"Bang Mohzan..!!" Khalista berseru riang didepan pintu. Didalam ruang belajar ia melihat Mohzan sedang berbincang serius dengan seorang gadis manis dengan rambut dikepang dua dibelakang kepalanya. Sontak wajah ceria Khalista mendadak berubah masam.
Mohzan menoleh ke ambang pintu yang terbuka lebar. Disana ia menemukan seraut wajah yang kini sedang menatap Soraya yang juga sedang menoleh ke arah Khalista. Mohzan melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Disana waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. Itu artinya mereka sudah tidak memiliki waktu lagi untuk melakukan proses belajar mengajar.
"Abang pikir kamu tidak datang Khalista. Kok kamu datang sendiri, mana Ramona..?" Pertanyaan Mohzan diakhir kalimat ini semakin membuat hatinya yang udah panas menjadi semakin membara."Abang kok cuma nanyain Ramona sih. Aku sudah sampai disini tapi malah Ramona yang diperhatikan." Protes Khalista semakin cemberut.Mohzan menjadi sedikit salah tingkah." Ya bLangkah kaki mereka mulai memasuki pintu utama gedung tua. Sinar lampu berwarna putih nampak kian terang benderang. Mohzan telah memerintahkan Arya untuk membeli beberapa lampu cas kemarin. Ternyata Arya sudah melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sehingga mulai malam itu mereka sudah bisa menikmati cahaya lampu yang cukup dimalam hari.Suara adzan dikumandangkan oleh seorang anak yang berusia kira-kira 9 tahun. Suara bocah itu mendayu merdu didalam gedung besar itu melantunkan panggilan Allah kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melaksanakan sholat magrib. Sementara itu puluhan anak lainnya nampak antri untuk berwudhu. Mereka membuat tiga baris menuju 3 buah drum yang kini nampak terisi penuh.Mohzan telah membeli sebuah mesin air dan memasang paralon sehingga air danau yang tidak jauh dari gedung tua itu dapat diantarkan kesana.Anak-anak melihat Mohzan hanya mengangguk hormat. Mereka tidak punya waktu lagi untuk menyambut dan menyalami Abang mereka itu.
Pukul 24.00 tengah malam.Mohzan menyimpan motornya diteras rumahnya. Ia mengetuk pintu perlahan dan memanggil dengan suara lembut. Ia memang selalu begitu, Mohzan tidak mau jika ia mengetuk pintu dengan keras tentu akan mengagetkan penghuni rumah dan juga mungkin mengganggu tetangga.Perlahan pintu dibuka oleh Nenek Aisyah. Sedangkan Desma nampak masih sibuk menata makanan didapur. Mohzan lalu menyalami neneknya dan tak lupa mencium punggung tangan wanita yang sudah semakin tua itu. Seperti biasa sang nenek selalu memeluk tubuh Mohzan dan mencium kepala cucu kesayangannya itu."Nenek belum tidur ?""Belum, besok ada orderan makan siang 250 nasi kotak." Jawab Nenek Aisyah."Ooh, jangan terlalu capek Nek. Kalau bisa berhenti saja berjualan biar nenek sama Mama bisa istirahat dirumah. Biar Mohzan saja yang cari uang." Mohzan membimbing nenek Aisyah yang berjalan terpincang-pincang."Eh mana boleh begitu Nak. Selagi masih bisa berusaha ki
Setumpuk surat tersusun disebuah kotak kardus. Mohzan membaca satu persatu surat-surat tersebut yang ternyata semuanya adalah undangan.Beberapa undangan dari berbagai universitas dalam negeri, sebagian besar lagi dari stasiun televisi dan ada juga dari komuniti serta sebuah undangan dari LAPAN. LAPAN adalah Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional milik negara yang bertugas menyelidiki antariksa. Mereka tertarik dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki Mohzan dan mengundangnya untuk bertukar pikiran. "Hmm, undangan ini begitu banyak Arya, mana yang harus Abang penuhi dulu." Mohzan meminta pendapat Arya yang masih berdiri memegang kotak itu dihadapan Mohzan."Rasanya semua penting Bang, tapi waktunya harus diatur dengan baik agar semua undangan bisa dipenuhi." Kata Arya kini mengikuti langkah Mohzan.Mohzan kemudian duduk diatas karpet dan Arya kemudian melakukan hal yang sama. Mereka nampak berbincang serius sementara puluhan anak-anak yang lain terl
Sore itu Mohzan nampak bergegas masuk ke kamar mandi. Ia baru saja selesai mengajar dikelas terakhir. Suara Mohzan menimba air dari dalam bak mandi cukup menjelaskan bahwa dirinya sedang terburu-buru.Suara gedebak-gedebuk dari kamar mandi itu mengundang perhatian Desma."Ada apa dengan anak itu..? Tidak seperti biasanya dia bertingkah buru-buru seperti itu !" Gumam Desma.Nenek Aisyah juga ikutan heran. Ia memandang ke arah daun pintu kamar mandi yang sedang tertutup. Tak lama kemudian Mohzan keluar dengan menggunakan handuk sebatas pinggang kebawah. Ia bergegas masuk kekamarnya."Kenapa buru-buru Mohzan..?" Desma meneriaki anaknya dari luar kamar."Mohzan mau ngisi acara live di tv Ma... Takut terlambat mana tauan macet dijalan." Sahut Mohzan dari dalam kamar."Acara live di tv..??" Desma dan nenek Aisyah berpandangan.Sebuah undangan tergeletak diatas meja. Desma segera memungut undangan itu dan membacanya. Waja
Tepuk tangan sangat meriah mengiringi kehadiran Mohzan dipanggung acara "Temu Idola". Acara itu dipandu oleh seorang laki-laki ganteng yang sangat digandrungi masyarakat tua dan muda.'Mr. Gandi' adalah nama presenter keren itu. Dia dijuluki duren mateng atau duda keren masa tenggang. 😂😂😂😂Pembaca pasti tau apa artinya masa tenggang. Masa tenggang adalah tenggang waktu mencari ganti. 🤗🤗🤗Umur presenter muda itu sedang ranum yaitu 32 tahun. Tentu saja banyak wanita yang bermimpi digandeng lelaki itu naik ke pelaminan. "Selamat datang Bang Mohzan, malam ini anda bersama saya Mr. Gandi dalam acara Temu Idola.Mr. Gandi menyalami Mohzan yang baru saja berada dipanggung acara talk show nya. Riuh gempita tepukan dan sorak histeris audien menggemuruh seakan-akan meruntuhkan gedung studio Patriot Televisi. Mohzan menerima jabatan tangan Mr. Gandi lalu melambaikan tangan kearah penonton yang berteriak memanggil namanya dan menyuarakan yel yel dukung Bang Mohzan.
"Baik, sebagai pertanyaan terakhir dari saya, apa harapan anda untuk adik-adik anda..? Mr. Gandi melontarkan pertanyaan yang merupakan pertanyaan penutup."Saya berharap mereka memiliki masa depan yang cerah dan gemilang. Dan apabila mereka sudah mendapatkan itu, saya berharap suatu saat mereka juga melakukan hal sama dengan yang saya lakukan sekarang kepada mereka, kepada orang lain !""Luar biasaaaa...!!! Teriak Mr. Gandi langsung berdiri dan bertepuk tangan. Para audien juga melakukan hal yang sama. Mereka berdiri dan bertepuk tangan.Mohzan mengikuti Mr. Gandi yang sudah berdiri. Mereka kini sama-sama berdiri berhadapan dan bersalaman."Plok..plok..plok...!!!"Tuan Junara nampak memasuki panggung dan bertepuk tangan."Anda sangat luar biasa..!!" Ia mengulurkan tangan menyalami Mohzan.Mohzan terkejut melihat sosok yang kini berdiri dan mengulurkan tangan kepadanya. Sosok Tuan Junara memang sering ia lihat di layar televisi. Duda seten
Desma dan ibu Aisyah belum bisa tidur. Mereka tidak sabar menunggu Mohzan pulang ke rumah. Tentu saja mereka ingin mendengar cerita Mohzan tentang pengalaman baru yang baru saja ia alami. Apalagi Desma, ia ingin sekali mengetahui perbincangan Mohzan dengan Junara yang sebenarnya adalah ayah kandung Mohzan."Apakah Mohzan sudah tahu kalau Mas Junara itu adalah ayahnya ?? Hmm.. bagaimana kalau Mohzan bercerita tentang keluarganya, lalu Mas Junara tahu kalau Mohzan adalah anakku. Dan Mas Juna pasti berfikir kalau Mohzan adalah darah dagingnya... Ooohhh... Bagaimana ini..??? Aduuuh... Mohzan belum juga pulang.... Jangan-jangan Mas Juna sudah membawa Mohzan pulang kerumahnya...!!! Aduh.. bagaimana ini...???" Beribu pertanyaan melintas dan bercampur baur dalam pikiran Desma. Ia berjalan hilir mudik dan terlihat sangat gelisah.Jarum jam telah menunjukkan pukul 00.15 wib. Suara sepeda motor Mohzan belum juga terdengar memasuki teras rumah. Desma dan ibu Aisyah mulai cema
Pagi itu Mohzan dan Arya sudah berdiri di sebidang tanah yang cukup luas. Tanah itu baru saja mereka beli dengan uang sumbangan yang diberikan warga internet yang ikut membantu Mohzan untuk mensejahterakan kehidupan adik-adiknya.Hari ini adalah hari yang sangat dinanti oleh Mohzan karena hari ini adalah awal pertama asrama itu dibangun. Mohzan berkeinginan untuk membangun asrama untuk tempat tinggal adik-adiknya dan beberapa fasilitas lain seperti ruang belajar dan mushola. Namun karena dana belum mencukupi, Mohzan memutuskan untuk membangun asrama saja terlebih dahulu.Ditempat itu telah berkumpul delapan orang tukang bangunan dan seorang pimpinan mereka. Selain itu disudut tanah itu telah tertumpuk bahan material berupa pasir, semen, batu dan besi.Karto sebagai pimpinan proyek pembangunan asrama yang rencananya akan dibuat berlantai dua itu terlihat sedang berbincang dengan Mohzan dan Arya. Sekali-kali nampak mereka menunjuk-nunjuk ke beberapa a
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama