Satu tahun berlalu.
Aku yang sudah resmi menyandang status janda pindah dari kota asalku. Sejak memutuskan untuk keluar dari rumah yang aku tinggali bersama Adi, aku tinggal di rumah orang tuaku. Sekarang aku keluar dari rumah mereka dan ingin memulai hidup baru di lingkungan yang baru.
Letak rumah orang tuaku yang tidak terlalu jauh dari rumah yang pernah aku tempati berdua dengan Adi adalah salah satu faktor yang membuatku melakukan ini. Ada seseorang yan pernah berkata padaku, cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah tidak lagi menjalin interaksi dengan orang tersebut.
Di dalam benakku, aku belum memiliki keinginan untuk memulai kembali hubungan pernikahan dengan siapa pun. Selama satu tahun kesendirianku, sudah banyak lelaki yang memintaku untuk menjadi istrinya. Sayangnya, perselingkuhan Adi meninggalkan luka yang teramat dalam di hatiku. Aku seperti mati rasa dan tidak memiliki keinginan untuk menikah.
Kegagalan dalam pernikahan memang sering menimbulkan trauma tersendiri bagi sebagian oran dan aku termasuk salah satu dari mereka. Setiap lembar kegagalan yang terangkum dalam buku hitam pernikahanku dan Adi masih begitu jelas isinya. Bagiku, kegagalan itu bukan tidak mungkin akan terulang kembali.
Beberapa temanku justru memberikanku dorongan untuk segera menikah lagi, melupakan Adi dan hidup bahagia. Bagiku, semuanya tidak sesederhana itu. Setelah gagal, aku tidak ingin gagal lagi untuk kedua kalinya. Aku ingin menata kembali puzzle hidupku perlahan, satu persatu, dan sangat hati-hati.
Sekarang aku tinggal di sebuah kota yang cukup padat penduduknya. Menempati sebuah kontrakan dengan fasilitas yang lumayan. Aku sengaja memilih tempat yang minimalis untuk menekan pengeluaranku. Ruangan yang aku tinggali adalah sebuah rumah dengan ukuran sedang dua lantai dan aku hanya menyewa lantai dasarnya saja. Aku pergi berbekal uang hasilku bekerja selama aku tinggal bersama orang tua. Beberapa hari belakangan aku baru saja diterima bekerja sebagai cleaning service di sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di kota ini.
Pagi ini adalah hari pertama aku masuk kerja. Aku berpakaian apa adanya. Kaos panjang yang sedikit kebesaran hingga hampir selutut dan celana jeans sebagai bawahannya. Jilbab instan bertengger di kepala untuk menutupi rambut panjangku. Tidak lupa, aku juga mengenakan kaos kaki. Lagipula, di sana nanti aku akan ganti dengan baju seragam khusus. Kebetulan pihak rumah sakit tempatku bekerja mengizinkan pekerjanya untuk mengenakan hijab.
Aku bukanlah wanita suci. Kehidupan masalaluku sebelum menikah tidak sebaik sekarang. Aku dulu belum berhijab dan berpakaian layaknya wanita pada umumnya. Dengan rambut tergerai dan juga pakaian ketat pas badan. Sejak menikah dengan Adi, aku memutuskan untuk berpenampilan tertutup. Meskipun Adi tidak setuju dengan keputusanku, aku tetap melaksanakannya. Semua bermula saat aku melihat sebuah postingan di laman Instagram tentang kewajiban seorang wanita menutup auratnya. Aku pikir, aku harus memulai untuk menutup diriku.
Mungkin hal ini yang membuat Adi akhirnya berpaling, tetapi aku tidak menyesal. Dengan menutup diriku aku akhirnya mengetahui kalau Adi tidak pernah tulus mencintaiku. Dia hanya mencintai kemolekan fisikku yang terbuka. Entah mengapa, kejadian ini semakin membuatku bertekad untuk berpakaian dengan baik dan benar menurut kepercayaanku.
Karena jarak yang tidak terlalu jauh, aku menggunakan jasa ojek online khusus wanita untuk mengantarku ke lokasi kerja. Tentu saja aku tidak ingin sembarangan menggunakan jasa angkutan umum. Sebagai seorang wanita apalagi dengan statusku yang sekarang, aku harus menjaga diriku dengan sebaik-baiknya.
Seorang janda adalah status yang sangat sensitif. Ramah terhadap siapa saja dianggap genit, acuh dibilang jual mahal. Serba salah, tetapi aku tidak takut. Aku tidak keberatan dengan statusku sekarang. Aku bisa tersenyum dari hati. Bukan hanya sebatas ulasan bibir. Ya, aku bahagia berpisah dengan Adi.
Sesampainya rumah sakit tempatku bekerja, aku bergegas ke ruang ganti khusus karyawati yang kemarin ditunjukkan oleh petugas yang menerimaku bekerja. Mengganti pakaianku dengan pakaian khusus lalu mengambil beberapa peralatan untuk membersihkan lantai. Seperti sapu dan juga kain pel.
Suasana rumah sakit masih sangat sunyi. Aku sempat melirik jam tanganku, masih menunjukkan pukul enam pagi. Suasana yang sunyi itu membuat suara tepukan sendal jepitku menggema.
Aku tidak bekerja sendiri. Ada beberapa pekerja lain. Aku juga memiliki area yang harus dibersihkan. Setiap kami memiliki area kerja masing-masing.
Aku bertugas di bangunan yang khusus untuk area Dokter Spesialis. Di bangunan itu berisi deretan ruangan-ruangan khusus. Mulai dari ruangan spesialis mata, kulit, penyakit dalam, anak dan lain sebagainya.
Aku tidak keberatan menjalani pekerjaanku sekarang. Aku sadar diri, pendidikanku tidaklah tinggi. Di zaman seperti sekarang, semua pekerjaan harus menggunakan ijazah dan juga tidak jarang yang harus menggunakan uang pelicin.
Aku hanya ingin bekerja dengan nyaman, meskipun menguras tenaga. Pekerjaan ini membuatku mengenang masa-masa pacaran dengan Adi. Dulu dia sering menjemputku pulang dan terkadang mengantarku ke tempat kerja. Dia terlihat begitu manis dan sangat menyayangiku. Sayangnya semuanya tidak berlangsung lama. Rasa cinta Adi padaku ternyata luntur seiring waktu.
Aku mendengar suara ketukan sepatu menggema, mengisi setiap sudut kosong tempatku membersihkan lantai. Aku penasaran dan menoleh ke arah sumber suara. Sungguh, aku terpana pada sosok pria berseragam putih yang sedang berjalan ke arahku. Dia tampak buru-buru. Wajahnya sangat tampan seperti tanpa noda layaknya aktor luar negeri. Aku segera memalingkan pandanganku. Aku tahu aku salah. Tidak seharusnya aku memandangi lelaki sampai seperti ini.
Aku membiarkan derap kaki itu terus mendekat. Mencoba tidak peduli dengan apa yang aku lihat. Bisa saja, lelaki itu sudah beristri. Lagipula, aku tidak berhak mengira-ngira apapun tentangnya. Dia hanya seseorang yang baru saja ku lihat.
"Permisi, maaf saya sudah mengotori lantai yang baru saja mbak bersihkan." tegur lelaki itu dengan sangat ramah.
Aku berdiri, membuat diriku menghadap ke arahnya. Dia tersenyum, manis sekali. Senyumnya saja sudah membuat jantungku berdebar. Aku membalas senyumannya senatural mungkin.
"Tidak apa-apa, Dok. Saya tidak keberatan untuk membersihkannya lagi." sahutku.
"Mbak baru, ya?" tanyanya seraya mengamati wajahku.
"Benar. Saya baru bekerja hari ini." jawabku sopan.
"Oh, benar. Saya lupa kalau Mbak Wati yang biasa membersihka koridor ini cuti melahirkan. Perkenalkan, nama saya Haris." Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Saya Asma." Aku mengatupkan kedua telapak tanganku sebagai tanda perkenalan. Dia paham, aku tidak bisa berjabat tangan dengannya.
"Kalau begitu, selamat bekerja. Saya masuk ke ruangan saya dulu." katanya seraya tersenyum lalu meninggalkanku.
Aku tidak menyangka dia akan seramah itu, tetapi dinilai dari perkataannya, dia dekat dengan semua orang. Terbukti dia juga mengenal baik pekerja sebelumnya. Jadi semua percakapan kami bukanlah hal spesial.
Aku kembali bekerja. Masih banyak yang belum aku bersihkan. Jam masuk kerja tidak lama lagi, aku harus bergegas. Dipikiranku muncul sebuah pertanyaan, untuk apa Haris datang sepagi ini?
Aku menyempatkan diri menoleh dan membaca tulisan yang ada di atas pintu masuknya. Dari sana aku tahu, dia seorang Dokter Spesialis Anak. Entah mengapa mengenang lelaki itu membuatku tersenyum. Dia memang benar-benar makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah.
Aku segera menepis isi pikiranku. Tidak ingin terlarut dalam godaan pria berwajah bening itu. Sebenarnya dia tidak menggoda, hanya aku saja yang tergoda. Dia tampaknya seperti lelaki lembut dan perhatian.
Sekali lagi aku menepis pemikiranku. Semua lelaki sama saja. Manis di awal dan akan pahit akhirnya. Rasanya aku sudah cukup puas mengalami kejadian tidak mengenakkan selama menikah dengan Adi.
Tuhan, apakah aku bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Adi? Sampai kapan aku menutup hatiku untuk pria?
Di jam makan siang, aku menyempatkan diri untuk mengisi perutku di kantin rumah sakit. Sedikit canggung memang, karena aku hanya sendirian, dan memang belum ada yang ku kenal dengan baik di sini. Aku sengaja memilih menu makanan yang sederhana, sekali lagi itu adalah trikku untuk meminimalisir pengeluaran.Seporsi nasi putih, tempe goreng dan sambal sudah cukup untuk mengenyangkanku. Segelas teh hangat sengaja ku pilih karena aku tidak terlalu suka minuman dingin. Kalian pernah merasakan seperti hilang dan tidak punya siapa-siapa di suatu tempat? Itu yang sedang aku rasakan sekarang."Maaf, boleh saya duduk di sini?" suara Haris mengejutkanku.Aku menatap ke arah sumber suara dan dia memang benar-benar Haris. Aku tidak menyangka dia mau makan siang bersamaku yang notabene hanya tukang bersih-bersih di rumah sakit tempatnya bekerja."Boleh, silakan Dok." Aku tidak bisa menolaknya. Bukan tanpa alasan, aku orang baru di rumah sakit ini, aku harus
Awalnya aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tetapi aku menepis itu setelah bertemu dengan Haris. Pria itu selalu membayang di pelupuk mataku. Sungguh dia makhluk ciptaan Tuhan yang keindahannya di atas rata-rata. Seberapa lama aku melihatnya, tidak pernah timbul rasa bosan di hatiku. Dia tetap bersinar seperti ribuan bintang yang terhampar di langit.Aku tahu, seharusnya aku tidak memiliki perasaan ini. Aku tidak pantas mengharapkan sosok Haris yang memiliki taraf kehidupan jauh di atasku. Jika dibandingkan dengan dia, aku hanyalah butiran debu. Terkadang cinta memang tidak memandang materi atau latar belakang, tetapi aku tidak tahu apakah Haris tipe lelaki yang cara pandangnya tentang cinta seperti itu atau tidak.Sejak pulang dari bekerja, sampai sekarang aku sudah membersihkan diri dan melaksanakan berbagai rutinitas termasuk ibadah, Haris tidak lepas dari ingatanku. Caranya berbicara sambil menatapku, caranya tersenyum, wajahnya yang rupawan, teru
Seperti biasa aku berangkat menggunakan ojek online khusus wanita. Pagi ini semangatku naik berkali lipat. Entah karena apa, tetapi sepertinya efek dari bertemu Haris si Dokter Ganteng. Aku juga tidak menyangka kalau pertemuanku dengan dia membuatku semangat menjalani hari berikutnya. Aku menertawakan diriku sendiri, di usiaku yang sudah menginjak hampir kepala tiga aku masih saja bertingkah seperti anak-anak. Persis seperti remaja yang jatuh cinta.Tidak seperti kemarin yang belum ada siapa-siapa saat aku tiba di rumah sakit, hari ini ada sebuah mobil sedan putih yang terparkir di parkiran khusus untuk para Dokter. Setelah aku turun dan membayar ongkos, aku mengarahkan langkahku ke tempat ganti yang terletak lumayan jauh dari gedung utama dan melewati area parkiran. Aku tidak peduli siapa pemilik mobil tersebut."Asma!" suara Haris menghentikan langkahku yang belum seberapa jauh.Aku berbalik dan melihat dia berlari kecil ke arahku de
Di hari berikutnya, aku sedang menunggu ojek pesananku. Hari ini cukup melelahkan, karena aku harus membantu salah satu teman sepekerjaku yang tidak masuk kerja untuk membersihkan area bagiannya. Badanku cukup pegal, apalagi sekarang aku harus berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang tidak kunjung datang. Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku semakin gusar, seandainya hujan turun, itu artinya aku harus berteduh dan tinggal lebih lama di area rumah sakit.Berulang kali aku melongok ke ujung jalan, tanda-tanda tukang ojek yang akan menjemputku belum terlihat juga. Aku menggembungkan pipiku dan mengembuskan napas dari mulut berulang kali karena bosan. Gerimis mulai turun dan aku masih tetap menunggu. Sesekali aku memijat leher yang sedikit kaku."Asma, lagi nunggu ojek?" Haris menghentikan mobilnya di dekatku dan membuka kacanya sebagai celah untuk dapat berbicara denganku."Benar, saya sedang menunggu ojek langganan sa
"Asma, jangan lupa segera mandi dan basahi rambutmu. Tadi kamu sudah terkena air hujan meskipun hanya sedikit. Jangan sampai kamu sakit." pesan Haris sebelum aku turun dari mobilnya.Pesan simpel, tetapi berhasil menarik perhatianku. Dia memang tipe pria yang penuh perhatian. Rasanya semua wanita yang dekat dengannya juga akan merasa nyaman sepertiku saat ini. Aku hanya berharap Haris bukan tipe lelaki yang mudah membuat nyaman setiap wanita yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Kalau dia begitu, itu artinya aku sama saja berhasil dia tarik ke dalam lingkaran permainannya."Terima kasih, Haris. Kamu juga, tadi saya sempat melihatmu terguyur hujan saat membukakan pintu untuk saya. Jangan sampai sakit, bagaimana nanti anak-anak yang sakit kalau dokternya sakit duluan?" Aku tertawa kecil menggodanya.Haris menengok ke arahku dan menatapku penuh arti."Siap, Asma. Terima kasih perhatiannya. Saya senang akhirnya ada yang perhatian dengan keadaan saya. Bias
Hari sudah larut malam. Aku yang kelelahan pun terlelap. Campuran rasa lelah dan bahagia membuatku rileks. Sepertinya aku tidak akan keberatan jika esok hari harus melakukan hal berat lagi asal pulangnya kembali diantar oleh Haris. Aku tertidur dengan bibir menyunggingkan senyum, rasanya aku sedikit kesal dengan pemikiran otakku yang telah terkontaminasi oleh lelaki itu.Aku sempat berpikir kalau kehidupan baruku di tempat yang baru tidak akan menarik. Hanya akan berjalan biasa saja dan sedikit membosankan, tetapi ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mulai mengenal Haris dan Ivan, dua orang yang mungkin nantinya akan terus terlibat dalam kisahku di rumah sakit, terutama Haris.Sayup-sayup aku mendengar suara ketukan dari arah pintu ruang tamu. Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah ruang tamu tanpa menghidupkan lampu sehingga suasana tampak remang-remang. Hanya tersorot cahaya dari luar rumah.Tanpa keraguan aku membuka pintu dan terkejut
Matahari belum menampakkan sinarnya. Sejak selepas subuh aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Menu sarapan yang hanya nasi dan telur ceplok juga sudah terhidang di hadapanku, bersanding dengan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Aku menggerakkan jari telunjukku melingkar di bibir gelas, diriku memang ada di sini, tetapi pikiranku sedang berkelana.Mimpi yang terjadi semalam seperti nyata. Aku masih sangat ingat dengan jelas setiap potong adegannya. Darahku bahkan terasa berdesir saat mengingat setiap lembar mimpiku. Bagaimana bisa, aku memimpikan hal seperti itu bersama Haris? Apa mungkin pikiranku yang terlalu mesum? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan Haris? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiranku.Dalam hitungan hari lelaki itu sudah menguasai isi otakku. Dia seperti telah menyerap semua perhatianku tanpa sisa. Padahal aku tahu ini salah, aku tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang Haris. Dia sangat jauh dari jangkauanku, ter
Sepanjang perjalanan aku dan Haris menceritakan masalalu kami masing-masing. Ternyata dia sempat kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut. Selama lima tahun terakhir dia memilih menyendiri. Bukan hanya untuk melupakan kenangan yang pernah dia lalui bersama mantannya, tetapi dia juga sedang menunggu sosok yang tepat untuk menggantikan sosok mantannya tersebut. Aku tidak menyangka kalau diriku yang dipilih oleh Haris untuk menggantikannya.Pernikahan kedua. Aku dulu tidak pernah berpikir akan ada pernikahan kedua di dalam hidupku. Aku pikir pernikahanku dengan Adi akan terus berlanjut sampai nanti, maut yang memisahkan kami berdua. Dia yang aku pikir akan terus ada di sisiku, ternyata menyimpan wanita lain di hatinya. Sangat menyakitkan.Aku harap Haris sesuai dengan apa yang aku lihat. Dia bisa membimbingku ke arah yang lebih baik, mencurahkan kasih sayang yang dia punya sepenuhnya untukku, dan tidak memberi celah kepada wanita lain untuk masuk ke dal