"Mas, malam ini kamu sangat tampan. Aku merasa beruntung bisa tidur bersamamu malam ini," Suara manja seorang wanita membuat genangan air di mataku. Aku akui, aku tidak bisa menggoda lelaki sebaik dia.
"Kamu memang selalu manja, Sayang, menggemaskan. Aku yang merasa beruntung memiliki pacar secantik kamu." Suara lembut lelaki itu terasa sangat menusuk gendang telingaku. Suara itu milik Adi, suamiku.
"Kamu bisa saja, Mas." Wanita itu terdengar tertawa kecil.
Di depan kamar 202 aku berdiri mematung dengan tetesan cairan bening membasahi pipi. Setelah aku selalu disuguhkan dengan penyangkalan dari mulut lelaki yang sudah menemani hidupku selama lima tahun, akhirnya aku bisa membuktikan kalau dugaanku benar. Dia berselingkuh dengan teman sekantornya.
Pantas saja dia selalu marah setiap aku mengungkit kejanggalan sikapnya belakangan ini. Adi sering pulang larut malam dengan bau parfum wanita melekat di pakaian yang dikenakannya. Dia bahkan bersumpah kalau dia tidak pernah bermain gila dengan wanita lain setiap aku menuntut penjelasan. Apa artinya sumpah itu? Nyatanya aku sekarang berdiri di depan ruangan tempatnya memadu kasih dan menghianati pernikahan kami.
Aku memang bukan wanita sempurna. Selama lima tahun pernikahan kami, aku belum bisa memberikannya keturunan. Apa aku bersalah untuk itu? Apa aku pantas diperlakukan seperti ini oleh orang yang aku cintai? Sebagai seorang wanita aku juga ingin segera mengandung, aku ingin memiliki seorang bayi, tetapi takdir itu belum berpihak padaku. Aku harus apa? Bahkan menangis setiap malam pun tidak akan membuat seorang bayi hadir di dalam rahimku.
Karena hal ini juga, ibu mertuaku selalu memberikan sindiran yang sangat pedas padaku. Terutama saat aku berkumpul dengan keluarga besar Adi. Kakak dan adik ipar kami semuanya sudah memiliki momongan. Mereka bahkan tidak sungkan membandingkanku dengan wanita-wanita lain di luar sana. Jangan tanya rasanya, karena itu sangat menyakitkan. Bukan hanya aku, sepertinya semua wanita juga akan merasakan hal yang sama saat diperlakukan seburuk itu di lingkungan keluarga suaminya.
Hari ini, aku sengaja membuntuti suamiku. Semua berawal dari sebuah pesan singkat yang aku temukan di ponselnya semalam. Dia dan teman wanitanya itu sudah membuat janji untuk pergi ke suatu tempat. Mereka tidak menjelaskan secara gamblang kemana mereka akan pergi, tetapi sebagai seorang istri aku seperti sudah memiliki firasat kalau mereka akan pergi ke hotel. Dan ya, firasatku benar.
Aku merasa, hari ini aku harus menuntaskan semuanya. Aku sudah tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak layak untuk dijalani. Aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri dan aku rasa aku pantas untuk mendapatkan itu. Dia memang aku cintai, tetapi bukankah mencintai saja tidak cukup dalam sebuah hubungan? Aku juga ingin dicintai, aku ingin menjalani pernikahan yang indah, dan tentunya aku tidak mau ada orang ketiga yang muncul dalam kehidupan pernikahan kami.
Selama ini aku sudah cukup sabar dengan semua sikap tidak baik Adi belakangan ini. Dia memperlakukanku dengan tidak baik, seperti orang asing, jauh dari kesehariannya dulu, sebelum wanita itu masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami.
Di dalam genggamanku, aku memegang kunci cadangan kamar itu. Dengan sedikit trik, aku berhasil mendapatkannya. Genggaman tanganku tidak begitu kokoh dan sedikit gemetar. Mau tidak mau aku harus melakukan ini, aku harus memergokinya hingga dia tidak bisa menyangkal lagi. Aku ingin melihat orang yang aku cintai tengah bercinta dengan orang lain agar mataku terbuka, dia tidak pantas aku cintai. Aku ingin mengakhiri hubungan tidak sehat ini.
Dengan tangan yang gemetar, aku memberanikan diri memasukan anak kunci pada induknya. Rasa sakit dan sesak mendadak mendera dadaku. Dengan sekuat tenaga aku membungkam mulutku sendiri untuk tidak bersuara dalam tangis yang tidak bisa aku tahan. Meskipun sebenarnya aku ingin berteriak dan melepaskan segala beban yang mendadak menimbunku. Oh Tuhan, berikan aku kekuatan. Berikan aku kelapangan hati untuk melihat kenyataan ini.
Perlahan ku ulurkan tanganku untuk menyentuh gagang pintu kamar itu. Satu tanganku berusaha menghapus air mataku yang masih deras mengucur. Aku tidak mau Adi melihat kehancuranku. Aku tidak bisa membiarkan dia merasa menang dalam permainan ini. Aku membenarkan tatanan hijabku sekenanya, supaya tidak terlihat terlalu berantakan. Aku menghela napas, menyiapkan diriku untuk lebih siap menghadapi kenyataan yang sebentar lagi akan aku buktikan kebenarannya.
Aku menarik pasti gagang pintu kamar itu. Perlahan aku membukanya dengan sangat pelan. Suara-suara bermanja masih terdengar, merajam pendengaranku. Sekali lagi aku menutup mulutku sendiri. Kali ini aku seperti ingin mundur dan mengurungkan niat untuk memergoki mereka. Rasa sakit di hatiku semakin terasa. Tuhan, aku sakit, bagaimana aku bisa baik-baik saja saat melihat orang yang aku cintai berada dalam satu ranjang dengan wanita lain?
Sekali lagi, aku gunakan kedua tanganku untuk mengelap kasar air mataku. Ku gunakan ujung hijabku untuk menyeka ingus yang mengganggu pernapasan. Aku mencoba meyakinkan diriku kalau aku pasti bisa melewati semuanya. Aku akan kuat melihat lelaki yang aku cintai berkhianat. Dengan mantap aku melangkahkan kakiku untuk masuk lebih dalam. Apa yang aku lihat membuat hatiku terasa terbakar. Suamiku membelakangiku dengan tubuh terpampang tanpa pakaian, dia tengah mencumbui seorang wanita yang berpakaian setengah terbuka di hadapannya. Aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Sungguh aku menyesal telah mencintai lelaki seperti Adi.
"Jadi ini pertemuan penting yang kamu bicarakan tadi pagi, Mas? Jadi ini hal penting yang tidak bisa kamu tinggalkan? Bagus. Aku tahu sekarang. Pekerjaan penting Mas adalah bercinta dengan wanita lain." hardikku.
Adi terkejut. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mungkin dia malu karena aku memergokinya, merasa bersalah, atau justru marah karena aku lancang mengikutinya sampai ke tempat ini.
"Asma, bagaimana bisa Kamu...,"
Aku memajukan telapak tanganku, memberinya tanda kalau aku tidak ingin mendengarkan kalimat apapun keluar dari mulutnya. Di sini cukup aku yang berbicara.
"Kamu tahu, Mas ... aku sudah berulang kali memaksa hatiku untuk tetap percaya padamu. Aku berulang kali menyangkal prasangka buruk tentang Mas yang menghianati aku. Apa yang aku lihat sekarang ini menamparku, membuatku sadar kalau aku terlalu bodoh. Aku terlalu lemah menghadapimu. Sekarang aku ingin memberimu kebebasan, kita memilih jalan sendiri-sendiri untuk mencapai kebahagiaan. Aku pamit, mungkin ini hari terakhirku mencintaimu, Mas. Aku mengabulkan keinginanmu untuk menikmati semua kebahagiaan yang sedang kamu raih sekarang. Maaf kalau selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu." ucapku dengan intonasi jelas sambil menahan emosi dan air mata yang akan kembali tumpah.
Aku melepas cincin yang telah melingkar di jariku selama lima tahun dan mejatuhkannya begitu saja ke lantai. Aku berbalik tanpa mempedulikan reaksi dan teriakan Adi menyebut namaku. Hari ini aku sudah sangat siap untuk mengurus gugatan perceraian kami. Dengan langkah pasti aku keluar dari kamar tempat suamiku memadu kasih. Aku berlari sekuat tenaga setelah berhasil keluar dari sana. Tuhan yang paling tahu bagaimana perasaanku sekarang. Hidupku terasa hancur lebur.
Aku pernah berpikir kalau setelah menikah aku akan menemukan kebahagiaan, tetapi tidak. Aku justru mendapatkan kehidupan yang jauh lebih buruk dibandingkan saat aku seorang diri. Mungkin ini cara Tuhan menghukumku, seorang yang terlalu berharap dan terlalu mencintai makhluk ciptaanNya.
Satu tahun berlalu.Aku yang sudah resmi menyandang status janda pindah dari kota asalku. Sejak memutuskan untuk keluar dari rumah yang aku tinggali bersama Adi, aku tinggal di rumah orang tuaku. Sekarang aku keluar dari rumah mereka dan ingin memulai hidup baru di lingkungan yang baru.Letak rumah orang tuaku yang tidak terlalu jauh dari rumah yang pernah aku tempati berdua dengan Adi adalah salah satu faktor yang membuatku melakukan ini. Ada seseorang yan pernah berkata padaku, cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah tidak lagi menjalin interaksi dengan orang tersebut.Di dalam benakku, aku belum memiliki keinginan untuk memulai kembali hubungan pernikahan dengan siapa pun. Selama satu tahun kesendirianku, sudah banyak lelaki yang memintaku untuk menjadi istrinya. Sayangnya, perselingkuhan Adi meninggalkan luka yang teramat dalam di hatiku. Aku seperti mati rasa dan tidak memiliki keinginan untuk menikah.Kegagalan dalam pernikahan mem
Di jam makan siang, aku menyempatkan diri untuk mengisi perutku di kantin rumah sakit. Sedikit canggung memang, karena aku hanya sendirian, dan memang belum ada yang ku kenal dengan baik di sini. Aku sengaja memilih menu makanan yang sederhana, sekali lagi itu adalah trikku untuk meminimalisir pengeluaran.Seporsi nasi putih, tempe goreng dan sambal sudah cukup untuk mengenyangkanku. Segelas teh hangat sengaja ku pilih karena aku tidak terlalu suka minuman dingin. Kalian pernah merasakan seperti hilang dan tidak punya siapa-siapa di suatu tempat? Itu yang sedang aku rasakan sekarang."Maaf, boleh saya duduk di sini?" suara Haris mengejutkanku.Aku menatap ke arah sumber suara dan dia memang benar-benar Haris. Aku tidak menyangka dia mau makan siang bersamaku yang notabene hanya tukang bersih-bersih di rumah sakit tempatnya bekerja."Boleh, silakan Dok." Aku tidak bisa menolaknya. Bukan tanpa alasan, aku orang baru di rumah sakit ini, aku harus
Awalnya aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tetapi aku menepis itu setelah bertemu dengan Haris. Pria itu selalu membayang di pelupuk mataku. Sungguh dia makhluk ciptaan Tuhan yang keindahannya di atas rata-rata. Seberapa lama aku melihatnya, tidak pernah timbul rasa bosan di hatiku. Dia tetap bersinar seperti ribuan bintang yang terhampar di langit.Aku tahu, seharusnya aku tidak memiliki perasaan ini. Aku tidak pantas mengharapkan sosok Haris yang memiliki taraf kehidupan jauh di atasku. Jika dibandingkan dengan dia, aku hanyalah butiran debu. Terkadang cinta memang tidak memandang materi atau latar belakang, tetapi aku tidak tahu apakah Haris tipe lelaki yang cara pandangnya tentang cinta seperti itu atau tidak.Sejak pulang dari bekerja, sampai sekarang aku sudah membersihkan diri dan melaksanakan berbagai rutinitas termasuk ibadah, Haris tidak lepas dari ingatanku. Caranya berbicara sambil menatapku, caranya tersenyum, wajahnya yang rupawan, teru
Seperti biasa aku berangkat menggunakan ojek online khusus wanita. Pagi ini semangatku naik berkali lipat. Entah karena apa, tetapi sepertinya efek dari bertemu Haris si Dokter Ganteng. Aku juga tidak menyangka kalau pertemuanku dengan dia membuatku semangat menjalani hari berikutnya. Aku menertawakan diriku sendiri, di usiaku yang sudah menginjak hampir kepala tiga aku masih saja bertingkah seperti anak-anak. Persis seperti remaja yang jatuh cinta.Tidak seperti kemarin yang belum ada siapa-siapa saat aku tiba di rumah sakit, hari ini ada sebuah mobil sedan putih yang terparkir di parkiran khusus untuk para Dokter. Setelah aku turun dan membayar ongkos, aku mengarahkan langkahku ke tempat ganti yang terletak lumayan jauh dari gedung utama dan melewati area parkiran. Aku tidak peduli siapa pemilik mobil tersebut."Asma!" suara Haris menghentikan langkahku yang belum seberapa jauh.Aku berbalik dan melihat dia berlari kecil ke arahku de
Di hari berikutnya, aku sedang menunggu ojek pesananku. Hari ini cukup melelahkan, karena aku harus membantu salah satu teman sepekerjaku yang tidak masuk kerja untuk membersihkan area bagiannya. Badanku cukup pegal, apalagi sekarang aku harus berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang tidak kunjung datang. Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku semakin gusar, seandainya hujan turun, itu artinya aku harus berteduh dan tinggal lebih lama di area rumah sakit.Berulang kali aku melongok ke ujung jalan, tanda-tanda tukang ojek yang akan menjemputku belum terlihat juga. Aku menggembungkan pipiku dan mengembuskan napas dari mulut berulang kali karena bosan. Gerimis mulai turun dan aku masih tetap menunggu. Sesekali aku memijat leher yang sedikit kaku."Asma, lagi nunggu ojek?" Haris menghentikan mobilnya di dekatku dan membuka kacanya sebagai celah untuk dapat berbicara denganku."Benar, saya sedang menunggu ojek langganan sa
"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya."Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti."Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Bias
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter