Di jam makan siang, aku menyempatkan diri untuk mengisi perutku di kantin rumah sakit. Sedikit canggung memang, karena aku hanya sendirian, dan memang belum ada yang ku kenal dengan baik di sini. Aku sengaja memilih menu makanan yang sederhana, sekali lagi itu adalah trikku untuk meminimalisir pengeluaran.
Seporsi nasi putih, tempe goreng dan sambal sudah cukup untuk mengenyangkanku. Segelas teh hangat sengaja ku pilih karena aku tidak terlalu suka minuman dingin. Kalian pernah merasakan seperti hilang dan tidak punya siapa-siapa di suatu tempat? Itu yang sedang aku rasakan sekarang.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?" suara Haris mengejutkanku.
Aku menatap ke arah sumber suara dan dia memang benar-benar Haris. Aku tidak menyangka dia mau makan siang bersamaku yang notabene hanya tukang bersih-bersih di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Boleh, silakan Dok." Aku tidak bisa menolaknya. Bukan tanpa alasan, aku orang baru di rumah sakit ini, aku harus mencoba membuka diri untuk setidaknya mengenal salah satu orang yang mungkin bisa membantuku di masa depan.
Haris sepertinya orang yang baik. Dia tidak hanya memiliki paras yang rupawan, dia ramah, dan sopan. Sebagai wanita aku merasa lebih dihargai. Caranya menatap juga sangat lembut. Hatiku hampir meleleh karenanya.
"Jangan panggil saya dok, panggil saja Haris. Sepertinya kita seumuran." katanya tanpa sungkan.
"Saya sungkan, takutnya jadi tidak sopan. Saya hanyalah seorang tukang pel di rumah sakit ini, bagaimana bisa saya selancang itu." sahutku dengan sangat hati-hati.
Haris tersenyum. Sungguh, senyuman lelaki itu seperti senyuman maut. Aku tersedot dalam pesonanya. Padahal selama setahun berpisah dengan Adi aku tidak tertarik dengan lelaki mana pun, tetapi pesona Haris memang susah untuk ditolak. Lelaki itu benar-benar menarik. Beruntung akal sehatku tidak bosan untuk mengingatkan kalau dia dan aku tidak berada di level yang sama.
"Santai saja. Kamu makan nasi, saya juga makan nasi. Jadi apa bedanya kita? Dalam hubungan pertemanan, saya tidak mementingkan pekerjaan atau status sosial seseorang. Anggap saja kita ini sama, jangan sungkan." kata Haris lembut. Lagi-lagi dia tersenyum.
Sungguh luar biasa. Seorang dokter muda seperti Haris tidak ku sangka dia sangat rendah hati. Kebanyakan seseorang yang memiliki pangkat akan memilih siapa yang pantas menjadi temannya atau tidak. Ternyata Haris tidak termasuk di antara mereka. Dia sosok yang istimewa.
"Baik kalau begitu, Dok ... eh, maksud saya, Haris." Aku sedikit tersipu. Tuhan, jangan biarkan aku terbawa perasaan karena kebaikan Haris. Jangan biarkan aku terbawa arus perasaan yang terus mengalir deras.
"Nah, begitu. Kita jadi terlihat lebih akrab. Kamu jangan sungkan kalau misalnya butuh bantuan, saya akan siap sedia membantu selagi mampu." Setiap kata yang keluar dari mulut Haris benar-benar mengalun merdu di telingaku. Tidak ku sangka dia menawarkan bantuan padaku. Padahal kami baru saja saling mengenal.
"Terima kasih sebelumnya." jawabku singkat. Lidahku benar-benar kelu, sehingga aku tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu warga asli kota ini?" Haris seperti sedang mengorek informasi tentang diriku.
"Bukan, saya baru tinggal di kota ini. saya sedang berusaha menemukan kehidupan baru." jawabku jujur.
Aku memang sedang berkelana, mencari ketenangan yang tidak aku dapatkan saat tinggal di rumah orang tuaku. Jarak rumah orang tua yang dekat dengan rumah yang pernah ku tinggali bersama Adi memang membuatku sedikit resah. Belum lagi aku dengar baru-baru ini Adi berencana menikahi selingkuhannya. Sebagai seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya aku masih merasakan goresan cemburu dan sakit hati, meskipun tidak banyak.
"Jadi kamu tinggal seorang diri di kota ini?"
Aku mengangguk.
"Kamu hebat. Di kota yang tidak ramah terhadap perempuan ini kamu berani tinggal seorang diri, saya salut dengan keberanianmu." pujinya.
"Kamu berlebihan, Ris. Saya yakin, saya bukan satu-satunya perempuan yang tinggal seorang diri di kota ini." sahutku seraya tertawa kecil tanpa sadar.
Haris tampak memperhatikanku lalu dia ikut tertawa kecil.
"Ternyata kamu bisa tertawa, saya pikir kamu akan terus bicara dengan serius." komentarnya.
"Aku juga manusia, pasti bisa tertawa, dong. Maaf, saya ingin bertanya hal pribadi, ini supaya tidak terjadi salah paham di kemudian hari. Kamu sudah menikah?" tanyaku serius.
Aku tidak ingin terjebak. Aku takut kedekatanku dengan Haris justru menjadi bumerang. Aku juga tidak ingin statusku menyebabkan aku tertuduh sebagai wanita penggoda atau perebut suami orang. Sebelum mengenal Haris lebih jauh, aku pikir mengetahui statusnya bukanlah hal yang salah.
"Aku belum menikah. Pacar saja tidak punya, siapa yang mau saya nikahi?" Haris tergelak. Ya Tuhan, kenapa aku senang saat mengetahui dia masih sendiri?
"Masa sih, seorang yang seperti kamu tidak memiliki pacar, sepertinya tidak mungkin." ledekku.
"Atas dasar apa kamu bisa bilang seperti itu? Tidak semua gadis yang mendekati saya berhasil menarik perhatian saya. Bahkan diantaranya malah bikin saya jadi ilfil. Saya juga bukan tipe orang yang bisa sembarangan memilih pasangan." jelasnya. Oh, ternyata Haris tipe orang yang pemilih juga.
"Jangan kebanyakan milih, nanti dapatnya malah salah, loh." ledekku lagi.
"Sebenarnya pemilihnya saya itu bukan tergantung ke fisik atau materi, tetapi lebih ke kepribadian dari si gadis tersebut. Masalah dia cantik atau profesinya apa, itu penilaian yang kesekian dan bagi saya tidak begitu penting." jelasnya.
Entah mengapa penjelasan dia semakin membuatku tertarik. Seorang lelaki dengan profesi Dokter, tampan, ramah dan rendah hati sudah sangat langka untuk ditemui dan aku bertemu salah satu dari mereka. Dia sangat luar biasa, aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Intinya aku sangat kagum.
"Wah, jarang sekali ada pria seperti kamu. Biasanya seorang lelaki selalu memandang wanita dari segi fisik. Dia tidak peduli seperti apa kepribadian wanita itu yang penting secara visual mereka menarik." sahutku, ini berdasarkan pengalaman pribadiku dengan Adi.
"Jangan samakan saya dengan mereka. Saya punya cara pandang tersendiri pada sosok wanita. Saya suka pada sosok wanita yang mandiri seperti kamu." katanya.
Sungguh, perkataan Haris membuatku berangan-angan, seandainya dia menjadi pengganti Adi. Meskipun aku sadar, khayalanku itu terlalu muluk-muluk. Bagaimana mungkin seorang Haris mau menikahiku yang seperti ini. Sepertinya tingkat kehaluanku sudah sangat parah.
"Saya do'akan semoga kamu bisa mendapatkan jodoh yang sesuai dengan impianmu. Banyak sekali wanita di luar sana yang mandiri, saya yakin kamu bisa menemukan salah satu dari mereka." Aku menyemangati Haris.
Dia lelaki yang baik, aku yakin dia akan dipertemukan dengan seorang perempuan yang baik dan menyempurnakan hidupnya. Bagiku, bisa berteman dengan seorang lelaki seperti Haris sudah merupakan keberuntungan.
"Amin, do'a terbaik juga untukmu, Asma. Kamu juga wanita yang baik. Kamu pasti akan menemukan seseorang yang terbaik." katanya.
Seandainya lelaki itu kamu, Haris. Aku sadar, harapanku terlalu besar. Sekilas berharap sepertinya sah-sah saja, kan? Oh Tuhan, tolong hilangkan perasaanku pada Haris. Dia tidak mungkin bisa aku gapai kecuali engkau menakdirkan dia untukku.
Awalnya aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tetapi aku menepis itu setelah bertemu dengan Haris. Pria itu selalu membayang di pelupuk mataku. Sungguh dia makhluk ciptaan Tuhan yang keindahannya di atas rata-rata. Seberapa lama aku melihatnya, tidak pernah timbul rasa bosan di hatiku. Dia tetap bersinar seperti ribuan bintang yang terhampar di langit.Aku tahu, seharusnya aku tidak memiliki perasaan ini. Aku tidak pantas mengharapkan sosok Haris yang memiliki taraf kehidupan jauh di atasku. Jika dibandingkan dengan dia, aku hanyalah butiran debu. Terkadang cinta memang tidak memandang materi atau latar belakang, tetapi aku tidak tahu apakah Haris tipe lelaki yang cara pandangnya tentang cinta seperti itu atau tidak.Sejak pulang dari bekerja, sampai sekarang aku sudah membersihkan diri dan melaksanakan berbagai rutinitas termasuk ibadah, Haris tidak lepas dari ingatanku. Caranya berbicara sambil menatapku, caranya tersenyum, wajahnya yang rupawan, teru
Seperti biasa aku berangkat menggunakan ojek online khusus wanita. Pagi ini semangatku naik berkali lipat. Entah karena apa, tetapi sepertinya efek dari bertemu Haris si Dokter Ganteng. Aku juga tidak menyangka kalau pertemuanku dengan dia membuatku semangat menjalani hari berikutnya. Aku menertawakan diriku sendiri, di usiaku yang sudah menginjak hampir kepala tiga aku masih saja bertingkah seperti anak-anak. Persis seperti remaja yang jatuh cinta.Tidak seperti kemarin yang belum ada siapa-siapa saat aku tiba di rumah sakit, hari ini ada sebuah mobil sedan putih yang terparkir di parkiran khusus untuk para Dokter. Setelah aku turun dan membayar ongkos, aku mengarahkan langkahku ke tempat ganti yang terletak lumayan jauh dari gedung utama dan melewati area parkiran. Aku tidak peduli siapa pemilik mobil tersebut."Asma!" suara Haris menghentikan langkahku yang belum seberapa jauh.Aku berbalik dan melihat dia berlari kecil ke arahku de
Di hari berikutnya, aku sedang menunggu ojek pesananku. Hari ini cukup melelahkan, karena aku harus membantu salah satu teman sepekerjaku yang tidak masuk kerja untuk membersihkan area bagiannya. Badanku cukup pegal, apalagi sekarang aku harus berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang tidak kunjung datang. Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku semakin gusar, seandainya hujan turun, itu artinya aku harus berteduh dan tinggal lebih lama di area rumah sakit.Berulang kali aku melongok ke ujung jalan, tanda-tanda tukang ojek yang akan menjemputku belum terlihat juga. Aku menggembungkan pipiku dan mengembuskan napas dari mulut berulang kali karena bosan. Gerimis mulai turun dan aku masih tetap menunggu. Sesekali aku memijat leher yang sedikit kaku."Asma, lagi nunggu ojek?" Haris menghentikan mobilnya di dekatku dan membuka kacanya sebagai celah untuk dapat berbicara denganku."Benar, saya sedang menunggu ojek langganan sa
"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya."Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti."Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Bias
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter
Sepanjang perjalanan aku dan Haris menceritakan masalalu kami masing-masing. Ternyata dia sempat kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut. Selama lima tahun terakhir dia memilih menyendiri. Bukan hanya untuk melupakan kenangan yang pernah dia lalui bersama mantannya, tetapi dia juga sedang menunggu sosok yang tepat untuk menggantikan sosok mantannya tersebut. Aku tidak menyangka kalau diriku yang dipilih oleh Haris untuk menggantikannya.Pernikahan kedua. Aku dulu tidak pernah berpikir akan ada pernikahan kedua di dalam hidupku. Aku pikir pernikahanku dengan Adi akan terus berlanjut sampai nanti, maut yang memisahkan kami berdua. Dia yang aku pikir akan terus ada di sisiku, ternyata menyimpan wanita lain di hatinya. Sangat menyakitkan.Aku harap Haris sesuai dengan apa yang aku lihat. Dia bisa membimbingku ke arah yang lebih baik, mencurahkan kasih sayang yang dia punya sepenuhnya untukku, dan tidak memberi celah kepada wanita lain untuk masuk ke dal
Aku membersihkan area bagianku seperti biasa. Pernyataan Haris tadi pagi saat mengajak menikah masih terngiang di telingaku. Khusus kalimat itu, deretan kata yang istimewa saat kudengar. Haris ternyata bergerak cepat, dalam hitungan hari dia langsung memintaku menjadi istrinya.Manis, sangat manis. Hatiku nyaris meleleh saat mendengarnya.Mungkin pertemuanku dengan Haris seperti yang dia katakan, kami sudah ditakdirkan. Aku dan Haris sudah sepakat untuk hidup bersama, aku harap seluruh keluarganya juga mau menerimaku. Rasanya, kalau dia menerimaku dan keluarganya tidak, kebahagiaan kami tidak akan sempurna. Terutama aku, aku akan merasa kehidupan rumah tanggaku tidak jauh dari saat bersama Adi.Semalam aku mimpi tentang Haris dan itu menjadi pertanda tentang perasaannya? Kenapa harus mimpi yang memalukan seperti itu? Bayangan Haris memperlakukan aku seperti itu masih membuat bulu kudukku berdiri. Mungkinkah dia juga memimpikan hal yang sama denganku? Ah, sepertiny