"Pagi, Pak .... " sahutku masih tidak percaya.
Tertera nama Ikbal di papan nama yang mengait di bajunya. Bagaimana bisa kami bertemu di sini. Aku berusaha kembali fokus bekerja, tak kuhiraukan senyuman tipis Mas Ikbal berdiri di sana, masih terus menatap. Andi Susi tahu kalau laki-laki itu hampir saja menjadi suamiku. Ah, kenapa dunia begitu sempit. Mereka sempat berbincang sebentar, lagi Mas Ikbal naik ke lantai atas.
"Ai itu namanya Pak Ikbal."
"Oh, iya." Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Cakep, ya!" Susi senyum-senyum mengatakan semua itu.
"Oh, iya," sahutku lagi, masih sibuk mengelap atalase dalam ruangan ini.
"Ai! Kok oh iya terus sih. Jangan jangan nanti berubah jadi oh yes oh no, oh yes oh no."
"Susi! Kamu apaan sih?!" Aku mulai terusik, candaannya pagi ini sungguh tidak lucu bagiku.
"Becanda, Ai. Kamu kenapa sih, baru juga masuk kerja dah sensitif aja bawaannya. Jangan bilang kamu lagi Pe em es, jadi sensi gitu."
Aku diam saja. Masih sibuk membersihkan semua bagian ruangan ini. Tidak berapa lama Pak Renaldi datang. Ia adalah pemilik konter ini. Pria berkumis tipis itu mendekati kami.
"Ada yang dateng nggak? Dari pihak ponsel, mau mengamati cara kerja kita di sini."
"Ada, Pak. Namanya Pak Ikbal kan?"
"Oh, ya. Berarti udah dateng. Ai, apa kabar?"
Aku menoleh dan tersenyum mendengar namaku disebut.
"Baik, Pak. Alhamdulillah ... bapak sendiri apa kabar?"
"Tidak baik-baik saja kalau nggak ada kamu."
"Ciee Uhuy!"
Susi mengulum senyum, Ia menyikut lenganku. Aku hanya tersenyum samar membalas gombalan Pak Renaldi. Bosku ini memang pria humoris, dia suka menggoda aku dan susi. Anehnya Susi sering menanggapinya dengan serius. Katanya, kalau padaku Pak Renaldi sering menggombal semacam merayu, tapi jika dengannya hanya main-main biasa yang tak mengarah ke sana.
"Apaan, sih!" Aku menggeser tubuhku menjauh dari Susi. Wanita bertubuh kurus itu terus saja mengulas senyum.
"Dah, ah. Saya naik ke atas dulu, ya! Ai, nanti kalau SPG bagian konter yang biasa nunggu di depan sudah datang, jangan lupa ada kenaikan hanya untuk setiap voucher. Kalau mereka kurang jelas minta naik ke atas menemuiku. Nanti biar saya yang jelaskan."
"Iya, Pak."
Pak Renaldi juga naik ke atas.
"Ai, Pak Bos dah kasih sinyal tuh. Kamu kok nggak paham-paham sih?"
"Susi, dia cuma becanda, udahlah ... "
Tidak berapa lama datang 3 wanita cantik berbaju sexy. Mereka para SPG yang dimaksud bos tadi. Aku langsung menyampaikan pesan dan langsung saja mereka naik ke atas untuk menemui Pak Renaldi.
Pagi beranjak siang. Satu persatu banyak orang yang datang. Ada yang beli ponsel baru, ada yang benerin ponselnya, ada yang beli charger hape, ada juga yang hanya beli pulsa atau kartu perdana. Bahkan, ada yang hanya nanya-nanya.
Tepat pukul 11 siang, Mas Ikbal turun ke bawah bersama Pak Renaldi. Mereka terlihat membahas sesuatu dengan santai. Lalu duduk di dekat meja kasir di mana Susi duduk. Aku menunduk saat tanpa sengaja beradu pandang dengan Mas Ikbal, ia mengulas senyum tipis padaku. Apa ini tidak terlalu kebetulan? Baru saja kami bertemu beberapa hari yang lalu di hajatan adik ipar, kini kami bertemu lagi di sini.
"Ai, bentar lagi jam makan siang, kamu makan pulang ke rumah?" tanya Pak Renaldi.
Aku biasanya pulang ke rumah, hanya saja sepertinya aku tidak akan pulang hari ini. Soalnya ngirit bensin. Pengeluaran tak terduga untuk ongkos pulang ke rumah Ibu mertua saat hajatan kemaren cukup lumayan.
"Saya nggak pulang, Pak," sahutku sambil menyusun beberapa kartu perdana dalam etalase kaca.
"Jadi makan di luar sana Susi?" lanjutnya lagi.
"Eh, saya masih kenyang. Sepertinya akan menunggu saja di sini. Siapa tahu nanti ada pembeli datang."
"Oh ya udah. Nanti saya beliin aja makan di luar."
"Nggak perlu Pak. Beneran saya masih kenyang." Aku meyakinkan.
"Nggak boleh nolak rejeki, Ai," sambung Mas Ikbal yang membuat Pak Renaldi dan Susi langsung menoleh ke arahnya. "Kalau ada yang nawarin dengan tulus, terima aja itu namanya rejeki."
"Bener kata Pak Ikbal. Dia emang suka gitu, Pak. Ditawarin apa aja nolak. Nggak pernah mau nerima." Pak Renaldi curhat terselubung sepertinya.
Memang, apa pun yang dia tawarkan aku selalu menolak.
"Ai, Bapak mau ke kantor pajak. Mau titip makanan? Nggak apa-apa biar bapak yang traktir."
"Ai, besok Bapak mau keluar kota. Katanya di sana terkenal dengan kain adatnya, nanti Bapak bawain."
"Ai, kemaren Bapak lihat kamu pucet. Ini bapak bawain vitamin."
Dan lain-lain. Sebanyak apa pun dia menawarkan, sebanyak itu pula aku manolaknya. Tak ada 1 kalipun aku menerima. Aku hanya mau menerima uang gajiku setiap bulan. Itupun kalau lebih besar dari Susi aku kembalikan.
Mendengar cerita Pak Renaldi Mas Ikbal hanya tersenyum. Dia mengenalku lama, sudah pasti dia paham kebiasaanku yang tak mau menyusahkan dan memiliki utang budi dengan orang lain. Aku hanya diam mendengarkan mereka membicarakanku.
[Denger, Ai? Para bos lagi nasehatin kamu nih!]
Chat w* dari Susi. Aku mengabaikannya dan kembali memeriksa catatan di buku panjang hari ini. Pas jam makan siang konter jadi sepi, termasuk Pak Renaldi dan Mas Ikbal sudah keluar dari sini. Karena konter sedang tak ada pengunjung, aku memutuskan menghidupkan musik dengan mendengarkan lagi melalui headset.
Saat sedang asik mendengar lagu yang berjudul sempurna dari Andra And The BackBone tiba-tiba di hadapanku seseorang meletakkan kotak nasi. Di sana tertulis : Ayah Geprek Mbak Yani. Aku mendongak dan mendapati Mas Ikbal tersenyum padaku. Aku melepas headset dari telinga.
"Makan dulu, Ai."
"Mas, aku bilang aku masih kenyang."
"Jangan anggap ini hutang Budi."
"Anggap aja hutang Ani," celetukku dan kami sama-sama tertawa.
Kata-kata itu masih terekam jelas di tempurung kepalaku.
Setiap kali ia membelikanku air minum, atau beberapa Snack ke kelas karena aku enggan keluar, malah memilih duduk dan membaca buku.
"Aku masih kenyang, Mas. Beneran."
"Ai, udahlah. Makan dulu, baru kerja lagi."
"Aku simpen aja."
Aku mengambilnya dan meletakkannya di meja, dekat ranselku. Melihat itu Mas Ikbal menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bandel banget. Dari dulu keras kepalanya nggak ilang-ilang."
Ia naik ke atas masih dengan wajah kesal. Sementara aku tak mau terlalu ambil pusing dan kembali melanjutkan mendengarkan lagu kesayangan. Baru selesai lagu Andra and the BackBone tiba-tiba Pak Renaldi datang. Ia mengangsurkan sebungkus mie ayam padaku.
"Mie Ayam Pakde Karso. Cicipin deh Ai, rasanya enak banget. Itu kalau nggak kamu makan, bakal ngembang terus terbuang sia-sia. Itu sama aja kamu bikin mubazir makanan."
Ah, pusing kepala. Akhirnya aku bergerak ke belakang mengambil mangkuk dan memakannya. Jika makanan ini tidak mudah mengembang sudah pasti akan kubawa pulang. Saat baru akan menyuapkan makanan Mas Ikbal turun lagi ke bawah. Ia mendekati Pak Renaldi yang duduk di meja kasir. Tiba-tiba aku merasa tidak enak, baru saja Mas Ikbal memberikan makanan, dan aku tidak memakannya.
Sekarang aku sedang memakan mie ayam pemberian Pak Renaldi. Padahal ini terpaksa karena tidak enak saja kalau makanan ini akan terbuang sia-sia nantinya. Aku berusaha tetap santai memakan mie ayam ini, toh dia juga tak tahu kalau mie ini pemberian Pak Renaldi. Mas Ikbal melewati tubuhku dengan mata terus tertuju pada mangkuk berisi mie.
"Aku telat! Ya ampun!" Tergesa Susi memasuki konter.
Terengah-engah ia meletakkan tas dalam loker, lalu duduk di sampingku.
"Telat, Sus?" tanya Pak Renaldi.
"Iya, Pak. Maaf. Padahal udah buru-buru tadi."
"Kamu lewat Jl. Jendral Sudirman?"
"Bener, Pak."
"Ada orang baru jual mie ayam ya di sana."
Mataku membulat, jangan sampai Pak Renaldi mengatakan ini pemberian darinya.
"Oh iya, Pak. Mie Ayam Pakde Karso ya? Mantep banget itu. Bapak udah nyobain?"
Aku semakin deg degan, takut kata-kata itu terucap.
"Belum sih, tapi tadi lewat situ beli sebungkus."
"Udah beli tapi belum icip-icip?" tanya Susi penasaran.
Tenggorokanku semakin sulit menelan.
"Beliin Aida. Tuh dia lagi makan, kayaknya dia suka."
Bahuku yang tadinya tegak, jatuh seketika. Akhirnya terucap juga. Aku tersenyum saat mereka memperhatikanku makan. Kemudian tatapanku berhenti di wajah Mas Ikbal. Ia tersenyum tipis lalu berkata.
"Enak, Ai?"
"Enak, Ai?" tanyanya seraya tersenyum.Aku tak menjawab, hanya mejawab pertanyaannya dengan senyum tipis. Sumpah, rasanya mie ini nyangkut di tenggorokan. Semoga Mas Ikbal tidak berpikir yang tidak-tidak. Kemudian mereka kembali terlibat obrolan soal pekerjaan."Kenapa, Ai? Dari pagi sikap kamu agak aneh deh," protes Susi. Ia kemudian menoleh ke belakang. "Wah, ada ayam geprek! Punya siapa ini, Ai?" teriak Susi girang yang membuat dua laki-laki yang terlibat obrolan serius itu menoleh seketika."Pu ... punyaku.""Wahh kebetulan! Aku belum makan, Ai. Tadi di rumah pas masak nasi lupa tekan tombol merahnya, jadi nggak masak. Ai minum air putih aja. Boleh ya Ai, kamu kan dah makan mie ayam. Please .... " Wajah Susi memelas persis seperti anak kucing yang minta ikan asin. "Please .... "Bismillahh. "Ya.""Horee!! Makasih ya, Ai. Saha
“Mas, maksudnya ini apa?” “Ai, buat anak kamu. Terimalah, kali ini aja, Ai.”“Aku tanya, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku mau beli ini tadi?” “Aku ngikutin kamu dari rumah.”“Kamu tahu rumah aku?” Pria itu mengangguk. “Kamu mata-matai aku, Mas?” “Bahasanya bisa lebih sederhana nggak? Aku bukan detektif yang mata-matai kamu. Aku cuma nggak sengaja lihat kamu di jalan. Penasaran, dan akhirnya memastikan kamu baik-baik saja sampe rumah.”“Kapan?” Mas Ikbal menarik napasnya, lalu berkata, “Setiap hari. Nggak ada maksud memata-matai, cuma ingin memastikan kamu selamat sampe rumah.”“Mas, aku bukan anak kecil yang harus diawasi seperti itu.”Tidak berapa lama, datang Pak Renaldi. Dia tampak keheranan melihatku duduk di sini. Pria itu mendekat, dan berdiri di dekat kami berdua. “Rapat apa, ya? Kok, aku nggak tahu, Pak Ikbal? Soalnya, harusnya kalau mau rapat sama para SPG, bukan sama Aida.” “Maaf, Pak. Saya hanya ingin bicara sedikit,” sahut Mas Ikbal.“Mengenai apa? Jangan bilang m
Gontai, aku menyusul masuk, setelah memarkir sepeda motor di teras samping rumah. Tampak Mas Ikbal langsung terlihat akrab mengobrol dengan Ibu di dalam. Aku langsung menuju kamar dan meletakkan tas, selanjutnya membuat teh hangat untuk Mas Ikbal. “Bu, Zaka mana?” “Ngaji di musala, Ai.”“Sama siapa, Bu?” “Berangkatnya tadi ikut Pak Rahmat, sekaligus nganter anaknya Fahmi ngaji.” “Pulangnya nanti sama siapa, Bu?” “Kamu jemput aja, Ai. Soalnya, tadi Pak Rahmat berpesan dia tidak bisa jemput, mau yasinan.” “Oh, iya deh. Kalau gitu, aku mandi dan salat dulu, ya, Bu, Mas.” “Cepet gantian, kasihan Nak Ikbal sendirian.” “Eh, aku juga mau salat, Bu. Silakan kalau mau salat, aku ke musala aja. Sekalian, nanti jemput Zaka pulang.” Aku yang hendak masuk kamar menghentikan langkah. “Mas, nggak perlu. Aku bisa sendiri.”“Bahaya juga malam-malam begini kamu mau jemput Zaka. Lagian, tadi Ibu lihat motormu rusak, kan, Ai?” “Ah, iya. Sepeda motorku rusak.” Aku menepuk kening.“Sudahlah, Ai.
Hari ini, aku ada pertemuan wali di sekolah Zaka. Karena sekolah itu tidak terlalu jauh, jadi aku memutuskan jalan kaki bersama ibu-ibu yang lain. “Bunda Zaka, yang semalam itu calonnya, ya?” tanya Bu Purnimi, tetangga sebelah rumah.“Semalam?” tanyaku belum nyambung.“Iya, semalam aku lihat ada cowok keren datang ke rumah Bunda Zaka. Cakep, dan masih muda, loh, Bun.” “Wah, iyakah? Kerja apa calonnya, Bun?” Kali ini Bu Rusni yang penasaran. “Bunda Zaka mah enak. Masih muda dan cantik, pasti banyak pria tajir yang mau dijadikan suami. Tapi ya itu pasti awalnya aja sayang sama anak kita. Setelah dapet, bisa jadi dia keberatan tinggal serumah dengan anak kita,” Bu Helda menimpali.“Wah, iya. Banyak contohnya. Itu kasus artis bule itu, kan. Awalnya dipuji-puji ini itu, setelah nikah ... kasar sama anak sambungnya. Sampe dijejeli sambal, karena kesal anak itu nggak doyan makan pedas,” sahut Bu Purnimi. “Eh, ibu-ibu, itu hanya teman kerja saja. Kebetulan, kemarin aku dapet musibah. Sepe
Aku dan Mas Ikbal saling tatap. “Bukan apa-apa,” sahut kami serentak, yang memancing Susi tergelak.“Apaan, sih? Kok, bisa samaan gitu, ya?” Aku menunduk dalam, malu. Iya, kenapa bisa barengan ngomongnya?“Eh, kalau gitu, saya naik ke atas dulu. Permisi.” Aku diam saja, hanya Susi yang menjawab. “Oke, Pak.” Setelah menjawab itu, Susi duduk di sampingku. Sikunya terus menyikut lengan ini.“Apa?” tanyaku sewot. Aku tahu, dia pasti kepo.“Kalian tadi ngomong soal apa, sih?” “Bukan apa-apa.”“Ai, jujur aja, lah.”“Udah dibilang, bukan apa-apa.” “Pelit banget, ngasih info gitu aja.” Aku menyibukkan diri dengan memeriksa catatan buku panjang, sementara Susi menjauh dan duduk di meja kasir sambil geleng-geleng kepala. Duh, Mas Ikbal, kenapa juga bersikap seperti itu? Buat Susi curiga aja! Curiga? Emang kami kenapa? Toh, kami nggak ada apa-apa, kan? Cuma ... ya, aku belum cerita juga, sih, ke Susi soal masa laluku dan Mas Ikbal. Insyaallah nanti deh aku cerita, supaya dia nggak kepo. Ha
“Nggak masalah, kalau Pak Ikbalnya mau. Aku yakin, kalau aku masih sendiri, dia pasti naksirnya sama aku, bukan sama kamu!”“Huhu!” Aku sewot, membuat Susi tergelak. Sambil bekerja, mulut Susi terus saja nyerocos. Ternyata dia sudah kagum pada kegantengan Mas Ikbal sejak pertama datang ke sini. Aku tersenyum kecil, jika mendengar dia menyebut nama Mas Ikbal mendayu-dayu seolah Ingin merayu. Namun, aku jaim. Sok nggak peduli, dan sok sibuk di konter ini. Saat menoleh ke atas, tanpa sengaja aku menangkap sosok Mas Ikbal yang sedang memperhatikanku. Langsung saja aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu. Aku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri karena Susi, langsung jaga sikap, diam seribu bahasa. Meskipun hati tergelitik ingin tertawa, karena mendengar setiap kata-kata yang terlontar dari mulut Susi. ***“Bun.” “Iya, Nak?” “Om-om yang ke sini kemarin, kok, nggak ke sini lagi?” “Eh, om itu lagi banyak kerjaan.”“Zaka suka main sama om itu. Dia baik, Bun.”“Oh, ya?”Putra ke
Di meja, ada Zaka yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Anak itu bersemangat pergi ke sekolah pagi ini. Aku duduk di sampingnya, dan mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Semangat banget anak Bunda.”“Iya, soalnya Zaka bawa mainan baru dari Om Ikbal.” “Emang hari ini diminta bawa mainan, Nak?” “Nggak, Bun. Tapi Zaka mau main pas jam istirahat.” “Kalau nggak disuruh, nggak usah, Nak. Main di rumah aja, ya?” “Tapi, Bun, Zaka pengin tunjukin ke teman-teman, kalau Zaka ada mainan baru.” “Nanti, kan pas diminta bu guru bawa ke sekolah bisa ditunjukin ke teman, Nak.” Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Nak, bagaimana perasaan Zaka saat itu? Saat temanmu menunjukkan mainannya yang bagus, sementara Zaka tidak punya mainan sebagus itu?” “Sedih, Bun.” “Nah, itu juga yang akan dirasakan beberapa teman Zaka yang tidak punya mainan. Tidak semua orang bisa membeli mainan yang bagus dan mahal. Untuk menjaga perasaan mereka, alangkah baiknya kalau kita tidak pamer deng
“Nggak malu, ribut-ribut di luar sana? Atau ... berasa jadi anak ABG lagi kamu, Ai?” Astagfirullah. Kenapa, sih, aku bisa lupa kalau di teras ada tukang nyinyir sedang memperhatikan kami? Aku mengabaikannya, lalu kembali mengajak Mas Ikbal bicara. “Mas, pulang sana!” “Kita belum selesai bicara, Ai.”“Kita bisa bicara di konter besok!” “Itu siapa? Saudara kamu?” “Udah, pulang sana! Atau ... aku nggak mau lagi bicara sama kamu!” kataku mengancam sambil melotot menatap ke arah pria itu. Mas Ikbal hanya menggelengkan kepala, seraya mengembuskan napas berat. “Oke, aku pulang.” Mas Ikbal menaiki sepeda motornya, lalu memakai helm. Dia tersenyum tipis ke arah Mbak Retno sambil menekan klakson sepeda motor, sementara Mbak Retno hanya melengos melihatnya. Kenapa pula sok ramah sama orang kayak Mbak Retno? batinku kesal. Aku langsung menuju ke rumah, tanpa peduli dengan kehadiran Mbak Retno yang terus menatapku dalam-dalam. Sampai di ruang tamu, aku duduk di kursi dan melepas sepatu. “Ci