"Mas, Ikbal .... "
Waktu seolah melambat, ingat kejadian waktu kami di SMA. Saat itu Mas Ikbal sudah menyatakan perasaannya padaku, hanya saja kukatakan kalau dia serius langsung saja datang ke rumah untuk bicara dengan orang tuaku. Tanpa kuduga, hari di mana kami menerima ijazah ia datang. Benar-benar bicara pada Bapak, aku pikir bapak akan setuju, nyatanya bapak menentang keras niat baiknya.
"Mau kamu kasih makan apa anakku? Baru aja lulus sok sok an mau serius, kerja dulu yang bener."
"Saya akan kuliah di luar kota, Pak. Maksud saya akan mengajak serta Aida bersama saya. Karena itu saya berniat menikahinya."
"Nggak ada, sekolah dulu yang bener, kalau sudah lulus cari kerja yang bagus, baru kalau mau nikahin anak saya."
Aku yang mendengar percakapan mereka dari balik pintu kamar hanya bisa menahan sesak. Aku pikir Bapak akan setuju, aku pikir kami akan bersama, nyatanya harapan tinggalan harapan. Rasa yang sama-sama sudah kami pendam sejak lama, terpaksa harus kami kubur dalam-dalam. Mas Ikbal pergi dengan raut wajah kecewa, sementara aku? Diam-diam menangis sesenggukan dalam kamar.
Bertahun-tahun Mas Ikbal tak ada kabar, aku mencoba membuka diri untuk laki-laki lainnya. Beberapa kali memiliki kenalan, sayang niat mereka hanya mengajak pacaran sehingga kutolak. Sampai waktu itu datang, Mas Dwi dengan gagah perkasa datang ke rumah. Perkenalan kami selama 1 tahun tanpa sengaja menjadi awal keseriusan ini.
"Pak, dengan kerendahan hati saya mengajukan ijin untuk menikahi putri Bapak."
Jika Mas Ikbal berjuang sendiri, kali ini Mas Dwi aku temani. Aku duduk di samping ibu dan Bapak ikut mendengarkan maksud kedatang Mas Dwi dengan perasaan campur aduk. Aku takut kejadian seperti Mas Ikbal terulang lagi, tapi ternyata.
"Kamu sudah kerja?"
"Sudah, Pak"
"Bisa ngaji?"
"InshaAllah."
"Salat 5 waktu?"
"Alhamdulillah belum pernah tinggal barang sekalipun selama ini karena itu wajib untuk kita semua."
"Bisa jadi imam?"
"Alhamdulillah di rumah, saya sering meng-imami keluarga saya."
"Bisa berjanji satu hal sama saya?"
"Bisa, Pak."
"Aida adalah putri kesayangan saya, sampai kapanpun akan tetap seperti itu. Dari kecil hingga sebesar ini kami besarkan dia dengan penuh kasih dan sayang. Kami usahakan semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Kami ajarlan norma-norma agama dan batasan dalan kehidupan. InshaAllah anak kami akan berusaha jadi istri yang baik. Sempurnakan dia menjadi wanita salehah dengan tuntunanmu. Karena nanti kau adalah nahkoda yang akan membawa kemana kapal akan berlayar. Kunci kebahagiaan, kedamaian dan keberhasilan keluargamu ada di pundakmu.
Aida, bukanlah gadis yang sempurna. Dia juga memiliki sejuta kekurangan yang dibalut sedikit kelebihan. Maka dari itu saya minta kamu sabar menghadapinya. Jika suatu saat dia membuat kesalahan yang fatal dan kamu tidak bisa memaafkannya, jangan sampai hati kamu memukulnya. Jangan kamu tinggikan suaramu sehingga membuat hatinya hancur berkeping-keping. Karena demi Allah, sebagai bapaknya yang mengurusnya dengan penuh kasih saya tidak akan sanggup mendengarnya. Maka dari itu, jika suatu saat kamu tak mampu lagi membimbingnya, antarkan dia kembali pada kami secara baik-baik sebagaimana kau mengambilnya dengan cara yang baik. Berjanjilah .... "
Hatiku mencelus mendengarnya. Air mataku tumpah menganak sungai. Aku memeluk ibu dengan linangan air mata, sementara ibu berusaha menenangkan. Begitu berartinya diri ini untuk bapak, sementara aku pernah berpikir Bapak jahat karena pernah menolak lamaran Mas Iksan, ternyata ini alasannya. Beliau tidak mau anaknya jatuh pada tangan laki-laki yang salah. Beliau ingin memastikan bahwa anaknya ini mendapatkan pria terbaik dan mapan. Semua demi kebahagiaanku, demi kelangsungan hidupku setelahnya.
"Saya berjanji, Pak."
Hening, bapak menoleh ke arahku, seolah memberi tahu kalau Mas Dwi adalah orang yang pas untuk menjadi pendamping hidupku.
"Baiklah, kamu saya terima menjadi calon menantu."
"Alhamdulillah ...," ucap Mas Dwi lega.
Hari itu menjadi awal mula semuanya. Satu bulan setelahnya pria itu datang membawa rombongan keluarga. Sayang beberapa bulan setelah menikah bapak berpulang. Mas Dwi benar-benar membuktikan janjinya pada Bapak karena dia benar-benar menjadi suami yang nyaris sempurna.
"Ai, kamu ... Apa kabar?" tanya Mas Ikbal yang membuyarkan lamunan.
"Ba ... baik alhamdulillah, Mas."
Karena antrian dibelakang sudah menunggu akhirnya Mas Ikbal jalan bersama rombongan pengantin lainnya. Sesekali ia menoleh ke arahku, sementara aku terus mengalihkan fokus dan pandangan supaya tak tertuju ke sana.
"Siapa, Ai?" tanya ibu tiba-tiba yang membuatku gelagapan.
"Eh, itu ... itu teman Aida waktu di SMA, Bu."
"Oh, ganteng ya .... " Ibu mencubit kecil pinggangku yang membuatku jadi merasa tidak enak.
Acara ijab kabul berlangsung. Saat acara di dalam rumah, posisi Mas Ikbal pas berseberangan denganku. Aku terus menunduk, sesekali mengusap kening dengan tisu, karena tatapannya sungguh membuatku tidak nyaman sehingga menimbulkan bulir-bulir bening di kening ini. Bayang-bayang wajah Mas Dwi tiba-tiba berkelebat di pelupuk mata. Aku memejam, berusaha menghalau perasaan yang ada. Rasa cinta di hatiku untuk almarhum suami masih begitu besar. Tapi tidak dipungkiri bertemu dengan Mas Ikbal secara tiba-tiba cukup membuatku salah tingkah.
Aku permisi, masuk ke kamar pengantin untuk menghindari tatapannya. Bahkan hingga acara selesai aku masih bertahan dalam kamar bersama periasnya. Aku keluar saat pengantin sudah dibawa ke panggung. Nampak para tetangga sibuk mempersiapkan semuanya. Aku mencari keberadaan Zaka, karena sebentar lagi jam makan siang, pasti ramai para tamu mengantri untuk makan. Aku tak mau anak itu mengganggu jalannya acara. Saat mencari keluar ternyata Zaka bersama Mas Wijaya.
Anak itu melambaikan tangan saat melihat ke arahku yang kubalas dengan senyum. Aku duduk dalam tenda, bagian belakang. Tanpa kusangka tiba-tiba Mas Ikbal duduk di sampingku. Padahal sejak tadi aku menghindar, kenapa sekarang dia ada di sini sih?
"Maaf, aku ganggu nggak?" tanyanya sambil memperhatikan orang yang berceramah di atas panggung.
"Ehh, nggak juga, Mas." Aku berusaha bersikap biasa saja.
"Sebelumnya selamat atas pernikahanmu dulu."
"Makasih."
"Aku, saat itu datang setelah mendapat kabar dari salah seorang teman kalau kamu sudah sebar undangan." Aku diam saja. "Kamu tahu, aku sengaja tak memberi kabar. Niatnya ingin memberi kejutan, saat itu aku baru diterima kerja, niat hati Ingin menabung dan saat pulang langsung melamarmu. Sayang, ternyata takdir berkata lain."
Ada yang menyumbat tenggorokan mendengar ini. Semoga mataku tidak gerimis. "Oh, mungkin kita tidak ditakdirkan sama-sama, Mas. Eh, kemana istri dan anakmu? Tidak ikut?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Aku belum menikah, Ai. Aku tidak bisa mencintai wanita lainnya seperti aku mencintaimu. Bodoh, memang. Padahal jelas-jelas kamu sudah menikah dengan orang lain. Berulang kali aku coba membuka hati, tak ada yang benar-benar nyangkut di sini." Ia memegang dadanya.
Reflek aku menoleh ke arahnya. Senyum getir tercetak jelas di wajah yang makin matang itu. Mas Ikbal menggelengkan kepala seraya tersenyum, seolah menertawakan kebodohannya sendiri. Aku yang sejak tadi berusaha menahan gejolak dalam dada, kini tak bisa berpura-pura lagi. Cepat kuusap ujung mata mendengar kenyataan ini.
"Hidupku memang semenyedihkan itu, Ai. Bahkan kini keponakanku menikah lebih dulu." Ia menatap dua pengantin yang duduk di atas sana.
"Maaf, Mas. Aku harus bantu-bantu di belakang."
Aku hendak berdiri, tapi kata-katanya membuatku mengurungkan niat.
"Ai, aku juga tahu suamimu sudah berpulang."
Posisiku yang nyaris berdiri, jadi duduk lagi. Kini aku yang tersenyum getir "Dia, suami terbaik, Mas," sahutku lirih.
"Aku kenal dengannya, meskipun tak begitu dekat. Tapi aku tahu dia laki-laki yang pantas bersanding denganmu. InshaAllah dia sudah tenang di sana. Dia pasti bangga denganmu. Wanita tangguh dan kuat. Yang rela bersusah payah dan berjuang memberikan hidup yang layak untuk anaknya. Kamu, luar biasa Ai."
Aku bingung harus berkata apa, sehingga hanya mengucapkan terimakasih dan pergi dari sana. Sampai acara selesai aku memutuskan tidak lagi balik ke tenda. Aku hanya di belakang membantu yang lainnya. Ibu memanggil saat rombongan besan akan pulang. Sehingga mau tidak mau aku keluar lagi karena tidak enak dengan ibu. Aku berdiri di antara rombongan pihak pengantin perempuan untuk mengantar kepulangan keluarga besar mereka.
Hingga tibalah saat aku bersalaman dengan Mas Ikbal. Dia tersenyum dan berkata, "Permisi pulang duluan ya, Ai."
"Oh iya, hati-hati di jalan, Mas."
"Makasih .... Boleh minta nomor W******p?"
Mataku membulat. "Aku ... aku nggak punya nomor w* Mas, hapeku hape jadul biasa."
"Oh ya udah."
Ia berjalan ke arah mobil bersama keluarga besar lainnya. Sesekali masih menoleh dan melempar senyum.
"Kenapa nggak di kasih, Ai?" tanya ibu tiba-tiba yang membuat aku kaget luar biasa. Bagaimana bisa aku lupa kalau di sampingku ada ibu mertua.
"Eh, nggak apa-apa, Bu."
"Siapa tahu dia laki-laki yang baik," lanjut Ibu seraya tersenyum.
**
Malamnya saat acara buka kado di kamar Prista. Aku mendengar Mbak Retno dan Mbak Husna seperti membicarakanku saat aku kedapur karena Zaka mengeluh haus.
"Menurutmu ganjen nggak sih orang itu, Mbak?" tanya Mbak Retno.
"Ya iyalah, baru juga setahun menjanda sudah cari gebetan. Dia tahu banget yang kaya dan mapan."
"Menurutmu apa laki-laki itu suka beneran sama dia?"
"Mana ada perjaka mau sama janda. Soalnya pas aku liat mereka ngobrol tadi, aku langsung nanya sama salah satu pihak keluarga rombongan dari pengantin pria. Katanya dia masih bujangan. Aku yakin dia cuma mau enaknya aja. Janda gitu loh kan beda sama perawan. Kalau janda kan nggak masalah di apa-apain." Tawa mereka berderai.
Tanganku mengepal kuat. Mereka pikir aku tidak punya harga diri yang mudah di apa-apain sama lelaki karena statusku yang sendiri.
'Astaghfirullah .... '
Aku memejamkan mata mencoba meredam emosi.
Aku hendak mendekat, tapi terdengar suara Mas Teguh menegur mereka lebih dulu."Ini ngomong apa sih? Di dalem orang lagi sibuk buka kado rame-rame kok malah asik ngerumpi di sini? Masuk sana, Ma!""Baru juga mau cerita, Mas!" sahut Mbak Husna kesal.Aku langsung kembali masuk ke ruang tengah di mana semua orang sudah berkumpul untuk membuka semua kado yang di dapat. Sebelumnya kulihat Zaka yang ternyata sudah terlelap di kamar Ibu bersama Ika, anaknya Mbak Retno, padahal aku sudah membawakan segelas air putih karena tadi ia sempat mengeluh haus. Setelah yakin mereka sudah nyenyak, aku langsung bergabung bersama yang lainnya.Aku duduk di dekat Prista dan Ganang. Mereka berdua nampak bahagia dan semringah. Jadi ingat saat pertama kali aku menikah. Aku pun merasa kan demikian, lalu seketika duniaku hancur saat Mas Dwi pergi menghadap Sang Pencipta lebih dulu."Mbak, mau
"Pagi, Pak .... " sahutku masih tidak percaya.Tertera nama Ikbal di papan nama yang mengait di bajunya. Bagaimana bisa kami bertemu di sini. Aku berusaha kembali fokus bekerja, tak kuhiraukan senyuman tipis Mas Ikbal berdiri di sana, masih terus menatap. Andi Susi tahu kalau laki-laki itu hampir saja menjadi suamiku. Ah, kenapa dunia begitu sempit. Mereka sempat berbincang sebentar, lagi Mas Ikbal naik ke lantai atas."Ai itu namanya Pak Ikbal.""Oh, iya." Hanya itu yang bisa kukatakan."Cakep, ya!" Susi senyum-senyum mengatakan semua itu."Oh, iya," sahutku lagi, masih sibuk mengelap atalase dalam ruangan ini."Ai! Kok oh iya terus sih. Jangan jangan nanti berubah jadi oh yes oh no, oh yes oh no.""Susi! Kamu apaan sih?!" Aku mulai terusik, candaannya pagi ini sungguh tidak lucu bagiku."Becanda, Ai. Kamu kena
"Enak, Ai?" tanyanya seraya tersenyum.Aku tak menjawab, hanya mejawab pertanyaannya dengan senyum tipis. Sumpah, rasanya mie ini nyangkut di tenggorokan. Semoga Mas Ikbal tidak berpikir yang tidak-tidak. Kemudian mereka kembali terlibat obrolan soal pekerjaan."Kenapa, Ai? Dari pagi sikap kamu agak aneh deh," protes Susi. Ia kemudian menoleh ke belakang. "Wah, ada ayam geprek! Punya siapa ini, Ai?" teriak Susi girang yang membuat dua laki-laki yang terlibat obrolan serius itu menoleh seketika."Pu ... punyaku.""Wahh kebetulan! Aku belum makan, Ai. Tadi di rumah pas masak nasi lupa tekan tombol merahnya, jadi nggak masak. Ai minum air putih aja. Boleh ya Ai, kamu kan dah makan mie ayam. Please .... " Wajah Susi memelas persis seperti anak kucing yang minta ikan asin. "Please .... "Bismillahh. "Ya.""Horee!! Makasih ya, Ai. Saha
“Mas, maksudnya ini apa?” “Ai, buat anak kamu. Terimalah, kali ini aja, Ai.”“Aku tanya, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku mau beli ini tadi?” “Aku ngikutin kamu dari rumah.”“Kamu tahu rumah aku?” Pria itu mengangguk. “Kamu mata-matai aku, Mas?” “Bahasanya bisa lebih sederhana nggak? Aku bukan detektif yang mata-matai kamu. Aku cuma nggak sengaja lihat kamu di jalan. Penasaran, dan akhirnya memastikan kamu baik-baik saja sampe rumah.”“Kapan?” Mas Ikbal menarik napasnya, lalu berkata, “Setiap hari. Nggak ada maksud memata-matai, cuma ingin memastikan kamu selamat sampe rumah.”“Mas, aku bukan anak kecil yang harus diawasi seperti itu.”Tidak berapa lama, datang Pak Renaldi. Dia tampak keheranan melihatku duduk di sini. Pria itu mendekat, dan berdiri di dekat kami berdua. “Rapat apa, ya? Kok, aku nggak tahu, Pak Ikbal? Soalnya, harusnya kalau mau rapat sama para SPG, bukan sama Aida.” “Maaf, Pak. Saya hanya ingin bicara sedikit,” sahut Mas Ikbal.“Mengenai apa? Jangan bilang m
Gontai, aku menyusul masuk, setelah memarkir sepeda motor di teras samping rumah. Tampak Mas Ikbal langsung terlihat akrab mengobrol dengan Ibu di dalam. Aku langsung menuju kamar dan meletakkan tas, selanjutnya membuat teh hangat untuk Mas Ikbal. “Bu, Zaka mana?” “Ngaji di musala, Ai.”“Sama siapa, Bu?” “Berangkatnya tadi ikut Pak Rahmat, sekaligus nganter anaknya Fahmi ngaji.” “Pulangnya nanti sama siapa, Bu?” “Kamu jemput aja, Ai. Soalnya, tadi Pak Rahmat berpesan dia tidak bisa jemput, mau yasinan.” “Oh, iya deh. Kalau gitu, aku mandi dan salat dulu, ya, Bu, Mas.” “Cepet gantian, kasihan Nak Ikbal sendirian.” “Eh, aku juga mau salat, Bu. Silakan kalau mau salat, aku ke musala aja. Sekalian, nanti jemput Zaka pulang.” Aku yang hendak masuk kamar menghentikan langkah. “Mas, nggak perlu. Aku bisa sendiri.”“Bahaya juga malam-malam begini kamu mau jemput Zaka. Lagian, tadi Ibu lihat motormu rusak, kan, Ai?” “Ah, iya. Sepeda motorku rusak.” Aku menepuk kening.“Sudahlah, Ai.
Hari ini, aku ada pertemuan wali di sekolah Zaka. Karena sekolah itu tidak terlalu jauh, jadi aku memutuskan jalan kaki bersama ibu-ibu yang lain. “Bunda Zaka, yang semalam itu calonnya, ya?” tanya Bu Purnimi, tetangga sebelah rumah.“Semalam?” tanyaku belum nyambung.“Iya, semalam aku lihat ada cowok keren datang ke rumah Bunda Zaka. Cakep, dan masih muda, loh, Bun.” “Wah, iyakah? Kerja apa calonnya, Bun?” Kali ini Bu Rusni yang penasaran. “Bunda Zaka mah enak. Masih muda dan cantik, pasti banyak pria tajir yang mau dijadikan suami. Tapi ya itu pasti awalnya aja sayang sama anak kita. Setelah dapet, bisa jadi dia keberatan tinggal serumah dengan anak kita,” Bu Helda menimpali.“Wah, iya. Banyak contohnya. Itu kasus artis bule itu, kan. Awalnya dipuji-puji ini itu, setelah nikah ... kasar sama anak sambungnya. Sampe dijejeli sambal, karena kesal anak itu nggak doyan makan pedas,” sahut Bu Purnimi. “Eh, ibu-ibu, itu hanya teman kerja saja. Kebetulan, kemarin aku dapet musibah. Sepe
Aku dan Mas Ikbal saling tatap. “Bukan apa-apa,” sahut kami serentak, yang memancing Susi tergelak.“Apaan, sih? Kok, bisa samaan gitu, ya?” Aku menunduk dalam, malu. Iya, kenapa bisa barengan ngomongnya?“Eh, kalau gitu, saya naik ke atas dulu. Permisi.” Aku diam saja, hanya Susi yang menjawab. “Oke, Pak.” Setelah menjawab itu, Susi duduk di sampingku. Sikunya terus menyikut lengan ini.“Apa?” tanyaku sewot. Aku tahu, dia pasti kepo.“Kalian tadi ngomong soal apa, sih?” “Bukan apa-apa.”“Ai, jujur aja, lah.”“Udah dibilang, bukan apa-apa.” “Pelit banget, ngasih info gitu aja.” Aku menyibukkan diri dengan memeriksa catatan buku panjang, sementara Susi menjauh dan duduk di meja kasir sambil geleng-geleng kepala. Duh, Mas Ikbal, kenapa juga bersikap seperti itu? Buat Susi curiga aja! Curiga? Emang kami kenapa? Toh, kami nggak ada apa-apa, kan? Cuma ... ya, aku belum cerita juga, sih, ke Susi soal masa laluku dan Mas Ikbal. Insyaallah nanti deh aku cerita, supaya dia nggak kepo. Ha
“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke