Gontai, aku menyusul masuk, setelah memarkir sepeda motor di teras samping rumah. Tampak Mas Ikbal langsung terlihat akrab mengobrol dengan Ibu di dalam. Aku langsung menuju kamar dan meletakkan tas, selanjutnya membuat teh hangat untuk Mas Ikbal.
“Bu, Zaka mana?”“Ngaji di musala, Ai.”“Sama siapa, Bu?”“Berangkatnya tadi ikut Pak Rahmat, sekaligus nganter anaknya Fahmi ngaji.”“Pulangnya nanti sama siapa, Bu?”“Kamu jemput aja, Ai. Soalnya, tadi Pak Rahmat berpesan dia tidak bisa jemput, mau yasinan.”“Oh, iya deh. Kalau gitu, aku mandi dan salat dulu, ya, Bu, Mas.”“Cepet gantian, kasihan Nak Ikbal sendirian.”“Eh, aku juga mau salat, Bu. Silakan kalau mau salat, aku ke musala aja. Sekalian, nanti jemput Zaka pulang.”Aku yang hendak masuk kamar menghentikan langkah. “Mas, nggak perlu. Aku bisa sendiri.”“Bahaya juga malam-malam begini kamu mau jemput Zaka. Lagian, tadi Ibu lihat motormu rusak, kan, Ai?”“Ah, iya. Sepeda motorku rusak.” Aku menepuk kening.“Sudahlah, Ai. Jelas-jelas kamu nggak bisa juga jemput Zaka.”Aku diam saja, karena kenyataannya aku memang tidak bisa menjemputnya.“Bu, aku pamit ke musala dulu.”“Oh iya, Nak Ikbal.”“Mau titip apa, Bu? Sekalian, mau isi pulsa di pasar.”“Roti bakar kayaknya enak. Yang ketan hitam, Nak.”“Wah, mantep itu, Bu.”Ish!Aku berbalik, dan langsung masuk kamar. Setelah itu menyambar handuk di belakang pintu, menuju ke belakang, dan langsung mandi. Terdengar suara sepeda motor Mas Ikbal, saat aku memakai sabun. Aku sempat mendengar, hingga suara sepeda motor itu menjauh.“Mandi, Ai. Jangan melamun, keburu abis waktu magrib.”“Iya, Bu. Ini juga mandi.”Langsung saja kusirami tubuh dengan air dingin, setelah itu sikat gigi dan mengambil wudu untuk salat magrib.“Assalamu’alaikum warahmatullahi. Assalamu’alaikum warahmatullahi.”Aku telah selesai. Langsung keluar, setelah membereskan tempat salat. Berulang kali aku melirik jam, menunggu Zaka pulang. Kenapa mereka lama? Apa ada sesuatu di jalan? Terdengar gorden terbuka, tampak Ibu keluar dari kamarnya.“Kenapa, Ai?”“Zaka, kok, belum pulang juga, ya, Bu? Apa Mas Ikbal nggak tahu tempatnya?”“Tahu, kok. Katanya, udah beberapa kali dia ke sana.”“Masa, sih, Bu?”“Serius, Ai.”Aku mondar-mandir, gelisah menunggu mereka pulang. Apa Mas Ikbal mengajak serta Zaka keliling pasar untuk membeli pulsa katanya tadi? Atau ... Zaka tidak mau diajak pulang orang yang belum dikenalnya? Astagfirullahalazim. Iya, Zaka nggak akan mau diajak pulang! Aku segera masuk kamar, memakai hijab instan, setelahnya pergi keluar.“Mau ke mana, Ai?”“Nyusul Zaka, Bu!” teriakku.“Loh, kan udah dijemput Anak Ikbal?”“Zaka nggak akan mau. Aku sering wanti-wanti, jangan pernah mau kalau ada yang ngajak naik sepeda motor atau mobil jika nggak kenal. Itu penjahat, aku sering bilang gitu.”“Naik apa ke sana?”“Minta tolong Pak Fikri. Naik bentor, Bu!”“Hati-hati!” teriak Ibu yang suaranya kian mengecil, karena jarak kami yang semakin jauh.“Iya!”***“Makasih, ya, Pak!” ucapku seraya mengangsurkan uang.“Sama-sama, Mbak.”Aku langsung berlari menuju musala. Suasana musala ramai, karena masih menunggu salat Isya. Tampak Zaka duduk sendirian di dalam. Aku melepas sandal sampai di batas suci, membenarkan hijab yang sedikit berantakan, selanjutnya masuk menemui Zaka.“Nak, maaf, ya, Bunda telat.”Wajah yang sejak tadi tertunduk itu mendongak seketika. Masih ada jejak air mata di sana.“Loh, kok, nangis? Kenapa?”“Huhu, tadi ada om-om yang paksa mau nganterin pulang. Dia pasti orang jahat, Bun. Katanya, dia mau ajak Zaka keliling pasar, dan Zaka boleh beli apa saja.”“Oh, ya? Apa orangnya pake kemeja warna biru, dan rambutnya belah pinggir?”“Loh, kok, Bunda tahu?”“Itu bukan penjahat, Sayang. Dia teman Bunda. Soalnya sepeda motor kita rusak, sehingga Bunda nggak bisa jemput kamu ke sini.” Aku menghapus sisa air matanya. “Dah, jangan takut lagi. Ada Bunda di sini. Om itu ke mana sekarang?”“Katanya mau ke pasar sebentar, nanti jemput ke sini lagi.”“Aku takut banget, Bunda.” Aku memeluk kepalanya.“Udah, nggak apa-apa.” Aku mengusap-usap bahunya.Tidak berapa lama, Mas Ikbal datang. Dia menenteng sesuatu di tangan.“Wah, ternyata bundanya udah datang. Lihat nih, Om bawain apa?”Zaka menatapku sesaat, membuatku tersenyum, supaya hatinya tenang. “Bunda, bolehkah Zaka lihat mainannya?”Aku diam saja, bingung harus berkata apa, karena Mas Ikbal juga sudah membelikan mainan untuk Zaka yang belum aku tunjukkan.“Boleh, dong. Masa nggak boleh. Panggil saja Om Ikbal, ya.”“Ya udah, nggak apa-apa, kalau mau lihat, Nak.”Perlahan, Zaka mengambil kantung dari tangan Mas Ikbal, lalu mengeluarkan isinya. “Wow, robotnya bagus banget, Om!”“Kamu suka?”“Suka banget!” sahut Zaka antusias.Beberapa bapak-bapak yang ada di musala itu berbisik-bisik. Aku melempar senyum pada mereka, dan pamit pulang.“Bun, kita naik apa pulangnya?”“Tunggu bentar, Nak.”“Kenapa nggak ikut aja, sih, Ai?”“Iya, Bun. Kata Bunda, Om Ikbal temannya Bunda. Kenapa nggak ikut aja, sih, Bun?”“Nggak enak dilihat tetangga, Sayang.”Mas Ikbal sepertinya mengerti, dia langsung pergi lebih dulu dari kami. Tidak berapa lama, dia datang lagi bersama bentor.“Ai, udah aku ceriin bentor. Ayo, kita pulang.”“Kamu duluan aja, Mas. Aku nyusul dari belakang.”“Ya ampun, Ai. Ya udah, kamu yang duluan. Aku ngiring dari belakang.”“Ya udah. Ayo, Nak, kita naik bentor.” Aku menggandeng tangan Zaka menaiki bentor. Menit berikutnya, kami sudah berjalan menuju rumah. Tampak Mas Ikbal mengiring dari belakang. Aku memperhatikannya dari kaca spion.“Bun.”“Iya, Nak?”“Om itu temen Bunda waktu kelas berapa?”“Waktu Bunda SMA, Nak.”“Kenapa selama ini nggak pernah ketemu sama Zaka?”“Eh, soalnya dia kerjanya jauh. Nah, kali ini dia lagi kerja di sekitar sini.”“Oh.” Kepala anak itu mengangguk-angguk. “Om itu baik, ya, Bun.”“Iya, alhamdulillah, Nak.”“Jadi inget Ayah.”Aku terdiam. Entah mengapa, kalau ingat Mas Dwi, rasa bersalah itu datang. Terlebih, mengingat saat ini aku dekat dan satu kantor dengan Mas Ikbal.***Akhirnya kami sampai di rumah. Mas Ikbal langsung membayar, dan kami masuk beriringan. Zaka langsung membuka mainan, saat sudah duduk di ruang tamu. Mereka langsung main berdua, sedangkan aku dan Ibu menatap mereka dari pintu dapur. Roti bakar pesanan Ibu masih terbungkus rapi di meja makan.“Ikbal, udah lama banget Ibu nggak lihat dia. Sekarang, tiba-tiba datang. Lihat, Zaka kayaknya nyaman deh sama dia Ai.”“Bu, Zaka emang mudah deket sama siapa aja.”“Sudah setahun lebih, Ai. Sudah saatnya kamu mencari ayah untuk Zaka. Kita nggak pernah tahu, sampai kapan Ibu bisa nemenin kamu. Bagaimana kalau sudah waktunya? Kamu nggak akan sanggup bekerja, sementara Zaka nggak ada yang ngurusin. Kamu butuh pendamping, butuh imam, butuh sandaran yang bisa memberikan kehidupan yang lebih baik buat kamu, Ai. Tujuannya, supaya kamu bisa fokus mengurus Zaka.”Aku menggigit bibir. Rasanya, aku tidak sanggup menggeser posisi Mas Dwi di hatiku. “Bu, terlalu cepat,” sahutku dengan suara serak.“Ai, kamu masih muda. Zaka butuh sosok ayah. Lihatlah mereka.”Memang, Zaka terlihat sangat bahagia bermain bersama Mas Ikbal. Hanya saja, aku takut sekali posisi Mas Dwi akan berganti dengan sosoknya. Aku takut, kami akan melupakan sosok luar biasa itu.“Ah, robot Om kalah nih!”“Tembakan turbo. Dor, dor, dor!”Aku mengalihkan pandangan, berbalik, dan duduk di kursi meja makan. Ibu mendekat, kemudian membelai lembut kepala. “Ibu nggak akan paksa kamu, Ai. Ibu hanya memberi saran.”Tepat pukul 21.30 malam, Mas Ikbal pamit pulang. Di kamar, Zaka terus menceritakan kebersamaannya bersama pria yang dianggapnya om itu dengan sangat antusias. Anak itu bahkan bertanya, kapan pria itu akan kembali datang.Hari ini, aku ada pertemuan wali di sekolah Zaka. Karena sekolah itu tidak terlalu jauh, jadi aku memutuskan jalan kaki bersama ibu-ibu yang lain. “Bunda Zaka, yang semalam itu calonnya, ya?” tanya Bu Purnimi, tetangga sebelah rumah.“Semalam?” tanyaku belum nyambung.“Iya, semalam aku lihat ada cowok keren datang ke rumah Bunda Zaka. Cakep, dan masih muda, loh, Bun.” “Wah, iyakah? Kerja apa calonnya, Bun?” Kali ini Bu Rusni yang penasaran. “Bunda Zaka mah enak. Masih muda dan cantik, pasti banyak pria tajir yang mau dijadikan suami. Tapi ya itu pasti awalnya aja sayang sama anak kita. Setelah dapet, bisa jadi dia keberatan tinggal serumah dengan anak kita,” Bu Helda menimpali.“Wah, iya. Banyak contohnya. Itu kasus artis bule itu, kan. Awalnya dipuji-puji ini itu, setelah nikah ... kasar sama anak sambungnya. Sampe dijejeli sambal, karena kesal anak itu nggak doyan makan pedas,” sahut Bu Purnimi. “Eh, ibu-ibu, itu hanya teman kerja saja. Kebetulan, kemarin aku dapet musibah. Sepe
Aku dan Mas Ikbal saling tatap. “Bukan apa-apa,” sahut kami serentak, yang memancing Susi tergelak.“Apaan, sih? Kok, bisa samaan gitu, ya?” Aku menunduk dalam, malu. Iya, kenapa bisa barengan ngomongnya?“Eh, kalau gitu, saya naik ke atas dulu. Permisi.” Aku diam saja, hanya Susi yang menjawab. “Oke, Pak.” Setelah menjawab itu, Susi duduk di sampingku. Sikunya terus menyikut lengan ini.“Apa?” tanyaku sewot. Aku tahu, dia pasti kepo.“Kalian tadi ngomong soal apa, sih?” “Bukan apa-apa.”“Ai, jujur aja, lah.”“Udah dibilang, bukan apa-apa.” “Pelit banget, ngasih info gitu aja.” Aku menyibukkan diri dengan memeriksa catatan buku panjang, sementara Susi menjauh dan duduk di meja kasir sambil geleng-geleng kepala. Duh, Mas Ikbal, kenapa juga bersikap seperti itu? Buat Susi curiga aja! Curiga? Emang kami kenapa? Toh, kami nggak ada apa-apa, kan? Cuma ... ya, aku belum cerita juga, sih, ke Susi soal masa laluku dan Mas Ikbal. Insyaallah nanti deh aku cerita, supaya dia nggak kepo. Ha
“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke
Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci
Kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Mas Ikbal tersenyum kecil, kemudian menarik kursi, dan mempersilakan Pak Renaldi bergabung bersama kami. Aku melirik Susi. Dia terlihat menepuk kening. “Saya ingin memberi tahu sesuatu, Pak.” Mataku melotot. Jangan-jangan ... Mas Ikbal mau bicara soal kami pada Pak Renaldi. Entah mengapa, suasana hatiku makin tidak menentu. “Soal apa, Pak?” Aku menggeleng pelan sambil terus menatap Mas Ikbal. Entah mengapa, aku tidak ingin dia mengatakan soal kami pada bosku. Namun, Mas Ikbal tidak mengacuhkanku. Dia tersenyum tipis, dan kembali menatap Pak Renaldi. “Soal apa, Pak? Ayo katakan, jangan buat saya penasaran!” desaknya dengan nada bercanda. “Ini, penjualan HP merek yang kami pasarkan naik pesat. Saya bersyukur.” “Oh, soal itu. Alhamdulillah. Berarti para SPG berhasil menaikkan omzet penjualan kita.”“Iya, alhamdulillah.” Aku lega, karena Mas Ikbal tidak mengatakan hal yang aneh-aneh. Kulihat mereka bercerita banyak hal. Aku dan Susi melanjutkan
Karena makin kesal, aku memutuskan masuk kamar. Ke mana Mbak Retno? Biasanya dia paling kepo, kalau ada Mas Ikbal ke sini.Sampai di kamar, aku duduk di sisi ranjang. Kemudian berpikir setelah cukup tenang. Sikapku barusan, apakah pantas pada Mas Ikbal? Niat dan maksudnya baik, menolongku menjemput Zaka. Anak ini juga senang dijemput, diberi perhatian, dan diajak main di rumah.Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Zaka sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Mas Dwi, lalu mencium hangat puncak kepala anak ini. Ada bongkahan penyesalan sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf, ya, Nak,” bisikku di telinganya, lalu mencium lama kening Zaka sambil memejamkan mata. Setelahnya, kubelai rambut Zaka yang ikal. Aku tersenyum getir melihatnya sedang terlelap seperti ini. Mengapa aku harus marah? Mengapa? Ah, kenapa aku baru menyesal setelah melakukannya? Jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan kejadian di konter tadi siang? Apa benar, aku ... cemburu, sehingga apa pun yan
Kami duduk di sebuah taman. Kanan kiri ramai juga orang-orang berbincang, ada yang dengan pacar, ada juga dengan keluarga kecil. Mas Ikbal permisi sebentar, entah ke mana. Kepalaku menoleh ke segala penjuru arah memperhatikan mereka. Di depan sana, tampak keluarga kecil yang bahagia. Sang ayah dengan riangnya menggendong anaknya di punggung bagian belakang, sementara sang ibu mengejar. Tawa riang mereka menghangatkan hatiku. Andai Mas Dwi masih ada, pasti kami akan bahagia seperti itu. “Ini buat kamu!” Aku menoleh, dan mendapati Mas Ikbal menyodorkan sebuah es krim padaku. Aku menerima, membuka, lalu memakannya. “Katanya, es krim itu bisa mengubah mood seseorang. Dari sedih jadi happy, dan ... dari yang gampang marah jadi lebih sabar.” Aku diam saja, masih asyik menikmati es krim di tangan. “Kayak kamu!” Refleks, aku menoleh ke arahnya. Mas Ikbal tertawa. “Bercanda, Ai. Hahaha.” “Ish!” seruku kesal. “Tuh, kan, kamu tuh gampang banget marah. Perasaan, dulu kamu sabar, deh, Ai.
Aku kembali menoleh, dan menatap wajah pria muda ini dengan tajam. Pengakuan soal Aida dan kejujurannya soal perasaannya, membuat hatiku tersayat-sayat. “Kakak tahu? Karena Mbak Aida, pandangan saya tentang wanita berubah. Dulu, saya pikir, wanita baik-baik itu hanya ada dalam novel dan film, ternyata di dunia nyata ada, dan wanita itu adalah istri Anda.” Pandangan pria bernama Faaz ini menerawang, seperti membayangkan, kemudian lengkungan kecil tercetak di sisi bibirnya.Apa mungkin dia membayangkan istriku? Makin panas rasa hati.“Lalu, aku menemui Anis untuk membatalkan perjanjian kami. Di sana, aku mendengar dia menelepon papanya. Katanya, mereka akan menculik Zaka, dan menggunakan anak itu supaya Mbak Aida mau menuruti semua kata-kata mereka. Satu yang ada dalam pikiranku, aku harus menolong anak itu. Karena jujur, aku pun sudah menyayanginya seperti adik, atau bahkan anakku sendiri.”Emosiku tidak terkendali. Aku mendorong dada Faaz dan memegang kerah bajunya, kudekatkan wajah d
Melihat sikap tak acuh Ikbal, membuat hati wanita itu bertanya-tanya. Niatnya ingin bercerita soal Zaka diurungkan olehnya. Apa Mas Ikbal sedang banyak masalah?' “Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu.” Aida berusaha mencairkan suasana.“Kenyang.” Ikbal berdiri, menuang air putih dan menenggaknya hingga habis, setelah itu langsung masuk ke kamar. Aida mengamati, hingga punggung pria itu hilang dari pandangan. Dibukanya kantung berwarna hitam berisi bakso yang dibeli oleh Ikbal. Wanita itu membukanya satu, lalu menuangnya ke mangkuk. Awalnya Aida berusaha bersikap biasa saja memakan bakso itu sendirian, tapi semakin lama ... rasa sedih mendera jiwa sehingga membuat wanita itu terisak. Aida terus berusaha tegar, menghapus tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Bukankah ini bagus, sebulan bukan waktu yang lama. Entah apa alasan Mas Ikbal bersikap demikian, tapi bukankah dia akan baik-baik saja saat nanti aku meninggalkannya? Aida terus saja berkata sendiri dalam hati. Meskipun jauh
“Aku tidak akan percaya. Tidak, Aida bukan wanita seperti itu,” katanya dengan pandangan yang nanar sambil mengalihkan pandangan. “Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya.” Ikbal duduk di kursi kerjanya sambil meremas semua foto yang ada, dan melemparnya ke kotak sampah begitu saja. “Demi Allah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Papa. Maka dari itu, stop memfitnah istri salihahku.”“Hah, kita lihat saja, Ikbal. Suatu saat nanti, kamu akan mengakui kalau Aida itu bukan wanita yang baik. Kamu akan bersujud di kaki Papa untuk meminta maaf, karena sudah menentang Papa demi wanita itu.” Kemudian Aji Wijaya berdiri, dan keluar dari ruangan Ikbal. Ikbal masih diliputi rasa cemas. Dia berusaha terus berpikir positif, tapi foto-foto itu. “Astagfirullah,” ucapnya lirih, kemudian menunduk seraya meremas kepala.***“Masak apa, Ai?” tanya Ikbal, saat mereka sudah duduk di kursi meja makan.Aida menuangkan air putih ke dalam gelas keramik berwarna putih, lal
Aida bingung harus bersikap bagaimana. Dia pikir pria itu hanya bercanda, nyatanya Faaz tidak berbohong. Ya, dia benar-benar seorang pria penghibur, dan itu membuat Aida kaget luar biasa. Mengapa kami bisa dipertemukan seperti ini? tanyanya dalam hati.“Mbak, ini takdir. Mungkin hidayah itu Allah turunkan melalui Mbak. Aku tidak takut meninggalkan kemewahanku. Aku datang ke sini menggunakan kendaraan umum. Mobil milik tante itu sudah aku kembalikan, karena itu memang bukan milikku. Terima kasih atas pencerahannya selama ini.”Aida masih kebingungan harus bersikap bagaimana. Selama ini, dia kenal dan hidup di lingkungan orang-orang baik. Paling parah orang yang dia temui adalah Mbak Retno dan Husna, kakak iparnya sendiri. Itu pun hanya sebatas ribut-ribut kecil, karena sifat mereka yang suka usil. Aida berjalan mundur, hanya saja tatapannya tidak lepas dari pria itu.Semenjak tinggal di kota, hidupnya semakin kacau. Bertemu dengan papanya Ikbal yang mengancam akan mencelakai Zaka, bert
Mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa bicara dengan Mama. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mama berjalan lebih dulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.Kini kami duduk di sebuah kafe yang tertutup. Sepertinya tempat ini ruang privasi, karena tidak ada orang lain selain kami. “Apa kabar?” Mama membuka obrolan, setelah cukup lama bungkam.“Baik, Ma. Alhamdulillah.”“Anakmu?”“Baik juga.”Lalu dia mengangkat gelas teh, dan meminumnya dengan anggun. “Aku tahu apa yang sudah dilakukan suamiku padamu, Aida. Karena itu, atas nama keluarga besar, aku minta maaf.”“Saya paham, Ma. Mungkin, hubungan Bapak dan Papa kurang baik di masa lalu.”Mama kembali meletakkan gelas tehnya, lalu berkata, “Sebenarnya urusan masa lalu itu sudah selesai. Toh, sekarang aku sudah menikah dengan papanya Ikbal, bukan dengan bapakmu. Tapi entah mengapa, suamiku itu sulit sekali melupakan masa lalu. Dulu—jika dia ada di rumah, mungkin kamu akan dilarang main ke rumah kam
“Gimana menurut kamu?” tanya Ikbal pada Aida, saat mereka melihat-lihat apartemen.“Bagus juga, Mas.”“Kalau menurut Jagoan Om ini, gimana?” tanya Ikbal menunduk, menatap Zaka yang ada di gandengannya.“Ini rumah siapa, Om?”“Rumah kita.”“Wah, bagus. Apa Bunda sama Zaka boleh tinggal di sini juga?”Aida dan Ikbal sama-sama tersenyum. “Boleh, dong, tapi ada saratnya.”“Apa Om?”“Zaka harus panggil Om, Papa.”“Sebentar, ya, Om. Zaka tanya Bunda dulu.” Zaka segera mendekati bundanya, dan meminta wanita itu untuk berjongkok. Aida menurut. Dia berjongkok, dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh buah hatinya.“Bunda, boleh nggak panggil Om Ikbal Papa?”“Boleh,” balas Aida berbisik di telinga anaknya.“Siap, Bunda.”Anak itu kembali mendekati Ikbal. “Gimana?” tanya Ikbal pura-pura tidak tahu.“Boleh, Papa.”“Hore!” Ikbal menggendong tubuh kecil Zaka, dan mencium pipi anak itu gemas. “Jadi, panggil apa?”“Papa.” Ikbal tertawa senang.Malam itu, mereka cukup lama melihat-lihat dan b
Dret! Dret! Dret!HP bergetar, saat Aida sedang sibuk merapikan kamar. Tertera nomor tidak dikenal di layarnya. Dia langsung menggeser tombol hijau, setelah memeriksa. Siapa tahu ini penting, batinnya berkata.“Halo. Saya sedang bersama anak Anda yang bernama Zaka. Kalau mau anak ini selamat, saya minta tebusan.”“Astagfirullah. Jangan macam-macam kamu! Kembalikan anak saya!” teriaknya ketakutan, lalu terdengar orang di seberang sana terkekeh. “Kenapa? Kenapa kamu tertawa?”“Ya ampun! Suara seksi gini, kok, dilupain, sih, Mbak?”“Ini siapa? Bukannya kamu culik anak saya?”“Hahaha. Mbak, aku Faaz!”Aida yang sejak tadi berdiri dengan tubuh menegang, kini duduk sambil memegangi dada. Hampir saja dia jantungan mendengar semua ini. Faaz terus berteriak memanggil namanya, sementara Aida masih terduduk lemas. “Maaf, Mbak. Aku bercanda. Tuh, kan aku dah bilang, Mbak jangan mudah percaya sama telepon begituan.” Aku masih diam.Faaz berteriak, “Mbak, Mbak! Masih di sana, kan? Sepadaaa!”“Iya
“Mbak, kenapa masuk?”“Kamu salah kiblatnya.”“Kiblat?”Aku mengangguk, dan menjelaskan semuanya. Akhirnya dia mengerti. “Niatkan dalam hati kamu untuk salat. Kamu orang baik, Faaz. Kebaikan kamu akan semakin sempurna, jika dilengkapi dengan salat. Jangan takut salah, kamu lagi belajar. Yang penting, niatnya dulu. Nanti aku bimbing soal yang lainnya. Kamu udah lihat gerakan-gerakan salat di gambar itu?”“Sudah, Mbak.”“Kamu paham?”“Paham, tapi aku belum bisa bacaannya.”“Nggak apa-apa. Pokonya utamakan niat. Sudah terlalu lama kamu meninggalkan Tuhan, kini saatnya kembali ke jalan-Nya, Faaz.”Pria itu menatapku, entah apa yang ada di pikirannya. Aku mengalihkan pandangan, karena cukup tidak nyaman ditatap lama-lama. “Aku tunggu di luar, Zaka sendirian.” Aku berbalik, dan melangkah keluar.Sampai di mobil, aku terus berpikir. Apa yang terjadi dalam keluarganya, sampai anak itu tidak bisa salat? Apa orang tuanya tidak pernah mengajarkan tentang pendidikan agama Islam?***Aku menyiapk
“Bunda!” teriak Zaka, saat pulang dari sekolah.“Halo, Sayang.” Aku merentangkan kedua tangan, dan buah hatiku menghambur dalam pelukan. “Gimana sekolahnya?” tanyaku sambil mengusap pelan pucuk kepalanya, setelah melerai pelukan.“Zaka udah ada temen, Bun, Namanya Riki.”“Em, nama yang bagus. Orangnya gimana?” Kini kami jalan beriringan bergandengan tangan menuju taman di mana Faaz sudah menunggu.“Baik, Bun.”“Alhamdulillah.”“Bun, kita mau ke mana?” tanyanya bingung, karena aku mengajak Zaka ke taman.“Kita temui temen Bunda dulu, ya!”“Oke.”Dengan riang, Zaka bercerita soal teman-teman, guru, dan apa saja yang ada di sekolahnya. Aku mendengarkannya dengan antusias, dan sesekali bertanya. Hingga sampailah kami di taman tempat Faaz sudah menunggu. Entah apa jadinya, kalau tidak ada pria itu saat kejadian tadi. Aku sungguh berhutang budi padanya.“Assalamu’alaikum,” sapaku, karena Faaz sedang asyik dengan HP.“Oh, hai!” sahutnya spontan, dan langsung menyimpan HP. “Wah, ini, ya, jago