Entah berapa menit Melody terdampar di dunia tanpa kesadaran. Bau minyak kayu putih yang terendus kuat di penciuman membawa matanya kembali terbuka. Secara reflek bibirnya nyengir menahan satu rasa. Rasa panas di antara hidung dan mulut berasal dari minyak kayu putih yang di oleskan di situ. Begitu mata benar-benar terbuka, sekarang berganti dahinya yang mengernyit. Sejenak dia berfikir dan akhirnya menyadari dimana keberadaannya sekarang. Ya betul, dia berada di kamarnya sendiri. Kembali dia berusaha mengingat apa yang menyebabkan dia terdampar di dunia empuk ini dan tak lain karena beberapa saat lalu dia pingsan efek emosi yang tiba-tiba saja meledak karena ulah seseorang dan beberapa orang di sekitarnya saat itu.
Kamar tidurnya sepi, dalam hati Melody merutuk sebal. Dia pingsan tapi tak satupun manusia di rumah rela menjaganya. Terutama kedua orang tuanya. Dengan satu dorongan kuat gadis itu merasa tubuhnya kembali segar. Yang jelas bukan kekuatan dari bulan ala Sailormoon tapi kekuatan emosi jiwa yang kembali menggelegak. Dengan kekuatan super itu, dia segera bangun dari posisi tidurnya. Tanpa merapikan rambut pendeknya yang sedikit acak-acakan dia bermaksud turun ranjang. Baru saja menapakkan kaki di lantai kamar yang dingin, tubuhnya berjengit mundur ke belakang sangking terkejutnya. Di kursi meja belajar, seseorang menatapnya diam tanpa ekspresi, lurus dan sungguh datar dengan mimik wajah yang sangat menyebalkan. Otomatis, sebuah bantal segera melayang ke arah orang itu.
“Heh, es batu, ngapain lo di kamar gue sambil duduk diem-diem disitu?” teriak Melody sangat kesal melihat Alfa yang masih tetap diam sambil memegang bantal yang tadi di lemparnya dan berhasil di tangkap oleh cowok itu dengan jitu bak permainan bola kasti.
“Trus gue harus ngapain? usap-usap kepala lo yang lagi semaput tadi biar cepet sadar? Lalu bantuin elo bangun pelan-pelan penuh kasih sayang? manja, lo,” olok Alfa tanpa dosa.
Tanpa membalas perkataan Alfa, Melody mengusap kasar bawah hidungnya yang masih terasa panas. Tanpa babibu lagi dengan segera berjalan menuju kamar mandi untuk cuci muka menggunakan sabun berharap rasa panas yang dia rasa segera hilang.
Alfa hanya mengikuti Melody dengan pandangan tanpa berniat melakukan apapun untuk gadis itu. Tetap duduk di kursi meja belajar sambil memegang bantal di tangannya. Tak urung senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat Melody keluar dari kamar mandi. Melihat wajah segar gadis itu yang nampak sedikit basah, bersih sama sekali tanpa make up, namun justru terlihat sangat cantik di matanya. Natural.
“Males gue ngomong sama elo, ngapain juga sih masih di kamar gue?”
“Ya jelas gue masih di sini nungguin kekasih gue yang lagi semaput. Orang tua-orang tua kita bilang, gue harus jagain elo.”
Melody mendelik mendengar jawaban Alfa, sungguh menyebalkan. Sambil berdiri berkacak pinggang gadis itu kembali berucap dengan niat membuat Alfa marah dan jengkel supaya skor imbang 1 : 1 sehingga bukan hanya dia yang merasakan tak enak hati semenjak tadi.
“Emang bisa jagain gue? Elo aja berengsek,” jutek Melody.
Alfa berdiri dari duduknya. Kemudian berhenti tepat di depan Melody. Dan, tiba-tiba … cup, di ciumnya dengan cepat pipi gadis yang baru saja berhenti bicara itu. Efeknya sungguh luar biasa, tubuh Melody bukan terbujur kaku tapi berdiri kaku karena shock.
“Itu stempel dari gue, hadiah dari gue sebagai bukti kalau sekarang elo kekasih gue. Ingat, jangan banyak tingkah mulai sekarang. Elo cukup tahu, gue emang berengsek, tapi suatu saat gue pasti bisa jagain elo dengan baik,” bisik Alfa tepat di telinga Melody. Di serahkannya dengan paksa bantal di tangan kepada Melody yang masih shock dengan ciuman di pipinya barusan.
Begitu tersadar dari rasa terkejut semua sepertinya sudah terlambat. Pintu kamar hampir menutup dan sosok tinggi yang mengikrarkan diri sebagai kekasihnya itu telah hilang di balik pintu kamar.
“Alfa berengsek, gue benci eloooo … “ teriak Melody sambil melempar bantal ke arah pintu. Namun lagi-lagi dia di buat terkejut ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dan sosok mama muncul sambil tersenyum.
“Sayang, kata Alfa kamu sudah sadar, kita ke bawah yuk, waktunya makan siang. Alfa bilang kamu nggak mau di ajak turun, minta mama yang jemput kamu,” ujar Meira dengan begitu lembutnya.
Melody berusaha mengontrol baik-baik deru nafas emosinya. Selain berengsek, ternyata cowok bernama Alfa itu juga penjilat. Bagaimana bisa orang tuanya begitu percaya pada cowok itu? Melody tak habis fikir, namun dia memilih menurut mengikuti mama tanpa protes apapun.
“Gimana Sayang, kamu sudah merasa baik-baik aja sekarang?” tanya Tante Nela yang menyambutnya penuh perhatian di meja makan.
“Sudah, Tante,” jawab singkat Melody sambil melirik ke arah Alfa yang duduk tepat di seberangnya. Cowok itu juga menatapnya dengan ekspresi datar yang tak istimewa seperti biasa.
“Sudah yuk, kita makan dulu,” ajak Meira mengajak semuanya menikmati menu yang sudah terhidang. Mereka makan dengan suasana yang cukup hangat, kecuali Melody yang irit bicara. Gadis itu hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata seperlunya jika di tanya.
“Mei, kita pamit dulu. Terima kasih jamuannya hari ini. Segera di jadwalkan keluarga kamu yang berkunjung ke rumahku, nanti sesekali kita bisa obrolin rencana pertunangan atau pernikahan anak-anak kita, pasti seru sekali. Ah, jadi nggak sabar,” pamit Tante Nela siang itu, beberapa saat setelah mereka makan siang bersambung dengan sejenak ngobrol santai.
Melody kembali merasakan kesal yang mendalam di hatinya. Catat, bukan kesan mendalam tapi kesal mendalam. Bibir ini ingin kembali berorasi, tapi dia menahannya. Percuma emosi daripada nanti pingsan lagi. Tengsin, dong.
“Iya, Mbak Nela, segera kita jadwalkan, yang penting keluarga kita sudah semakin mengenal. Apalagi ternyata Alfa dan Melody satu kelas di kampus yang sama. Tante bener-bener nitip jagain Melody, ya, Al. Tante cocok dan juga suka sama kamu. Satu lagi, jangan lupa status kalian sekarang lebih dari seorang teman.”
Melody merasa kepalanya kembali berdenyut. Kalau emang mama yang suka dan cocok dengan Alfa, kenapa nggak mama aja yang nikah sama cowok es batu dan berengsek itu? Eh, tapi masa iya mama nikah sama berondong nggak jelas gitu yak? Trus papa di kemanain? Aish … tanpa sadar Melody geleng-geleng kepala.
“Kenapa, Mel, kepala kamu masih pusing?” tanya Tante Nela heran melihat gadis yang sejak makan siang tadi banyak diam dan sekarang tiba-tiba menggeleng-geleng sendiri.
“Nggak apa-apa, Tan,” jawab Melody dengan kalimat yang paling aman.
“Ada yang mau kamu sampein ke Alfa sebelum kami pulang?” tanya Tante Nela lagi.
“Nggak ada, Tan.”
“Gueue ada, Ma. Tante Mei, boleh saya minta waktu bicara sama Melody?” ijin Alfa dengan begitu sopannya.
“Pasti boleh Alfa. Silahkan,” jawab Meira penuh senyum.
“Kok nggak sejak tadi sih, Al?” protes Nela pada putranya.
“Alfa baru ingat, Ma. Bentar aja, kok,” balas Alfa.
Alfa melirik taman samping rumah yang nampak dari pintu kaca dekat ruang keluarga dimana mereka ngobrol saat ini. Tanpa kata cowok itu segera menarik tangan Melody dan di ajaknya menuju kesitu. Setelah membuka pintu kaca dan keluar ke taman, Alfa melepaskan tangannya dari tangan Melody.
Dari tempat duduk di ruang keluarga, Nela dan Meira saling pandang dan senyum-senyum bahagia merasa acara hari ini berhasil sesuai harapan mereka. Berbeda dengan para suami yang begitu ketemu malah banyak ngobrolin tentang bisnis yang ujungnya berencana akan membuka usaha baru bersama.
“Elo mau ngomong apa lagi, sih? Nggak cukup apa bikin tensiku naik sejak kedatangan elo tadi?” protes Melody.
“Pengin aja ngobrol sama kekasih gue sebelum pulang. Masa iya hari ini di kunjungi tapi malah di tinggal semaput hampir sejam, bete lho gue tadi nungguin elo di kamar sendirian kayak gitu.”
Pipi Melody memerah, bibirnya masih terkatup diam menyusun kata yang sepedas-pedasnya.
“Pipi elo merah, elo malu, ya?” tanya Alfa tanpa dosa menelisik ke wajah cantik nan imut di depannya.
“Diem, lo. Segera ngomong apa yang mau elo omongin,” hardik Melody penuh kejengkelan.
“Oke, gue cuma ngomong, mulai sekarang, di manapun lokasi dan posisi elo, mau di rumah, mau di kampus, atau di manapun, status elo sekarang adalah kekasih gue, jangan lupa itu.”
Emosi Melody meluap tak tertahan lagi.
“Alfa! Elo kenapa segitu semangatnya jadi kekasih gue? Gue tahu elo nggak suka sama gue, gue tahu elo selalu bersaing dan nggak mau ngalah sama gue, gue tahu elo benci gue, tapi kenapa jadi kayak gini, sih? Elo punya rencana jahat apa sama gue?”
Alfa diam memperhatikan bibir pink tanpa lipstick yang sedang bicara cepat di depannya. Setelah diam, dengan tenang dia kembali berbicara.
“Elo tahu dari mana gue kayak gitu ke elo? atau jangan-jangan elo sekarang lagi curhat tentang perasaan elo ke gue selama ini, ya?”
Bibir Melody kembali terkatup menahan emosi, sedangkan Alfa tertawa ringan.
“Elo ternyata cakep kalo tertawa gini?” batin Melody yang baru pertama kali ini melihat Alfa benar-benar tertawa. “Ish … gue mikir apa, sih?” tolak batin Melody sisi yang lain.
“Kenapa lo diem?” tanya Alfa merasa belum mendapatkan balasan jawaban dari Melody.
“Kalau gue bilang gue nggak mau jadi kekasih elo karena nggak suka sama elo, gue selalu merasa elo saingan gue dan gue benci sama elo gimana? Elo mau apa?”
“Ya gue bilang, itu urusan elo, elo sama orang tua elo dan orang tua gue, yang penting gue udah mengikuti permintaan mereka, sederhana, kan?”
Entah kenapa tiba-tiba Meldoy jadi pengin menangis denger perkataan Alfa barusan. Buat cowok itu sesederhana itu. Tapi bagi gue ini masa depan gue. Dia mah entah udah pacaran berapa kali, dari yang perempuan masih gadis sampai dosen-dosen janda yang genit-genit itu. Lah gue, pengin pacaran aja gue belum nemu yang sreg. Masak iya sih hidup gue berakhir sama cowok berengsek ini, jadi yang pertama dan yang terakhir buat gue? Iya kalau gue juga jadi yang terakhir buat dia, lah kalau di belakang gue masih banyak antrian dan deretan perempuan-perempuan itu gimana dong? Masa iya kisah cinta gue jadi sengenes ini?
“Mel.”
Melody mengerjap mendengar panggilan pertama Alfa padanya seumur mereka jumpa selama ini. Sejak jadi teman sekelas dan sekampus sampai pada hari ini.
“Elo manggil gue? Tumben?”
“Terpaksa daripada lihat elo kesambet.”
“Oke, gue sudah putuskan. Mulai sekarang, untuk elo ya terserah elo mau gimana, mau elo merasa jadi kekasih gue ya monggo aja, tapi kalau gue, itu urusan gue sendiri, elo nggak boleh ikut campur.”
“Emmm … oke, untuk sementara deal, tapi nanti ke depannya akan gue review. Kalau ada yang gue rasa nggak pas dan nggak sepatutnya gue bakal sampein ke elo lagi. Ingat, di apa-apain gue calon pemimpin hidup elo. Sekarang gue pulang dulu. Udah cukup kesepakatan kita hari ini.”
Melody malas meladeni kalimat Alfa lagi dan segera bersiap melangkah pergi ketika Alfa menarik tangannya. Dan lagi-lagi, cup! ciuman singkat nan lembut itu mampir di pipinya kembali.
“Elo apaan, sih,” teriak Melody marah, karena hari ini kedua kalinya pipi mulusnya ternoda oleh ciuman cowok itu.
“Gemes gue sama kekasih baru gue ini, wajar kan mau pamit cium pipi dulu. Masih di pipi lho, belum cium bibir.” Sengaja Alfa menampilkan wajah menggodanya.
“Dasar berengsek, Elo terlalu pinter acting, mesummm … otak kotor kebanyakan gaul sama dosen genit,” umpat Melody yang ternyata cuma bikin Alfa tertawa.
“Mulai sekarang elo harus terbiasa sama gue dan apapun yang gue lakuin ke elo. Karena bagi gue elo kekasih gue, gue calon imam alias pemimpin elo dan buktinya orang tua kita juga udah setuju, lampu ijo banget, kan?”
“Awas aja lo macem-macem sama gue,” kali ini air mata kesal benar-benar mengalir di pipi Melody. Alfa cuma tertawa tanpa ada niat menenangkan gadis yang baru saja di akuinya sebagai kekasih. Tangan Alfa segera meraih kembali tangan Melody di ajaknya menemui orang tua mereka dengan posisi bergandeng tangan yang nampak so sweet.
“Kok Melody sampai nangis sih, Al?” Tanya Rudi yang khawatir melihat hidung dan mata Melody yang masih tampak memerah. Alfa tersenyum, “Tanya Melody aja, Pa, kenapa dia sampai kayak gitu hanya gara-gara gue pamit pulang.”
Keempat orang tua itu sungguh berfikir positif, mereka semua tertawa. Tante Nela tertawa kemudian mengajak calon menantunya itu duduk di dekatnya. Mengelus sayang rambut Melody dan memeluk hangat bahu gadis yang hanya diam saja.
“Besok kalian juga ketemu di kampus, kan, Mel, yang hari ini cukup dulu ketemuannya,” Fendy sang papa dan merasa pernah muda ikutan bersuara menenangkan putrinya.
Setelahnya keluarga Alfa benar-benar pulang. Setidaknya drama hari ini untuk Melody berakhir, entah apa yang akan terjadi besok.
“Alfa, selamat ya, kamu mendapatkan nilai 100 lagi, kamu emang the best,” suara merdu yang di telinga Melody terdengar genit itu mengudara se-antero kelas pagi ini. Bu Hesta baru saja membagikan hasil ujian minggu kemarin. Dengan malas Melody melirik kertas bernilai 98 di mejanya. Lagi-lagi dia kalah dari Alfa, hanya selisih 2 poin saja. Tajam di tatapnya dosen cantik yang duduk di depan sedang bersiap memberi materi kuliah hari ini. "Jangan-jangan dosen ini emang nepotisme ya, masak iya nilai gue sama Alfa selalu aja selisih 2 sampai 5 poin aja, dan selalu kalah," batin Melody penuh suudzon. "Hari ini gue harus membuktikan kebenarannya", niat Melody menyemangati dirinya sendiri. Empat puluh lima menit kemudian. “Alfa, setelah ini segera susul saya ke ruang dosen. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu,” pesan Bu Hesta sebelum melangkah keluar setelah jam kuliah hari ini selesai. “Baik, Bu,” jawab Alfa, kemudian den
Sekian menit menumpahkan isi hati, plot, alur, dongeng dan seribu kisah tentang hidupnya, akhirnya Melody bisa bernafas sedikit lega. “Jadi seperti itu, Sil, nasib gue. Sekarang gue harus gimana dong, elo pokoknya harus bisa bantuin gue. Titik,” penyambung kalimat Melody yang sekaligus sebagai penutup curahan hatinya. Kepalanya menunduk dan tangannya sibuk memukul-mukul guling di pangkuannya penuh emosi. Seolah bantal itu adalah punggung keras Alfa yang ingin dia patahkan tulang-tulangnya sampai terpotong-potong menjadi seukuran satu atau dua sentimeter saja. Psycho banget, ya. Di larang ketawa! Beberapa menit tak mendengar suara Sisil. Melody mengangkat kepalanya kemudian menatap ke arah sahabatnya yang tidur tengkurap tak jauh dari posisi duduknya. “Sisil, dasar lo, ya. Kenapa bengong gitu, sih? Jangan kesambet di kamar gueeee …” teriak melody gemas melihat Sisil yang menatapnya dengan muka bego nan bengong plus mulut terbuka. Merasa teriakannya tidak ada h
Melody sedang serius membaca buku di perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya tanpa permisi. Sebuah buku tebal terbuka begitu saja menampilkan deretan abjad yang entah membahas tentang apa. Gadis itu mendongak sekilas, memastikan siapa yang duduk diam-diam tanpa kata permisi padanya padahal banyak bangku kosong yang lain di sana-sini. Begitu mengetahui sosok itu spontan rasa sebal menderanya tanpa ampun. Gadis itu mendengus halus, ungkapan rasa kesal sekaligus penanda kalau dirinya mengakhiri acara membaca di perpustakaan. Padahal sesungguhnya belum genap lima belas menit Melody duduk dan membuka buku yang sejak beberapa hari lalu menjadi incarannya. Tanpa banyak berfikir lagi, gadis itu segera berdiri, menutup buku yang sedang dia baca kemudian berjalan menuju ke meja petugas perpustakaan. “Mbak Atik, buku ini gue pinjem, ya,” ujar Melody sambil menyodorkan kartu anggota perpustakaan. Perempuan setengah baya yang di panggil Melody segera menerima kar
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya. Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan o
Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket. "Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya. "Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia." "Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?" "Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?" "Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue." "But
Tiga hari berlalu dari permintaan Ansya. Setiap harinya mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik, penuh dengan canda tawa dan perhatian yang manis dari Ansya untuk Melody. Melody belum berani memberikan keputusan untuk cowok itu. Dia sudah jujur pada hatinya sendiri bahwa dia menyukai Ansya. Sejujurnya juga ingin segera memberi jawaban "iya". Tapi keberadaan Alfa meski penuh dengan tingkah menyebalkan dan juga memikirkan hati orang tua mereka tetap menjadi pertimbangan yang utama. Di satu sisi, meskipun belum pernah bertemu, dia tidak mau asal menjawab sekedar untuk bersenang-senang saja. Melody tetap berusaha menghargai perasaan Ansya. Gadis itu selalu begitu, meski banyak hati yang dia tolak, tapi dia selalu berusaha untuk melakukannya dengan baik supaya tidak terlalu menyakiti hati orang itu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk seorang Ansya. Melody bisa merasakan dia cowok yang baik, kedekatan komunikasi mereka beberapa hari ini, pendekatan manis dari Ansya yang tanpa pa
Semilir angin memainkan rambut kecoklatan Melody. Gadis itu duduk santai di balkon kamarnya. Sejauh mata memandang nampak taman kesayangan mama yang segar bersih terawat, kolam ikan koi kesayangannya dan kolam renang tempat biasanya dia dan keluarga bersantai sekaligus berolah raga. "Jadi apa yang pengin elo bicarakan sama gue?" tanya Ansya di telepon mereka sore ini. "Sebelumnya gue minta maaf, Bad. Gue siap apapun yang bakal elo putusin ke gue setelah tahu semua tentang gue." "Iya, Cinta. Gue siap dengerin apapun yang mau elo sampaikan. Gue simak dulu. Sekarang elo bicara dulu aja biar gue sempat memikirkannya." Ini adalah acara bertelepon langsung mereka yang kedua dan kali ini Melody yang berinisiatif menelepon duluan meskipun berawal dengan rasa dag dig dug teleponnya bakal di terima atau enggak. Ada rasa adem dan tenang mendengar suara Ansya yang begitu sabar dan pengertian padanya. "Elo sekarang dimana? Gue ganggu nggak kalau ma
Melody duduk bersebelahan dengan Sisil yang setia menemani di aula gedung tempat di laksanakan presentasi final lomba karya ilmiah remaja. Total peserta ada 25 mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh universitas di kota mereka. Dari total peserta, empat orang adalah perwakilan dari almamater Melody. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan membuat bangga. Dari 25 peserta tersebut hanya akan di ambil enam orang pemenang yaitu juara 1 sampai dengan juara 3 dan juara harapan 1 sampai dengan juara harapan 3. Pemenang pertama otomatis akan mewakili universitas di kota mereka menuju persaingan nasional universitas se-Indonesia. “Nomor peserta sembilan, Melody Cinta Efenira Atma dari Universitas Saktya Jaya di persilahkan ke atas panggung.” Melody segera berdiri dari tempat duduk, menggenggam sejenak tangan sahabatnya yang mengangguk sambil tersenyum memberikan semangat. Menoleh sebentar ke arah dosen-dosen pendamping sekaligus ke teman-teman satu universitasnya. Senyuman dan ac
Entah berapa jam Melody tak sadarkan diri dia tak mengetahuinya. Ketika matanya terbuka dia hanya menyadari bahwa kini sedang tidak berada di kamarnya. Sebentar memutar bola matanya hanya ruang kamar serba putih yang di lihatnya. Bau obat menyeruak ke indera penciumannya dan tepat di pergelangan tangannya dia merasakan ada rasa menekan dengan sedikit nyeri. Sebentar segera dia coba menggerakkan tangan dan mengangkatnya. Yang di lihatnya pertama kali adalah selang bening kecil, dan ternyata yang membuat pergelangan tangannya terasa tertekan dan nyeri adalah jarum yang menancap di situ, secara reflek Melody mendongak ke atas melihat kantong infus berisi tinggal separuh yang tergantung di situ. Perlahan ingatan Melody kembali, tentang bagaimana pada akhirnya dia bisa berada di sini. Tak salah lagi, ini adalah rumah sakit. Dengan gerakan lemahnya spontan dia mengelus perut ratanya yang sedikit masih terasa nyeri. Matanya memanas, entah kenapa dia merasakan kehilangan bahkan pada
Sebulan berlalu dari semua kejadian dan kisah tentang Bimo. Cowok itu akhirnya harus merasakan indahnya tinggal di dalam penjara, kasusnya cepat di putuskan karena banyak saksi dan diapun cukup kooperatif tak banyak perlawanan ataupun sanggahan atas tindak kejahatannya. Tak hanya kasus melukai Melody dan Alfa, dia terjerat juga kasus penggunaan narkotika. Di luar itu, ternyata Bimo juga terjerat kasus penggelapan uang perusahaan. Karena begitu urusan pekerjaan yang biasanya di pegang oleh Bimo di alih tangankan kepada orang lain nampak banyak kejanggalan pada laporan aliran keuangan. Terutama keuangan perusahaan Pak Edward yang masuk ke perusahaan Fendy Atma. Setelah di telusur lagi oleh tim forensik kepolisian, di temukan Bimo tak main sendiri, dia di bantu oleh Alisa, perempuan berstatus kekasih tersembunyi Bimo yang bekerja di bagian keuangan perusahaan Fendy Atma. Melody hanya menatap sedih gadis bernama Alisa yang sampai bersujud memohon ampun atas kesalahannya. Namun u
Melody telungkup di sisi ranjang tempat tubuh Alfa tak sadarkan diri. Sebentar pun dia tak mau meninggalkan lelaki yang sama sekali belum membuka mata semenjak kemarin di bawa ke rumah sakit, masuk ruang operasi sampai dengan di pindahkan ke ruang observasi khusus dengan campur tangan kekuasaan uang atas keinginan keluarga. Mimpi buruk seolah mengejar Melody setiap kali matanya terpejam, hingga menjadikannya bertahan berusaha membuka mata. Tangannya menggenggam erat tangan Alfa, doa tak henti dia panjatkan berharap tiba-tiba tangan itu bergerak balik menggenggam erat tangannya. Hampir dua puluh empat jam belum ada tanda-tanda bahwa Alfa akan tersadar, semua peralatan medis lengkap yang di butuhkan berada di kamar yang cukup luas ini.Meira, Nela, Fendy, Rudi, Boy, Rheiga, Sisil dan Kevin berjaga di luar. Bergantian mereka keluar masuk ruang berusaha membujuk Melody supaya bersedia untuk istirahat sejenak meredakan lelah dan setresnya. Tak henti meyakinkan gadis itu bahwa Alfa
Melody masih mengikuti langkah Bimo yang memperlakukan dirinya sebagai tawanan. Dirinya benar-benar tak habis fikir bagaimana seorang Bimo nekat melakukan kejahatan seperti ini di kondisi sekarang. Sama sekali tidak mempertimbangkan keadaan yang bisa saja tidak berpihak padanya. "Mas Bimo, sadarlah, tindakan Mas Bimo ini tidak benar, berbahaya," Melody masih berusaha bersikap baik menyadarkan cowok ini. Di apa-apain juga, selama bekerjasama dengannya dia selalu menampakkan sikap baik di depannya. Urusan sikap dia itu asli atau palsu, buat Melody saat ini tak jadi soal. Dia hanya ingin selamat dan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya dan Bimo, apalagi dengan tindakan-tindakan kekerasan. "Selama ini aku sudah berusaha bersikap benar tapi hal itu tak pernah nampak di mata dan hati kamu, Mel. Hari ini, nggak ada salahnya kan aku sekali berbuat tidak benar tapi pada akhirnya bisa memiliki hidup bersama kamu. Setelah ini kita akan menikmati indahnya surga dunia bersama, Me
Meeting di hari kedua lebih seru dari hari kemarin. Lebih banyak hal dan permasalahan di masing-masing grup yang di bahas pada hari ini selain dari perwakilan masing-masing grup yang harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kuartal satu. Dan tepat mulai jam tiga sore, beberapa kolega yang merupakan tamu undangan mulai di ikutkan masuk ke forum. Termasuk Pak Edward dan sesuai prediksi Alfa, Bimo nampak hadir juga saat ini. Semenjak seseorang yang sedang Alfa waspadai itu masuk ruang, tak hentinya mata cowok itu menatap tajam ke arah Bimo tanpa sungkan-sungkan lagi tak memikirkan apakah cowok itu akan merasa atau tidak jika ternyata sedang di lihatnya. Alfa sengaja memperhatikan setiap gerak gerik Bimo yang sering mencuri pandang ke arah Melody padahal saat ini gadisnya itu banyak diam karena di sesi ngobrol bersama kolega ini para peserta meeting lebih banyak berbincang dengan Pak Fendy selaku Presdir Fendy Atma Group. Setelah penuh dengan diskusi seru antara pes
Melody sedang berada di ruang kerja Fendy bersama Dista. Mereka membahas rencana meeting direksi kuartal pertama tahun ini yang biasanya di adakan dengan menginap di sebuah cottage atau hotel sekaligus untuk refreshing karyawan di sepertiga tahun pertama. Yang bertujuan untuk menjaga semangat kerja para pejabat perusahaan supaya tetap fresh dalam memimpin dan mempertahankan kinerja terbaik di masing-masing bagiannya. “Jadi gimana, Dis, budgetnya apakah sudah fixed semua?” tanya Fendy pada Dista. “Sudah, Pak. Tadi sudah saya serahkan kepada Alisa supaya di aturkan booking ball room beserta kamar-kamarnya,” jelas Dista. “Berapa total pesertanya nanti?” tanya Fendy selanjutnya. “Total 7 orang direktur di tambah 16 orang manager, Pak,” jawab Dista sambil melihat catatan anggaran budgetnya. “Baik, nanti hitungkan sekalian seperti biasa buat kita, kamu ajak putri dan suami kamu juga, kan? Kasian di tinggal sibuk terus sama kamu,” ujar Fendy sambil t
Begitu Melody menyusul Boy ke lantai dua, Rheiga segera berjalan ke arah kamar tamu yang terletak tak jauh dari ruang keluarga. Di sofa ruang keluarga tempat biasanya di pakai untuk nonton tivi bersama, nampak Alfa dan Hesta yang sedang duduk berdua. Rheiga menahan langkahnya dan berlindung di balik almari hias tempat pajangan pernak pernik koleksi Nela. Dari tempat itu terdengar jelas pembicaraan Hesta dan Alfa.“Al, kamu sungguh bisa maafin kesalahanku, kan?” rayu Hesta tak ubahnya gadis SMA yang mau di putuskan oleh pacarnya. Entah hilang kemana urat malu perempuan itu yang pada hari ini masih nekat untuk menemui lelaki yang kemarin jelas-jelas menolaknya.Alfa diam sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Al, aku mohon, aku tahu kamu marah sama aku, tapi aku tahu hatimu tak sejahat itu ke aku. Apapun yang kamu katakan ke aku di rumahku kemarin bagiku tak lebih dari emosi kamu saja,” lanjut Hesta dengan nada penuh hiba. Menu
Minggu pagi yang cerah. Rheiga dan Alfa sedang duduk santai di pinggir lapangan basket komplek perumahan Alfa. Pagi-pagi tadi Rheiga menyusulnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan jogging menikmati kebersamaan pertemanan mumpung Rheiga sedang tak ada job. Sesuatu hal langka yang terjadi pada Rheiga dan Alfa di hari minggu. Aktifitas pagi mereka awali dengan jogging dan berakhir di sport center komplek perumahan. Ikut tanding basket sebentar bersama klub lokal komplek yang kebetulan sedang menggelar latihan bersama. Sambil beristirahat mereka membahas beberapa hal dan terutama tentang kejadian yang masih hangat kemarin. Tentang Hesta dan Melody. "Jadi elo jalanin rencana sesuai obrolan kita kapan hari?" tanya Rheiga pada Alfa. "Iya, dan sepertinya dugaanku tak meleset jauh, Bimo nampak begitu gencar dan lebih antusias mendekati Melody. Gue hanya perlu menangkap basahnya saja sebagai bukti." "Yang penting elo dan Melody harus tetap hati-hati, kar
Semenjak insiden Alfa dan Hesta pada hari itu, sepertinya Bimo benar-benar merasa peluang untuk mendekati Melody lebih terbuka lagi. Seperti yang dia lihat untuk waktu saat ini, jika dulu hubungan Alfa dan Melody nampak begitu baik dengan hal nyata bahwa Alfa tak segan menunjukkan perhatiannya untuk Melody di depan publik, yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Mereka berdua nampak saling diam. Melody memasang sikap cueknya, nampak begitu acuh dengan Alfa. Pun begitu dengan Alfa, yang ikut mendiamkan Melody dengan tak banyak mengajaknya bicara. Hanya satu dua kata saja mereka nampak bertukar suara, dan itupun tentang kerja. Tak banyak yang tahu rencana mereka berdua, hanya Dista satu-satunya yang mengerti semua cerita tentang Melody. Itupun Melody sampaikan di luar jam kerja, ketika mereka memutuskan pulang kerja bersama dan shoping bersama. Jika saja Dista tak melihat kejadian di ruang Melody pagi harinya, mungkin dia pun termasuk dalam orang-orang yang tidak akan Melod