Di dalam bangsal VVIP. Elijah tengah duduk, wajahnya pucat, satu tangannya mengelus lembut perutnya. Tatapannya tertuju ke arah luar. Saat pintu terbuka, Elijah memalingkan wajahnya ke arah pintu. Tepat detik berikutnya sesosok pria tinggi dengan langkah pincang memasuki kamar. Suara berat itu terdengar jelas di telinga. “Kamu sudah bangun?” Emilio bertanya seraya mendekat pada Elijah. Sementara Joseph ia menunggu di luar, dia tidak berniat masuk ke dalam menilik suasana dalam ruangan yang suram. Elijah mengedipkan matanya, bulu matanya yang lentik itu bergetar setiap kali berkedip. “Apakah aku bisa meminta sesuatu?” Elijah bertanya. “Apa yang kamu inginkan? Aku akan mencarikannya untukmu.” Secercah kebahagiaan tersirat di dalam matanya. Elijah kembali menunduk, lalu menatap Emilio dengan lembut tapi di dalam matanya penuh kebencian. Emilio dapat melihat hal itu, tapi dia berpura-pura tidak menyadarinya dan masih bersikap hangat. “Aku ingin pulang,” pintanya. “Kamu ingin pulan
Selesai bicara dengan Emilio, Elijah melangkahkan kakinya keluar dan berpapasan dengan Sebastian yang mematung. Ia tidak bicara, hanya menganggukkan kepalanya, Elijah berlalu begitu saja. Di depan pintu perusahaan Elijah memberhentikan taksi, dia naik dan menuju rumah Dira, rasanya dia ingin meluapkan apa yang dirasa di hatinya selama ini. semenjak dia tahu jika Emilio mempermainkannya. Perlahan dia mulai membencinya hingga ke relung hatinya, tapi rasa cintanya juga tak kalah besar dengan kebenciannya pada Emilio. Elijah berdiri tepat di depan pintu apartemen Dira, wajahnya sangat sedih, perasaannya saat ini sungguh campur aduk. Dia menekan bel tiga kali hingga akhirnya Dira membuka pintunya, sontak dia kaget saat mendapati Elijah menangis. “Elijah ada apa?” Dira segera memeluknya. Elijah tidak bicara dia hanya menangis, meluapkan apa yang ada di hatinya sekarang. Dira membawanya masuk ke dalam. Sudah tiga puluh menit Elijah menangis dan tidak mengatakan apa pun. Dira yang tidak
Dira sangat gelisah. Jika sesuatu terjadi pada Elijah, dia tidak akan mampu bertanggung jawab. Suasana di sekitar Emilio cukup sunyi, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Elijah, namun tidak ada yang menjawab. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Ditatap oleh mata tajam Emilio, Dira tidak berani menyembunyikannya lagi, ia pun menceritakan dengan jelas. “Sial, siapa yang berani menyentuh istriku?” Emilio merasa cemas setelah mendengarkannya. Mata Emilio suram karena ekspresi wajahnya yang dingin. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan Elijah sekarang? Emilio menghubungi seorang pejabat publik. Lalu Emilio, Sebastian dan Dira masuk ke dalam mobil dan memintanya untuk mencari tahu lokasi Elijah sekarang Pejabat publik sangat gugup mendengar nada serius dari Tuan muda Emilio, dia tidak berani bergerak lambat, dia pun segera memeriksanya, hal yang tidak terduga adalah plat mobil yang terekam cctv itu merupakan sebuah mobil milik perusahaan jasa. Melihat cctv Emilio dapat mengenali
Di tengah kegelapan malam, dan pencahayaan yang kurang Emilio menerobos. Kali ini Eito tidaklah main-main. Pada dasarnya dia juga memiliki masalah psikologis, dia biasanya suka menyiksa orang dengan pilihan yang membosankan ini, dia pasti akan melakukannya atas pilihannya sendiri. Emilio juga bertaruh, bertaruh di saat-saat kritis seperti ini bahwa mereka tidak akan melakukan apa pun pada Elijah. Emilio disergap dalam kegelapan dengan cepat menggerakkan tangannya. Tak lupa Sebastian membantunya. Melihat peluru dari beberapa pistol terbang dengan cepat, para penjahat yang masih menunjukkan sikap sombong itu jatuh satu demi satu. Tibalah saat Emilio bertemu dengan Eito. Dua orang yang pernah menjadi saudara itu saling tikam. Saat Emilio tengah lengah tiba-tiba saja Eito datang menghunuskan pisau belati ke arah pinggang Emilio dan mendorongnya, lalu menekannya pada dinding usang. “Kamu ingat sekarang? Kamu yang menyuruhku melakukannya dengan tangan tanganku sendiri jika membunuhmu.”
Elijah kali ini tidur sangat nyenyak, dalam keadaan tidak sadar, dia sepertinya merasa ada yang menggendongnya, pelukan orang itu begitu hangat dan lapang, seperti lautan yang mengelilinginya, seolah memberinya ketenangan pikiran. Dira menunggu Elijah dengan tenang dan sabar, raut wajahnya menunjukkan kecemasan tapi dia berusaha menekannya. Ia mengusap keringat pada dahi Elijah. Dira tidak pernah berpikir jika hari-hari gila akan kembali pada Elijah. Pintu di geser menunjukkan sesosok pria tinggi dah gagah, wajahnya terdapat banyak goresan. Sebastian datang untuk melihat keadaan Elijah. “Anda sudah datang Tuan?” Dira setengah membungkuk saat melihat Sebastian masuk ke dalam. “Bagaimana keadaannya?” Sebastian bertanya. “Keadaannya baik-baik saja, hanya sedikit shock. Dokter bilang semuanya baik-baik saja hanya tinggal menunggunya siuman.” “Syukurlah, aku selalu berdoa semoga Elijah tidak kenapa-kenapa.” Dira menundukkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Sebastian, tangannya sediki
Elijah sudah bersiap untuk pergi meninggalkan rumah sakit. Dokter sudah menyatakan dirinya sembuh, jadi tidak ada alasan lagi untuknya tinggal di rumah sakit. Pengasuh sedari tadi mengamati Elijah yang termenung tepat di depan jendela, sorot matanya begitu kosong.“Nyonya muda, semuanya sudah siap.” Pengasuh menghampirinya.Elijah berbalik, seutas senyum terpancar di wajahnya. Ia bangkit, tubuhnya dibalut gaun putih yang sangat cantik dan anggun, ia berjalan lebih dulu diikuti pengasuhnya di belakang. langkahnya gontai tanda dia tidak bersemangat melanjutkan harinya.Saat tengah berjalan di koridor, Elijah menghentikan langkah kakinya. Ia berdiri tepat di depan pintu bangsal di mana Emilio tengah dirawat. Dari celah kaca. Elijah dapat melihat tubuh kaku Emilio yang terbalut selimut, alat-alat medis yang dingin terpasang di tubuhnya.“Apa kamu tidak berniat untuk bangun? Memang benar, seharusnya kita tidak bersama, dan kamu juga tidak akan kehilangan begitu banyak. Maafkan aku yang har
Hari sangat cerah, langit biru, bening tak berawan sungguh indah dan memesona. Setelah melakukan semua prosedur, akhirnya Elijah pun naik ke dalam pesawat. Dia masuk ke dalam kelas bisnis, karena mengingat sedang hamil. Dia harus membuatnya nyaman selama penerbangan yang cukup lama. Tak lama setelah menunggu akhirnya pesawat pun lepas landas. Elijah memejamkan matanya, mencoba untuk menekan kesedihan yang kian menyesakkan.Di rumah sakit.Emilio untuk pertama kalinya dia membuka matanya, sesaat dia menatap langit-langit berwarna serba putih. Sementara tubuhnya tergeletak di atas ranjang. Ia melirik ke sekiling tidak ada seorang pun yang menjaganya. Emilio dengan susah payah. Ia duduk di ranjang, sesekali menahan sakit.Pintu terbuka, Emilio berbalik melihat siapa yang datang, detik berikutnya wajah yang awalnya bersemangat itu kini berubah muram. Tampak sosok tua berjalan masuk ke dalam. Ada kebahagiaan di dalam wajahnya. Anak semata wayangnya itu sudah kembali dari kematian.“Emilio!
Di tengah pikirannya yang kacau, dia menarik jarum infus yang terpasang di punggung tangannya dengan ganas. Darah menetes di sana. Emilio mengambil pakaian ganti. Mengganti pakaiannya lalu beranjak pergi. “Kamu mau ke mana? Kamu belum pulih Emilio!” Sebastian berteriak berusaha menghentikan Emilio untuk pergi. Tapi dia dorong hingga terhuyung ke belakang. Diri Emilio sedang dikuasi oleh amarah yang kian memuncak hingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Dengan wajah pucat Emilio memberhentikan taksi di depan rumah sakit. Dia naik taksi. Mobil taksi pun meluncur, di tengah gerimis mengundang. Di dalam Mansion utama keluarga Xavier, Earnest beserta tuan besar Xavier tengah berbincang di ruang tamu. Di tengah gelak tawa itu terksan sangat renyah. Seketika canda tawa itu berubah suram saat Emilio memaksa masuk, ia menendang pintu dengan keras. Suara yang dihasilkan memekakkan telinga semua orang. Emilio berjalan masuk dengan tubuh sedikit basah. Air menetes dari pakaiannya, matan