Hari ini, aku ada pertemuan wali di sekolah Zaka. Karena sekolah itu tidak terlalu jauh, jadi aku memutuskan jalan kaki bersama ibu-ibu yang lain.
“Bunda Zaka, yang semalam itu calonnya, ya?” tanya Bu Purnimi, tetangga sebelah rumah.“Semalam?” tanyaku belum nyambung.“Iya, semalam aku lihat ada cowok keren datang ke rumah Bunda Zaka. Cakep, dan masih muda, loh, Bun.”“Wah, iyakah? Kerja apa calonnya, Bun?” Kali ini Bu Rusni yang penasaran.“Bunda Zaka mah enak. Masih muda dan cantik, pasti banyak pria tajir yang mau dijadikan suami. Tapi ya itu pasti awalnya aja sayang sama anak kita. Setelah dapet, bisa jadi dia keberatan tinggal serumah dengan anak kita,” Bu Helda menimpali.“Wah, iya. Banyak contohnya. Itu kasus artis bule itu, kan. Awalnya dipuji-puji ini itu, setelah nikah ... kasar sama anak sambungnya. Sampe dijejeli sambal, karena kesal anak itu nggak doyan makan pedas,” sahut Bu Purnimi.“Eh, ibu-ibu, itu hanya teman kerja saja. Kebetulan, kemarin aku dapet musibah. Sepeda motor nyaris kena todong. Jadi, dia yang nolongin.”“Oh, kirain,” sahut mereka serempak. “Tapi sepeda motornya nggak jadi di ampok, kan Bun?”“Alhamdulillah, nggak, kok, Bun. Ya, meskipun sepeda motornya jadi rusak, karena sempat terjatuh beberapa kali.”“Alhamdulillah,” kata mereka bergantian.Akhirnya, topik pembicaraan menjurus ke arah yang lain. Hanya saja, kata-kata mereka terus saja terngiang di telinga. Apa Mas Ikbal juga seperti itu?***Aku memukul kepalaku sendiri, saat sadar dengan apa yang aku pikirkan. Bagaimana mungkin aku berpikir terlalu jauh, sementara Mas Ikbal belum berkata apa-apa. Ini pasti gara-gara pertanyaan Ibu malam itu. Padahal, kan bisa jadi Mas Ikbal menganggapku hanya teman. Penjelasan guru di depan sana tidak begitu kuhiraukan. Pikiranku terus menerka-nerka, mungkinkah Mas Ikbal ingin menjalin hubungan denganku? Aish! Bukankah aku terlalu kegeeran?Tepat pukul 11.00 siang, kami pulang. Rencananya, setelah salat Zuhur, aku akan pergi bekerja. Pagi ini sudah izin tidak masuk karena undangan ke sekolah. Di jalan, beberapa tetangga terus berbincang dengan hangat, bergosip ini dan itu. Mereka membicarakan tetangga ujung sana dan ujung situ, juga bercerita mengenai kemesraan mereka dan suami di rumah.Skip! Yang ini membuatku merasa tidak nyaman. Karena yang kutahu, bukankah tidak baik membicarakan hal di dalam kamar pada orang lain? Cukup kita dan pasangan yang tahu soal itu. Ingin mengingatkan, tapi tidak enak. Takut dikira iri atau tidak suka karena statusku yang sendiri, jadi aku memilih diam.***“Ada pengumuman apa di sekolah?” tanya Ibu, saat aku duduk di meja makan, mencicipi masakannya.“Biasa, Bu. Mau libur nanti setelah bagi rapor.”“Oh, kirain ada apa. Siang ini, setelah Zuhur, kamu masuk kerja, kan?”“Rencana, iya, Bu. Tapi, kok, capek banget mau ke konter, ya?” Aku menyenderkan kepala ke meja makan.Ibu duduk berseberangan meja denganku, setelah meletakkan piring dan sendok di sana.“Bu.”“Ya?”“Aku rasanya nggak punya keinginan untuk menikah lagi.”Ibu diam saja. Dia menarik napas panjang, lalu menatap ke arah depan. “Nak, bagaimana kalau sebentar lagi Allah memanggil Ibu?”Mataku membulat, aku tidak menyangka Ibu akan berkata demikian. “Bu, kok, ngomong gitu?”“Umur kita nggak ada yang tahu. Inginnya, Ibu, sih panjang umur, tapi itu hanya sebuah harapan, karena jodoh, rezeki, dan mati itu sudah digariskan.” Ibu menatapku sendu. “Kemudian, setelah Ibu tidak ada, siapa yang akan mengurus Zaka? Kamu sibuk bekerja, cari uang untuk melanjutkan hidup, sementara anakmu?”Lidahku kelu. Aku bahkan tidak mampu membayangkan hal sejauh itu. “Bu, aku akan terus mendoakan Ibu supaya panjang umur, supaya bisa terus menemaniku. Aku belum sempat membalasmu, Bu, belum sempat membahagiakanmu.”“Terima kasih, Nak. Tapi untuk panjang umur, rasanya tidak bisa diganggu gugat, karena itu sudah digariskan sejak kita dalam kandungan. Tidak ada orang yang mau cepat kembali ke sisi-Nya, hanya saja ... kita tidak bisa menentang takdir.” Ibu menunduk dalam, lalu tersenyum samar dan melanjutkan kata-katanya, “Dulu, ayahmu selalu bilang, semoga dia hidup seribu tahun lagi, supaya bisa melihat semua cucu-cucunya bahagia. Nyatanya? Kamu belum lama melangsungkan pernikahan, ternyata ajalnya sudah datang dan doanya hanya menjadi cerita serta cita-cita yang tidak mungkin bisa digapai. Nak, pikirkan masa depan, jangan hanya di masa sekarang.”Aku semakin membisu, bingung dengan pilihan hidup. Sungguh, aku merasa berdosa jika suatu saat mencintai pria seperti Mas Dwi. Aku juga sangsi, apakah nanti pasanganku bisa mencintai Zaka dengan kasih sayang yang tulus? Karena seorang single parent, kalaupun suatu saat kembali menikah, harapannya si suami bukan hanya bisa menerima statusnya yang janda, melainkan juga bisa menerima keberadaan anaknya.Menyayangi Zaka dengan tulus, menjadi sosok ayah yang baik, dan lain sebagainya. Begitu banyak yang harus diperhitungkan. Ibu benar, doa semoga panjang umur hanyalah sebuah cita-cita, karena tiga perkara seperti jodoh, maut, dan rezeki sudah diatur oleh Allah di atas sana. Tidak bisa diubah, dan diganggu gugat.***“Mikirin apa, sih?” tanya Susi yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.“Ngagetin!” protesku, karena dia datang tanpa mengucap salam seperti biasa. “Biasa ngucap salam juga, ini nggak!”“Ye, aku ngucap salam, kok. Kamu aja, Ai, yang bengong. Mikirin apa, sih?” tanyanya sekali lagi.“Kepooo!”“Ya ampun! Gitu aja, sok-sokan main rahasia.”“Meskipun aku ceritain juga, kamu nggak bakal ngerti.”“Eh, aku pasti ngerti. Kita sama-sama wanita, aku bisa memahami perasaanmu.”“Kamu nggak akan ....”Kalimatku terhenti. Tiba-tiba motor gede Mas Ikbal terdengar berhenti di halaman depan. Entah mengapa, kali ini aku merasa lebih gugup dari biasanya. Dia hendak masuk, tapi dipanggil oleh gadis-gadis SPG di depan sana. Jadi, mereka mengobrol sebentar.“Kenapa? Kok, jadi diem?”“Nggak apa-apa. Ayo, kerja!”Dahi Susi mengerut, mungkin dia merasa heran.“Pagi, Susi.”“Pagi, Pak!”“Pagi, Ai.”“Pagi.”Bukannya naik ke atas, Mas Ikbal malah berdiri di hadapanku. “Kenapa, Ai?” tanyanya yang kurasa aneh.“Kenapa? Maksudnya?”“Ya, kenapa dengan muka kamu? Nggak seperti biasanya.”“Nggak tahu nih, Pak. Dari saya datang, ketekuk gini.”Dia duduk di hadapanku, hingga posisi kami duduk berseberangan dengan etalase konter sebagai pemisah. “Sepeda motor kamu dah dianter ke rumah, kan?”“Sudah, Pak.”“Syukurlah. Tapi, kok, nggak dibawa kerja?”“Kemaren idup, tadi pagi mogok lagi.”“Loh, kok bisa?”Aku hanya menggeleng.“Ya udah, nanti biar aku yang bawa ke bengkel.”“Nggak perlu, Pak. Saya bisa sendiri.”“Kok, bandel, sih?”Melihat kami berdebat, mata Susi bergantian menatapku dan menatap Mas Ikbal kebingungan. “Boleh kasih tahu apa yang kalian bicarakan?”Aku dan Mas Ikbal saling tatap. “Bukan apa-apa,” sahut kami serentak, yang memancing Susi tergelak.“Apaan, sih? Kok, bisa samaan gitu, ya?” Aku menunduk dalam, malu. Iya, kenapa bisa barengan ngomongnya?“Eh, kalau gitu, saya naik ke atas dulu. Permisi.” Aku diam saja, hanya Susi yang menjawab. “Oke, Pak.” Setelah menjawab itu, Susi duduk di sampingku. Sikunya terus menyikut lengan ini.“Apa?” tanyaku sewot. Aku tahu, dia pasti kepo.“Kalian tadi ngomong soal apa, sih?” “Bukan apa-apa.”“Ai, jujur aja, lah.”“Udah dibilang, bukan apa-apa.” “Pelit banget, ngasih info gitu aja.” Aku menyibukkan diri dengan memeriksa catatan buku panjang, sementara Susi menjauh dan duduk di meja kasir sambil geleng-geleng kepala. Duh, Mas Ikbal, kenapa juga bersikap seperti itu? Buat Susi curiga aja! Curiga? Emang kami kenapa? Toh, kami nggak ada apa-apa, kan? Cuma ... ya, aku belum cerita juga, sih, ke Susi soal masa laluku dan Mas Ikbal. Insyaallah nanti deh aku cerita, supaya dia nggak kepo. Ha
“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke
Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci
Kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Mas Ikbal tersenyum kecil, kemudian menarik kursi, dan mempersilakan Pak Renaldi bergabung bersama kami. Aku melirik Susi. Dia terlihat menepuk kening. “Saya ingin memberi tahu sesuatu, Pak.” Mataku melotot. Jangan-jangan ... Mas Ikbal mau bicara soal kami pada Pak Renaldi. Entah mengapa, suasana hatiku makin tidak menentu. “Soal apa, Pak?” Aku menggeleng pelan sambil terus menatap Mas Ikbal. Entah mengapa, aku tidak ingin dia mengatakan soal kami pada bosku. Namun, Mas Ikbal tidak mengacuhkanku. Dia tersenyum tipis, dan kembali menatap Pak Renaldi. “Soal apa, Pak? Ayo katakan, jangan buat saya penasaran!” desaknya dengan nada bercanda. “Ini, penjualan HP merek yang kami pasarkan naik pesat. Saya bersyukur.” “Oh, soal itu. Alhamdulillah. Berarti para SPG berhasil menaikkan omzet penjualan kita.”“Iya, alhamdulillah.” Aku lega, karena Mas Ikbal tidak mengatakan hal yang aneh-aneh. Kulihat mereka bercerita banyak hal. Aku dan Susi melanjutkan
Karena makin kesal, aku memutuskan masuk kamar. Ke mana Mbak Retno? Biasanya dia paling kepo, kalau ada Mas Ikbal ke sini.Sampai di kamar, aku duduk di sisi ranjang. Kemudian berpikir setelah cukup tenang. Sikapku barusan, apakah pantas pada Mas Ikbal? Niat dan maksudnya baik, menolongku menjemput Zaka. Anak ini juga senang dijemput, diberi perhatian, dan diajak main di rumah.Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Zaka sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Mas Dwi, lalu mencium hangat puncak kepala anak ini. Ada bongkahan penyesalan sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf, ya, Nak,” bisikku di telinganya, lalu mencium lama kening Zaka sambil memejamkan mata. Setelahnya, kubelai rambut Zaka yang ikal. Aku tersenyum getir melihatnya sedang terlelap seperti ini. Mengapa aku harus marah? Mengapa? Ah, kenapa aku baru menyesal setelah melakukannya? Jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan kejadian di konter tadi siang? Apa benar, aku ... cemburu, sehingga apa pun yan
Kami duduk di sebuah taman. Kanan kiri ramai juga orang-orang berbincang, ada yang dengan pacar, ada juga dengan keluarga kecil. Mas Ikbal permisi sebentar, entah ke mana. Kepalaku menoleh ke segala penjuru arah memperhatikan mereka. Di depan sana, tampak keluarga kecil yang bahagia. Sang ayah dengan riangnya menggendong anaknya di punggung bagian belakang, sementara sang ibu mengejar. Tawa riang mereka menghangatkan hatiku. Andai Mas Dwi masih ada, pasti kami akan bahagia seperti itu. “Ini buat kamu!” Aku menoleh, dan mendapati Mas Ikbal menyodorkan sebuah es krim padaku. Aku menerima, membuka, lalu memakannya. “Katanya, es krim itu bisa mengubah mood seseorang. Dari sedih jadi happy, dan ... dari yang gampang marah jadi lebih sabar.” Aku diam saja, masih asyik menikmati es krim di tangan. “Kayak kamu!” Refleks, aku menoleh ke arahnya. Mas Ikbal tertawa. “Bercanda, Ai. Hahaha.” “Ish!” seruku kesal. “Tuh, kan, kamu tuh gampang banget marah. Perasaan, dulu kamu sabar, deh, Ai.
Mati. Setiap makhluk yang bernyawa, pasti akan mengalaminya. Tidak peduli dia sehat ataupun sakit, muda ataupun tua, kaya ataupun miskin. Kematian itu pasti menghampiri. Tiga kali ditinggalkan orang terkasih, bukan hal yang mudah bagiku. Meskipun kata ikhlas sering kali terlontar pada setiap orang yang datang untuk memberikan kekuatan, nyatanya aku tidak sekuat itu. Bapak, Mas Dwi, dan kini Ibu. Mereka semua bagaikan pelita dalam kehidupanku, dan satu per satu dari mereka meninggalkanku.Tapak demi tapak kenangan membayang di pelupuk mata, mengumpulkan buliran bening yang seolah tanpa jeda mengalir dari sumber mata. Aku terus berusaha tegar demi Zaka. Anak itu satu-satunya manusia yang memiliki aliran darah dari ketiga orang yang kuanggap pelita, pun buah hati yang kupunya. Beruntun pertanyaan dari bibir mungilnya membuat jiwa dan ragaku beku. Aku tidak kuasa menjawab dan menjelaskan, karena pada akhirnya rasa sakit itu kembali membuat hati ini terluka.Semua orang mencoba menjelaskan