Adzan magrib sudah berkumandang dari pengeras suara di sebuah mesjid yang tidak begitu jauh dari bangunan kosong tempat tinggal para tuna wisma dan anak jalanan.
Mohzan dan rombongannya baru saja memasuki bangunan yang agak tua itu. Bangunan terbengkalai itu nampaknya akan dibangun sebuah Mall. Tapi karena pihak pengelola tidak bisa menyelesaikan izin membuat bangunan dari pemerintah, maka bangunan besar itu sampai kini terbengkalai begitu saja. Karena kosong, tempat itu akhirnya menjadi rumah bagi para tuna wisma.Hari sudah mulai gelap pertanda malam akan segera menjelang. Puluhan anak-anak jalanan nampak tengah berwudhu dengan air yang ada didalam beberapa drum plastik. Drum plastik itu memang sengaja digunakan untuk menampung air hujan. Air itu digunakan oleh mereka yang tinggal disana untuk mandi dan keperluan sehari-hari. Tapi jika musim panas tiba, maka sudah barang tentu mereka tidak bisa menampung air. Tapi syukurlah tidak jauh dari gedung tua itu ada sebuah danau. Walau air danau itu sedikit keruh tapi lumayan, bisa mereka gunakan sekedar untuk mandi dan mencuci pakaian.
Mohzan sudah bersiap menjadi imam untuk melakukan sholat magrib berjamaah. Dibelakangnya sudah berjejer puluhan anak-anak yang sudah ia ajari tata cara melakukan sholat. Beberapa anak yang beragama lain nampak duduk dengan tertib disudut ruangan yang remang-remang karena hanya diterangi oleh sebuah lampu teplok yang kecil. Mereka juga diajarkan oleh Mohzan untuk saling menghargai agama orang lain.
Mohzan menoleh kebelakang untuk memastikan kesiapan para makmumnya. Lalu ia mulai membaca takbir."Allahu akbar..!!"Semua anak-anak mengikuti dengan khusuk.====="Abang pulang dulu ya, Abang udah ditunggu nih... Malam ini Abang ada janji mengajar matematika pada beberapa orang siswa." Setelah selesai sholat magrib bersama, Mohzan langsung berpamitan untuk pulang.
"Hati-hati Bang." Jawab anak-anak lalu kemudian satu persatu menyalami Mohzan dan mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat. Mohzan mengusap kepala satu persatu adik-adik angkatnya yang menyalaminya. Terakhir Arya menyalami Mohzan. Arya dianggap abang kedua bagi anak-anak yang tinggal disitu, karena Arya bertugas menjaga mereka. Arya sudah berumur 16 tahun. Dibawah Arya ada Dika yang berusia 14 tahun. Arya disebut abang kedua sedangkan Dika dianggap abang ketiga. Mereka berdua yang bertugas menjaga anak-anak yang ketika Mohzan tidak berada disana. Anak-anak yang lain umumnya masih kecil-kecil. Usia mereka rata-rata dibawah 10 tahun.
"Jaga adik-adik Ar..!" Ujar Mohzan kepada Arya sambil beradu kepalan tinju berdua.
"Iya Bang. Abang hati-hati..!" Jawab Arya.Mohzan selalu merasa berat meninggalkan anak-anak yang sudah menjadi bagian dari hidupnya itu. Walaupun tidak mengalir darah yang sama, tapi Mohzan sudah menganggap mereka semua bagaikan adik-adik kandungnya.Saat ini Mohzan tengah mengumpulkan uang. Ia berniat untuk membeli tanah dan membangun sebuah asrama bagi adik-adiknya itu. Niat itu belum kesampaian karena dana yang dimiliki Mohzan belum mencukupi. Sumbangan yang diterima Mohzan sebagai imbalan ia mengajar, sebagian besar ia belanjakan untuk membiayai sandang dan pangan adik-adik angkatnya itu. Memiliki lebih dari tiga puluh adik angkat tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi Mohzan tetap semangat berjuang menghidupi mereka semua. Apalagi niat baiknya didukung penuh oleh ibu dan neneknya. Mohzan semakin ikhlas menjalani hidupnya yang berjuang demi orang banyak.Masya Allah.. sungguh lelaki muda belia ini berhati malaikat..π’π’π’Mohzan menstarter motornya yang ia parkir dihalaman gedung tua itu. Hari sudah mulai gelap. Lampu jalanan terletak agak sedikit jauh sehingga halaman itu hanya bercahaya remang-remang.
Beberapa saat ia mengendarai motornya, tiba-tiba dari belakang bangunan sebuah ruko kosong yang agak gelap, Mohzan dicegat lima orang preman. Dari mulut mereka tercium bau alkohol yang menyengat.Mohzan terpaksa menghentikan laju motornya yang memang berjalan lambat."Keluarin duit lu..!!" Perintah seorang lelaki berbadan cukup gempal. Dua orang lainnya menyusul memegang stang motor yang dikendarai Mohzan. Mohzan sadar kalau ia dalam bahaya. Dengan tenang Mohzan mematikan mesin motornya dan menyimpan kunci motor kedalam tas selempang kecil yang melintang didadanya."Woow..!! mau melawan kau rupanya..!!?" Hardik salah seorang dari mereka terkekeh. Sebuah tinju melayang menuju batok kepala Mohzan. Mohzan menangkap batang tangan lelaki itu dan menghadiahkan sebuah tendangan ke perutnya dengan telak. "Huuuh..!!" Lelaki itu mengaduh tertahan. Tubuhnya terlempar sekitar tiga meter.Keempat kawannya terperanjat menyaksikan gerakan santai Mohzan mampu melumpuhkan serangan kawan mereka. Padahal kawan mereka yang satu ini dulunya adalah seorang pelatih karate. Tentu saja serangannya tidak main-main. Kuda-kudanya kuat dan pukulannya bertenaga dalam yang terlatih.
Mereka berempat berpandangan sejenak penuh keraguan. Salah seorang memberikan isyarat untuk mengeroyok Mohzan yang telah bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
"Hiiiyaaaaa...!!!" Empat serangan meluncur sekali gus menuju kepala dan bagian dada Mohzan. Mohzan terkurung diantara empat kepalan tinju yang siap meremukkan tubuhnya.Namun tiba-tiba tubuh Mohzan berputar seperti gasing. Angin bertiup menyertai putaran tubuhnya lalu mengangkat tubuh Mohzan hingga kakinya melampaui kepala empat lelaki yang menyerangnya."Haaap..!" Kedua kaki Mohzan kemudian hinggap di atas kepala penyerangnya. Secepat kilat Mohzan melompat ke udara lalu kakinya mendarat kembali dengan keras di atas batok kepala empat kaki tadi. Masing-masing merasakan kerasnya hantaman telapak kaki Mohzan yang mendarat di atas kepala mereka.Lelaki pertama yang sudah lebih dahulu menerima tendangan maut dari Mohzan nampak membelalakkan mata. Sebagai orang yang berpengalaman didunia bela diri dan dunia preman, ia belum pernah melihat jurus yang dimainkan Mohzan. Jurus yang diperagakan Mohzan biasanya hanya ditemui di buku-buku atau novel pendekar seperti Wiro Sableng. Tapi kali ini ia melihat nyata dengan mata kepalanya sendiri."Jangan-jangan dia bukan manusia..!" Seru lelaki itu dengan bulu kuduk berdiri.Keempat kawannya nampak linglung setelah kepalanya menerima hantaman dari kaki Mohzan yang mendarat persis diatas ubin-ubun mereka. Mohzan tertawa geli melihat perangai empat orang lelaki itu. Mereka seperti orang yang baru saja mabuk miras oplosan.
"Ngapain Bang..?? Kok muter-muter..?" Seru Mohzan sambil melipat kedua tangan di dadanya. Ia seperti seorang penonton yang sedang menyaksikan pertunjukkan kuda lumping."Kabuuuuur...!!!" Si lelaki pertama yang masih tersungkur di tanah memberi komando. Dengan susah payah ia berdiri dan terseok melarikan diri. Keempat anak buahnya pun menyusul kabur. Tapi karena kepala mereka puyeng, mereka malah bertabrakan satu sama yang lainnya. Mohzan semakin cekikikan melihat adegan lucu dihadapannya."Jalan kabur kesana Bang..!!" Ujar Mohzan memutar badan seorang lelaki yang sempoyongan sambil menunjuk kearah jalan yang harus dilalui. Kelima preman itu dengan langkah sempoyongan meninggalkan Mohzan yang nampak masih tertawa cekikikan.
"Bang Mohzan hebaaaat..!!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara dan tepukkan tangan. Mohzan menoleh dan ia melihat Arya mendekat ke arahnya. "Eh, kamu Arya..? Kok kamu ngikutin Abang..?" Tanya Mohzan.
"Arya khawatir Abang kenapa-kenapa. Perasaan Arya tidak enak begitu Abang pergi makanya Arya berlari menyusul kesini. Mohzan terharu melihat perhatian salah satu adik angkatnya itu.Ia tahu kalau mereka semua sangat menyayangi dirinya seperti ia menyayangi mereka. Sampai disini Arya lihat Abang lagi berantem... Waaah... Jurus Abang paten Bang... Abang belajar dimana sih. Kok Arya belum pernah melihat jurus yang Abang mainkan di jenis beladiri apapun..?" Arya memberondong Mohzan dengan pertanyaan. Mohzan juga bingung untuk menjelaskan. Ia tidak pernah belajar ilmu beladiri secara nyata. Tapi yang ia ingat suatu malam seorang kakek berjenggot putih mengajarinya beberapa jurus. Anehnya jurus-jurus itu melekat begitu saja di jiwanya. Walau tiada berlatih tapi jurus itu akan keluar dengan sendirinya bila keadaan memaksa.
"Abang kok diem, Abang nggak mau ngajarin Arya..?!" Ujar Arya sedikit kecewa.
"Bukan begitu Arya. Apa sih yang tidak mau Abang ajari pada kalian ? Tapi Abang juga bingung dari mana Abang mendapatkan jurus-jurus tadi." Jawab Mohzan menjelaskan agar adik angkatnya itu tidak kecewa padanya.Kening Arya nampak berkerut mendengar penjelasan Mohzan."Aneh..!!" Gumamnya."Iya, memang aneh..!" Ujar Mohzan juga menyetujui pendapat adik angkatnya itu."Oh pantas ketua preman tadi bilang Abang bukan manusia." Kata Arya yang teringat ucapan laki-laki yang mendapat tendangan pertama kaki dari Mohzan tadi. Mohzan hanya mengangkat bahu dan tertawa."Hahahaha.. kalau Abangmu ini bukan manusia lalu apa..?" Tanya Mohzan kembali cekikikan."Hantu kali Bang..!!" Seru Arya juga ikut cekikikan. Mereka tertawa geli di keremangan tempat itu."Ya sudah, Abang pulang dulu." Seru Mohzan yang kini sudah berada diatas sadel motornya."Hati-hati Bang..!" Jawab Arya sambil bersiap pergi. Mohzan mengendarai motornya menuju pulang kerumahnya, sedangkan Arya berbalik arah kembali menuju gedung tua tempat dimana ia dan puluhan tuna wisma tinggal.********Assalamualaikum..!""Waalaikumsalam" Desma dan nenek Aisyah serempak menjawab salam dari Mohzan yang sudah berdiri diambang pintu. Pakaian dan wajahnya sedikit kotor juga kusut."Dari mana Nak, kok terlambat pulang. Berkali-kali mama telponin tapi tidak ada jawaban. Chat juga centang satu." Desma memberondong pertanyaan pada putranya dengan nada cemas."Maaf Ma, hp Mohzan abis baterai.Tadi Mohzan ke gedung tua, disana tidak bisa ngecas hp." Sahut Mohzan menjelaskan sambil mencium punggung tangan ibunya. "Ooh.." Jawab Desma dengan perasaan lega."Neneeeek...!! Nenek pasti rindu kan sama cucu nenek yang ganteng ini.." Ujar Mohzan lalu mendekati nenek Aisyah yang sedang duduk diatas sebuah kursi dihadapan meja makan. Diatas meja makan nampak beberapa piring dan mangkuk berisi makanan. Sepertinya nenek Aisyah baru saja selesai makan malam.Nenek Aisyah mengembangkan kedua tangannya bersiap menyambut tubuh
Beberapa anak yang agak besar nampak tengah sibuk menyisihkan barang-barang bekas. Mereka mengelompokkan sesuai jenis masing-masing. Ada botol bekas, tutup botol, kaleng minuman, sendok plastik dan beberapa barang lainnya. Semua barang-barang itu sudah dicuci bersih dan dihamparkan di atas sehelai terpal berwarna biru tua."Sudah kering semua ?""Sudah Bang !" Jawab Aditya mewakili yang lain."Oke, yang ini dipotong seperti ini. Potongan yang atas kumpulin sebelah sini dan yang potongan bawah masukkan kedalam kardus ini." Mohzan memberi komando."Mau kita jadikan apa botol-botol ini Bang ?" Rangga nampak belum memahami tujuan Mohzan."Sebagian kita jadikan tempat menyimpan pernak-pernik seperti koin, jarum, benang dan banyak - barang kecil lainnya." Mohzan memaparkan dengan sabar."Terus nanti disambung dengan apa Bang ?" Rangga masih penasaran dan bertanya kembali."Sambungnya pakai ini !" Ujar Rangga memperlihatkan satu ikat resleting ber
Setelah semua rombongan membubarkan diri dan meninggalkan tempat itu, Mohzan memerintahkan adik-adiknya mengangkat semua kardus-kardus yang sudah tertumpuk menggunung. Beberapa karung beras juga ada disana.Kemudian mereka berkumpul didalam gedung tua. Satu persatu kardus itu mereka buka."Waaah... Ada baju..!" Seru Jery bersorak gembira. "Nah ini celana." Seru yang lainnya. Ada juga selimut, tikar dan makanan berupa mi instan, beras, sarden, kue-kue, susu dan banyak macam lainnya.Mohzan tersenyum bahagia melihat adik-adiknya bergembira. Tawa lepas mereka terdengar riang gembira. Walaupun banyak barang-barang yang mereka terima, namun mereka tidak nampak berebut apalagi bertengkar.Semua barang-barang itu disusun rapi disudut ruangan. Walaupun mereka anak-anak jalanan, tapi Mohzan mengajari mereka untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian."Bang lapar, ayo masak Bang..!" Seru Yuda menggoyang-goyang lengan Arya."Dik, masak nasi ya... Yuda sudah
Ramona nampak terharu menonton video yang sedang ia tonton dari channel YouTube. Dua video itu sudah ditontonnya berkali-kali. Video pertama adalah kejadian dimana Mohzan nampak membelikan bakso untuk puluhan anak jalanan. Video itu lengkap dari awal kedatangan mereka sampai akhir. Video kedua adalah aksi mahasiswa dan masyarakat yang datang berbondong-bondong membantu Mohzan. Suasana haru dalam video itu membuat mata Ramona ikut berlinang walaupun ia sudah puluhan kali memutar dan menonton video itu namun hatinya tetap mengharu biru.Perlahan ia merasakan kekaguman yang semakin berlipat ganda pada Mohzan."Sudahlah ganteng, pintar dan baik hati pula. Sungguh makhluk Tuhan yang sangat sempurna." Hati Ramona membathin. Benih-benih cinta pertama ia rasakan mulai tumbuh dihatinya."Ngapain kamu..?" Tanya Khalista tiba-tiba. Ia dari tadi memperhatikan tingkah Ramona.Khalista dan Ramona memang tinggal serumah. Ayah Khalis
"Bang Mohzan..!!" Khalista berseru riang didepan pintu. Didalam ruang belajar ia melihat Mohzan sedang berbincang serius dengan seorang gadis manis dengan rambut dikepang dua dibelakang kepalanya. Sontak wajah ceria Khalista mendadak berubah masam.Mohzan menoleh ke ambang pintu yang terbuka lebar. Disana ia menemukan seraut wajah yang kini sedang menatap Soraya yang juga sedang menoleh ke arah Khalista. Mohzan melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Disana waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. Itu artinya mereka sudah tidak memiliki waktu lagi untuk melakukan proses belajar mengajar."Abang pikir kamu tidak datang Khalista. Kok kamu datang sendiri, mana Ramona..?" Pertanyaan Mohzan diakhir kalimat ini semakin membuat hatinya yang udah panas menjadi semakin membara."Abang kok cuma nanyain Ramona sih. Aku sudah sampai disini tapi malah Ramona yang diperhatikan." Protes Khalista semakin cemberut.Mohzan menjadi sedikit salah tingkah." Ya b
Langkah kaki mereka mulai memasuki pintu utama gedung tua. Sinar lampu berwarna putih nampak kian terang benderang. Mohzan telah memerintahkan Arya untuk membeli beberapa lampu cas kemarin. Ternyata Arya sudah melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sehingga mulai malam itu mereka sudah bisa menikmati cahaya lampu yang cukup dimalam hari.Suara adzan dikumandangkan oleh seorang anak yang berusia kira-kira 9 tahun. Suara bocah itu mendayu merdu didalam gedung besar itu melantunkan panggilan Allah kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melaksanakan sholat magrib. Sementara itu puluhan anak lainnya nampak antri untuk berwudhu. Mereka membuat tiga baris menuju 3 buah drum yang kini nampak terisi penuh.Mohzan telah membeli sebuah mesin air dan memasang paralon sehingga air danau yang tidak jauh dari gedung tua itu dapat diantarkan kesana.Anak-anak melihat Mohzan hanya mengangguk hormat. Mereka tidak punya waktu lagi untuk menyambut dan menyalami Abang mereka itu.
Pukul 24.00 tengah malam.Mohzan menyimpan motornya diteras rumahnya. Ia mengetuk pintu perlahan dan memanggil dengan suara lembut. Ia memang selalu begitu, Mohzan tidak mau jika ia mengetuk pintu dengan keras tentu akan mengagetkan penghuni rumah dan juga mungkin mengganggu tetangga.Perlahan pintu dibuka oleh Nenek Aisyah. Sedangkan Desma nampak masih sibuk menata makanan didapur. Mohzan lalu menyalami neneknya dan tak lupa mencium punggung tangan wanita yang sudah semakin tua itu. Seperti biasa sang nenek selalu memeluk tubuh Mohzan dan mencium kepala cucu kesayangannya itu."Nenek belum tidur ?""Belum, besok ada orderan makan siang 250 nasi kotak." Jawab Nenek Aisyah."Ooh, jangan terlalu capek Nek. Kalau bisa berhenti saja berjualan biar nenek sama Mama bisa istirahat dirumah. Biar Mohzan saja yang cari uang." Mohzan membimbing nenek Aisyah yang berjalan terpincang-pincang."Eh mana boleh begitu Nak. Selagi masih bisa berusaha ki
Setumpuk surat tersusun disebuah kotak kardus. Mohzan membaca satu persatu surat-surat tersebut yang ternyata semuanya adalah undangan.Beberapa undangan dari berbagai universitas dalam negeri, sebagian besar lagi dari stasiun televisi dan ada juga dari komuniti serta sebuah undangan dari LAPAN. LAPAN adalah Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional milik negara yang bertugas menyelidiki antariksa. Mereka tertarik dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki Mohzan dan mengundangnya untuk bertukar pikiran. "Hmm, undangan ini begitu banyak Arya, mana yang harus Abang penuhi dulu." Mohzan meminta pendapat Arya yang masih berdiri memegang kotak itu dihadapan Mohzan."Rasanya semua penting Bang, tapi waktunya harus diatur dengan baik agar semua undangan bisa dipenuhi." Kata Arya kini mengikuti langkah Mohzan.Mohzan kemudian duduk diatas karpet dan Arya kemudian melakukan hal yang sama. Mereka nampak berbincang serius sementara puluhan anak-anak yang lain terl
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.βWhat I can do for you.?β Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut βHelp me and teach me to be a moslem.ββAre you sure..?β Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.βYes.. very sure..!β Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. πPada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..πππ)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama