Gontai, aku menyusul masuk, setelah memarkir sepeda motor di teras samping rumah. Tampak Mas Ikbal langsung terlihat akrab mengobrol dengan Ibu di dalam. Aku langsung menuju kamar dan meletakkan tas, selanjutnya membuat teh hangat untuk Mas Ikbal.
“Bu, Zaka mana?”“Ngaji di musala, Ai.”“Sama siapa, Bu?”“Berangkatnya tadi ikut Pak Rahmat, sekaligus nganter anaknya Fahmi ngaji.”“Pulangnya nanti sama siapa, Bu?”“Kamu jemput aja, Ai. Soalnya, tadi Pak Rahmat berpesan dia tidak bisa jemput, mau yasinan.”“Oh, iya deh. Kalau gitu, aku mandi dan salat dulu, ya, Bu, Mas.”“Cepet gantian, kasihan Nak Ikbal sendirian.”“Eh, aku juga mau salat, Bu. Silakan kalau mau salat, aku ke musala aja. Sekalian, nanti jemput Zaka pulang.”Aku yang hendak masuk kamar menghentikan langkah. “Mas, nggak perlu. Aku bisa sendiri.”“Bahaya juga malam-malam begini kamu mau jemput Zaka. Lagian, tadi Ibu lihat motormu rusak, kan, Ai?”“Ah, iya. Sepeda motorku rusak.” Aku menepuk kening.“Sudahlah, Ai. Jelas-jelas kamu nggak bisa juga jemput Zaka.”Aku diam saja, karena kenyataannya aku memang tidak bisa menjemputnya.“Bu, aku pamit ke musala dulu.”“Oh iya, Nak Ikbal.”“Mau titip apa, Bu? Sekalian, mau isi pulsa di pasar.”“Roti bakar kayaknya enak. Yang ketan hitam, Nak.”“Wah, mantep itu, Bu.”Ish!Aku berbalik, dan langsung masuk kamar. Setelah itu menyambar handuk di belakang pintu, menuju ke belakang, dan langsung mandi. Terdengar suara sepeda motor Mas Ikbal, saat aku memakai sabun. Aku sempat mendengar, hingga suara sepeda motor itu menjauh.“Mandi, Ai. Jangan melamun, keburu abis waktu magrib.”“Iya, Bu. Ini juga mandi.”Langsung saja kusirami tubuh dengan air dingin, setelah itu sikat gigi dan mengambil wudu untuk salat magrib.“Assalamu’alaikum warahmatullahi. Assalamu’alaikum warahmatullahi.”Aku telah selesai. Langsung keluar, setelah membereskan tempat salat. Berulang kali aku melirik jam, menunggu Zaka pulang. Kenapa mereka lama? Apa ada sesuatu di jalan? Terdengar gorden terbuka, tampak Ibu keluar dari kamarnya.“Kenapa, Ai?”“Zaka, kok, belum pulang juga, ya, Bu? Apa Mas Ikbal nggak tahu tempatnya?”“Tahu, kok. Katanya, udah beberapa kali dia ke sana.”“Masa, sih, Bu?”“Serius, Ai.”Aku mondar-mandir, gelisah menunggu mereka pulang. Apa Mas Ikbal mengajak serta Zaka keliling pasar untuk membeli pulsa katanya tadi? Atau ... Zaka tidak mau diajak pulang orang yang belum dikenalnya? Astagfirullahalazim. Iya, Zaka nggak akan mau diajak pulang! Aku segera masuk kamar, memakai hijab instan, setelahnya pergi keluar.“Mau ke mana, Ai?”“Nyusul Zaka, Bu!” teriakku.“Loh, kan udah dijemput Anak Ikbal?”“Zaka nggak akan mau. Aku sering wanti-wanti, jangan pernah mau kalau ada yang ngajak naik sepeda motor atau mobil jika nggak kenal. Itu penjahat, aku sering bilang gitu.”“Naik apa ke sana?”“Minta tolong Pak Fikri. Naik bentor, Bu!”“Hati-hati!” teriak Ibu yang suaranya kian mengecil, karena jarak kami yang semakin jauh.“Iya!”***“Makasih, ya, Pak!” ucapku seraya mengangsurkan uang.“Sama-sama, Mbak.”Aku langsung berlari menuju musala. Suasana musala ramai, karena masih menunggu salat Isya. Tampak Zaka duduk sendirian di dalam. Aku melepas sandal sampai di batas suci, membenarkan hijab yang sedikit berantakan, selanjutnya masuk menemui Zaka.“Nak, maaf, ya, Bunda telat.”Wajah yang sejak tadi tertunduk itu mendongak seketika. Masih ada jejak air mata di sana.“Loh, kok, nangis? Kenapa?”“Huhu, tadi ada om-om yang paksa mau nganterin pulang. Dia pasti orang jahat, Bun. Katanya, dia mau ajak Zaka keliling pasar, dan Zaka boleh beli apa saja.”“Oh, ya? Apa orangnya pake kemeja warna biru, dan rambutnya belah pinggir?”“Loh, kok, Bunda tahu?”“Itu bukan penjahat, Sayang. Dia teman Bunda. Soalnya sepeda motor kita rusak, sehingga Bunda nggak bisa jemput kamu ke sini.” Aku menghapus sisa air matanya. “Dah, jangan takut lagi. Ada Bunda di sini. Om itu ke mana sekarang?”“Katanya mau ke pasar sebentar, nanti jemput ke sini lagi.”“Aku takut banget, Bunda.” Aku memeluk kepalanya.“Udah, nggak apa-apa.” Aku mengusap-usap bahunya.Tidak berapa lama, Mas Ikbal datang. Dia menenteng sesuatu di tangan.“Wah, ternyata bundanya udah datang. Lihat nih, Om bawain apa?”Zaka menatapku sesaat, membuatku tersenyum, supaya hatinya tenang. “Bunda, bolehkah Zaka lihat mainannya?”Aku diam saja, bingung harus berkata apa, karena Mas Ikbal juga sudah membelikan mainan untuk Zaka yang belum aku tunjukkan.“Boleh, dong. Masa nggak boleh. Panggil saja Om Ikbal, ya.”“Ya udah, nggak apa-apa, kalau mau lihat, Nak.”Perlahan, Zaka mengambil kantung dari tangan Mas Ikbal, lalu mengeluarkan isinya. “Wow, robotnya bagus banget, Om!”“Kamu suka?”“Suka banget!” sahut Zaka antusias.Beberapa bapak-bapak yang ada di musala itu berbisik-bisik. Aku melempar senyum pada mereka, dan pamit pulang.“Bun, kita naik apa pulangnya?”“Tunggu bentar, Nak.”“Kenapa nggak ikut aja, sih, Ai?”“Iya, Bun. Kata Bunda, Om Ikbal temannya Bunda. Kenapa nggak ikut aja, sih, Bun?”“Nggak enak dilihat tetangga, Sayang.”Mas Ikbal sepertinya mengerti, dia langsung pergi lebih dulu dari kami. Tidak berapa lama, dia datang lagi bersama bentor.“Ai, udah aku ceriin bentor. Ayo, kita pulang.”“Kamu duluan aja, Mas. Aku nyusul dari belakang.”“Ya ampun, Ai. Ya udah, kamu yang duluan. Aku ngiring dari belakang.”“Ya udah. Ayo, Nak, kita naik bentor.” Aku menggandeng tangan Zaka menaiki bentor. Menit berikutnya, kami sudah berjalan menuju rumah. Tampak Mas Ikbal mengiring dari belakang. Aku memperhatikannya dari kaca spion.“Bun.”“Iya, Nak?”“Om itu temen Bunda waktu kelas berapa?”“Waktu Bunda SMA, Nak.”“Kenapa selama ini nggak pernah ketemu sama Zaka?”“Eh, soalnya dia kerjanya jauh. Nah, kali ini dia lagi kerja di sekitar sini.”“Oh.” Kepala anak itu mengangguk-angguk. “Om itu baik, ya, Bun.”“Iya, alhamdulillah, Nak.”“Jadi inget Ayah.”Aku terdiam. Entah mengapa, kalau ingat Mas Dwi, rasa bersalah itu datang. Terlebih, mengingat saat ini aku dekat dan satu kantor dengan Mas Ikbal.***Akhirnya kami sampai di rumah. Mas Ikbal langsung membayar, dan kami masuk beriringan. Zaka langsung membuka mainan, saat sudah duduk di ruang tamu. Mereka langsung main berdua, sedangkan aku dan Ibu menatap mereka dari pintu dapur. Roti bakar pesanan Ibu masih terbungkus rapi di meja makan.“Ikbal, udah lama banget Ibu nggak lihat dia. Sekarang, tiba-tiba datang. Lihat, Zaka kayaknya nyaman deh sama dia Ai.”“Bu, Zaka emang mudah deket sama siapa aja.”“Sudah setahun lebih, Ai. Sudah saatnya kamu mencari ayah untuk Zaka. Kita nggak pernah tahu, sampai kapan Ibu bisa nemenin kamu. Bagaimana kalau sudah waktunya? Kamu nggak akan sanggup bekerja, sementara Zaka nggak ada yang ngurusin. Kamu butuh pendamping, butuh imam, butuh sandaran yang bisa memberikan kehidupan yang lebih baik buat kamu, Ai. Tujuannya, supaya kamu bisa fokus mengurus Zaka.”Aku menggigit bibir. Rasanya, aku tidak sanggup menggeser posisi Mas Dwi di hatiku. “Bu, terlalu cepat,” sahutku dengan suara serak.“Ai, kamu masih muda. Zaka butuh sosok ayah. Lihatlah mereka.”Memang, Zaka terlihat sangat bahagia bermain bersama Mas Ikbal. Hanya saja, aku takut sekali posisi Mas Dwi akan berganti dengan sosoknya. Aku takut, kami akan melupakan sosok luar biasa itu.“Ah, robot Om kalah nih!”“Tembakan turbo. Dor, dor, dor!”Aku mengalihkan pandangan, berbalik, dan duduk di kursi meja makan. Ibu mendekat, kemudian membelai lembut kepala. “Ibu nggak akan paksa kamu, Ai. Ibu hanya memberi saran.”Tepat pukul 21.30 malam, Mas Ikbal pamit pulang. Di kamar, Zaka terus menceritakan kebersamaannya bersama pria yang dianggapnya om itu dengan sangat antusias. Anak itu bahkan bertanya, kapan pria itu akan kembali datang.Hari ini, aku ada pertemuan wali di sekolah Zaka. Karena sekolah itu tidak terlalu jauh, jadi aku memutuskan jalan kaki bersama ibu-ibu yang lain. “Bunda Zaka, yang semalam itu calonnya, ya?” tanya Bu Purnimi, tetangga sebelah rumah.“Semalam?” tanyaku belum nyambung.“Iya, semalam aku lihat ada cowok keren datang ke rumah Bunda Zaka. Cakep, dan masih muda, loh, Bun.” “Wah, iyakah? Kerja apa calonnya, Bun?” Kali ini Bu Rusni yang penasaran. “Bunda Zaka mah enak. Masih muda dan cantik, pasti banyak pria tajir yang mau dijadikan suami. Tapi ya itu pasti awalnya aja sayang sama anak kita. Setelah dapet, bisa jadi dia keberatan tinggal serumah dengan anak kita,” Bu Helda menimpali.“Wah, iya. Banyak contohnya. Itu kasus artis bule itu, kan. Awalnya dipuji-puji ini itu, setelah nikah ... kasar sama anak sambungnya. Sampe dijejeli sambal, karena kesal anak itu nggak doyan makan pedas,” sahut Bu Purnimi. “Eh, ibu-ibu, itu hanya teman kerja saja. Kebetulan, kemarin aku dapet musibah. Sepe
Aku dan Mas Ikbal saling tatap. “Bukan apa-apa,” sahut kami serentak, yang memancing Susi tergelak.“Apaan, sih? Kok, bisa samaan gitu, ya?” Aku menunduk dalam, malu. Iya, kenapa bisa barengan ngomongnya?“Eh, kalau gitu, saya naik ke atas dulu. Permisi.” Aku diam saja, hanya Susi yang menjawab. “Oke, Pak.” Setelah menjawab itu, Susi duduk di sampingku. Sikunya terus menyikut lengan ini.“Apa?” tanyaku sewot. Aku tahu, dia pasti kepo.“Kalian tadi ngomong soal apa, sih?” “Bukan apa-apa.”“Ai, jujur aja, lah.”“Udah dibilang, bukan apa-apa.” “Pelit banget, ngasih info gitu aja.” Aku menyibukkan diri dengan memeriksa catatan buku panjang, sementara Susi menjauh dan duduk di meja kasir sambil geleng-geleng kepala. Duh, Mas Ikbal, kenapa juga bersikap seperti itu? Buat Susi curiga aja! Curiga? Emang kami kenapa? Toh, kami nggak ada apa-apa, kan? Cuma ... ya, aku belum cerita juga, sih, ke Susi soal masa laluku dan Mas Ikbal. Insyaallah nanti deh aku cerita, supaya dia nggak kepo. Ha
“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke
Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci
Kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Mas Ikbal tersenyum kecil, kemudian menarik kursi, dan mempersilakan Pak Renaldi bergabung bersama kami. Aku melirik Susi. Dia terlihat menepuk kening. “Saya ingin memberi tahu sesuatu, Pak.” Mataku melotot. Jangan-jangan ... Mas Ikbal mau bicara soal kami pada Pak Renaldi. Entah mengapa, suasana hatiku makin tidak menentu. “Soal apa, Pak?” Aku menggeleng pelan sambil terus menatap Mas Ikbal. Entah mengapa, aku tidak ingin dia mengatakan soal kami pada bosku. Namun, Mas Ikbal tidak mengacuhkanku. Dia tersenyum tipis, dan kembali menatap Pak Renaldi. “Soal apa, Pak? Ayo katakan, jangan buat saya penasaran!” desaknya dengan nada bercanda. “Ini, penjualan HP merek yang kami pasarkan naik pesat. Saya bersyukur.” “Oh, soal itu. Alhamdulillah. Berarti para SPG berhasil menaikkan omzet penjualan kita.”“Iya, alhamdulillah.” Aku lega, karena Mas Ikbal tidak mengatakan hal yang aneh-aneh. Kulihat mereka bercerita banyak hal. Aku dan Susi melanjutkan
Karena makin kesal, aku memutuskan masuk kamar. Ke mana Mbak Retno? Biasanya dia paling kepo, kalau ada Mas Ikbal ke sini.Sampai di kamar, aku duduk di sisi ranjang. Kemudian berpikir setelah cukup tenang. Sikapku barusan, apakah pantas pada Mas Ikbal? Niat dan maksudnya baik, menolongku menjemput Zaka. Anak ini juga senang dijemput, diberi perhatian, dan diajak main di rumah.Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Zaka sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Mas Dwi, lalu mencium hangat puncak kepala anak ini. Ada bongkahan penyesalan sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf, ya, Nak,” bisikku di telinganya, lalu mencium lama kening Zaka sambil memejamkan mata. Setelahnya, kubelai rambut Zaka yang ikal. Aku tersenyum getir melihatnya sedang terlelap seperti ini. Mengapa aku harus marah? Mengapa? Ah, kenapa aku baru menyesal setelah melakukannya? Jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan kejadian di konter tadi siang? Apa benar, aku ... cemburu, sehingga apa pun yan
Kami duduk di sebuah taman. Kanan kiri ramai juga orang-orang berbincang, ada yang dengan pacar, ada juga dengan keluarga kecil. Mas Ikbal permisi sebentar, entah ke mana. Kepalaku menoleh ke segala penjuru arah memperhatikan mereka. Di depan sana, tampak keluarga kecil yang bahagia. Sang ayah dengan riangnya menggendong anaknya di punggung bagian belakang, sementara sang ibu mengejar. Tawa riang mereka menghangatkan hatiku. Andai Mas Dwi masih ada, pasti kami akan bahagia seperti itu. “Ini buat kamu!” Aku menoleh, dan mendapati Mas Ikbal menyodorkan sebuah es krim padaku. Aku menerima, membuka, lalu memakannya. “Katanya, es krim itu bisa mengubah mood seseorang. Dari sedih jadi happy, dan ... dari yang gampang marah jadi lebih sabar.” Aku diam saja, masih asyik menikmati es krim di tangan. “Kayak kamu!” Refleks, aku menoleh ke arahnya. Mas Ikbal tertawa. “Bercanda, Ai. Hahaha.” “Ish!” seruku kesal. “Tuh, kan, kamu tuh gampang banget marah. Perasaan, dulu kamu sabar, deh, Ai.