Di hari berikutnya, aku sedang menunggu ojek pesananku. Hari ini cukup melelahkan, karena aku harus membantu salah satu teman sepekerjaku yang tidak masuk kerja untuk membersihkan area bagiannya. Badanku cukup pegal, apalagi sekarang aku harus berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang tidak kunjung datang. Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku semakin gusar, seandainya hujan turun, itu artinya aku harus berteduh dan tinggal lebih lama di area rumah sakit.
Berulang kali aku melongok ke ujung jalan, tanda-tanda tukang ojek yang akan menjemputku belum terlihat juga. Aku menggembungkan pipiku dan mengembuskan napas dari mulut berulang kali karena bosan. Gerimis mulai turun dan aku masih tetap menunggu. Sesekali aku memijat leher yang sedikit kaku.
"Asma, lagi nunggu ojek?" Haris menghentikan mobilnya di dekatku dan membuka kacanya sebagai celah untuk dapat berbicara denganku.
"Benar, saya sedang menunggu ojek langganan saya. Mungkin sebentar lagi dia akan datang." Aku bersikap semeyakinkan mungkin, meskipun sebenarnya aku sendiri tidak yakin kalau ojek langganannku akan datang.
Haris tampak berpikir sejenak. Aku hanya diam, memandangi lingkungan sekitar tempatku berdiri supaya aku bisa mengalihkan pandangan darinya. Lelaki itu tidak memakai jasnya, hanya kemeja putih lengan panjang yang digulung bagian tangannya yang dia kenakan. Aku masih sempat memperhatikannya sekilas.
"Bagaimana kalau kamu saya antar pulang saja? Hari sebentar lagi akan hujan, kamu juga orang baru di rumah sakit ini, lebih aman kalau kamu segera pulang. Kamu bisa duduk di bangku belakang kalau tidak nyaman duduk di samping saya." katanya sopan dan lembut.
Aku berpikir sebentar, sekali lagi aku melihat ke ujung jalan, tukang ojek langgananku tetap tidak terlihat batang hidungnya, sementara hujan mulai turun. Apa yang dikatakan Haris ada benarnya, aku orang baru di rumah sakit ini. Bagaimana kalau terjadi sesuatu, tidak ada orang yang aku kenal. Mungkin lebih baik aku menerima tawaran Haris, lagipula keadaan yang terjadi sekarang memang sedang darurat.
"Bagaimana?" tanyanya menyadarkanku.
"Memangnya saya tidak merepotkanmu?" tanyaku.
Tentu saja aku tidak ingin merepotkan Haris, meskipun kesempatan ini membuatku sedikit berbunga. Bagaimana tidak? Aku akan diantar pulang oleh lelaki yang sedang menarik perhatianku. Ini adalah kesempatan langka yang tidak bisa aku lewatkan.
"Kalau kamu merepotkan, saya tidak akan menawarkan diri untuk mengantarmu, Asma. Ayo naik, kamu bisa basah kalau terlalu lama berdiri di situ." perintah Haris yang kini turun dan membukakan pintu belakang untukku.
Aku tersenyum, melangkah ke arahnya dan segera masuk ke dalam mobil. Aku tidak ingin membuat Haris menunggu terlalu lama, apalagi hujan sudah turun lumayan deras. Haris berlari kecil dan menyusul masuk ke dalam mobil.
"Jangan lupa pakai sabuk pengamanmu, Asma." pesannya setelah dia siap untuk menyetir.
"Sudah, Ris." sahutku.
Aku sempat melihat Haris melirikku melalui kaca yang ada di atasnya. Dia tersenyum lalu menjalankan mobilnya meninggalkan area rumah sakit. Beberapa saat kemudian aku mendapatkan sebuah pesan dari pengemudi ojek online langgananku kalau motornya mogok dan menyarankan aku untuk mencari ojek lain. Aku mengembuskan napas lega, setidaknya aku masih memiliki kesempatan yang bagus karena bertemu dengan Haris beberapa menit yang lalu.
Hampir setengah perjalanan aku dan Haris tidak saling bicara. Aku bingung harus membicarakan apa dengan lelaki itu. Sementara dia tampak sangat fokus menyetir. Belum lagi jalanan yang kami lalui cukup padat meskipun hari sedang hujan. Ada untungnya aku tidak naik motor, tentu saja aku akan basah kuyup karena harus lama berada di tengah hujan menunggu kumpulan kendaraan yang merayap terjebak macet.
"Tempat tinggalmu masih jauh dari sini?" Pertanyaan Haris mengingatkanku kalau aku belum menyebutkan di mana tempat tinggalku.
"Tidak jauh lagi, saya tinggal di kontrakan Gang Melati." sahutku.
"Serius kamu tinggal di Gang Melati?" Dia justru bertanya lagi.
"Benar, saya tinggal di sana? Memangnya kenapa?" tanyaku penasaran.
"Saya juga tinggal di sana. Itu artinya kita tetanggaan. Siapa nama pemilik kontrakan kamu?" Haris tampak bersemangat setelah mengetahui kalau kami ternyata tinggal di gang yang sama.
"Kalau tidak salah, Ibu Jubaidah."
"Sungguh, saya tidak menyangka kamu tinggal di kontrakan milik mama. Kamu tahu, saya tinggal tepat di hadapan kontrakan yang kamu tempati. Saya tinggal terpisah dari mama." Haris tertawa kecil.
Aku tentu saja kaget dengan kenyataan yang sedang aku alami sekarang ini. Aku tinggal di kontrakan milik mama Haris dan dia justru tinggal tepat di depan kontrakan tempatku tinggal? Kebetulan yang sungguh sangat menakjubkan. Aku tidak menyangka bisa tinggal berdekatan dengan lelaki yang menjadi idolaku.
"Saya tidak menyangka ada kebetulan yang sangat aneh sepert ini. Rupanya selain ditakdirkan kerja di dekat ruanganmu, saya juga ditakdirkan tinggal di dekat rumahmu. Lebih istimewanya lagi, ternyata mamamu adalah pemilik kontrakan tempat saya tinggal." Aku ikut tertawa kecil.
"Mungkin kita juga ditakdirkan untuk menjadi teman hidup." sahut Haris terdengar sekenanya.
Hampir saja aku senang, tetapi aku melihat siapa diriku. Aku terlalu tidak pantas untuk seorang Haris. Dia lelaki luar biasa, memiliki segalanya, sedangkan aku? Aku hanyalah seorang janda yang terkadang statusnya direndahkan oleh beberapa orang. Bagaimana mungkin aku cocok menjadi pendamping hidup seorang Haris.
"Kamu bisa saja, Haris. Kamu pasti akan menemukan teman hidupmu dan orang itu pasti bukan saya." bantahku. Haris tertawa lepas.
"Kita belum tahu, Asma. Bagaimana kamu bisa yakin kalau saya akan menemukan teman hidup saya dan itu bukan kamu? Kalau Tuhan sudah mengatakan kamu adalah jodoh yang dikirimkan untuk saya, kamu mau apa?" tanyanya, membuatku sedikit salah tingkah.
Coba kalian bayangkan, seseorang yang sedang kalian taksir berbicara seperti itu, kira-kira apa jawaban kalian? Sungguh kalimat yang diucapkan Haris membuatku ingin berteriak kegirangan. Siapa yang akan menolak saat harus menjadi jodohnya? Seandainya itu terjadi padaku, tentu saja aku akan menerimanya dengan tangan terbuka.
"Kalau memang sudah ditakdirkan, tentu saja saya akan menerima. Bagaimana mungkin saya akan lari dari kenyataan?" jawabku sekenanya.
"Bagus deh, kamu ternyata pasrah." sahutnya.
Aku tertawa kecil.
"Melawan arus saja bisa hanyut, apalagi melawan takdir." timpalku. Haris tertawa.
"Wah, kalimatnya ringan, tetapi artinya cukup mendalam."
"Pujian kamu terlalu berlebihan." kataku seraya memalingkan pandangan ke luar.
Suasana hari ini aku sangat menyukainya. Aku pikir, hari ini adalah hari kesialanku, tetapi ternyata aku justru beruntung dapat membicarakan banyak hal remeh temeh dengan Haris. Dia mempunyai selera humor yang cukup bagus. Hampir sepanjang perjalanan yang tersisa diisi dengan candaan. Aku yakin, siapapun yang akan menjadi pasangan Haris, dia adalah sosok wanita yang sangat beruntung.
"Haris, cukup sampai di sini saja, biar aku jalan kaki untuk masuk." kataku cepat-cepat saat Haris berniat membelokkan mobilnya ke halaman kontrakan tempatku tinggal.
"Saya tidak akan membiarkanmu kehujanan, Asma." katanya seraya melirikku.
Mimpi ataupun kenyataan,aku tidak ingin hal ini cepat berlalu. Tuhan, berikan aku sedikit waktu lagi untuk bisa bersama Haris. Meskipun aku tahu, Tuhan tidak akan mengabulkan do'aku kali ini.
"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya."Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti."Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Bias
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter
Sepanjang perjalanan aku dan Haris menceritakan masalalu kami masing-masing. Ternyata dia sempat kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut. Selama lima tahun terakhir dia memilih menyendiri. Bukan hanya untuk melupakan kenangan yang pernah dia lalui bersama mantannya, tetapi dia juga sedang menunggu sosok yang tepat untuk menggantikan sosok mantannya tersebut. Aku tidak menyangka kalau diriku yang dipilih oleh Haris untuk menggantikannya.Pernikahan kedua. Aku dulu tidak pernah berpikir akan ada pernikahan kedua di dalam hidupku. Aku pikir pernikahanku dengan Adi akan terus berlanjut sampai nanti, maut yang memisahkan kami berdua. Dia yang aku pikir akan terus ada di sisiku, ternyata menyimpan wanita lain di hatinya. Sangat menyakitkan.Aku harap Haris sesuai dengan apa yang aku lihat. Dia bisa membimbingku ke arah yang lebih baik, mencurahkan kasih sayang yang dia punya sepenuhnya untukku, dan tidak memberi celah kepada wanita lain untuk masuk ke dal
Aku membersihkan area bagianku seperti biasa. Pernyataan Haris tadi pagi saat mengajak menikah masih terngiang di telingaku. Khusus kalimat itu, deretan kata yang istimewa saat kudengar. Haris ternyata bergerak cepat, dalam hitungan hari dia langsung memintaku menjadi istrinya.Manis, sangat manis. Hatiku nyaris meleleh saat mendengarnya.Mungkin pertemuanku dengan Haris seperti yang dia katakan, kami sudah ditakdirkan. Aku dan Haris sudah sepakat untuk hidup bersama, aku harap seluruh keluarganya juga mau menerimaku. Rasanya, kalau dia menerimaku dan keluarganya tidak, kebahagiaan kami tidak akan sempurna. Terutama aku, aku akan merasa kehidupan rumah tanggaku tidak jauh dari saat bersama Adi.Semalam aku mimpi tentang Haris dan itu menjadi pertanda tentang perasaannya? Kenapa harus mimpi yang memalukan seperti itu? Bayangan Haris memperlakukan aku seperti itu masih membuat bulu kudukku berdiri. Mungkinkah dia juga memimpikan hal yang sama denganku? Ah, sepertiny
Haris membawaku ke tempat makan terbuka. Di rumah makan itu terdapat tanah luas seperti taman yang di dalamnya terdapat rumah-rumah kecil dengan sisi-sisinya yang hanya setengah tempat pengunjung menikmati makanan. Kami berdua melangkah, menuju salah satu dari bangunan itu setelah Haris memesan beberapa makanan pada pelayan.Aku memandangi sekitar. Banyak kolam-kolam yang dibuat di sana. Masing-masing dipenuhi bunga teratai dan bunga air lainnya. Di sana juga ada beberapa patung binatang, membuat nuansa seakan kami sedang mengunjuni kebun binatang. Aku suka sekali dengan konsep tempat makan pilihan Haris. Dia memiliki selera yang bagus dalam memilih tempat yang menjadi tempat kencan pertama kami, meskipun tidak bisa dibilang begitu."Kamu menyukai tempat ini?" tanyanya saat kami sudah memasuki salah satu bilik yang di sediakan."Saya sangat menyukainya. Apakah kamu pelanggan di rumah makan ini? Saya lihat mereka menyambutmu dengan sangat ramah dan juga men
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Haris, kami berdua melakukan perjalanan menuju butik langganan keluarganya. Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang, aku sedikit salah tingkah karenanya. Sengaja aku mainkan kedua tanganku untuk mengurangi kegugupan yang perlahan menerpa semakin kencang. Sungguh, meskipun ini bukan untuk pertama kalinya, tetapi tetap saja membuatku kesulitan menahan perasaan gembiraku yang meluap-luap ditambah lagi rasa gelisah yang tercampur menjadi satu kesatuan yang sulit untuk digambarkan."Jangan gugup, ini baru pemilihan pakaian yang akan kamu kenakan. Setelah ini saya akan membawa kamu menemui mama saya."Mataku terbelalak. Aku tidak menyangka kalau hari ini Haris akan me
Aku tidur telentang menatap langit-langit. Sebuah senyuman mengembang dari bibirku. Hari ini semuanya sukses. Meskipun aku sempat panik karena aku lupa kembali ke rumah sakit setelah jam makan siang. Rupanya Haris sudah meminta izin untuk membawaku pergi.Makan siang yang cukup mengesankan berlanjut dengan pemilihan baju yang akan aku pakai saat menikah dengan Haris nanti. Sebuah kebaya sederhana dan bawahan yang juga sederhana kupilih untuk nanti kupakai di hari peresmian hubungan kami. Awalnya Haris tidak setuju, tetapi setelah aku meyakinkannya, dia pun mau mengerti.Seberapa banyak uang yang dia habiskan untuk gaun pernikahan kami, itu tidak menjamin kebahagiaan rumah tangga kami di masa depan. Dulu aku juga memilih gaun terbaik untuk pernikahanku dan Adi, hasilnya kami pisah begitu saja. Dengan sangat sadis dan menyakitkan. Itulah alasan mengapa aku ingin pernikahanku dan Haris sederhana saja."Anak saya sangat manja. Dia masih sering merengek mesk