“Mas, maksudnya ini apa?”
“Ai, buat anak kamu. Terimalah, kali ini aja, Ai.”“Aku tanya, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku mau beli ini tadi?”“Aku ngikutin kamu dari rumah.”“Kamu tahu rumah aku?”Pria itu mengangguk.“Kamu mata-matai aku, Mas?”“Bahasanya bisa lebih sederhana nggak? Aku bukan detektif yang mata-matai kamu. Aku cuma nggak sengaja lihat kamu di jalan. Penasaran, dan akhirnya memastikan kamu baik-baik saja sampe rumah.”“Kapan?”Mas Ikbal menarik napasnya, lalu berkata, “Setiap hari. Nggak ada maksud memata-matai, cuma ingin memastikan kamu selamat sampe rumah.”“Mas, aku bukan anak kecil yang harus diawasi seperti itu.”Tidak berapa lama, datang Pak Renaldi. Dia tampak keheranan melihatku duduk di sini. Pria itu mendekat, dan berdiri di dekat kami berdua. “Rapat apa, ya? Kok, aku nggak tahu, Pak Ikbal? Soalnya, harusnya kalau mau rapat sama para SPG, bukan sama Aida.”“Maaf, Pak. Saya hanya ingin bicara sedikit,” sahut Mas Ikbal.“Mengenai apa? Jangan bilang masalah pribadi.”Mas Ikbal tertawa. “Bukan, Pak. Tenang saja. Aida mau pinjam uang untuk membeli mainan anaknya. Ini buktinya.” Mas Ikbal mengeluarkan mainan itu, dan menunjukkannya pada Pak Renaldi.Mendengar itu, membuat Pak Renaldi tertawa. “Ya ampun, Ai. Kamu bisa bilang sama saya. Kalau begitu, akan saya bayar. Berapa harganya?”Aku jadi bingung. “Eh, nggak perlu, Pak. Saya bisa bayar sendiri nanti.” Aku terpaksa ikut berbohong.“Jangan, biar saya yang bayar.”Mas Ikbal berdiri, lalu merangkul Pak Renaldi. “Pak, kamu seperti tidak kenal karyawanmu satu ini. Dia itu paling tidak mau hutang budi.”“Oh, iya. Ta udah, kali ini nggak apa-apa.” Pak Renaldi berbalik dan menuju ke arahku. “Lain kali, kalau perlu apa-apa, bilang sama saya, ya, Ai.”“Insyaallah, Pak. Kalau begitu, saya permisi turun ke bawah.” Aku membungkuk, lalu mengambil mainan di meja, dan membawanya turun ke bawah.Terpaksa kuambil mainan ini, tapi baiklah itu solusi yang bagus. Aku akan menjadikan ini sebagai hutang. Akan kubayar nanti, awal bulan. Sampai di bawah, langsung saja mainannya aku masukkan loker, sebelum Susi melihat. Bisa repot kalau dia tahu, lalu bertanya sampe ke akar-akarnya.“Eh, kenapa Ai?” tanyanya, saat sadar aku sudah ada di belakangnya. Untung mainan itu sudah aman dalam loker.“Nggak apa-apa, Sus. Tanya soal penjualan pulsa dan HP selama ini.”“Oh, kirain kenapa.”Setelahnya, kami kembali bekerja dengan tenang. Bibirku tersenyum, saat membayangkan Zaka akan berteriak girang menerima mainan ini nanti. Ah, rasanya tidak sabar sampai rumah.***Sorenya—setelah tutup, aku memutuskan pulang lebih dulu, sebelum Mas Ikbal turun. Aku tidak mau dia mengikuti lagi. Beberapa kali kuamati ke arah spion sepeda motor, siapa tahu terlihat sosoknya di sana. Alhamdulillah, tidak ada. Namun saat melewati simpang tiga yang banyak pohon dan jalanan agak sepi, terdengar sebuah sepeda motor mengikuti.Aku sudah kesal, karena aku pikir Mas Ikbal. Kulihat orang itu dari spion, ternyata bukan. Dua orang yang sangat mencurigakan mengikutiku dari belakang. Dua duanya memakai helm, kaca mata, juga masker penutup muka. Aku menambah kecepatan, tapi karena jalanan banyak lubang tidak bisa maksimal. Hingga mereka melaju semakin cepat, dan menghadang.“Hei, turun!” Pria yang duduk di bagian belakang memintaku turun dengan menodongkan pistol rakitan.“Ada apa, ya?” tanyaku bingung.“Serahkan sepeda motormu, atau ... kamu akan mati!”“Tolong jangan, Pak. Ini satu-satunya peninggalan suami saya. Jika ini kalian ambil, bagaimana saya mencari uang?”“Ah! Persetan dengan itu!”Pria yang wajahnya tidak terlihat sama sekali itu mendekat, dan mendorongku hingga aku jatuh bersama sepeda motor. Dia berusaha mengambil, dan aku berusaha mempertahankannya. Hingga pria itu melepaskan sepeda motorku, dan siap membidikku dengan pistol rakitan di tangannya.“Kamu siap mati hanya demi sepeda motor ini?” tanyanya yang siap menarik pelatuk.Aku diam, masih memegang sepeda motorku erat-erat. Bayangan wajah Zaka tertawa mengambil mainan bermain-main di pelupuk mata hadir. Bayangan tangis Ibu saat aku tiada, menarik-narik dalam benak. Bagaimana Ibu akan mencari uang bersamaan dengan mengurus Zaka. Air mataku menetes. Penjahat itu menarik pelatuknya, kemudian ....Dor!Aku menutup kedua telinga dengan tangan. Pistol itu berbunyi bersamaan dengan terjangan Mas Ikbal dari samping, yang membuat pria itu terjatuh dan tembakan si penjahat mengenai pepohonan. Aku pikir, aku sudah mati. Kuperiksa sekali lagi seluruh tubuh ini, ternyata aku tidak apa-apa. Aku berlari, bersembunyi di balik pohon, dan memperhatikan pertikaian sengit mereka.Karena penjahat itu kalah, maka maju teman satunya. Dia membantu temannya untuk menumbangkan Mas Ikbal. Karena melihat Mas Ikbal kewalahan, aku mencari balok kayu yang cukup besar, lalu memberanikan diri mendekat. Selanjutnya, aku memukulkan balok ke punggung salah satu penjahat.“Ai, kenapa kamu keluar? Bersembunyilah!” teriak Mas Ikbal, saat melihatku ikut membantunya.“Aku tidak bisa melihatmu menghadapi mereka sendirian, Mas!” sahutku ikut berteriak.Setiap kali penjahat itu akan berdiri, sekali lagi aku memukulnya, hingga dia jatuh tidak berdaya. Aku melempar kayu balok pada Mas Ikbal, dan dia berhasil menangkapnya. Bersyukurnya, senjata rakitan milik si penjahat jatuh entah ke mana. Mas Ikbal memukulkan balok itu ke tangan, kaki, serta tubuh yang membuat penjahat itu meringis kesakitan.Karena sadar kalah, langsung saja penjahat itu berlari mendekati sepeda motor. Detik berikutnya, dia sudah meninggalkan temannya. Terengah-engah, Mas Ikbal kelelahan dengan keringat mengucur dari hidungnya yang mancung. Dia duduk selonjoran di rerumputan. Tidak peduli kotor dan sedikit basah.Aku segera mendekat, dan sedikit membungkuk memegang lutut. Capek juga melawan seorang penjahat itu.“Hebat kamu, Ai,” katanya masih ngos-ngosan. “Tapi bagaimana kalau tadi terjadi apa-apa? Kamu suka nekat!”“Maaf, Mas. Aku akan merasa bersalah, jika terjadi sesuatu sama kamu. Sementara aku hanya diam di situ, menonton tanpa melakukan sesuatu.”“Pokoknya, lain kali jangan nekat.”“Kok, gitu ngomongnya? Amit-amit, lah, Mas, jangan sampe kejadian lagi. Aku pikir, aku akan mati.”“Ngaco kamu!”Satu penjahat sadar, dia memandang sekeliling. Melihatku dan Mas Ikbal ada di sana, dia bangkit, lalu tunggang-langgang menjauh dari kami. Melihat itu, Mas Ikbal mendengkus tertawa.“Lihat kamu, kayak lihat hantu penjahat itu, Ai.”“Sembarangan! Hantu cantik, ya!”Kami tertawa berdua. Setelah cukup lama beristirahat, Mas Ikbal beranjak. Dia memeriksa sepeda motorku, dan mencoba menghidupkannya. Sialnya tidak mau hidup, karena sempat terjatuh dan terjadi adegan tarik-menarik tadi.“Kenapa, Mas?”“Nggak mau idup, Ai.”“Rusak, ya? Mana hari mau gelap lagi.”“Kamu naiki aja, aku dorong dari belakang pake motorku.”“Emang bisa?”“Bisalah, insyaallah.”Akhirnya aku menaiki sepeda motor, dan Mas Ikbal mendorong dengan sebelah kaki sambil mengendarai sepeda motornya. Pas sekali beduk magrib berkumandang, kami sampai di rumah.“Makasih, ya, Mas!”“Sama-sama.”“Nggak nyuruh aku masuk dulu, Ai? Ngopi dulu gitu.”“Nggak punya kopi, Mas. Teh ada.”“Ya udah, teh aja.”“Lain kali, tapi Mas.”“Tega kamu, Ai. Ini magrib, loh, nggak baik di jalan.”“Ya udah, tunggu azan magrib selesai. Setelah itu, pulanglah.”Mas Ikbal mengembuskan napas kasar. “Oke.”“Ai, baru pulang?” teriak Ibu yang membuatku menoleh seketika.“Iya, Bu.”“Kenapa belum masuk?”“Bentar lagi.”“Wah, ada tamu, ya! Suruh masuk dulu Ai, magrib. Nggak baik ada di luar!”Mas Ikbal tampak mengulum senyum. Dia menstandarkan sepeda motornya, dan melewatiku begitu saja menuju ke rumah.“Assalamu’alaikum, Bu.”“Wa’alaikumsalam. Masuk sini.”Aku masih diam di luar.“Temannya Aida, ya?”“Iya, Bu. Bahkan, dari SMA dulu. Masa Ibu lupa sama saya?”“Siapa, ya?”Hening. Aku pikir dia akan pulang. Aku menoleh, dan terdengar Ibu berteriak, “Nak Ikbal, ya? Masyaallah, apa kabar? Ganteng sekali sekarang. Sudah makan belum, Nak?”Ish!Gontai, aku menyusul masuk, setelah memarkir sepeda motor di teras samping rumah. Tampak Mas Ikbal langsung terlihat akrab mengobrol dengan Ibu di dalam. Aku langsung menuju kamar dan meletakkan tas, selanjutnya membuat teh hangat untuk Mas Ikbal. “Bu, Zaka mana?” “Ngaji di musala, Ai.”“Sama siapa, Bu?” “Berangkatnya tadi ikut Pak Rahmat, sekaligus nganter anaknya Fahmi ngaji.” “Pulangnya nanti sama siapa, Bu?” “Kamu jemput aja, Ai. Soalnya, tadi Pak Rahmat berpesan dia tidak bisa jemput, mau yasinan.” “Oh, iya deh. Kalau gitu, aku mandi dan salat dulu, ya, Bu, Mas.” “Cepet gantian, kasihan Nak Ikbal sendirian.” “Eh, aku juga mau salat, Bu. Silakan kalau mau salat, aku ke musala aja. Sekalian, nanti jemput Zaka pulang.” Aku yang hendak masuk kamar menghentikan langkah. “Mas, nggak perlu. Aku bisa sendiri.”“Bahaya juga malam-malam begini kamu mau jemput Zaka. Lagian, tadi Ibu lihat motormu rusak, kan, Ai?” “Ah, iya. Sepeda motorku rusak.” Aku menepuk kening.“Sudahlah, Ai.
Hari ini, aku ada pertemuan wali di sekolah Zaka. Karena sekolah itu tidak terlalu jauh, jadi aku memutuskan jalan kaki bersama ibu-ibu yang lain. “Bunda Zaka, yang semalam itu calonnya, ya?” tanya Bu Purnimi, tetangga sebelah rumah.“Semalam?” tanyaku belum nyambung.“Iya, semalam aku lihat ada cowok keren datang ke rumah Bunda Zaka. Cakep, dan masih muda, loh, Bun.” “Wah, iyakah? Kerja apa calonnya, Bun?” Kali ini Bu Rusni yang penasaran. “Bunda Zaka mah enak. Masih muda dan cantik, pasti banyak pria tajir yang mau dijadikan suami. Tapi ya itu pasti awalnya aja sayang sama anak kita. Setelah dapet, bisa jadi dia keberatan tinggal serumah dengan anak kita,” Bu Helda menimpali.“Wah, iya. Banyak contohnya. Itu kasus artis bule itu, kan. Awalnya dipuji-puji ini itu, setelah nikah ... kasar sama anak sambungnya. Sampe dijejeli sambal, karena kesal anak itu nggak doyan makan pedas,” sahut Bu Purnimi. “Eh, ibu-ibu, itu hanya teman kerja saja. Kebetulan, kemarin aku dapet musibah. Sepe
Aku dan Mas Ikbal saling tatap. “Bukan apa-apa,” sahut kami serentak, yang memancing Susi tergelak.“Apaan, sih? Kok, bisa samaan gitu, ya?” Aku menunduk dalam, malu. Iya, kenapa bisa barengan ngomongnya?“Eh, kalau gitu, saya naik ke atas dulu. Permisi.” Aku diam saja, hanya Susi yang menjawab. “Oke, Pak.” Setelah menjawab itu, Susi duduk di sampingku. Sikunya terus menyikut lengan ini.“Apa?” tanyaku sewot. Aku tahu, dia pasti kepo.“Kalian tadi ngomong soal apa, sih?” “Bukan apa-apa.”“Ai, jujur aja, lah.”“Udah dibilang, bukan apa-apa.” “Pelit banget, ngasih info gitu aja.” Aku menyibukkan diri dengan memeriksa catatan buku panjang, sementara Susi menjauh dan duduk di meja kasir sambil geleng-geleng kepala. Duh, Mas Ikbal, kenapa juga bersikap seperti itu? Buat Susi curiga aja! Curiga? Emang kami kenapa? Toh, kami nggak ada apa-apa, kan? Cuma ... ya, aku belum cerita juga, sih, ke Susi soal masa laluku dan Mas Ikbal. Insyaallah nanti deh aku cerita, supaya dia nggak kepo. Ha
“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke
Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci
Kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Mas Ikbal tersenyum kecil, kemudian menarik kursi, dan mempersilakan Pak Renaldi bergabung bersama kami. Aku melirik Susi. Dia terlihat menepuk kening. “Saya ingin memberi tahu sesuatu, Pak.” Mataku melotot. Jangan-jangan ... Mas Ikbal mau bicara soal kami pada Pak Renaldi. Entah mengapa, suasana hatiku makin tidak menentu. “Soal apa, Pak?” Aku menggeleng pelan sambil terus menatap Mas Ikbal. Entah mengapa, aku tidak ingin dia mengatakan soal kami pada bosku. Namun, Mas Ikbal tidak mengacuhkanku. Dia tersenyum tipis, dan kembali menatap Pak Renaldi. “Soal apa, Pak? Ayo katakan, jangan buat saya penasaran!” desaknya dengan nada bercanda. “Ini, penjualan HP merek yang kami pasarkan naik pesat. Saya bersyukur.” “Oh, soal itu. Alhamdulillah. Berarti para SPG berhasil menaikkan omzet penjualan kita.”“Iya, alhamdulillah.” Aku lega, karena Mas Ikbal tidak mengatakan hal yang aneh-aneh. Kulihat mereka bercerita banyak hal. Aku dan Susi melanjutkan
Karena makin kesal, aku memutuskan masuk kamar. Ke mana Mbak Retno? Biasanya dia paling kepo, kalau ada Mas Ikbal ke sini.Sampai di kamar, aku duduk di sisi ranjang. Kemudian berpikir setelah cukup tenang. Sikapku barusan, apakah pantas pada Mas Ikbal? Niat dan maksudnya baik, menolongku menjemput Zaka. Anak ini juga senang dijemput, diberi perhatian, dan diajak main di rumah.Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Zaka sudah terlelap. Kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Mas Dwi, lalu mencium hangat puncak kepala anak ini. Ada bongkahan penyesalan sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf, ya, Nak,” bisikku di telinganya, lalu mencium lama kening Zaka sambil memejamkan mata. Setelahnya, kubelai rambut Zaka yang ikal. Aku tersenyum getir melihatnya sedang terlelap seperti ini. Mengapa aku harus marah? Mengapa? Ah, kenapa aku baru menyesal setelah melakukannya? Jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan kejadian di konter tadi siang? Apa benar, aku ... cemburu, sehingga apa pun yan