan pada saat mereka belajar tadi.
"Pintar sekali kamu cari muka..! Khalista memulai pertengkaran.
"Maksud kamu apa ?" Tanya Ramona gadis berambut pirang tidak mengerti maksud ucapan Khalista.
"Kamu senang ya, Bang Mohzan menganggap kamu lebih pintar dari pada aku ! Jangan-jangan kamu suka sama Bang Mohzan !" Ujar Khalista semakin ketus.
"Sudah Neng, jangan berantem." Sopir pribadi yang menyimak pertengkaran mereka berusaha menengahi.
"Hei, diam kamu sopir ! Atau kamu mau aku pecat hah..?!" Khalista menghardik sopir yang umurnya tentu jauh lebih tua dari dirinya. Bapak tua itu hanya terdiam mendengar kata-kata Khalista yang kasar. Ia takut kehilangan pekerjaanya. Untuk itu ia memilih diam dan terus mengemudi dengan hati-hati.
"Kamu kasar sekali. Bapak itu jauh lebih tua dari pada kita. " Ramona bermaksud menasehati Khalista.
"Kalau kasar kenapa memangnya hah..? Kalau kalian tidak suka kalian boleh pergi. Aku bisa mencari seribu sopir pengganti." Khalista mengumpat semakin kasar. Bapak sopir hanya bisa menarik nafas dalam. Ia juga sudah hafal dengan sifat anak majikannya itu.
********Beberapa anak yang agak besar nampak tengah sibuk menyisihkan barang-barang bekas. Mereka mengelompokkan sesuai jenis masing-masing. Ada botol bekas, tutup botol, kaleng minuman, sendok plastik dan beberapa barang lainnya. Semua barang-barang itu sudah dicuci bersih dan dihamparkan di atas sehelai terpal berwarna biru tua."Sudah kering semua ?""Sudah Bang !" Jawab Aditya mewakili yang lain."Oke, yang ini dipotong seperti ini. Potongan yang atas kumpulin sebelah sini dan yang potongan bawah masukkan kedalam kardus ini." Mohzan memberi komando."Mau kita jadikan apa botol-botol ini Bang ?" Rangga nampak belum memahami tujuan Mohzan."Sebagian kita jadikan tempat menyimpan pernak-pernik seperti koin, jarum, benang dan banyak - barang kecil lainnya." Mohzan memaparkan dengan sabar."Terus nanti disambung dengan apa Bang ?" Rangga masih penasaran dan bertanya kembali."Sambungnya pakai ini !" Ujar Rangga memperlihatkan satu ikat resleting ber
Setelah semua rombongan membubarkan diri dan meninggalkan tempat itu, Mohzan memerintahkan adik-adiknya mengangkat semua kardus-kardus yang sudah tertumpuk menggunung. Beberapa karung beras juga ada disana.Kemudian mereka berkumpul didalam gedung tua. Satu persatu kardus itu mereka buka."Waaah... Ada baju..!" Seru Jery bersorak gembira. "Nah ini celana." Seru yang lainnya. Ada juga selimut, tikar dan makanan berupa mi instan, beras, sarden, kue-kue, susu dan banyak macam lainnya.Mohzan tersenyum bahagia melihat adik-adiknya bergembira. Tawa lepas mereka terdengar riang gembira. Walaupun banyak barang-barang yang mereka terima, namun mereka tidak nampak berebut apalagi bertengkar.Semua barang-barang itu disusun rapi disudut ruangan. Walaupun mereka anak-anak jalanan, tapi Mohzan mengajari mereka untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian."Bang lapar, ayo masak Bang..!" Seru Yuda menggoyang-goyang lengan Arya."Dik, masak nasi ya... Yuda sudah
Ramona nampak terharu menonton video yang sedang ia tonton dari channel YouTube. Dua video itu sudah ditontonnya berkali-kali. Video pertama adalah kejadian dimana Mohzan nampak membelikan bakso untuk puluhan anak jalanan. Video itu lengkap dari awal kedatangan mereka sampai akhir. Video kedua adalah aksi mahasiswa dan masyarakat yang datang berbondong-bondong membantu Mohzan. Suasana haru dalam video itu membuat mata Ramona ikut berlinang walaupun ia sudah puluhan kali memutar dan menonton video itu namun hatinya tetap mengharu biru.Perlahan ia merasakan kekaguman yang semakin berlipat ganda pada Mohzan."Sudahlah ganteng, pintar dan baik hati pula. Sungguh makhluk Tuhan yang sangat sempurna." Hati Ramona membathin. Benih-benih cinta pertama ia rasakan mulai tumbuh dihatinya."Ngapain kamu..?" Tanya Khalista tiba-tiba. Ia dari tadi memperhatikan tingkah Ramona.Khalista dan Ramona memang tinggal serumah. Ayah Khalis
"Bang Mohzan..!!" Khalista berseru riang didepan pintu. Didalam ruang belajar ia melihat Mohzan sedang berbincang serius dengan seorang gadis manis dengan rambut dikepang dua dibelakang kepalanya. Sontak wajah ceria Khalista mendadak berubah masam.Mohzan menoleh ke ambang pintu yang terbuka lebar. Disana ia menemukan seraut wajah yang kini sedang menatap Soraya yang juga sedang menoleh ke arah Khalista. Mohzan melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Disana waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. Itu artinya mereka sudah tidak memiliki waktu lagi untuk melakukan proses belajar mengajar."Abang pikir kamu tidak datang Khalista. Kok kamu datang sendiri, mana Ramona..?" Pertanyaan Mohzan diakhir kalimat ini semakin membuat hatinya yang udah panas menjadi semakin membara."Abang kok cuma nanyain Ramona sih. Aku sudah sampai disini tapi malah Ramona yang diperhatikan." Protes Khalista semakin cemberut.Mohzan menjadi sedikit salah tingkah." Ya b
Langkah kaki mereka mulai memasuki pintu utama gedung tua. Sinar lampu berwarna putih nampak kian terang benderang. Mohzan telah memerintahkan Arya untuk membeli beberapa lampu cas kemarin. Ternyata Arya sudah melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sehingga mulai malam itu mereka sudah bisa menikmati cahaya lampu yang cukup dimalam hari.Suara adzan dikumandangkan oleh seorang anak yang berusia kira-kira 9 tahun. Suara bocah itu mendayu merdu didalam gedung besar itu melantunkan panggilan Allah kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melaksanakan sholat magrib. Sementara itu puluhan anak lainnya nampak antri untuk berwudhu. Mereka membuat tiga baris menuju 3 buah drum yang kini nampak terisi penuh.Mohzan telah membeli sebuah mesin air dan memasang paralon sehingga air danau yang tidak jauh dari gedung tua itu dapat diantarkan kesana.Anak-anak melihat Mohzan hanya mengangguk hormat. Mereka tidak punya waktu lagi untuk menyambut dan menyalami Abang mereka itu.
Pukul 24.00 tengah malam.Mohzan menyimpan motornya diteras rumahnya. Ia mengetuk pintu perlahan dan memanggil dengan suara lembut. Ia memang selalu begitu, Mohzan tidak mau jika ia mengetuk pintu dengan keras tentu akan mengagetkan penghuni rumah dan juga mungkin mengganggu tetangga.Perlahan pintu dibuka oleh Nenek Aisyah. Sedangkan Desma nampak masih sibuk menata makanan didapur. Mohzan lalu menyalami neneknya dan tak lupa mencium punggung tangan wanita yang sudah semakin tua itu. Seperti biasa sang nenek selalu memeluk tubuh Mohzan dan mencium kepala cucu kesayangannya itu."Nenek belum tidur ?""Belum, besok ada orderan makan siang 250 nasi kotak." Jawab Nenek Aisyah."Ooh, jangan terlalu capek Nek. Kalau bisa berhenti saja berjualan biar nenek sama Mama bisa istirahat dirumah. Biar Mohzan saja yang cari uang." Mohzan membimbing nenek Aisyah yang berjalan terpincang-pincang."Eh mana boleh begitu Nak. Selagi masih bisa berusaha ki
Setumpuk surat tersusun disebuah kotak kardus. Mohzan membaca satu persatu surat-surat tersebut yang ternyata semuanya adalah undangan.Beberapa undangan dari berbagai universitas dalam negeri, sebagian besar lagi dari stasiun televisi dan ada juga dari komuniti serta sebuah undangan dari LAPAN. LAPAN adalah Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional milik negara yang bertugas menyelidiki antariksa. Mereka tertarik dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki Mohzan dan mengundangnya untuk bertukar pikiran. "Hmm, undangan ini begitu banyak Arya, mana yang harus Abang penuhi dulu." Mohzan meminta pendapat Arya yang masih berdiri memegang kotak itu dihadapan Mohzan."Rasanya semua penting Bang, tapi waktunya harus diatur dengan baik agar semua undangan bisa dipenuhi." Kata Arya kini mengikuti langkah Mohzan.Mohzan kemudian duduk diatas karpet dan Arya kemudian melakukan hal yang sama. Mereka nampak berbincang serius sementara puluhan anak-anak yang lain terl
Sore itu Mohzan nampak bergegas masuk ke kamar mandi. Ia baru saja selesai mengajar dikelas terakhir. Suara Mohzan menimba air dari dalam bak mandi cukup menjelaskan bahwa dirinya sedang terburu-buru.Suara gedebak-gedebuk dari kamar mandi itu mengundang perhatian Desma."Ada apa dengan anak itu..? Tidak seperti biasanya dia bertingkah buru-buru seperti itu !" Gumam Desma.Nenek Aisyah juga ikutan heran. Ia memandang ke arah daun pintu kamar mandi yang sedang tertutup. Tak lama kemudian Mohzan keluar dengan menggunakan handuk sebatas pinggang kebawah. Ia bergegas masuk kekamarnya."Kenapa buru-buru Mohzan..?" Desma meneriaki anaknya dari luar kamar."Mohzan mau ngisi acara live di tv Ma... Takut terlambat mana tauan macet dijalan." Sahut Mohzan dari dalam kamar."Acara live di tv..??" Desma dan nenek Aisyah berpandangan.Sebuah undangan tergeletak diatas meja. Desma segera memungut undangan itu dan membacanya. Waja
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama