"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.
Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya.
"Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.
Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti.
"Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Biasanya, di rumah sepulang kerja saya hanya bisa berbincang dengan kucing kesayangan saya." Haris mengatakan itu dengan nada yang sedikit sumbang. Dia terlihat lelah berada dalam rumahnya seorang diri.
"Makanya, buruan nikah. Umur kayaknya sudah cukup, pekerjaan tetap sudah ada, fasilitas hidup sepertinya juga sudah, tinggal kamu banyakin usaha dan do'a biar cepet dapet jodoh." saranku. Aku cukup paham dengan kondisi yang sedang dialami oleh Haris.
Kalau aku ingat lagi, mengapa Haris pintar memasak, itu karena dia tinggal seorang diri. Seandainya dia memiliki seorang istri atau setidaknya pembantu, mungkin dia tidak akan semahir itu dalam memasak sesuatu. Kalian mau tahu bagaimana rasa nasi goreng buatan Haris tadi pagi? Rasanya enak sekali. Aku bahkan belum pernah merasakan masakan nasi goreng seenak masakan Haris sebelumnya.
Menjadi istri Haris sepertinya sangat menguntungkan. Selain tampan dan juga mapan, dia juga lembut, penuh perhatian, apalagi jago memasak, sudah menjadi paket komplit sekali, bukan? Sayangnya aku tidak bisa berharap setinggi itu pada seorang Haris. Alasannya sudah pasti karena statusku. Haris belum tentu bisa menerima statusku yang sekarang. Tidak semua lelaki mau menerima status janda menempel pada sosok pasangannya. Pada dasarnya lelaki beda dengan perempuan. Perempuan masih banyak yang bisa terima meskipun calon pendampingnya seorang duda sekalipun.
"Menikah denganmu saja, bagaimana?" Haris menaikkan alisnya berulang kali. Pertanyaannya sukses membuat jantungku lepas dari tempatnya berada sekarang.
Meskipun aku paham, Haris hanya bercanda. Mana mungkin dia mendadak mengajakku menikah. Seorang wanita yang dia tidak tahu dari mana asalnya dan sekaligus baru dua hari dia kenal. Kalau pun itu serius, akan benar-benar terlihat gila.
Sebenarnya menikah tidak perlu penjajakan yang panjang. Contohnya aku dan Adi, kami pacaran hampir tiga tahun lamanya dan berakhir dengan bercerai. Jadi, apa fungsinya penjajakan selama hampir tiga tahun itu? Sama saja dengan sia-sia. Adi tidak bisa memahamiku dan lebih mementingkan hawa napsunya. Melupakan setiap keping kenangan yang pernah kami lewati bersama.
"Kalau bercanda jangan tentang nikah, aku takut baper." sahutku seraya berusaha bersikap senatural mungkin supaya dia tidak dapat membaca kegugupanku.
"Saya tidak keberatan kalau kamu terbawa perasaan, justru itu yang saya harapkan. Saya akan dengan senang hati mempersuntingmu menjadi istri." sahutnya enteng, sama sekali tanpa beban.
"Kamu semakin ngaco, sudahlah, saya mau langsung turun saja. Takut termakan sama gombalan kamu." Aku segera membuka pintu mobil dan turun dari mobilnya.
Haris menghentikan mobilnya sedikit mepet dengan kontrakan, jadi aku tidak harus jalan terlalu jauh. Walaupun bajuku tetap saja basah karena hujan memang masih cukup deras. Aku tidak buru-buru masuk ke dalam rumah. Memerhatikan Haris yang memutarkan mobilnya lalu melambaikan tangan padaku sebelum akhirnya meluncur ke rumahnya yang letaknya tepat di hadapan kontrakanku.
Aku tersenyum tipis tanpa alasan, menggelengkan kepala seperti berusaha merontokkan setiap pemikiran-pemikiran yang tertempel di sana. Setelah menghela napas ringan aku segera berbalik dan melangkah menuju pintu masuk. Mencari kunci rumah yang ada di tas kecil yang selalu aku bawa kerja. Membuka pintu dan menutupnya setelah masuk ke dalam.
Aku juga mengeluarkan kotak makanan milik Haris dan langsung membawanya ke tempat pencucian piring dan meninggalkannya di sana. Aku melangkahkan kakiku ke kamar, berniat merebahkan diri sejenak. Aku lelah sekali hari ini. Seandainya tidak terobati dengan kebersamaanku dengan Haris tadi, mungkin keadaanku akan lebih buruk dari ini.
Sehebat ini efek seseorang yang aku taksir. Hanya bersamanya saja sudah membuatku berbunga-bunga. Aku bisa merasakan beban berat yang menempel di pundakku seperti terkikis perlahan. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya, senyuman, dan juga tatapan matanya, semua seperti kekuatan magis yang membuatku berada dalam dunia khayalan.
Memikirkan Haris setiap waktu tidak membuatku merasa bosan. Mungkin bisa jadi karena kami baru kenal, atau memang dia memang sangat berpengaruh padaku. Nama Haris seperti enggan hilang dari dalam ingatanku. Semakin banyak waktu yang aku habiskan setelah bertemu dengan sosok Haris, semakin sering aku memikirkan sosok pria itu.
Pelarian? Aku kadang berpikir seperti itu. Kalau seandainya itu benar, kenapa harus Haris? Sebelumnya aku juga sudah didekati beberapa pria dan mereka tidak berhasil membuatku tertarik. Setelah satu tahu berlalu, bukankah itu tidak bisa dianggap sebagai pelarian? Lagipula perasaanku terhadap Adi sudah lama hilang. Aku sudah merelakan apa yang terjadi diantara kami berdua. Kami sudah ditakdirkan untuk berpisah dan mengakhiri kisah kami. Mungkin garis jodoh antara aku dan Haris memang sudah ditetapkan pendek.
Aku yakin tidak ada yang menginginkan sebuah rumah tangga yang gagal. Semuanya pasti menginginkan hubungan yang selalu langgeng dan mulus tanpa ada hambatan. Sayangnya kita tidak ada yang bisa memilih takdir masing-masing. Setiap kita sudah memiliki skenario kehidupan yang harus dijalani. Susah, senang, sedih, dan bahagia, semuanya sudah tertulis rapi di sana. Awalnya aku juga tidak bisa menerima kenyataan ini, tetapi pada akhirnya aku harus bisa menerima kenyataan yang ada. Meratapi semuanya tidak lantas membuat Adi kembali padaku.
Seandainya saat itu dia mau kembali ke sisiku, belum tentu hubungan kami akan sebaik dulu. Kami akan saling mengungkit dan aku yakin hubunganku dengannya tidak akan harmonis. Seorang wanita yang tidak bisa memberikan anak sepertiku akan tetap disudutkan. Dia tetap akan menjadikan itu sebagai alasan menghianati hubungan kami. Tuhan menggagalkan hubunganku dengan Adi karena Dia yakin, akhirnya hubungan kami tidak akan baik.
Bagaimana aku bisa kuat dalam keadaan ini? Semuanya butuh proses yang panjang. Aku juga sama dengan wanita yang lainnya, menangis, terluka, hampir kehilangan harapan, ajaibnya semua itu tidak berlangsung lama. Aku akhirnya menyadari kalau apa yang aku rasakan itu, bukan hanya aku sendiri yang merasakannya. Banyak wanita di luar sana yang nasibnya jauh lebih buruk dari aku. Satu harapanku, semoga Tuhan mengirimkan sosok pengganti yang jauh lebih baik daripada Adi.
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter
Sepanjang perjalanan aku dan Haris menceritakan masalalu kami masing-masing. Ternyata dia sempat kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut. Selama lima tahun terakhir dia memilih menyendiri. Bukan hanya untuk melupakan kenangan yang pernah dia lalui bersama mantannya, tetapi dia juga sedang menunggu sosok yang tepat untuk menggantikan sosok mantannya tersebut. Aku tidak menyangka kalau diriku yang dipilih oleh Haris untuk menggantikannya.Pernikahan kedua. Aku dulu tidak pernah berpikir akan ada pernikahan kedua di dalam hidupku. Aku pikir pernikahanku dengan Adi akan terus berlanjut sampai nanti, maut yang memisahkan kami berdua. Dia yang aku pikir akan terus ada di sisiku, ternyata menyimpan wanita lain di hatinya. Sangat menyakitkan.Aku harap Haris sesuai dengan apa yang aku lihat. Dia bisa membimbingku ke arah yang lebih baik, mencurahkan kasih sayang yang dia punya sepenuhnya untukku, dan tidak memberi celah kepada wanita lain untuk masuk ke dal
Aku membersihkan area bagianku seperti biasa. Pernyataan Haris tadi pagi saat mengajak menikah masih terngiang di telingaku. Khusus kalimat itu, deretan kata yang istimewa saat kudengar. Haris ternyata bergerak cepat, dalam hitungan hari dia langsung memintaku menjadi istrinya.Manis, sangat manis. Hatiku nyaris meleleh saat mendengarnya.Mungkin pertemuanku dengan Haris seperti yang dia katakan, kami sudah ditakdirkan. Aku dan Haris sudah sepakat untuk hidup bersama, aku harap seluruh keluarganya juga mau menerimaku. Rasanya, kalau dia menerimaku dan keluarganya tidak, kebahagiaan kami tidak akan sempurna. Terutama aku, aku akan merasa kehidupan rumah tanggaku tidak jauh dari saat bersama Adi.Semalam aku mimpi tentang Haris dan itu menjadi pertanda tentang perasaannya? Kenapa harus mimpi yang memalukan seperti itu? Bayangan Haris memperlakukan aku seperti itu masih membuat bulu kudukku berdiri. Mungkinkah dia juga memimpikan hal yang sama denganku? Ah, sepertiny
Haris membawaku ke tempat makan terbuka. Di rumah makan itu terdapat tanah luas seperti taman yang di dalamnya terdapat rumah-rumah kecil dengan sisi-sisinya yang hanya setengah tempat pengunjung menikmati makanan. Kami berdua melangkah, menuju salah satu dari bangunan itu setelah Haris memesan beberapa makanan pada pelayan.Aku memandangi sekitar. Banyak kolam-kolam yang dibuat di sana. Masing-masing dipenuhi bunga teratai dan bunga air lainnya. Di sana juga ada beberapa patung binatang, membuat nuansa seakan kami sedang mengunjuni kebun binatang. Aku suka sekali dengan konsep tempat makan pilihan Haris. Dia memiliki selera yang bagus dalam memilih tempat yang menjadi tempat kencan pertama kami, meskipun tidak bisa dibilang begitu."Kamu menyukai tempat ini?" tanyanya saat kami sudah memasuki salah satu bilik yang di sediakan."Saya sangat menyukainya. Apakah kamu pelanggan di rumah makan ini? Saya lihat mereka menyambutmu dengan sangat ramah dan juga men
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Haris, kami berdua melakukan perjalanan menuju butik langganan keluarganya. Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang, aku sedikit salah tingkah karenanya. Sengaja aku mainkan kedua tanganku untuk mengurangi kegugupan yang perlahan menerpa semakin kencang. Sungguh, meskipun ini bukan untuk pertama kalinya, tetapi tetap saja membuatku kesulitan menahan perasaan gembiraku yang meluap-luap ditambah lagi rasa gelisah yang tercampur menjadi satu kesatuan yang sulit untuk digambarkan."Jangan gugup, ini baru pemilihan pakaian yang akan kamu kenakan. Setelah ini saya akan membawa kamu menemui mama saya."Mataku terbelalak. Aku tidak menyangka kalau hari ini Haris akan me
Aku tidur telentang menatap langit-langit. Sebuah senyuman mengembang dari bibirku. Hari ini semuanya sukses. Meskipun aku sempat panik karena aku lupa kembali ke rumah sakit setelah jam makan siang. Rupanya Haris sudah meminta izin untuk membawaku pergi.Makan siang yang cukup mengesankan berlanjut dengan pemilihan baju yang akan aku pakai saat menikah dengan Haris nanti. Sebuah kebaya sederhana dan bawahan yang juga sederhana kupilih untuk nanti kupakai di hari peresmian hubungan kami. Awalnya Haris tidak setuju, tetapi setelah aku meyakinkannya, dia pun mau mengerti.Seberapa banyak uang yang dia habiskan untuk gaun pernikahan kami, itu tidak menjamin kebahagiaan rumah tangga kami di masa depan. Dulu aku juga memilih gaun terbaik untuk pernikahanku dan Adi, hasilnya kami pisah begitu saja. Dengan sangat sadis dan menyakitkan. Itulah alasan mengapa aku ingin pernikahanku dan Haris sederhana saja."Anak saya sangat manja. Dia masih sering merengek mesk
"Mas, malam ini kamu sangat tampan. Aku merasa beruntung bisa tidur bersamamu malam ini," Suara manja seorang wanita membuat genangan air di mataku. Aku akui, aku tidak bisa menggoda lelaki sebaik dia."Kamu memang selalu manja, Sayang, menggemaskan. Aku yang merasa beruntung memiliki pacar secantik kamu." Suara lembut lelaki itu terasa sangat menusuk gendang telingaku. Suara itu milik Adi, suamiku."Kamu bisa saja, Mas." Wanita itu terdengar tertawa kecil.Di depan kamar 202 aku berdiri mematung dengan tetesan cairan bening membasahi pipi. Setelah aku selalu disuguhkan dengan penyangkalan dari mulut lelaki yang sudah menemani hidupku selama lima tahun, akhirnya aku bisa membuktikan kalau dugaanku benar. Dia berselingkuh dengan teman sekantornya.Pantas saja dia selalu marah setiap aku mengungkit kejanggalan sikapnya belakangan ini. Adi sering pulang larut malam dengan bau parfum wanita melekat di pakaian yang dikenakannya. Dia bahkan bersumpa