Seperti biasa aku berangkat menggunakan ojek online khusus wanita. Pagi ini semangatku naik berkali lipat. Entah karena apa, tetapi sepertinya efek dari bertemu Haris si Dokter Ganteng. Aku juga tidak menyangka kalau pertemuanku dengan dia membuatku semangat menjalani hari berikutnya. Aku menertawakan diriku sendiri, di usiaku yang sudah menginjak hampir kepala tiga aku masih saja bertingkah seperti anak-anak. Persis seperti remaja yang jatuh cinta.
Tidak seperti kemarin yang belum ada siapa-siapa saat aku tiba di rumah sakit, hari ini ada sebuah mobil sedan putih yang terparkir di parkiran khusus untuk para Dokter. Setelah aku turun dan membayar ongkos, aku mengarahkan langkahku ke tempat ganti yang terletak lumayan jauh dari gedung utama dan melewati area parkiran. Aku tidak peduli siapa pemilik mobil tersebut.
"Asma!" suara Haris menghentikan langkahku yang belum seberapa jauh.
Aku berbalik dan melihat dia berlari kecil ke arahku dengan sebuah kotak makanan di tangannya. Hari ini lelaki itu berpakaian serba putih, dengan warna kulitnya yang juga putih bersih Haris tampak begitu menyilaukan di mataku. Jas putihnya yang tersibak saat dia berlari membuatku tanpa sengaja melihat dada bidangnya yang terbungkus kemeja putih pas badan. Asma, jaga pandanganmu. Aku mencoba mengingatkan diriku sendiri. Dia memang benar-benar seksi.
Aku menunggunya sampai dengan senyum yang terpatri begitu saja di bibirku. Entah perasaanku saja atau memang benar, pandangan mata Haris hanya fokus menatapku. Seolah-olah dia tidak ingin berpaling sedikit saja. Aku yang terlalu berharap atau memang kenyataan yang ku lihat, Haris tampaknya memiliki perhatian lebih terhadapku.
"Saya sudah menunggumu sejak tadi. Hingga tanpa sadar aku tertidur di dalam mobil. Kamu sudah sarapan? Saya tadi pagi memasak nasi goreng cukup banyak, sengaja supaya saya bisa membawakannya untukmu. Nih, ambil." Haris menyodorkan kotak makan berwarna biru muda itu padaku.
Haris memasak? Dia benar seorang pria yang piawai mengerjakan pekerjaan dapur? Rasanya aku semakin terpesona pada pria di hadapanku ini. Dengan tangan sedikit gemetar aku menerima kotak makan yang disodorkan olehnya. Aku penasaran dan ingin segera mencoba, bagaimana rasa masakan Haris. Aku sangat yakin, rasanya pasti sangat nikmat.
"Terima kasih,Haris. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot membawakanku makanan seperti ini." Aku tersipu.
Dengan perlakuan Haris yang seperti ini aku merasa diperlakukan lebih olehnya. Dia benar-benar pintar membuatku terbawa perasaan. Baru bertemu dengannya dalam hitungan jam, tetapi dia sudah meruntuhkan benteng pertahananku selama setahun ini. Aku yang sudah tidak berminat pada laki-laki berubah pikiran karena dia. Aku tidak bisa mengelak kalau aku memiliki perasaan yang tidak biasa terhadapnya.
"Saya tidak merasa kamu repotkan. Lagipula, memasak adalah rutinitas saya. Lain kali kamu harus mencoba masakan saya yang lain. Semangat untuk hari ini, sebentar lagi saya harus rapat. Jangan lupa istirahat kalau kamu merasa lelah. Saya tinggal dulu, Asma." Haris berbalik dan melangkah pergi tanpa memberiku kesempatan untuk membalas ucapannya.
Aku tersenyum, dia baru saja menyemangatiku dan meningatkanku untuk beristirahat. Dia memang pria yang benar-benar sempurna. Di dalam dirinya seperti ada paket komplit yang sulit di temukan di dalam diri pria lain. Dia tidak hanya good looking, tetapi juga good attitude. Aku benar-benar terjebak dalam lingkaran pesona seorang Haris.
Kesadaranku kembali, aku segera melanjutkan langkahku menuju ruang ganti. Pekerjaan hari ini aku yakin bisa melewatinya dengan mudah. Dorongan semangat dari Haris seolah memberikanku tenaga ekstra dan siap melewati hari ini dengan baik.
Bertemu dengan seorang pria seperti Haris memang seperti sebuah keajaiban. Dia yang ramah dan rendah hati sepertinya mudah untuk akrab dengan siapa saja. Setiap wanita yang dekat dengannya sangat wajar jika memimpikan kehidupan yang indah bersama lelaki tampan itu dan aku salah satu dari mereka. Dia membuatku berani berharap untuk memiliki kehidupan pernikahan yang baru dengannya. Aku benar-benar mulai gila.
Aku segera menepis kehaluanku, setelah mengganti pakaian dengan seragam kerja aku segera membawa peralatan bersih-bersih ke area yang menjadi bagianku. Sesekali aku menyempatkan diri melirik ke ruangan tempat Haris praktik. Namanya juga naksir, melihat ruangannya saja sudah membuatku senang, terlebih lagi saat bisa melihat penghuninya ada di dalam sana.
Aku mengembuskan napas sedikit kasar. Berusaha menyadarkan diri supaya tidak terlalu tenggelam dalam perasaan yang menggebu. Aku takut harapanku terlalu tinggi dan jatuh, bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Saat mengingat kembali rasa sakit yang ditimbulkan oleh Adi aku merasa begidik ngeri. Bayangan penghianatan itu masih terbayang begitu jelas. Tentu saja aku tidak ingin hal itu terjadi kedua kalinya di dalam hidupku.
"Perlu bantuan?" Suara seorang pria asing membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara.
Ada seorang lelaki yang menggunakan seragam sama denganku sedang berdiri tidak jauh dari tempatku bekerja dan melambaikan tangan. Aku sedikit membungkuk sebagai penghormatan seraya tersenyum ke arahnya.
"Terima kasih, sebentar lagi tugas saya selesai." sahutku dengan hati-hati.
Dia tidak terlihat seperti orang jahat, tetapi apa salahnya aku sedikit lebih berhati-hati.
"Kamu baru, ya?" tanyanya lagi.
"Benar, saya baru bekerja dua hari di rumah sakit ini." jawabku seperlunya.
"Perkenalkan, nama saya Ivan. Kalau boleh tahu, siapa namamu?" Lelaki itu lagi-lagi bertanya.
"Nama saya Asma."
"Namamu bagus, Asma. Nama yang cantik, secantik orangnya. Kalau begitu selamat bekerja, saya tidak ingin mengganggumu lagi. Salam kenal Asma." Lelaki itu kembali melambaikan tangan sebelum akhirnya meninggalkanku.
Berbeda dengan Haris, Ivan sepertinya lelaki yang santai, lebih cuek dan sedikit aktif. Dilihat dari wajahnya di usianya sedikit lebih muda dariku. Sebuah perkenalan yang bagus. Bekerja di rumah sakit ini adalah kesempatan bagiku untuk membuka diri, lebih banyak teman sepertinya bagus juga. Aku tidak mau terus seperti katak dalam tempurung, aku harus memiliki kehidupan baru yang lebih baik. Setidaknya lebih baik dibanding saat aku bersama Adi.
Setiap orang mungkin sama sepertiku, memiliki kehidupan yang tidak mudah, hanya saja masalah kami tidak sama. Aku selalu mengajarkan pada diriku untuk selalu bersyukur dengan apa yang aku jalani saat ini. Di luar sana mungkin banyak orang yang memiliki kehidupan yang jauh lebih buruk dariku,tetapi masih bisa berdiri dengan tegak lalu untuk apa diriku berlama-lama menyendiri dan meratapi kehidupan yang bahkan masih lebih baik dari mereka?
Satu hal yang aku percaya, setiap kegagalan yang aku alami, Tuhan sudah menyiapkan keberhasilan untukku suatu hari nanti. Setiap kehilangan yang terpaksa harus aku rasakan, Tuhan akan menggantikannya dengan sesuatu yang baru, lebih baik dan lebih indah. Bukankah ada yang bilang kalau kita berprasangka baik kepada pemilik dunia maka Dia akan memberikan yang terbaik juga untuk kita?
Namaku Asma Anindira, aku akan menemukan kehidupan lebih baik di masa depan. Tidak ada yang bisa meruntuhkanku lagi untuk kedua kalinya. Kali ini, aku tidak akan membiarkan siapapun mengusik kehidupanku.
Di hari berikutnya, aku sedang menunggu ojek pesananku. Hari ini cukup melelahkan, karena aku harus membantu salah satu teman sepekerjaku yang tidak masuk kerja untuk membersihkan area bagiannya. Badanku cukup pegal, apalagi sekarang aku harus berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang tidak kunjung datang. Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku semakin gusar, seandainya hujan turun, itu artinya aku harus berteduh dan tinggal lebih lama di area rumah sakit.Berulang kali aku melongok ke ujung jalan, tanda-tanda tukang ojek yang akan menjemputku belum terlihat juga. Aku menggembungkan pipiku dan mengembuskan napas dari mulut berulang kali karena bosan. Gerimis mulai turun dan aku masih tetap menunggu. Sesekali aku memijat leher yang sedikit kaku."Asma, lagi nunggu ojek?" Haris menghentikan mobilnya di dekatku dan membuka kacanya sebagai celah untuk dapat berbicara denganku."Benar, saya sedang menunggu ojek langganan sa
"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya."Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti."Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Bias
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter
Sepanjang perjalanan aku dan Haris menceritakan masalalu kami masing-masing. Ternyata dia sempat kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut. Selama lima tahun terakhir dia memilih menyendiri. Bukan hanya untuk melupakan kenangan yang pernah dia lalui bersama mantannya, tetapi dia juga sedang menunggu sosok yang tepat untuk menggantikan sosok mantannya tersebut. Aku tidak menyangka kalau diriku yang dipilih oleh Haris untuk menggantikannya.Pernikahan kedua. Aku dulu tidak pernah berpikir akan ada pernikahan kedua di dalam hidupku. Aku pikir pernikahanku dengan Adi akan terus berlanjut sampai nanti, maut yang memisahkan kami berdua. Dia yang aku pikir akan terus ada di sisiku, ternyata menyimpan wanita lain di hatinya. Sangat menyakitkan.Aku harap Haris sesuai dengan apa yang aku lihat. Dia bisa membimbingku ke arah yang lebih baik, mencurahkan kasih sayang yang dia punya sepenuhnya untukku, dan tidak memberi celah kepada wanita lain untuk masuk ke dal
Aku membersihkan area bagianku seperti biasa. Pernyataan Haris tadi pagi saat mengajak menikah masih terngiang di telingaku. Khusus kalimat itu, deretan kata yang istimewa saat kudengar. Haris ternyata bergerak cepat, dalam hitungan hari dia langsung memintaku menjadi istrinya.Manis, sangat manis. Hatiku nyaris meleleh saat mendengarnya.Mungkin pertemuanku dengan Haris seperti yang dia katakan, kami sudah ditakdirkan. Aku dan Haris sudah sepakat untuk hidup bersama, aku harap seluruh keluarganya juga mau menerimaku. Rasanya, kalau dia menerimaku dan keluarganya tidak, kebahagiaan kami tidak akan sempurna. Terutama aku, aku akan merasa kehidupan rumah tanggaku tidak jauh dari saat bersama Adi.Semalam aku mimpi tentang Haris dan itu menjadi pertanda tentang perasaannya? Kenapa harus mimpi yang memalukan seperti itu? Bayangan Haris memperlakukan aku seperti itu masih membuat bulu kudukku berdiri. Mungkinkah dia juga memimpikan hal yang sama denganku? Ah, sepertiny
Haris membawaku ke tempat makan terbuka. Di rumah makan itu terdapat tanah luas seperti taman yang di dalamnya terdapat rumah-rumah kecil dengan sisi-sisinya yang hanya setengah tempat pengunjung menikmati makanan. Kami berdua melangkah, menuju salah satu dari bangunan itu setelah Haris memesan beberapa makanan pada pelayan.Aku memandangi sekitar. Banyak kolam-kolam yang dibuat di sana. Masing-masing dipenuhi bunga teratai dan bunga air lainnya. Di sana juga ada beberapa patung binatang, membuat nuansa seakan kami sedang mengunjuni kebun binatang. Aku suka sekali dengan konsep tempat makan pilihan Haris. Dia memiliki selera yang bagus dalam memilih tempat yang menjadi tempat kencan pertama kami, meskipun tidak bisa dibilang begitu."Kamu menyukai tempat ini?" tanyanya saat kami sudah memasuki salah satu bilik yang di sediakan."Saya sangat menyukainya. Apakah kamu pelanggan di rumah makan ini? Saya lihat mereka menyambutmu dengan sangat ramah dan juga men
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Haris, kami berdua melakukan perjalanan menuju butik langganan keluarganya. Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang, aku sedikit salah tingkah karenanya. Sengaja aku mainkan kedua tanganku untuk mengurangi kegugupan yang perlahan menerpa semakin kencang. Sungguh, meskipun ini bukan untuk pertama kalinya, tetapi tetap saja membuatku kesulitan menahan perasaan gembiraku yang meluap-luap ditambah lagi rasa gelisah yang tercampur menjadi satu kesatuan yang sulit untuk digambarkan."Jangan gugup, ini baru pemilihan pakaian yang akan kamu kenakan. Setelah ini saya akan membawa kamu menemui mama saya."Mataku terbelalak. Aku tidak menyangka kalau hari ini Haris akan me