“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke
Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci
Kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Mas Ikbal tersenyum kecil, kemudian menarik kursi, dan mempersilakan Pak Renaldi bergabung bersama kami. Aku melirik Susi. Dia terlihat menepuk kening. “Saya ingin memberi tahu sesuatu, Pak.” Mataku melotot. Jangan-jangan ... Mas Ikbal mau bicara soal kami pada Pak Renaldi. Entah mengapa, suasana hatiku makin tidak menentu. “Soal apa, Pak?” Aku menggeleng pelan sambil terus menatap Mas Ikbal. Entah mengapa, aku tidak ingin dia mengatakan soal kami pada bosku. Namun, Mas Ikbal tidak mengacuhkanku. Dia tersenyum tipis, dan kembali menatap Pak Renaldi. “Soal apa, Pak? Ayo katakan, jangan buat saya penasaran!” desaknya dengan nada bercanda. “Ini, penjualan HP merek yang kami pasarkan naik pesat. Saya bersyukur.” “Oh, soal itu. Alhamdulillah. Berarti para SPG berhasil menaikkan omzet penjualan kita.”“Iya, alhamdulillah.” Aku lega, karena Mas Ikbal tidak mengatakan hal yang aneh-aneh. Kulihat mereka bercerita banyak hal. Aku dan Susi melanjutkan
Karena makin kesal, aku memutuskan masuk kamar. Ke mana Mbak Retno? Biasanya dia paling kepo, kalau ada Mas Ikbal ke sini.Sampai di kamar, aku duduk di sisi ranjang. Kemudian berpikir setelah cukup tenang. Sikapku barusan, apakah pantas pada Mas Ikbal? Niat dan maksudnya baik, menolongku menjemput Zaka. Anak ini juga senang dijemput, diberi perhatian, dan diajak main di rumah.Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Zaka sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Mas Dwi, lalu mencium hangat puncak kepala anak ini. Ada bongkahan penyesalan sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf, ya, Nak,” bisikku di telinganya, lalu mencium lama kening Zaka sambil memejamkan mata. Setelahnya, kubelai rambut Zaka yang ikal. Aku tersenyum getir melihatnya sedang terlelap seperti ini. Mengapa aku harus marah? Mengapa? Ah, kenapa aku baru menyesal setelah melakukannya? Jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan kejadian di konter tadi siang? Apa benar, aku ... cemburu, sehingga apa pun yan
Kami duduk di sebuah taman. Kanan kiri ramai juga orang-orang berbincang, ada yang dengan pacar, ada juga dengan keluarga kecil. Mas Ikbal permisi sebentar, entah ke mana. Kepalaku menoleh ke segala penjuru arah memperhatikan mereka. Di depan sana, tampak keluarga kecil yang bahagia. Sang ayah dengan riangnya menggendong anaknya di punggung bagian belakang, sementara sang ibu mengejar. Tawa riang mereka menghangatkan hatiku. Andai Mas Dwi masih ada, pasti kami akan bahagia seperti itu. “Ini buat kamu!” Aku menoleh, dan mendapati Mas Ikbal menyodorkan sebuah es krim padaku. Aku menerima, membuka, lalu memakannya. “Katanya, es krim itu bisa mengubah mood seseorang. Dari sedih jadi happy, dan ... dari yang gampang marah jadi lebih sabar.” Aku diam saja, masih asyik menikmati es krim di tangan. “Kayak kamu!” Refleks, aku menoleh ke arahnya. Mas Ikbal tertawa. “Bercanda, Ai. Hahaha.” “Ish!” seruku kesal. “Tuh, kan, kamu tuh gampang banget marah. Perasaan, dulu kamu sabar, deh, Ai.
Mati. Setiap makhluk yang bernyawa, pasti akan mengalaminya. Tidak peduli dia sehat ataupun sakit, muda ataupun tua, kaya ataupun miskin. Kematian itu pasti menghampiri. Tiga kali ditinggalkan orang terkasih, bukan hal yang mudah bagiku. Meskipun kata ikhlas sering kali terlontar pada setiap orang yang datang untuk memberikan kekuatan, nyatanya aku tidak sekuat itu. Bapak, Mas Dwi, dan kini Ibu. Mereka semua bagaikan pelita dalam kehidupanku, dan satu per satu dari mereka meninggalkanku.Tapak demi tapak kenangan membayang di pelupuk mata, mengumpulkan buliran bening yang seolah tanpa jeda mengalir dari sumber mata. Aku terus berusaha tegar demi Zaka. Anak itu satu-satunya manusia yang memiliki aliran darah dari ketiga orang yang kuanggap pelita, pun buah hati yang kupunya. Beruntun pertanyaan dari bibir mungilnya membuat jiwa dan ragaku beku. Aku tidak kuasa menjawab dan menjelaskan, karena pada akhirnya rasa sakit itu kembali membuat hati ini terluka.Semua orang mencoba menjelaskan
Aku menatap nisan Mas Dwi dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan. “Kamu tetap yang bertakhta di hatiku. Meskipun ragamu tidak bersamaku, tapi kenangan dan cintamu selalu ada di sini.” Aku meletakkan tangan di dada. Tepat di hati. Setelah itu, aku mendekati makam Ibu. Aku duduk untuk mengusap nisan Ibu. “Bu, apa kata-kata Ibu yang sering memintaku menikah—karena Ibu takut meninggalkanku sendiri di dunia ini—adalah sebuah firasat? Mengapa Ibu tidak menitip pesan apa-apa padaku? Mengapa Ibu tidak tinggal lebih lama di dunia ini untuk menemaniku?” Aku mengusap sudut mata, lalu memejam, berusaha mengusir sesak yang terus berdesakan dalam dada. Aku harus ikhlas akan ketetapannya. Tidak boleh meratap, karena harus mengirimkan doa untuk ketenangan Ibu di sana.“Bismillah, ikhlas, ikhlas, ikhlas, “ ucapku lirih, lalu membuka kelopak mata. Aku berusaha tersenyum, supaya Ibu tahu aku adalah wanita yang kuat dan tegar. Aku baik-baik saja bersama Zaka. “Bu, aku berniat mengakhiri kesendiriank