Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci
Kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Mas Ikbal tersenyum kecil, kemudian menarik kursi, dan mempersilakan Pak Renaldi bergabung bersama kami. Aku melirik Susi. Dia terlihat menepuk kening. “Saya ingin memberi tahu sesuatu, Pak.” Mataku melotot. Jangan-jangan ... Mas Ikbal mau bicara soal kami pada Pak Renaldi. Entah mengapa, suasana hatiku makin tidak menentu. “Soal apa, Pak?” Aku menggeleng pelan sambil terus menatap Mas Ikbal. Entah mengapa, aku tidak ingin dia mengatakan soal kami pada bosku. Namun, Mas Ikbal tidak mengacuhkanku. Dia tersenyum tipis, dan kembali menatap Pak Renaldi. “Soal apa, Pak? Ayo katakan, jangan buat saya penasaran!” desaknya dengan nada bercanda. “Ini, penjualan HP merek yang kami pasarkan naik pesat. Saya bersyukur.” “Oh, soal itu. Alhamdulillah. Berarti para SPG berhasil menaikkan omzet penjualan kita.”“Iya, alhamdulillah.” Aku lega, karena Mas Ikbal tidak mengatakan hal yang aneh-aneh. Kulihat mereka bercerita banyak hal. Aku dan Susi melanjutkan
Karena makin kesal, aku memutuskan masuk kamar. Ke mana Mbak Retno? Biasanya dia paling kepo, kalau ada Mas Ikbal ke sini.Sampai di kamar, aku duduk di sisi ranjang. Kemudian berpikir setelah cukup tenang. Sikapku barusan, apakah pantas pada Mas Ikbal? Niat dan maksudnya baik, menolongku menjemput Zaka. Anak ini juga senang dijemput, diberi perhatian, dan diajak main di rumah.Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Zaka sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Mas Dwi, lalu mencium hangat puncak kepala anak ini. Ada bongkahan penyesalan sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf, ya, Nak,” bisikku di telinganya, lalu mencium lama kening Zaka sambil memejamkan mata. Setelahnya, kubelai rambut Zaka yang ikal. Aku tersenyum getir melihatnya sedang terlelap seperti ini. Mengapa aku harus marah? Mengapa? Ah, kenapa aku baru menyesal setelah melakukannya? Jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan kejadian di konter tadi siang? Apa benar, aku ... cemburu, sehingga apa pun yan
Kami duduk di sebuah taman. Kanan kiri ramai juga orang-orang berbincang, ada yang dengan pacar, ada juga dengan keluarga kecil. Mas Ikbal permisi sebentar, entah ke mana. Kepalaku menoleh ke segala penjuru arah memperhatikan mereka. Di depan sana, tampak keluarga kecil yang bahagia. Sang ayah dengan riangnya menggendong anaknya di punggung bagian belakang, sementara sang ibu mengejar. Tawa riang mereka menghangatkan hatiku. Andai Mas Dwi masih ada, pasti kami akan bahagia seperti itu. “Ini buat kamu!” Aku menoleh, dan mendapati Mas Ikbal menyodorkan sebuah es krim padaku. Aku menerima, membuka, lalu memakannya. “Katanya, es krim itu bisa mengubah mood seseorang. Dari sedih jadi happy, dan ... dari yang gampang marah jadi lebih sabar.” Aku diam saja, masih asyik menikmati es krim di tangan. “Kayak kamu!” Refleks, aku menoleh ke arahnya. Mas Ikbal tertawa. “Bercanda, Ai. Hahaha.” “Ish!” seruku kesal. “Tuh, kan, kamu tuh gampang banget marah. Perasaan, dulu kamu sabar, deh, Ai.
Mati. Setiap makhluk yang bernyawa, pasti akan mengalaminya. Tidak peduli dia sehat ataupun sakit, muda ataupun tua, kaya ataupun miskin. Kematian itu pasti menghampiri. Tiga kali ditinggalkan orang terkasih, bukan hal yang mudah bagiku. Meskipun kata ikhlas sering kali terlontar pada setiap orang yang datang untuk memberikan kekuatan, nyatanya aku tidak sekuat itu. Bapak, Mas Dwi, dan kini Ibu. Mereka semua bagaikan pelita dalam kehidupanku, dan satu per satu dari mereka meninggalkanku.Tapak demi tapak kenangan membayang di pelupuk mata, mengumpulkan buliran bening yang seolah tanpa jeda mengalir dari sumber mata. Aku terus berusaha tegar demi Zaka. Anak itu satu-satunya manusia yang memiliki aliran darah dari ketiga orang yang kuanggap pelita, pun buah hati yang kupunya. Beruntun pertanyaan dari bibir mungilnya membuat jiwa dan ragaku beku. Aku tidak kuasa menjawab dan menjelaskan, karena pada akhirnya rasa sakit itu kembali membuat hati ini terluka.Semua orang mencoba menjelaskan
Aku menatap nisan Mas Dwi dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan. “Kamu tetap yang bertakhta di hatiku. Meskipun ragamu tidak bersamaku, tapi kenangan dan cintamu selalu ada di sini.” Aku meletakkan tangan di dada. Tepat di hati. Setelah itu, aku mendekati makam Ibu. Aku duduk untuk mengusap nisan Ibu. “Bu, apa kata-kata Ibu yang sering memintaku menikah—karena Ibu takut meninggalkanku sendiri di dunia ini—adalah sebuah firasat? Mengapa Ibu tidak menitip pesan apa-apa padaku? Mengapa Ibu tidak tinggal lebih lama di dunia ini untuk menemaniku?” Aku mengusap sudut mata, lalu memejam, berusaha mengusir sesak yang terus berdesakan dalam dada. Aku harus ikhlas akan ketetapannya. Tidak boleh meratap, karena harus mengirimkan doa untuk ketenangan Ibu di sana.“Bismillah, ikhlas, ikhlas, ikhlas, “ ucapku lirih, lalu membuka kelopak mata. Aku berusaha tersenyum, supaya Ibu tahu aku adalah wanita yang kuat dan tegar. Aku baik-baik saja bersama Zaka. “Bu, aku berniat mengakhiri kesendiriank
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa bekerja dengan tenang, meskipun tidak lama lagi akan berhenti dari sini. Sejak hari itu, sikap Pak Renaldi sangat berbeda. Dia jadi jarang menyapa, apalagi menggoda. Aku bersyukur, hanya saja ... kadang merasa tidak enak. ***“Saya terima nikah dan kawinnya Aida Syerli Yuliana binti Joko Santoso dengan Mas Kawin yang tersebut tunai!” “Sah?” “Sah!” jawab para saksi. Akhirnya, hari ini kami sah menjadi suami istri. Menikah di KUA dan akan mengadakan resepsi di kota. Kami menikah dihadiri keluarga dari Mas Dwi dan keluarga Ganang, sepupu Mas Ikbal. Mas Ikbal menikahiku dengan mas kawin seperangkat alat salat lengkap. Selesai menikah, kami langsung pulang ke rumah. “Alhamdulillah, akhirnya kalian sudah sah,” kata Ibu Mertua, saat kami semua duduk di ruang tamu.“Lagi hoki aja,” sahut Mbak Retno lirih, tapi aku masih bisa mendengar.“Kita lihat aja ke depannya bagaimana. Apa pria itu bisa tulus menyayangi Zaka?” bisik Mbak Husna pada Mbak Retno.Wajah
Aku kembali menoleh, dan menatap wajah pria muda ini dengan tajam. Pengakuan soal Aida dan kejujurannya soal perasaannya, membuat hatiku tersayat-sayat. “Kakak tahu? Karena Mbak Aida, pandangan saya tentang wanita berubah. Dulu, saya pikir, wanita baik-baik itu hanya ada dalam novel dan film, ternyata di dunia nyata ada, dan wanita itu adalah istri Anda.” Pandangan pria bernama Faaz ini menerawang, seperti membayangkan, kemudian lengkungan kecil tercetak di sisi bibirnya.Apa mungkin dia membayangkan istriku? Makin panas rasa hati.“Lalu, aku menemui Anis untuk membatalkan perjanjian kami. Di sana, aku mendengar dia menelepon papanya. Katanya, mereka akan menculik Zaka, dan menggunakan anak itu supaya Mbak Aida mau menuruti semua kata-kata mereka. Satu yang ada dalam pikiranku, aku harus menolong anak itu. Karena jujur, aku pun sudah menyayanginya seperti adik, atau bahkan anakku sendiri.”Emosiku tidak terkendali. Aku mendorong dada Faaz dan memegang kerah bajunya, kudekatkan wajah d
Melihat sikap tak acuh Ikbal, membuat hati wanita itu bertanya-tanya. Niatnya ingin bercerita soal Zaka diurungkan olehnya. Apa Mas Ikbal sedang banyak masalah?' “Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu.” Aida berusaha mencairkan suasana.“Kenyang.” Ikbal berdiri, menuang air putih dan menenggaknya hingga habis, setelah itu langsung masuk ke kamar. Aida mengamati, hingga punggung pria itu hilang dari pandangan. Dibukanya kantung berwarna hitam berisi bakso yang dibeli oleh Ikbal. Wanita itu membukanya satu, lalu menuangnya ke mangkuk. Awalnya Aida berusaha bersikap biasa saja memakan bakso itu sendirian, tapi semakin lama ... rasa sedih mendera jiwa sehingga membuat wanita itu terisak. Aida terus berusaha tegar, menghapus tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Bukankah ini bagus, sebulan bukan waktu yang lama. Entah apa alasan Mas Ikbal bersikap demikian, tapi bukankah dia akan baik-baik saja saat nanti aku meninggalkannya? Aida terus saja berkata sendiri dalam hati. Meskipun jauh
“Aku tidak akan percaya. Tidak, Aida bukan wanita seperti itu,” katanya dengan pandangan yang nanar sambil mengalihkan pandangan. “Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya.” Ikbal duduk di kursi kerjanya sambil meremas semua foto yang ada, dan melemparnya ke kotak sampah begitu saja. “Demi Allah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Papa. Maka dari itu, stop memfitnah istri salihahku.”“Hah, kita lihat saja, Ikbal. Suatu saat nanti, kamu akan mengakui kalau Aida itu bukan wanita yang baik. Kamu akan bersujud di kaki Papa untuk meminta maaf, karena sudah menentang Papa demi wanita itu.” Kemudian Aji Wijaya berdiri, dan keluar dari ruangan Ikbal. Ikbal masih diliputi rasa cemas. Dia berusaha terus berpikir positif, tapi foto-foto itu. “Astagfirullah,” ucapnya lirih, kemudian menunduk seraya meremas kepala.***“Masak apa, Ai?” tanya Ikbal, saat mereka sudah duduk di kursi meja makan.Aida menuangkan air putih ke dalam gelas keramik berwarna putih, lal
Aida bingung harus bersikap bagaimana. Dia pikir pria itu hanya bercanda, nyatanya Faaz tidak berbohong. Ya, dia benar-benar seorang pria penghibur, dan itu membuat Aida kaget luar biasa. Mengapa kami bisa dipertemukan seperti ini? tanyanya dalam hati.“Mbak, ini takdir. Mungkin hidayah itu Allah turunkan melalui Mbak. Aku tidak takut meninggalkan kemewahanku. Aku datang ke sini menggunakan kendaraan umum. Mobil milik tante itu sudah aku kembalikan, karena itu memang bukan milikku. Terima kasih atas pencerahannya selama ini.”Aida masih kebingungan harus bersikap bagaimana. Selama ini, dia kenal dan hidup di lingkungan orang-orang baik. Paling parah orang yang dia temui adalah Mbak Retno dan Husna, kakak iparnya sendiri. Itu pun hanya sebatas ribut-ribut kecil, karena sifat mereka yang suka usil. Aida berjalan mundur, hanya saja tatapannya tidak lepas dari pria itu.Semenjak tinggal di kota, hidupnya semakin kacau. Bertemu dengan papanya Ikbal yang mengancam akan mencelakai Zaka, bert
Mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa bicara dengan Mama. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mama berjalan lebih dulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.Kini kami duduk di sebuah kafe yang tertutup. Sepertinya tempat ini ruang privasi, karena tidak ada orang lain selain kami. “Apa kabar?” Mama membuka obrolan, setelah cukup lama bungkam.“Baik, Ma. Alhamdulillah.”“Anakmu?”“Baik juga.”Lalu dia mengangkat gelas teh, dan meminumnya dengan anggun. “Aku tahu apa yang sudah dilakukan suamiku padamu, Aida. Karena itu, atas nama keluarga besar, aku minta maaf.”“Saya paham, Ma. Mungkin, hubungan Bapak dan Papa kurang baik di masa lalu.”Mama kembali meletakkan gelas tehnya, lalu berkata, “Sebenarnya urusan masa lalu itu sudah selesai. Toh, sekarang aku sudah menikah dengan papanya Ikbal, bukan dengan bapakmu. Tapi entah mengapa, suamiku itu sulit sekali melupakan masa lalu. Dulu—jika dia ada di rumah, mungkin kamu akan dilarang main ke rumah kam
“Gimana menurut kamu?” tanya Ikbal pada Aida, saat mereka melihat-lihat apartemen.“Bagus juga, Mas.”“Kalau menurut Jagoan Om ini, gimana?” tanya Ikbal menunduk, menatap Zaka yang ada di gandengannya.“Ini rumah siapa, Om?”“Rumah kita.”“Wah, bagus. Apa Bunda sama Zaka boleh tinggal di sini juga?”Aida dan Ikbal sama-sama tersenyum. “Boleh, dong, tapi ada saratnya.”“Apa Om?”“Zaka harus panggil Om, Papa.”“Sebentar, ya, Om. Zaka tanya Bunda dulu.” Zaka segera mendekati bundanya, dan meminta wanita itu untuk berjongkok. Aida menurut. Dia berjongkok, dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh buah hatinya.“Bunda, boleh nggak panggil Om Ikbal Papa?”“Boleh,” balas Aida berbisik di telinga anaknya.“Siap, Bunda.”Anak itu kembali mendekati Ikbal. “Gimana?” tanya Ikbal pura-pura tidak tahu.“Boleh, Papa.”“Hore!” Ikbal menggendong tubuh kecil Zaka, dan mencium pipi anak itu gemas. “Jadi, panggil apa?”“Papa.” Ikbal tertawa senang.Malam itu, mereka cukup lama melihat-lihat dan b
Dret! Dret! Dret!HP bergetar, saat Aida sedang sibuk merapikan kamar. Tertera nomor tidak dikenal di layarnya. Dia langsung menggeser tombol hijau, setelah memeriksa. Siapa tahu ini penting, batinnya berkata.“Halo. Saya sedang bersama anak Anda yang bernama Zaka. Kalau mau anak ini selamat, saya minta tebusan.”“Astagfirullah. Jangan macam-macam kamu! Kembalikan anak saya!” teriaknya ketakutan, lalu terdengar orang di seberang sana terkekeh. “Kenapa? Kenapa kamu tertawa?”“Ya ampun! Suara seksi gini, kok, dilupain, sih, Mbak?”“Ini siapa? Bukannya kamu culik anak saya?”“Hahaha. Mbak, aku Faaz!”Aida yang sejak tadi berdiri dengan tubuh menegang, kini duduk sambil memegangi dada. Hampir saja dia jantungan mendengar semua ini. Faaz terus berteriak memanggil namanya, sementara Aida masih terduduk lemas. “Maaf, Mbak. Aku bercanda. Tuh, kan aku dah bilang, Mbak jangan mudah percaya sama telepon begituan.” Aku masih diam.Faaz berteriak, “Mbak, Mbak! Masih di sana, kan? Sepadaaa!”“Iya
“Mbak, kenapa masuk?”“Kamu salah kiblatnya.”“Kiblat?”Aku mengangguk, dan menjelaskan semuanya. Akhirnya dia mengerti. “Niatkan dalam hati kamu untuk salat. Kamu orang baik, Faaz. Kebaikan kamu akan semakin sempurna, jika dilengkapi dengan salat. Jangan takut salah, kamu lagi belajar. Yang penting, niatnya dulu. Nanti aku bimbing soal yang lainnya. Kamu udah lihat gerakan-gerakan salat di gambar itu?”“Sudah, Mbak.”“Kamu paham?”“Paham, tapi aku belum bisa bacaannya.”“Nggak apa-apa. Pokonya utamakan niat. Sudah terlalu lama kamu meninggalkan Tuhan, kini saatnya kembali ke jalan-Nya, Faaz.”Pria itu menatapku, entah apa yang ada di pikirannya. Aku mengalihkan pandangan, karena cukup tidak nyaman ditatap lama-lama. “Aku tunggu di luar, Zaka sendirian.” Aku berbalik, dan melangkah keluar.Sampai di mobil, aku terus berpikir. Apa yang terjadi dalam keluarganya, sampai anak itu tidak bisa salat? Apa orang tuanya tidak pernah mengajarkan tentang pendidikan agama Islam?***Aku menyiapk
“Bunda!” teriak Zaka, saat pulang dari sekolah.“Halo, Sayang.” Aku merentangkan kedua tangan, dan buah hatiku menghambur dalam pelukan. “Gimana sekolahnya?” tanyaku sambil mengusap pelan pucuk kepalanya, setelah melerai pelukan.“Zaka udah ada temen, Bun, Namanya Riki.”“Em, nama yang bagus. Orangnya gimana?” Kini kami jalan beriringan bergandengan tangan menuju taman di mana Faaz sudah menunggu.“Baik, Bun.”“Alhamdulillah.”“Bun, kita mau ke mana?” tanyanya bingung, karena aku mengajak Zaka ke taman.“Kita temui temen Bunda dulu, ya!”“Oke.”Dengan riang, Zaka bercerita soal teman-teman, guru, dan apa saja yang ada di sekolahnya. Aku mendengarkannya dengan antusias, dan sesekali bertanya. Hingga sampailah kami di taman tempat Faaz sudah menunggu. Entah apa jadinya, kalau tidak ada pria itu saat kejadian tadi. Aku sungguh berhutang budi padanya.“Assalamu’alaikum,” sapaku, karena Faaz sedang asyik dengan HP.“Oh, hai!” sahutnya spontan, dan langsung menyimpan HP. “Wah, ini, ya, jago