“Kenapa? Kenapa kau melakukan ini padaku?” Elijah berteriak histeris, dia bahkan melempar vas bunga ke arah Emilio. Pecahan kacanya mengenai wajah Emilio dan mengeluarkan darah segar.Di luar pintu Joseph dan para pelayan menunggu di luar sontak kaget mendengar suara barang jatuh serta kaca pecah. Beberapa dari pelayan menutupi telinga mereka dan sedikit meringkuk. Baru kali ini mereka mendengar suara seperti itu.Pertengkaran seperti yang ada pada rumah lain. Mereka saling menatap seakan ingin bicara tapi jelasnya mereka tak bisa berkata-kata karena Joseph menentang hal itu, lagi pula dalam kontrak sudah tertera semua yang bekerja di dalam mansion harus diam tak menyebarkan rumor ke luar mansion.Joseph berdiri dengan tenang menunggu sang majikan keluar bersama dengan pelayan untuk membereskan kekacauan di dalam kamar.“Elijah,” Emilio mencoba menepuk pundak Elijah. tapi, tangannya malah menggantung di udara. Rasanya begitu menyakitkan kala melihat wanitanya menangis dengan begitu ke
Setelah selesai mengobati Elijah. Rayn pun keluar kamar, di sudut ruangan Emilio menunggu dengan wajah tanpa ekspresi. Rasanya dirinya ingin memakan seseorang. Emilio setelah memastikan Elijah telah tertidur lelap.Emilio berdiri, terselip sebatang rokok di sela jarinya. Asap tipis mengepul lalu menghilang di udara. Dia sama sekali tidak memikirkan kakinya yang terluka dan berlumur darah.“Kemarilah, aku akan mengobatimu.” Rayn berniat mendekati Emilio tapi Emilio langsung menghentikannya.“Kita ke ruang kerja ku,” Emilio berjalan dengan menyeret kakinya. Darah terus menetes hingga ke pintu ruang kerjanya.Emilio duduk di sofa, ia setengah memejamkan matanya. Raut wajahnya begitu berantakan. Rayn baru pertama kali melihat kondisi Emilio yang seperti ini.“Apa yang telah terjadi?” sembari bicara Rayn memegang kaki Emilio, separuh celananya sudah basah oleh darah.Tangan Rayn dengan cekatan memotong celana Emilio, saat celana diturunkan tampak lah pecahan kaca yang menancap di lututnya.
Hingga larut malam, Emilio hanya terdiam di luar balkon kamar. Menatap ke atas di mana langit diselimuti oleh pekatnya malam. Menatap jauh, dengan segala pemikiran tentang kemungkinan Elijah akan meninggalkannya membuatnya sesak. “Walau aku sudah menduganya, tapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya.” Setelah berjam-jam mengamati langit yang tetap kelam, Emilio beranjak pergi dari balkon menuju ke luar kamar. Menuruni anak-anak tangga menunju lantai bawah. Berjalan terus keluar mansion dan berhenti tepat di depan paviliun yang ditempati oleh Stela. Sejenak ia hanya berdiri termangu, setelah mengetuk pintu yang berwarna coklat gelap itu. Pintu pun terbuka. Sus Maria menatapnya sekilas lalu mempersilakannya masuk. “Apa Stela sudah tidur?” Emilio berbicara. “Sudah Tuan, ada di kamarnya.” Jawab sus Maria. “Silakan,” sus Maria mengisyaratkan agar Emilio mampir dan melihatnya sendiri. Emilio mengayunkan langkah kakinya menuju kamar Stela. Ia berdiri tepat di samping tempat tidurnya. S
Elijah terbangun, sesaat menatap langit-langit ruangan yang berwarna serba putih, hidungnya mencium disinfektan yang identik dengan rumah sakit. Tubuhnya tergeletak di atas ranjang, detik kemudian dia melirik ke sekeliling kamar.“Elijah,” terdengar suara berat yang tak asing baginya.Elijah menoleh, Emilio duduk dengan wajah cemas menatapnya penuh kesedihan. Sejenak Elijah mencoba mengingat kembali yang terjadi pada dirinya. Ya, Elijah berendam di bak mandi terlalu lama, menyebabkannya pusing dan hilang kesadaran.“Apa ada bagian yang sakit? Di mana?” Emilio terus melontarkan pertanyaan.Elijah masih belum sadar sepenuhnya, tapi detik berikutnya wajah pucatnya itu berekspresi dingin, sorot matanya tajam menatap ke arah Emilio.“Kenapa kamu menatapku seperti ini?” Emilio dapat merasakan amarah di balik sorot matanya yang tajam itu. “Apa kamu tidak nyaman saat aku berada di dekatmu?”Elijah tetap diam seribu bahasa. Tampak jelas jika dia tidak menginginkan kehadiran Emilio di sekitarny
“Hei, kenyataannya tidak seperti itu. Kenapa kau pesimis seperti ini? tidak seperti dirimu saja.” Rayn mulaui merobek celana Emilio dengan gunting.Warna merah yang mencolok membuat mata sakit, darah tetah memenuhi kasin kasa yang dibalutkan ke lututnya. Ia melihatnya benar-benar tidak dapat dipercaya. Perlahan dia membuka kain kasanya dengan hati-hati. Setelah sepenuhnya terlepas Rayn dapat tahu jika luka yang semalam sudah di jahit itu kembali terbuka. Bahkan lukanya malah semakin bertambah lebar,“Apa yang terjadi hingga seperti ini?”“Elijah pingsan, aku menggendongnya dan tidak ingat jika lututku terluka. aku bahkan tidak merasakan sakit sedikit pun.” Emilio menyunggingkan sudut bibirnya, terkesan dingin.“Kamu tidak bisa seperti ini. jika kamu tidak sembuh siapa yang akan menjaga Elijah dan anak-anakmu?”“Rayn, apa aku ini pantas menjadi seorang ayah? Aku bahkan telah melukai ibunya bagaimana bisa aku menghadapi anak-anaknya kelak.”“Sebenarnya apa maksudmu? Kau sudah menjadi ay
“Apa kamu yakin tidak membutuhkan kamar untuk beristirahat?” Rayn bertanya seraya menyenderkan tubuhnya ke meja.“Tidak perlu, aku hanya butuh istirahat di sini sebentar,” Emilio meraih ponselnya lalu menekan nomor yang tertera di layar ponselnya. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ada jawaban dari balik ponsel.“Tolong bawakan pakaian bersih untukku dan juga nyonya muda ke rumah sakit.” Selesai bicara Emilio menutup teleponnya lalu mencari posisi yang nyaman untuknya sekedar berbaring.Rayn menatapnya lembut, ia melirik ke arah jam tangannya. “Baiklah, aku harus melihat pasien. Kamu tinggal lah di sini jika mau. Aku pergi.” Rayn melangkah pergi sementara Emilio melambaikan tangannya.Hening.Emilio sejenak menatap langit-langit putih, “Ah, rasanya aku mengantuk.” matanya terpejam beberapa saat kemudian dia benar-benar tidur.Tiga puluh mneit kemudian, Joseph sampai di rumah sakit. Dia membawa sebuah tas yang cukup besar yang berisi pakaian ganti untuk Emilio dan juga Elijah, dia
Di dalam bangsal VVIP. Elijah tengah duduk, wajahnya pucat, satu tangannya mengelus lembut perutnya. Tatapannya tertuju ke arah luar. Saat pintu terbuka, Elijah memalingkan wajahnya ke arah pintu. Tepat detik berikutnya sesosok pria tinggi dengan langkah pincang memasuki kamar. Suara berat itu terdengar jelas di telinga. “Kamu sudah bangun?” Emilio bertanya seraya mendekat pada Elijah. Sementara Joseph ia menunggu di luar, dia tidak berniat masuk ke dalam menilik suasana dalam ruangan yang suram. Elijah mengedipkan matanya, bulu matanya yang lentik itu bergetar setiap kali berkedip. “Apakah aku bisa meminta sesuatu?” Elijah bertanya. “Apa yang kamu inginkan? Aku akan mencarikannya untukmu.” Secercah kebahagiaan tersirat di dalam matanya. Elijah kembali menunduk, lalu menatap Emilio dengan lembut tapi di dalam matanya penuh kebencian. Emilio dapat melihat hal itu, tapi dia berpura-pura tidak menyadarinya dan masih bersikap hangat. “Aku ingin pulang,” pintanya. “Kamu ingin pulan
Selesai bicara dengan Emilio, Elijah melangkahkan kakinya keluar dan berpapasan dengan Sebastian yang mematung. Ia tidak bicara, hanya menganggukkan kepalanya, Elijah berlalu begitu saja. Di depan pintu perusahaan Elijah memberhentikan taksi, dia naik dan menuju rumah Dira, rasanya dia ingin meluapkan apa yang dirasa di hatinya selama ini. semenjak dia tahu jika Emilio mempermainkannya. Perlahan dia mulai membencinya hingga ke relung hatinya, tapi rasa cintanya juga tak kalah besar dengan kebenciannya pada Emilio. Elijah berdiri tepat di depan pintu apartemen Dira, wajahnya sangat sedih, perasaannya saat ini sungguh campur aduk. Dia menekan bel tiga kali hingga akhirnya Dira membuka pintunya, sontak dia kaget saat mendapati Elijah menangis. “Elijah ada apa?” Dira segera memeluknya. Elijah tidak bicara dia hanya menangis, meluapkan apa yang ada di hatinya sekarang. Dira membawanya masuk ke dalam. Sudah tiga puluh menit Elijah menangis dan tidak mengatakan apa pun. Dira yang tidak