Awalnya aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tetapi aku menepis itu setelah bertemu dengan Haris. Pria itu selalu membayang di pelupuk mataku. Sungguh dia makhluk ciptaan Tuhan yang keindahannya di atas rata-rata. Seberapa lama aku melihatnya, tidak pernah timbul rasa bosan di hatiku. Dia tetap bersinar seperti ribuan bintang yang terhampar di langit.
Aku tahu, seharusnya aku tidak memiliki perasaan ini. Aku tidak pantas mengharapkan sosok Haris yang memiliki taraf kehidupan jauh di atasku. Jika dibandingkan dengan dia, aku hanyalah butiran debu. Terkadang cinta memang tidak memandang materi atau latar belakang, tetapi aku tidak tahu apakah Haris tipe lelaki yang cara pandangnya tentang cinta seperti itu atau tidak.
Sejak pulang dari bekerja, sampai sekarang aku sudah membersihkan diri dan melaksanakan berbagai rutinitas termasuk ibadah, Haris tidak lepas dari ingatanku. Caranya berbicara sambil menatapku, caranya tersenyum, wajahnya yang rupawan, terus saja menghantuiku. Bagaimana dengan dia? Tanyaku pada diriku sendiri. Dia pasti tidak menganggapku seistimewa ini. Dia hanya kebetulan ramah dan peduli kepada semua orang, termasuk aku.
Dulu saat ada orang yang mendekatiku, penghianatan Adi selalu membentengi diriku. Membuat aku selalu menganggap semua lelaki itu sama. Mereka akan menghianati pada waktunya. Anehnya, saat Haris membuat jarak diantara kami sedikit dekat, pemikiranku itu seakan tidak pernah ada. Aku merasa sangat nyaman dan tentram berada di dekatnya.
Tuhan, tolong jangan buat aku semakin mengharapkan Haris. Dia sungguh tidak beruntung jika harus bersamaku. Aku seorang janda dari keluarga miskin, bagaimana mungkin aku memimpikan hidup bahagia di sisinya? Sungguh tidak pantas.
Aku berjalan menuju dapur. Mengisi sedikit air pada teplon dan memanaskannya. Aku ingin menyeduh teh untuk menghangatkan diriku. tanpa menunggu lama, secangkir teh pun siap. Aku memasukkan gula dan mengaduk dengan pikiran yang sedikit melayang.
Untuk pertama kali setelah hidup menjanda, aku merasa kesepian. Mendadak aku merindukan saat-saat bersama pasangan. Bermanja, saling berbagi cerita, dan sekedar bercanda. Aku merindukan saat-saat itu. Seperti saat awal pernikahanku dengan Adi.
Pernikahan memang bukanlah hal mudah. Bagaimana tidak? Menikah bukan hanya tentang dua orang, tetapi juga dua keluarga. Bukan tentang keinginan diri, tetapi tentang menyatukan isi dua kepala yang jelas berbeda dan itu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan segampang membalikkan telapak tangan.
Awal keretakan rumah tanggaku terjadi saat tiga tahun pernikahanku dengan Adi. Saat itu mertuaku terus mencecar dan memintaku untuk segera program hamil. Aku yang biasa bekerja pun diminta untuk berhenti dengan dalih supaya aku bisa fokus dengan program kehamilanku.
Tetap saja, meskipun aku sudah berhenti bekerja, tanda kehamilan tidak juga kunjung aku dapatkan. Kesedihan yang menderaku membuat aku beberapa kali menolak keinginan Adi untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Itu letak kesalahan terbesarku. Dia akhirnya lebih memilih melampiaskan nafsu dengan teman sekantornya.
Awalnya aku menyalahkan diriku. Aku berpikir, karena salahku Adi memilih untuk berpaling. Setelah beberapa waktu terlewati, aku sadar, semua ini terjadi karena takdir. Aku dan Adi memang harus berpisah dengan cara seperti ini. Sekuat apapun aku menggenggam Adi, dia akan tetap lepas kalau memang Tuhan tidak mengizinkan kami untuk tetap bersama.
Saat aku memutuskan untuk keluar dari rumahku dan Adi, orang tuanya tidak peduli. Mereka bahkan senang karena aku akhirnya berpisah dari anak mereka. Aku semakin sadar kalau kehadiranku memang tidak diharapkan dalam keluarga Adi. Merasa terusir dari rumahku sendiri, tetapi aku tidak pernah menyesal melakukan itu.
Sebelum menikah dengan Adi aku memimpikan banyak hal. Aku bisa hidup bahagia bersama dia, sesuai dengan janjinya dulu. Dia bilang tidak akan ada lagi wanita yang ada di hatinya selain aku. Kita akan terus bersama sampai maut memisahkan kami berdua. Mungkin memang benar kata para pujangga, manusia bisa merencanakan apapun dan Tuhan yang menentukan segalanya. Buktinya Adi berpaling dan mencintai wanita lain selain aku yang dulu istri sahnya.
Mengenang semua masalaluku bersama Adi memang tidak ada habisnya. Banyak sekali kenangan yang belum bisa aku lupakan. Sosoknya yang manis dan selalu memanjakanku sering membayang. Sayang semuanya berubah saat wanita itu masuk ke dalam pernikahan kami.
Sangat tragis saat awal kisah kami yang begitu manis harus ditutup dengan lembaran-lembaran hitam. Setiap hari aku disuguhkan dengan rasa curiga karena perubahan sikap dan tingkah laku Adi. Dia yang selalu makan di rumah, lebih sering makan di luar. Dia yang selalu pulang tepat waktu berubah pulang semaunya. Tidak jarang dia pulang sebelum subuh. Belum lagi aroma parfum di bajunya yang jelas berbeda sering tercium saat aku cuci. Sayangnya, saat itu Adi masih mengelak saat aku berusaha meminta penjelasannya.
Setiap kali aku marah, Adi selalu bersikap romantis. Menyiapkan kejutan, membawaku makan di luar, atau sekedar membawakanku sebuah buket bunga favoritku saat pulang kantor. Sehingga aku perlahan menepis kecurigaan itu.
Jika ditanya apakah aku masih mencintai Adi atau tidak, jawabanku tentu saja masih. Hanya saja aku tidak akan kembali lagi ke dalam pelukannya. Cukup sudah aku menumpahkan air mata untuk menangisi pria seperti dia. Dia sudah menghianatiku, seandainya aku maafkan, dia akan tetap mengulanginya suatu saat nanti.
Setidaknya aku masih bersyukur, dapat hidup dalam kebebasan dan mereguk kebahagiaan meskipun tanpa seorang lelaki berada di sisiku.
Sekarang aku masih duduk di kursi ruang tamu mini yang tersedia di kontrakan sambil sesekali menyeruput secangkir teh hangat yang ada di tanganku. Hidup ini memang tidak mudah. Aku sadar, aku masih perlu banyak belajar.
Menangis. Dulu aku sering melakukannya. Sekarang aku pikir tidak perlu lagi melakukan itu. Apa yang perlu aku tangisi lagi? Kisah hidupku dan Adi sudah selesai. Aku harus memulai kehidupan baru dan mungkin dengan orang yang baru.
Harapanku di tahun ini, aku bisa dipertemukan dengan seseorang yang jauh lebih baik dari Adi. Yang dapat mengarahkanku menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dari sekarang. Aku ingin seorang pria dewasa dan juga taat agama hadir dalam hidupku, aku ingin memulai hidup baru yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya dari berbagai sisi.
Apakah harapanku terlalu muluk-muluk? Aku tidak tahu. Aku hanya tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Aku ingin menjadi aku yang baru dan juga kehidupan baru. Sesuai dengan impianku sekarang.
Pertemuanku dengan Adi mengajarkan aku banyak hal. Termasuk merelakan. Berpisah dengan dia mengajarkan aku untuk bersikap dewasa dan berhenti percaya sepenuhnya pada sebuah kalimat manis. Sesuatu yang terlalu manis, ujungnya pasti pahit. Itu yang aku pahami.
Aku tidak sabar untuk esok. semangatku terpacu untuk kembali bertemu dengan sosok Haris. Sungguh lelaki itu benar-benar mampu menawanku. Dia seperti candu yang membuatku ingin melihatnya lagi dan lagi.
Aku pikir, diriku memang sudah gila. Haris, lelaki asing itu membuat jiwaku bergelora. Dia mampu menghidupkan kembali gairah hidupku yang lama redup. Seakan aku ingin mengabaikan apa yang terjadi nanti. Aku ingin lebih dekat dengan sosoknya, meskipun hanya melalui hal-hal kecil.
Aku tidak percaya semudah ini aku jatuh hati pada seorang pria. Haris, nama itu benar-benar membuatku terpaku. Kira-kira, apa yang akan dia lakukan padaku besok? Apakah dia akan menyapaku lagi?
Seperti biasa aku berangkat menggunakan ojek online khusus wanita. Pagi ini semangatku naik berkali lipat. Entah karena apa, tetapi sepertinya efek dari bertemu Haris si Dokter Ganteng. Aku juga tidak menyangka kalau pertemuanku dengan dia membuatku semangat menjalani hari berikutnya. Aku menertawakan diriku sendiri, di usiaku yang sudah menginjak hampir kepala tiga aku masih saja bertingkah seperti anak-anak. Persis seperti remaja yang jatuh cinta.Tidak seperti kemarin yang belum ada siapa-siapa saat aku tiba di rumah sakit, hari ini ada sebuah mobil sedan putih yang terparkir di parkiran khusus untuk para Dokter. Setelah aku turun dan membayar ongkos, aku mengarahkan langkahku ke tempat ganti yang terletak lumayan jauh dari gedung utama dan melewati area parkiran. Aku tidak peduli siapa pemilik mobil tersebut."Asma!" suara Haris menghentikan langkahku yang belum seberapa jauh.Aku berbalik dan melihat dia berlari kecil ke arahku de
Di hari berikutnya, aku sedang menunggu ojek pesananku. Hari ini cukup melelahkan, karena aku harus membantu salah satu teman sepekerjaku yang tidak masuk kerja untuk membersihkan area bagiannya. Badanku cukup pegal, apalagi sekarang aku harus berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang tidak kunjung datang. Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku semakin gusar, seandainya hujan turun, itu artinya aku harus berteduh dan tinggal lebih lama di area rumah sakit.Berulang kali aku melongok ke ujung jalan, tanda-tanda tukang ojek yang akan menjemputku belum terlihat juga. Aku menggembungkan pipiku dan mengembuskan napas dari mulut berulang kali karena bosan. Gerimis mulai turun dan aku masih tetap menunggu. Sesekali aku memijat leher yang sedikit kaku."Asma, lagi nunggu ojek?" Haris menghentikan mobilnya di dekatku dan membuka kacanya sebagai celah untuk dapat berbicara denganku."Benar, saya sedang menunggu ojek langganan sa
"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya."Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti."Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Bias
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter
Sepanjang perjalanan aku dan Haris menceritakan masalalu kami masing-masing. Ternyata dia sempat kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut. Selama lima tahun terakhir dia memilih menyendiri. Bukan hanya untuk melupakan kenangan yang pernah dia lalui bersama mantannya, tetapi dia juga sedang menunggu sosok yang tepat untuk menggantikan sosok mantannya tersebut. Aku tidak menyangka kalau diriku yang dipilih oleh Haris untuk menggantikannya.Pernikahan kedua. Aku dulu tidak pernah berpikir akan ada pernikahan kedua di dalam hidupku. Aku pikir pernikahanku dengan Adi akan terus berlanjut sampai nanti, maut yang memisahkan kami berdua. Dia yang aku pikir akan terus ada di sisiku, ternyata menyimpan wanita lain di hatinya. Sangat menyakitkan.Aku harap Haris sesuai dengan apa yang aku lihat. Dia bisa membimbingku ke arah yang lebih baik, mencurahkan kasih sayang yang dia punya sepenuhnya untukku, dan tidak memberi celah kepada wanita lain untuk masuk ke dal
Aku membersihkan area bagianku seperti biasa. Pernyataan Haris tadi pagi saat mengajak menikah masih terngiang di telingaku. Khusus kalimat itu, deretan kata yang istimewa saat kudengar. Haris ternyata bergerak cepat, dalam hitungan hari dia langsung memintaku menjadi istrinya.Manis, sangat manis. Hatiku nyaris meleleh saat mendengarnya.Mungkin pertemuanku dengan Haris seperti yang dia katakan, kami sudah ditakdirkan. Aku dan Haris sudah sepakat untuk hidup bersama, aku harap seluruh keluarganya juga mau menerimaku. Rasanya, kalau dia menerimaku dan keluarganya tidak, kebahagiaan kami tidak akan sempurna. Terutama aku, aku akan merasa kehidupan rumah tanggaku tidak jauh dari saat bersama Adi.Semalam aku mimpi tentang Haris dan itu menjadi pertanda tentang perasaannya? Kenapa harus mimpi yang memalukan seperti itu? Bayangan Haris memperlakukan aku seperti itu masih membuat bulu kudukku berdiri. Mungkinkah dia juga memimpikan hal yang sama denganku? Ah, sepertiny
Haris membawaku ke tempat makan terbuka. Di rumah makan itu terdapat tanah luas seperti taman yang di dalamnya terdapat rumah-rumah kecil dengan sisi-sisinya yang hanya setengah tempat pengunjung menikmati makanan. Kami berdua melangkah, menuju salah satu dari bangunan itu setelah Haris memesan beberapa makanan pada pelayan.Aku memandangi sekitar. Banyak kolam-kolam yang dibuat di sana. Masing-masing dipenuhi bunga teratai dan bunga air lainnya. Di sana juga ada beberapa patung binatang, membuat nuansa seakan kami sedang mengunjuni kebun binatang. Aku suka sekali dengan konsep tempat makan pilihan Haris. Dia memiliki selera yang bagus dalam memilih tempat yang menjadi tempat kencan pertama kami, meskipun tidak bisa dibilang begitu."Kamu menyukai tempat ini?" tanyanya saat kami sudah memasuki salah satu bilik yang di sediakan."Saya sangat menyukainya. Apakah kamu pelanggan di rumah makan ini? Saya lihat mereka menyambutmu dengan sangat ramah dan juga men