“Alfa, selamat ya, kamu mendapatkan nilai 100 lagi, kamu emang the best,” suara merdu yang di telinga Melody terdengar genit itu mengudara se-antero kelas pagi ini. Bu Hesta baru saja membagikan hasil ujian minggu kemarin. Dengan malas Melody melirik kertas bernilai 98 di mejanya. Lagi-lagi dia kalah dari Alfa, hanya selisih 2 poin saja. Tajam di tatapnya dosen cantik yang duduk di depan sedang bersiap memberi materi kuliah hari ini.
"Jangan-jangan dosen ini emang nepotisme ya, masak iya nilai gue sama Alfa selalu aja selisih 2 sampai 5 poin aja, dan selalu kalah," batin Melody penuh suudzon.
"Hari ini gue harus membuktikan kebenarannya", niat Melody menyemangati dirinya sendiri.
Empat puluh lima menit kemudian.
“Alfa, setelah ini segera susul saya ke ruang dosen. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu,” pesan Bu Hesta sebelum melangkah keluar setelah jam kuliah hari ini selesai.
“Baik, Bu,” jawab Alfa, kemudian dengan tenang kembali membereskan buku-buku dan alat tulisnya.
Melody segera melangkah ke arah Alfa dan berdiri tepat di depannya.
“Gue lihat kertas ujian elo tadi,” pinta Melody to the poin dengan nada datar. Alfa menatapnya dengan raut muka datar tanpa ekspresi seperti biasa.
Semua mata yang masih ada di ruang kelas itu menatap mereka berdua penuh heran. Selama ini mereka tahu keduanya selalu bersaing nilai, tapi tak pernah nampak mereka berdua saling berbicara atau sekedar saling menyapa. Keduanya sama-sama cuek satu sama lain, terlebih lagi Alfa. Bahkan julukan nerd di pastikan mampir juga di selempang gelar cowok itu.
“Buat apa?” tanya Alfa pada akhirnya.
“Buat ngecek, dosen itu nepotisme nilai atau kagak sama elo.”
Alfa tak bersuara lagi, dengan diam dia menyerahkan lembar kertas ujiannya pada Melody. Begitu menerima kertas ujian Alfa, gadis itu mengambil duduk di kursi kosong sebelah Alfa dan mulailah dia menggelar kertas ujiannya yang bernilai 98 bersanding dengan kertas ujian Alfa yang bernilai 100. Diam-diam Alfa mengintip kertas ujian Melody sekedar ingin mengetahui nilai gadis yang sejak kemarin nggak ada sikap ramah-ramahnya. Senyum tipis kembali tersungging diam-diam di bibir Alfa. Sekian menit kemudian Melody menyodorkan kertas ujian Alfa, jawaban cowok itu memang begitu sempurna, tak heran nilai 100 menjadi haknya.
“Sudah nemu alasan beda nilainya?” jawab Alfa. Melihat wajah manyun di dekatnya sesungguhnya cowok itu begitu gemas ingin membuatnya marah lagi.
“Elo habis ini ke ruang Bu Hesta mau ngapain? Bikin jadwal bimbingan atau jadwal kencan?” tanya Melody meluapkan kekesalannya. Semua pasang mata yang ada di ruang itu mendelik tak percaya mendengar pertanyaan Melody. Dan lebih heran lagi ketika tahu ternyata Alfa tak marah sama sekali. Cowok itu hanya tertawa lepas yang membuat gadis-gadis di ruang itu merasa semakin heran, seorang Melody dengan pertanyaan juteknya berhasil membuat si nerd tertawa lepas membuka aura ketampanannya semakin bersinar. Aura tampan yang selama ini tertutupi dengan sikap cueknya.
“Elo jealous? mau ikut nemenin gue, biar bisa awasi apa yang gue lakuin sama Bu Hesta? Ayo aja asal jangan pengin kalo ntar elo liat yang iya-iya,” jawab Alfa selow.
“Bodo amat elo mau lakuin apapun sama Bu Hesta,” jawab Melody sewot.
“Bu Hesta kan janda, sapa tau beneran genit seperti kata elo kemarin, jadi elo bisa njagain jodoh elo ini.”
“Dasar berengsek terang-terangan, lo. Kagak ada malu-malunya.”
“Jadi ikut nggak?"
"Ogah, jijik."
"Kalau nggak mau ikut ya udah gue susul Bu Hesta dulu, jangan lupa elo langsung pulang. Hari ini nggak ada mata kuliah lagi, kan. Jangan bikin tingkah macam-macam di luaran sana, ingat status elo.”
“Berengsek egois, lo!” teriak Melody kesal sambil menunjuk ke arah Alfa, dewa amarah kembali menguasai jiwanya, namun Alfa sama sekali tak mengindahkan. Dengan langkah santainya dia tetap beranjak pergi menuju pintu kelas.
Belum ada suara saat itu, hanya saja seseorang mencolek bahu Melody dan tak salah lagi, dia adalah Sisil, sahabat Melody yang kepo sedunia gara-gara nyimak percakapan drama barusan.
“Mel, kok elo segitunya banget sama Alfa, ada apa dengan kalian?”
“Gue nggak ada apa-apa sama dia,” jawab Melody tetap dengan nada jutek. Raut wajah kesal jelas tergambar di wajah putihnya, pandangan matanya lurus menatap kepergian Alfa yang hampir mencapai pintu.
Alfa yang hampir keluar ruang kelas dan masih sempat mendengar pertanyaan Sisil di sambung dengan jawaban Melody dengan tiba-tiba menghentikan langkah. Kemudian balik badan menghadap ke arah teman-teman sekelasnya yang masih cukup lengkap saat itu.
“Hari ini gue umumin ke kalian semua. Melody barusan telah berkata bohong. Sesungguhnya dia adalah cewek gue, orang tua kami udah setuju dengan hubungan kami. Jadi di antara kalian yang cowok-cowok, jangan ada yang macam-macam deketin dia karena harus berurusan sama gue dulu,” perjelas Alfa seperti biasa dengan nada datarnya yang sudah terviralkan. Setelahnya kembali melangkah pergi tanpa merasa berdosa sedikitpun.
“Yang bener, Mel?”
“Kok bisa, Mel?”
“Jadi akhirnya elo milih Alfa, Mel?”
“Kok mau sih, Mel, baikan juga gue.”
“Elo ngehancurin hati gue, Mel, gue kan suka Alfa.”
“Lihat Alfa dari apanya, Mel? Cowok absurd gitu?’
Suara-suara sumbang dengan beragam pertanyaan itu memenuhi ruang kelas memberondong pendengaran Melody sehingga membuatnya sangat emosi.
“Gue nggak tahu,” teriak Melody kemudian segera melangkah pergi keluar kelas. Sejenak suara-suara barusan menghilang dan hanya ada satu langkah yang mengejarnya tak putus asa, siapa lagi kalau bukan sahabat karibnya.
“Elo berutang satu penjelasan ke gue, Mel,” hanya kalimat itu yang terucap dari bibir kepo Sisil.
“Makanya elo jangan kelamaan liburan sambil pacaran, gue jadi nggak mau ganggu, kan?” jawab Melody dengan suara seraknya, entah kenapa tiba-tiba aja dia pengin nangis lagi dan benar-benar menangis pada akhirnya. Sambil berjalan cepat, sibuk di usapnya air mata yang tanpa permisi mengalir menganak sungai.
“Eh, elo nangis, Mel. Elo beneran jealous sama Alfa dan Bu Hesta?”
“Jangan banyak tanya, elo ikut gue pulang ke rumah sekarang, gue jelasin sedetail-detailnya. Telepon Kevin sono elo pulang bareng gue.”
“Tapi kan gue ada janji sama Kevin.”
“Masa bodoh, elo pilih pacar elo apa sahabat elo, belum puas kemarin pacaran seharian dan nggak gue gangguin sama sekali?” rajuk Melody.
Sisil tertawa ngakak melihat sahabat baiknya yang tengah merajuk ini, dengan segera di rangkulnya bahu Melody dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri mengangkat telepon mengabarkan pada Kevin kalau hari ini dia main ke rumah Melody dan pulang bersama sahabatnya itu.
Baru saja sampai di parkir mobil, dengan tiba-tiba Melody menghentikan langkahnya. Dari arah yang lain nampak Alfa berjalan bersama Bu Hesta menuju parkir mobil Alfa. Mereka berjalan sambil ngobrol akrab, sesekali tertawa. Bu Hesta emang sosok dosen yang menyenangkan. Kabar yang beredar, dosen cantik itu menjadi janda di usia muda dan memiliki seorang anak. Suaminya yang seorang TNI meninggal dalam tugas. Tanpa sengaja pandangan Melody bertemu dengan pandangan Alfa, tapi gadis itu memilih memalingkan wajah. Dan begitu lewat di depan mereka, Hesta tersenyum menyapa mereka berdua. Sangat berkebalikan dengan Alfa yang tetap berjalan cuek seolah tak menganggap ada Melody dan Sisil di tempat yang sama.
Tak lama berlalu dua gadis itupun segera menyusul menuju ke mobil mereka, yang ternyata tak jauh terparkir dari mobil Alfa. Keduanya sempat memperhatikan aktifitas di mobil Alfa. Bu Hesta masuk ke mobil dengan di bantu buka pintu oleh Alfa, setelah menutup pintu mobil kembali, Alfa segera menuju ke kursi kemudinya. Sungguh perlakuan yang sesungguhnya nampak sangat manis. Tak berapa lama mobil Alfa berlalu meninggalkan parkir.
Sisil menoleh mengecek ekspresi Melody. Bukan raut jealous yang dia temukan saat ini, lebih kepada raut kesal dan marah pada seorang musuh.
“Es Batu ngeselin,” dumel Melody yang membuat Sisil tertawa ngakak.
“Es Batu yang statusnya sekarang katanya cowok elo, bener nggak sih, asli gue kepo banget.”
Mobil melaju perlahan meninggalkan parkiran, tak berapa lama terdengar klunting notif pesan dari ponsel Melody.
“Gue bukain ya pesan elo,” ijin Sisil seperti biasanya kalau Melody lagi nyetir yang mendapat balas anggukan.
Ini nomor gue, Alfa. Jangan lupa di save, jangan lupa juga langsung pulang.
“Eh badak, Alfa ini beneran cowok elo, ya? Gini banget pesennya,” pekik Sisil mengejutkan, membuat Melody ikut terkejut. Dengan keras Sisil membaca pesan dari Alfa untuk Melody. Tanpa suara apa-apa Melody kembali menangis sesenggukan. Air mata penuh amarah kembali mengalir tanpa tertahan.
“Sil, gue benci sama dia. Kok bisa sih dia hadir di hidup gue, kapan gue bahagianya, Sil, kalau sama dia?” raung Melody tersedu-sedu.
“Eh…cup-cup-cuppp…jangan nangis sambil nyetir dong, gue sama Kevin bulan depan masih mau tunangan, nih. Belum sampai nikah, belum ngerasain dan ngelakuin yang iya-iya itu. Elo fokus nyetir dulu, ya, gue pengin panjang umur.”
“Resek lo, Sil, hidup lo aja yang lo fikirin. Hidup gue gimana dong.”
“Nah makanya nyetir yang tenang dulu, nanti pas udah di rumah elo cerita sedetail-detailnya ke gue. Pasti gue kasih saran jitu.”
“Janji, lo?”
“Iya gue janji, mana pernah sih gue ingkar sama elo, apalagi ninggalin elo.”
“Kok Elo berasa manis banget gini sih, Sil, gue takut jatuh cinta ke elo.”
“Ta*k lo, gue normal 100%, jangan seret gue ke hidup yang tak normal. Kasihan aset Kevin yang udah gue anggurin selama dua tahun, masa iya nggak jadi kepake, sih.”
“Sundel lo, mau tunangan fikiran elo tambah ngeres aja,” pada akhirnya Melody tertawa mendengar kalimat tak jelas dari sahabat karibnya itu.
Sisil ikut ketawa lega.
…
Beberapa menit lalu, di luar pagar parkir Alfa menghentikan mobilnya.
“Sebentar ya, Bu. Saya kirim pesan ke mama saya dulu,” ijin Alfa pada Bu Hesta yang duduk di sampingnya.
Alfa mengetik pesan ke nomor yang mulai di simpannya kemarin pemberian dari Tante Meira.
Ini nomor gue, Alfa. Jangan lupa di save, jangan lupa juga langsung pulang.
Setelah mengirim pesan, Alfa tak langsung menjalankan mobilnya. Beberapa menit kemudian di lihatnya sebuah mobil mungil berwarna putih berisi dua orang gadis dan bersticker Mickey Mouse di kaca belakang berlalu melewati mobilnya. Setelah berjarak beberapa meter segera cowok itu kembali memutar kunci dan menginjak pedal gas melajukan mobil.
Bu Hesta yang duduk di samping Alfa tak merasa curiga apapun. Perempuan itu hanya menoleh sambil tersenyum manis pada cowok salah satu mahasiswanya yang berkemampuan A. Hari ini mereka berencana ke toko buku bersama mencari buku-buku untuk referensi skripsi Alfa yang selama ini dalam bimbingannya. Judul skripsi sudah dia setujui, tinggal menyusun bab per bab dan entah kenapa dosen cantik ini begitu rela mendampingi Alfa kemanapun.
…
“Selamat siang, Tante,” sapa Sisil kemudian salim dan mencium sopan tangan Meira, Mama Melody.
“Eh, Sisil, lama nggak mampir kesini, kemana aja?” balas Meira dengan penuh keramahan melihat sahabat putrinya sejak mereka masih berseragam abu-abu putih.
“Dia sibuk pacaran, makanya lupa sama gue,” Melody yang memberi jawaban dengan sewot.
“Oh iya, denger-denger udah mau tunangan, ya, Sil?” perjelas Meira.
“Doakan sesuai rencana, ya, Tan. Dan semoga Melody segera menyusul juga.”
“Oh, Melody juga akan …” belum selesai Meira melanjutkan kalimatnya sudah terdengar suara Melody yang interupsi.
“Stop, Mama nggak usah cerita, Melody sendiri yang akan cerita. Daripada nanti beda versi. Ayoke kamar gue aja, Sil.”
Melody segera menarik tangan Sisil, sedangkan Sisil mengangguk pamit ke arah Meira yang di balas dengan senyuman dan kedipan genit dari mata Meira yang masih terlihat sangat cantik di usia 42 tahunnya itu.
Fendy dan Meira menikah di usia yang cukup muda. Sepertinya emang ada niat kehidupan cinta Melody di setting seperti kehidupan mereka juga hingga pada akhirnya hadirlah Alfa di tengah keluarga Fendy Atma sebagai calon menantu pilihan.
Sekian menit menumpahkan isi hati, plot, alur, dongeng dan seribu kisah tentang hidupnya, akhirnya Melody bisa bernafas sedikit lega. “Jadi seperti itu, Sil, nasib gue. Sekarang gue harus gimana dong, elo pokoknya harus bisa bantuin gue. Titik,” penyambung kalimat Melody yang sekaligus sebagai penutup curahan hatinya. Kepalanya menunduk dan tangannya sibuk memukul-mukul guling di pangkuannya penuh emosi. Seolah bantal itu adalah punggung keras Alfa yang ingin dia patahkan tulang-tulangnya sampai terpotong-potong menjadi seukuran satu atau dua sentimeter saja. Psycho banget, ya. Di larang ketawa! Beberapa menit tak mendengar suara Sisil. Melody mengangkat kepalanya kemudian menatap ke arah sahabatnya yang tidur tengkurap tak jauh dari posisi duduknya. “Sisil, dasar lo, ya. Kenapa bengong gitu, sih? Jangan kesambet di kamar gueeee …” teriak melody gemas melihat Sisil yang menatapnya dengan muka bego nan bengong plus mulut terbuka. Merasa teriakannya tidak ada h
Melody sedang serius membaca buku di perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya tanpa permisi. Sebuah buku tebal terbuka begitu saja menampilkan deretan abjad yang entah membahas tentang apa. Gadis itu mendongak sekilas, memastikan siapa yang duduk diam-diam tanpa kata permisi padanya padahal banyak bangku kosong yang lain di sana-sini. Begitu mengetahui sosok itu spontan rasa sebal menderanya tanpa ampun. Gadis itu mendengus halus, ungkapan rasa kesal sekaligus penanda kalau dirinya mengakhiri acara membaca di perpustakaan. Padahal sesungguhnya belum genap lima belas menit Melody duduk dan membuka buku yang sejak beberapa hari lalu menjadi incarannya. Tanpa banyak berfikir lagi, gadis itu segera berdiri, menutup buku yang sedang dia baca kemudian berjalan menuju ke meja petugas perpustakaan. “Mbak Atik, buku ini gue pinjem, ya,” ujar Melody sambil menyodorkan kartu anggota perpustakaan. Perempuan setengah baya yang di panggil Melody segera menerima kar
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya. Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan o
Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket. "Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya. "Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia." "Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?" "Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?" "Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue." "But
Tiga hari berlalu dari permintaan Ansya. Setiap harinya mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik, penuh dengan canda tawa dan perhatian yang manis dari Ansya untuk Melody. Melody belum berani memberikan keputusan untuk cowok itu. Dia sudah jujur pada hatinya sendiri bahwa dia menyukai Ansya. Sejujurnya juga ingin segera memberi jawaban "iya". Tapi keberadaan Alfa meski penuh dengan tingkah menyebalkan dan juga memikirkan hati orang tua mereka tetap menjadi pertimbangan yang utama. Di satu sisi, meskipun belum pernah bertemu, dia tidak mau asal menjawab sekedar untuk bersenang-senang saja. Melody tetap berusaha menghargai perasaan Ansya. Gadis itu selalu begitu, meski banyak hati yang dia tolak, tapi dia selalu berusaha untuk melakukannya dengan baik supaya tidak terlalu menyakiti hati orang itu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk seorang Ansya. Melody bisa merasakan dia cowok yang baik, kedekatan komunikasi mereka beberapa hari ini, pendekatan manis dari Ansya yang tanpa pa
Semilir angin memainkan rambut kecoklatan Melody. Gadis itu duduk santai di balkon kamarnya. Sejauh mata memandang nampak taman kesayangan mama yang segar bersih terawat, kolam ikan koi kesayangannya dan kolam renang tempat biasanya dia dan keluarga bersantai sekaligus berolah raga. "Jadi apa yang pengin elo bicarakan sama gue?" tanya Ansya di telepon mereka sore ini. "Sebelumnya gue minta maaf, Bad. Gue siap apapun yang bakal elo putusin ke gue setelah tahu semua tentang gue." "Iya, Cinta. Gue siap dengerin apapun yang mau elo sampaikan. Gue simak dulu. Sekarang elo bicara dulu aja biar gue sempat memikirkannya." Ini adalah acara bertelepon langsung mereka yang kedua dan kali ini Melody yang berinisiatif menelepon duluan meskipun berawal dengan rasa dag dig dug teleponnya bakal di terima atau enggak. Ada rasa adem dan tenang mendengar suara Ansya yang begitu sabar dan pengertian padanya. "Elo sekarang dimana? Gue ganggu nggak kalau ma
Melody duduk bersebelahan dengan Sisil yang setia menemani di aula gedung tempat di laksanakan presentasi final lomba karya ilmiah remaja. Total peserta ada 25 mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh universitas di kota mereka. Dari total peserta, empat orang adalah perwakilan dari almamater Melody. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan membuat bangga. Dari 25 peserta tersebut hanya akan di ambil enam orang pemenang yaitu juara 1 sampai dengan juara 3 dan juara harapan 1 sampai dengan juara harapan 3. Pemenang pertama otomatis akan mewakili universitas di kota mereka menuju persaingan nasional universitas se-Indonesia. “Nomor peserta sembilan, Melody Cinta Efenira Atma dari Universitas Saktya Jaya di persilahkan ke atas panggung.” Melody segera berdiri dari tempat duduk, menggenggam sejenak tangan sahabatnya yang mengangguk sambil tersenyum memberikan semangat. Menoleh sebentar ke arah dosen-dosen pendamping sekaligus ke teman-teman satu universitasnya. Senyuman dan ac
“Ayo dong, Ma, dandannya lama banget sih, ngalah-ngalahin gadis yang belum laku kawin,” celetuk Melody yang menunggui mama merias diri di kamarnya. Sudah ketiga kalinya gadis itu menengok ke kamar mama, dan akhirnya dia duduk di ranjang orang tuanya sengaja merecoki Meira yang belum selesai-selesai berdandan sejak tadi.“Aish, kamu nih, ya, sabar dikit dong ah. Ini lho wajah mama banyak kerutan, bikin nggak sempurna penampilan. Iya kalau kamu, pake make up gitu juga udah cantik banget, pasti nanti Alfa terpesona.”“Ngapain bawa-bawa nama Alfa sih, Ma. Emang dia bakal tahu secantik apa Melody malam ini?”“Ya pasti tahulah, kan nanti dia berangkat bareng kita.”“Hah, apa? Ogah ah, Ma, lagian dia nggak di undang tuh sama Sisil.”“Oh, ketahuan nih akhirnya, jangan-jangan Sisil nggak undang Alfa karena kamu, ya? Padahal semua teman sekelasnya katanya di undang, tapi kemarin
Entah berapa jam Melody tak sadarkan diri dia tak mengetahuinya. Ketika matanya terbuka dia hanya menyadari bahwa kini sedang tidak berada di kamarnya. Sebentar memutar bola matanya hanya ruang kamar serba putih yang di lihatnya. Bau obat menyeruak ke indera penciumannya dan tepat di pergelangan tangannya dia merasakan ada rasa menekan dengan sedikit nyeri. Sebentar segera dia coba menggerakkan tangan dan mengangkatnya. Yang di lihatnya pertama kali adalah selang bening kecil, dan ternyata yang membuat pergelangan tangannya terasa tertekan dan nyeri adalah jarum yang menancap di situ, secara reflek Melody mendongak ke atas melihat kantong infus berisi tinggal separuh yang tergantung di situ. Perlahan ingatan Melody kembali, tentang bagaimana pada akhirnya dia bisa berada di sini. Tak salah lagi, ini adalah rumah sakit. Dengan gerakan lemahnya spontan dia mengelus perut ratanya yang sedikit masih terasa nyeri. Matanya memanas, entah kenapa dia merasakan kehilangan bahkan pada
Sebulan berlalu dari semua kejadian dan kisah tentang Bimo. Cowok itu akhirnya harus merasakan indahnya tinggal di dalam penjara, kasusnya cepat di putuskan karena banyak saksi dan diapun cukup kooperatif tak banyak perlawanan ataupun sanggahan atas tindak kejahatannya. Tak hanya kasus melukai Melody dan Alfa, dia terjerat juga kasus penggunaan narkotika. Di luar itu, ternyata Bimo juga terjerat kasus penggelapan uang perusahaan. Karena begitu urusan pekerjaan yang biasanya di pegang oleh Bimo di alih tangankan kepada orang lain nampak banyak kejanggalan pada laporan aliran keuangan. Terutama keuangan perusahaan Pak Edward yang masuk ke perusahaan Fendy Atma. Setelah di telusur lagi oleh tim forensik kepolisian, di temukan Bimo tak main sendiri, dia di bantu oleh Alisa, perempuan berstatus kekasih tersembunyi Bimo yang bekerja di bagian keuangan perusahaan Fendy Atma. Melody hanya menatap sedih gadis bernama Alisa yang sampai bersujud memohon ampun atas kesalahannya. Namun u
Melody telungkup di sisi ranjang tempat tubuh Alfa tak sadarkan diri. Sebentar pun dia tak mau meninggalkan lelaki yang sama sekali belum membuka mata semenjak kemarin di bawa ke rumah sakit, masuk ruang operasi sampai dengan di pindahkan ke ruang observasi khusus dengan campur tangan kekuasaan uang atas keinginan keluarga. Mimpi buruk seolah mengejar Melody setiap kali matanya terpejam, hingga menjadikannya bertahan berusaha membuka mata. Tangannya menggenggam erat tangan Alfa, doa tak henti dia panjatkan berharap tiba-tiba tangan itu bergerak balik menggenggam erat tangannya. Hampir dua puluh empat jam belum ada tanda-tanda bahwa Alfa akan tersadar, semua peralatan medis lengkap yang di butuhkan berada di kamar yang cukup luas ini.Meira, Nela, Fendy, Rudi, Boy, Rheiga, Sisil dan Kevin berjaga di luar. Bergantian mereka keluar masuk ruang berusaha membujuk Melody supaya bersedia untuk istirahat sejenak meredakan lelah dan setresnya. Tak henti meyakinkan gadis itu bahwa Alfa
Melody masih mengikuti langkah Bimo yang memperlakukan dirinya sebagai tawanan. Dirinya benar-benar tak habis fikir bagaimana seorang Bimo nekat melakukan kejahatan seperti ini di kondisi sekarang. Sama sekali tidak mempertimbangkan keadaan yang bisa saja tidak berpihak padanya. "Mas Bimo, sadarlah, tindakan Mas Bimo ini tidak benar, berbahaya," Melody masih berusaha bersikap baik menyadarkan cowok ini. Di apa-apain juga, selama bekerjasama dengannya dia selalu menampakkan sikap baik di depannya. Urusan sikap dia itu asli atau palsu, buat Melody saat ini tak jadi soal. Dia hanya ingin selamat dan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya dan Bimo, apalagi dengan tindakan-tindakan kekerasan. "Selama ini aku sudah berusaha bersikap benar tapi hal itu tak pernah nampak di mata dan hati kamu, Mel. Hari ini, nggak ada salahnya kan aku sekali berbuat tidak benar tapi pada akhirnya bisa memiliki hidup bersama kamu. Setelah ini kita akan menikmati indahnya surga dunia bersama, Me
Meeting di hari kedua lebih seru dari hari kemarin. Lebih banyak hal dan permasalahan di masing-masing grup yang di bahas pada hari ini selain dari perwakilan masing-masing grup yang harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kuartal satu. Dan tepat mulai jam tiga sore, beberapa kolega yang merupakan tamu undangan mulai di ikutkan masuk ke forum. Termasuk Pak Edward dan sesuai prediksi Alfa, Bimo nampak hadir juga saat ini. Semenjak seseorang yang sedang Alfa waspadai itu masuk ruang, tak hentinya mata cowok itu menatap tajam ke arah Bimo tanpa sungkan-sungkan lagi tak memikirkan apakah cowok itu akan merasa atau tidak jika ternyata sedang di lihatnya. Alfa sengaja memperhatikan setiap gerak gerik Bimo yang sering mencuri pandang ke arah Melody padahal saat ini gadisnya itu banyak diam karena di sesi ngobrol bersama kolega ini para peserta meeting lebih banyak berbincang dengan Pak Fendy selaku Presdir Fendy Atma Group. Setelah penuh dengan diskusi seru antara pes
Melody sedang berada di ruang kerja Fendy bersama Dista. Mereka membahas rencana meeting direksi kuartal pertama tahun ini yang biasanya di adakan dengan menginap di sebuah cottage atau hotel sekaligus untuk refreshing karyawan di sepertiga tahun pertama. Yang bertujuan untuk menjaga semangat kerja para pejabat perusahaan supaya tetap fresh dalam memimpin dan mempertahankan kinerja terbaik di masing-masing bagiannya. “Jadi gimana, Dis, budgetnya apakah sudah fixed semua?” tanya Fendy pada Dista. “Sudah, Pak. Tadi sudah saya serahkan kepada Alisa supaya di aturkan booking ball room beserta kamar-kamarnya,” jelas Dista. “Berapa total pesertanya nanti?” tanya Fendy selanjutnya. “Total 7 orang direktur di tambah 16 orang manager, Pak,” jawab Dista sambil melihat catatan anggaran budgetnya. “Baik, nanti hitungkan sekalian seperti biasa buat kita, kamu ajak putri dan suami kamu juga, kan? Kasian di tinggal sibuk terus sama kamu,” ujar Fendy sambil t
Begitu Melody menyusul Boy ke lantai dua, Rheiga segera berjalan ke arah kamar tamu yang terletak tak jauh dari ruang keluarga. Di sofa ruang keluarga tempat biasanya di pakai untuk nonton tivi bersama, nampak Alfa dan Hesta yang sedang duduk berdua. Rheiga menahan langkahnya dan berlindung di balik almari hias tempat pajangan pernak pernik koleksi Nela. Dari tempat itu terdengar jelas pembicaraan Hesta dan Alfa.“Al, kamu sungguh bisa maafin kesalahanku, kan?” rayu Hesta tak ubahnya gadis SMA yang mau di putuskan oleh pacarnya. Entah hilang kemana urat malu perempuan itu yang pada hari ini masih nekat untuk menemui lelaki yang kemarin jelas-jelas menolaknya.Alfa diam sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Al, aku mohon, aku tahu kamu marah sama aku, tapi aku tahu hatimu tak sejahat itu ke aku. Apapun yang kamu katakan ke aku di rumahku kemarin bagiku tak lebih dari emosi kamu saja,” lanjut Hesta dengan nada penuh hiba. Menu
Minggu pagi yang cerah. Rheiga dan Alfa sedang duduk santai di pinggir lapangan basket komplek perumahan Alfa. Pagi-pagi tadi Rheiga menyusulnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan jogging menikmati kebersamaan pertemanan mumpung Rheiga sedang tak ada job. Sesuatu hal langka yang terjadi pada Rheiga dan Alfa di hari minggu. Aktifitas pagi mereka awali dengan jogging dan berakhir di sport center komplek perumahan. Ikut tanding basket sebentar bersama klub lokal komplek yang kebetulan sedang menggelar latihan bersama. Sambil beristirahat mereka membahas beberapa hal dan terutama tentang kejadian yang masih hangat kemarin. Tentang Hesta dan Melody. "Jadi elo jalanin rencana sesuai obrolan kita kapan hari?" tanya Rheiga pada Alfa. "Iya, dan sepertinya dugaanku tak meleset jauh, Bimo nampak begitu gencar dan lebih antusias mendekati Melody. Gue hanya perlu menangkap basahnya saja sebagai bukti." "Yang penting elo dan Melody harus tetap hati-hati, kar
Semenjak insiden Alfa dan Hesta pada hari itu, sepertinya Bimo benar-benar merasa peluang untuk mendekati Melody lebih terbuka lagi. Seperti yang dia lihat untuk waktu saat ini, jika dulu hubungan Alfa dan Melody nampak begitu baik dengan hal nyata bahwa Alfa tak segan menunjukkan perhatiannya untuk Melody di depan publik, yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Mereka berdua nampak saling diam. Melody memasang sikap cueknya, nampak begitu acuh dengan Alfa. Pun begitu dengan Alfa, yang ikut mendiamkan Melody dengan tak banyak mengajaknya bicara. Hanya satu dua kata saja mereka nampak bertukar suara, dan itupun tentang kerja. Tak banyak yang tahu rencana mereka berdua, hanya Dista satu-satunya yang mengerti semua cerita tentang Melody. Itupun Melody sampaikan di luar jam kerja, ketika mereka memutuskan pulang kerja bersama dan shoping bersama. Jika saja Dista tak melihat kejadian di ruang Melody pagi harinya, mungkin dia pun termasuk dalam orang-orang yang tidak akan Melod