Melody Cinta, gadis berusia dua puluh tahun yang masih berstatus mahasiswi semester enam di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di kotanya. Terbiasa di manja dan di sayang karena merupakan anak tunggal.
Seperti pagi ini, jam dinding sudah menunjuk angka hampir delapan nol-nol, namun dia masih bergelung malas berteman mimpi. Tiba-tiba matanya terpaksa mengerjap silau ketika seseorang membuka tirai jendela kamar tanpa aba-aba atau dengan permisi sebelumnya.
“Pagi sayang, ayo segera bangun dan segera mandi,” suara lembut itu mengusik mata sipitnya untuk berusaha keras mengerjap lagi supaya indera penglihatannya itu bisa terbuka lebar.
“Ini kan hari minggu, Ma. Mel pengin bangun siang dong sekali-sekali,” suara serak khas pagi hari itu menjawab sapaan sayang mamanya yang tengah mengusap lembut pipi mulusnya bersamaan dengan terjatuhnya kembali kepala mungil itu di bantal dengan mata kembali terpejam.
Meira, mama Melody hanya tersenyum mendengar suara putri manjanya yang menawar ingin bangun siang. Di tatapnya wajah putih nan cantik dengan mata yang terpejam itu. Wajah oriental khas Manado yang sebenarnya justru lebih mirip wajah-wajah cantik artis Korea pemeran drakor yang sering Meira pantengin di waktu senggangnya.
“Sayang, kan semalam kamu udah di bilangin kalau hari ini bakalan ada tamu sahabat mama dan papa yang mau datang ke rumah,” Meira tetap berusaha membangunkan putrinya dengan penuh kelembutan.
Melody putri tunggalnya, meskipun tidak semanja putri-putri tunggal pada umumnya, dalam prosentase kecil tetap saja sifat itu ada pada diri gadis cantiknya. Apalagi ketika situasi dan cuaca mendukung seperti hari ini. Hari minggu yang identik dengan hari istirahat dan bermalas-malasan.
Mendengar penjelasan mamanya, gadis itu kembali berusaha membuka mata. Benar, dia ingat betul pesan mama dan papa tadi malam. Hari minggu ini, dia harus bangun pagi, harus rapi, dandan cantik mengesankan karena sahabat kedua orang tuanya akan bertandang ke rumah, reuni kecil-kecilan sekaligus mengenalkan putra mereka pada Melody.
Ah … mengingat hal itu mata yang sudah terbuka kembali meredup. Betapa malasnya dia melakukan itu semua. Tapi apalah dayanya, jika mama yang meminta mungkin masih bisa dia tundukkan hatinya, tapi kalau papa yang berkehendak hanya Tuhan yang bisa menolak dan menghentikannya.
“Ma, Mel males banget. Buat apa sih di kenal-kenalin gitu, pasti ujung-ujungnya di jodoh-jodohin kayak Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih,” kedumel Melody dengan mata yang baru terbuka sekian inchi.
“Datuk Maringgih yang ini muda dan ganteng, ayo bangun atau harus papa siram kamu pake air es seember,” tiba-tiba suara tegas itu terdengar begitu mengintimidasi di kamar Melody.
Entah kapan pria tampan bernama Fendy dan berusia 44 tahun itu ikut masuk ke kamar putri semata wayangnya.
Meira mendongak menatap suaminya sambil menahan senyum. Sedangkan Melody sudah langsung terduduk dengan mata terbuka lebar.
“Mel nggak enak badan, Pa,” alasan tak masuk akal keluar dari bibir Melody.
“Mau kamu nggak enak badan, nggak enak hati, nggak enak makan, intinya segera bangun, segera mandi dan rapikan diri buat nemuin Datuk Maringgih cakep. Jangan sampai kamu keluar menemui mereka dengan nggak enak bau badan,” hardik papa yang sesungguhnya bikin Melody pengin ketawa, tapi nyatanya rasa segan dan takutnya pada papa lebih mendominasi hingga membuatnya beranjak malas-malasan menuju kamar mandi yang kebetulan satu ruang dengan kamar tidurnya.
“Papa itu sebenarnya papa aku atau komandan militer, sih, bikin ngeri kalau ngeluarin suara,” keluh Melody pelan namun masih terdengar oleh kedua orang tuanya yang kali ini membuat mereka hampir saja menyemburkan suara tawa. Apalagi Meira yang sejak tadi sudah merasakan mulas di perutnya akibat menahan tawa mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir suaminya.
Begitu terdengar suara gemericik air shower dari kamar mandi Melody, Meira segera menarik tangan suaminya keluar kamar.
“Jangan lama-lama show di kamar mandi, Mel. Tamu bakal datang tiga puluh menit lagi,” teriak Fendy sebelum beranjak mengikuti istrinya yang menyeret tangannya dengan penuh paksaan.
“Bodoh amat,” kedumel Melody tanpa menjawab teriakan papa yang terdengar cukup lantang bagai komandan upacara di lapangan istana merdeka.
***
Dua puluh lima menit kemudian.
Melody duduk santai di ruang keluarga depan televisi melihat tingkah lucu Doraemon dan Nobita. Di tangannya tergenggam segelas susu cokelat yang tadi belum sempat dia habiskan pada saat sarapan pagi. Bukan penampilan cantik seperti harapan orang tua yang dia tampilkan sekarang, tapi penampilan sangat kasual dengan hanya menggunakan baby doll lucu bergambar Mickey Mouse.
Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Menyeret langkahnya penuh malas Melody berjalan menuju pintu karena dia ingat betul Bi Iyah barusan pamit ke pasar mau belanja. Langkah Melody belum mencapai pintu ketika bel berhenti berdering, saat suara bel kedua menyambung, tangan Melody sudah bersiap memutar kunci dan menarik handle pintu, namun sebuah hentakan mengejutkan menghentikan gerakan tangannya. Dengan linglung gadis itu merasa terseret menjauhi pintu rumah hingga akhirnya jalan terseok-seok mengikuti langkah kaki panjang papa yang memegang erat pergelangan tangannya setengah menarik paksa.
“Papa tunggu sepuluh menit, kamu harus sudah keluar dengan baju dan dandanan yang pantas untuk menemui tamu,” hardik papa begitu Melody berhasil di masukkan kembali ke dalam kamarnya.
Tanpa menjawab, hanya dengan bersungut manyun Melody segera menuju ke almari pakaiannya. Sesekali menoleh ke arah pintu tempat papa berdiri bersedekap bak mandor pabrik mengawasi pekerjanya.
Tanpa fikir panjang Melody menarik sebuah dress pendek selutut berwarna coklat muda. Dia sama sekali nggak berselera mematut diri sehingga terlihat lebih cantik.
“Papa,” panggil Melody singkat menyadarkan penjaga pintunya.
“Ngapain panggil-panggil, buruan ganti baju. Udah berkurang empat menit ini waktunya,” sahut Fendy dengan tampang garang ke arah putrinya yang dia rasa lelet hanya untuk sekedar berganti baju.
“Lah, papa mau tetap di situ liatin Mel ganti baju? Umur Mel udah 20 tahun, pa, malu dong di liatin papa meskipun aslinya aku jago malu-maluin.”
Fendy terpaksa mengulum senyum mendengar seloroh putrinya, kemudian keluar dan menutup pintu kamar Melody. Waktu sepuluh menit yang di berikan benar di hitung dengan seksama. Lima menit kemudian Fendy sudah mengetuk pintu, beberapa saat di ketuk tapi tak ada sahutan. Takut anaknya kabur lewat lubang angin-angin, pintu segera dia buka paksa tanpa permisi. Kepala lelaki itu segera mundur dengan mimik terkejut. Sesosok barbie dewasa dengan wajah cantiknya tengah berdiri tegak tepat di depannya. Barbie berbaju dress warna coklat muda model sederhana kekinian yang panjangnya sedikit di atas lutut. Seraut wajah cantik berbalut bedak tipis, bibir mungil yang hanya di pulas lipgloss natural plus rambut sebahu lurus dengan warna kecoklatan berponi pendek menghias manis wajah berbentuk oval cantik proporsional. Mau tak mau si papa harus memuji kalau gadis tunggalnya ini sangat cantik.
“Jangan terpesona jangan sombong, putri papa ini emang cantik dari lahir,” cibir Melody menggoda papanya, membuat lelaki itu tertawa kemudian mengusap sayang kepala gadis kesayangannya.
“Ayo bersiap ketemu Datuk Maringgih, papa nggak sabar pengin punya cucu sebelas,” balas papa menggoda membuat Melody kembali mendelik gemas.
“Emang ketemu aja udah bisa menghasilkan cucu sebelas?” omel Melody sambil berjalan.
“Ya bisa aja, asal ketemunya di atas tempat tidur atas ijin Allah setelah di sahkan oleh penghulu.”
“Papa mesummmmm …” teriak Melody sambil mencubit lengan papanya yang tertawa terbahak-bahak.
“Biar kamu sadar, Nak. Usia kamu udah mulai dewasa sedangkan mama sama papa udah semakin tua.”
Mendengar itu Melody segera menggelayut manja di lengan papa, semenjengkelkan apapun papa, beliau adalah kesayangan dan cinta pertama baginya.
“Jangan tua dulu, pa, tunggu Melody bisa ngasih cucu sejumlah sebelas.”
Papa hanya menoleh sambil tersenyum menatap wajah cantik putrinya.
…
Di ruang tamu, nampak Meira sedang berbincang akrab dengan tamu mereka. Seorang perempuan cantik sepantaran mama Melody dengan dua lelaki yang duduk memunggungi arah Melody dan Fendy yang baru datang bergabung sehingga tak bisa langsung melihat rupa mereka.
“Selamat pagi semua, maaf baru bergabung karena harus nungguin si putri cantik bingung nyari baju yang cocok buat ketemu tamunya,” basa basi Fendy menyapa semua penghuni ruang tamu yang membuat perut Melody mual seketika mendengar bualan receh itu. Milih baju apaan? orang tadi cuma asal tarik saja dari gantungan baju di almari, dumel batin Melody.
“Wah, hebat ya, bukan mama yang nemenin putri dandan, tapi justru papanya,” komentar Tante Nela, tamu hari itu yang merupakan sahabat orang tua Melody semasa sekolah dulu.
“Mbak Nela masih inget kan, Mas Fendy ini cerewet banget soal penampilan, jadinya tadi aku persilahkan aja dia yang nemenin putrinya berdandan biar bisa tampil oke,” tambah Meira yang bikin Melody semakin mual.
“Iya nggak salah, kok, ini siapa namanya, Melody, ya? cantik banget, gaya penampilannya. Ayo Alfa segera kenalin putri dari sahabat mama dan papa ini,” ujar Tante Nela sambil menepuk bahu putranya yang sejak tadi hanya cuek memainkan handphone, padahal Rudi -papanya- sudah berdiri sejak tadi dan berbagi pelukan sahabat dengan papa Melody.
Cowok itu memasukkan handphone ke saku bajunya, kemudian berdiri dan menghadap ke arah Melody.
Jeder! jantung Melody berdegup kencang sangking terkejutnya seolah mendengar petir menggelegar di siang bolong demi melihat cowok yang kini berdiri di depannya.
“Nggak salah tante? ini putranya tante beneran?” seloroh Melody spontan. Tante Nela tersenyum, mengira Melody langsung jatuh cinta pada pandangan pertama kepada putra sulungnya itu.
“Iya Mel, ini putra tante, ganteng kan? cocok sama kamu yang cantik ini.”
Alfa, si cowok itu, hanya mengernyit dan memainkan alisnya. Dia pun tak menyangka jika anak gadis teman orang tuanya adalah Melody.
“Iya emang ganteng, Tante, tapi dingin kayak es batu,” celetuk Melody yang membuat Meira segera menutup mulutnya karena shock dengan komentar ceplas ceplos putrinya. Untungnya Nela dan Rudi justru tertawa menanggapi celetuk polos barusan.
“Ah iya, Alfa emang begitu, Mel. Nanti bantu tante untuk menghangatkan hatinya. Tante suka sama kamu, semoga segera sah jadi menantu.”
Uhuk, Melody terbatuk karena terkejut, tak menyangka sahabat orang tuanya ini sama selebornya dengan papa dan mamanya.
“Alfa kok diem aja, sih, segera kenalan dong,” perintah Rudi yang melihat putranya semenjak tadi hanya berdiri diam tanpa ekspresi.
“Udah kenal, Pa.”
“Udah kenal, Om.”
Alfa dan Melody bersuara hampir bersamaan.
“Wow, mulus dong jalannya kalau udah saling kenal,” tepuk riuh Fendy yang kesenengan.
“Bukan mulus, Pa, tapi males ketemu dia yang jutek dan selalu bikin Melody kesel harus bersaing dan kalah nilai terus di kelas kuliah.”
“Wah … jadi kalian sekelas di kampus? bravo, dunia emang selebar daun bayam,” seloroh Tante Nela.
“Daun kelor, Mbak Nela,” koreksi Meira yang membuat para orang tua tertawa namun tidak begitu dengan putra putri mereka.
“Itu karena elo dodol makanya nggak pernah bisa ngalahin gue,” cetus Alfa masih tanpa ekspresi.
“Elo yang curang dan sok cool karena suka deketin dosen-dosen cewek yang genit-genit itu,” balas Melody.
“Bukan gue yang deketin, tapi mereka yang suka deketin gue.”
“Stop-stop, Melody, Alfa, pokoknya karena kalian sudah saling kenal jadi tinggal di sahkan saja. Hari ini, detik ini, dengan di saksikan bumi langit dan kita semua yang disini kalian sah menjadi sepasang kekasih, titik,” Fendy bak wasit menghentikan perdebatan dua anak muda itu.
“Gue nggak mau,” tolak Melody to the point. Namun kebalikannya, suara Alfa tak terdengar saat ini.
“Heh, elo, juga nggak mau kan?” tanya Melody memastikan jawaban Alfa. Empat pasang mata orang tua dengan tatapan awas melihat ke arah Alfa.
“Gue anak yang berbakti pada orang tua, elo harus nerima gue sebagai kekasih elo karena gue nggak bisa nolak keinginan mereka,” jawab Alfa dengan nada datar bikin kepala Melody tiba-tiba terasa berat dan mata berkunang-kunang.
“Yess,” masih terdengar suara-suara itu sebelum Melody menutup matanya dengan badan lemas kemudian ambruk dan entah siapa yang menahan dan menangkap tubuhnya. Pingsan.
…
Entah berapa menit Melody terdampar di dunia tanpa kesadaran. Bau minyak kayu putih yang terendus kuat di penciuman membawa matanya kembali terbuka. Secara reflek bibirnya nyengir menahan satu rasa. Rasa panas di antara hidung dan mulut berasal dari minyak kayu putih yang di oleskan di situ. Begitu mata benar-benar terbuka, sekarang berganti dahinya yang mengernyit. Sejenak dia berfikir dan akhirnya menyadari dimana keberadaannya sekarang. Ya betul, dia berada di kamarnya sendiri. Kembali dia berusaha mengingat apa yang menyebabkan dia terdampar di dunia empuk ini dan tak lain karena beberapa saat lalu dia pingsan efek emosi yang tiba-tiba saja meledak karena ulah seseorang dan beberapa orang di sekitarnya saat itu. Kamar tidurnya sepi, dalam hati Melody merutuk sebal. Dia pingsan tapi tak satupun manusia di rumah rela menjaganya. Terutama kedua orang tuanya. Dengan satu dorongan kuat gadis itu merasa tubuhnya kembali segar. Yang jelas bukan kekuatan dari bulan ala Sailormoo
“Alfa, selamat ya, kamu mendapatkan nilai 100 lagi, kamu emang the best,” suara merdu yang di telinga Melody terdengar genit itu mengudara se-antero kelas pagi ini. Bu Hesta baru saja membagikan hasil ujian minggu kemarin. Dengan malas Melody melirik kertas bernilai 98 di mejanya. Lagi-lagi dia kalah dari Alfa, hanya selisih 2 poin saja. Tajam di tatapnya dosen cantik yang duduk di depan sedang bersiap memberi materi kuliah hari ini. "Jangan-jangan dosen ini emang nepotisme ya, masak iya nilai gue sama Alfa selalu aja selisih 2 sampai 5 poin aja, dan selalu kalah," batin Melody penuh suudzon. "Hari ini gue harus membuktikan kebenarannya", niat Melody menyemangati dirinya sendiri. Empat puluh lima menit kemudian. “Alfa, setelah ini segera susul saya ke ruang dosen. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu,” pesan Bu Hesta sebelum melangkah keluar setelah jam kuliah hari ini selesai. “Baik, Bu,” jawab Alfa, kemudian den
Sekian menit menumpahkan isi hati, plot, alur, dongeng dan seribu kisah tentang hidupnya, akhirnya Melody bisa bernafas sedikit lega. “Jadi seperti itu, Sil, nasib gue. Sekarang gue harus gimana dong, elo pokoknya harus bisa bantuin gue. Titik,” penyambung kalimat Melody yang sekaligus sebagai penutup curahan hatinya. Kepalanya menunduk dan tangannya sibuk memukul-mukul guling di pangkuannya penuh emosi. Seolah bantal itu adalah punggung keras Alfa yang ingin dia patahkan tulang-tulangnya sampai terpotong-potong menjadi seukuran satu atau dua sentimeter saja. Psycho banget, ya. Di larang ketawa! Beberapa menit tak mendengar suara Sisil. Melody mengangkat kepalanya kemudian menatap ke arah sahabatnya yang tidur tengkurap tak jauh dari posisi duduknya. “Sisil, dasar lo, ya. Kenapa bengong gitu, sih? Jangan kesambet di kamar gueeee …” teriak melody gemas melihat Sisil yang menatapnya dengan muka bego nan bengong plus mulut terbuka. Merasa teriakannya tidak ada h
Melody sedang serius membaca buku di perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya tanpa permisi. Sebuah buku tebal terbuka begitu saja menampilkan deretan abjad yang entah membahas tentang apa. Gadis itu mendongak sekilas, memastikan siapa yang duduk diam-diam tanpa kata permisi padanya padahal banyak bangku kosong yang lain di sana-sini. Begitu mengetahui sosok itu spontan rasa sebal menderanya tanpa ampun. Gadis itu mendengus halus, ungkapan rasa kesal sekaligus penanda kalau dirinya mengakhiri acara membaca di perpustakaan. Padahal sesungguhnya belum genap lima belas menit Melody duduk dan membuka buku yang sejak beberapa hari lalu menjadi incarannya. Tanpa banyak berfikir lagi, gadis itu segera berdiri, menutup buku yang sedang dia baca kemudian berjalan menuju ke meja petugas perpustakaan. “Mbak Atik, buku ini gue pinjem, ya,” ujar Melody sambil menyodorkan kartu anggota perpustakaan. Perempuan setengah baya yang di panggil Melody segera menerima kar
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya. Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan o
Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket. "Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya. "Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia." "Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?" "Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?" "Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue." "But
Tiga hari berlalu dari permintaan Ansya. Setiap harinya mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik, penuh dengan canda tawa dan perhatian yang manis dari Ansya untuk Melody. Melody belum berani memberikan keputusan untuk cowok itu. Dia sudah jujur pada hatinya sendiri bahwa dia menyukai Ansya. Sejujurnya juga ingin segera memberi jawaban "iya". Tapi keberadaan Alfa meski penuh dengan tingkah menyebalkan dan juga memikirkan hati orang tua mereka tetap menjadi pertimbangan yang utama. Di satu sisi, meskipun belum pernah bertemu, dia tidak mau asal menjawab sekedar untuk bersenang-senang saja. Melody tetap berusaha menghargai perasaan Ansya. Gadis itu selalu begitu, meski banyak hati yang dia tolak, tapi dia selalu berusaha untuk melakukannya dengan baik supaya tidak terlalu menyakiti hati orang itu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk seorang Ansya. Melody bisa merasakan dia cowok yang baik, kedekatan komunikasi mereka beberapa hari ini, pendekatan manis dari Ansya yang tanpa pa
Semilir angin memainkan rambut kecoklatan Melody. Gadis itu duduk santai di balkon kamarnya. Sejauh mata memandang nampak taman kesayangan mama yang segar bersih terawat, kolam ikan koi kesayangannya dan kolam renang tempat biasanya dia dan keluarga bersantai sekaligus berolah raga. "Jadi apa yang pengin elo bicarakan sama gue?" tanya Ansya di telepon mereka sore ini. "Sebelumnya gue minta maaf, Bad. Gue siap apapun yang bakal elo putusin ke gue setelah tahu semua tentang gue." "Iya, Cinta. Gue siap dengerin apapun yang mau elo sampaikan. Gue simak dulu. Sekarang elo bicara dulu aja biar gue sempat memikirkannya." Ini adalah acara bertelepon langsung mereka yang kedua dan kali ini Melody yang berinisiatif menelepon duluan meskipun berawal dengan rasa dag dig dug teleponnya bakal di terima atau enggak. Ada rasa adem dan tenang mendengar suara Ansya yang begitu sabar dan pengertian padanya. "Elo sekarang dimana? Gue ganggu nggak kalau ma
Entah berapa jam Melody tak sadarkan diri dia tak mengetahuinya. Ketika matanya terbuka dia hanya menyadari bahwa kini sedang tidak berada di kamarnya. Sebentar memutar bola matanya hanya ruang kamar serba putih yang di lihatnya. Bau obat menyeruak ke indera penciumannya dan tepat di pergelangan tangannya dia merasakan ada rasa menekan dengan sedikit nyeri. Sebentar segera dia coba menggerakkan tangan dan mengangkatnya. Yang di lihatnya pertama kali adalah selang bening kecil, dan ternyata yang membuat pergelangan tangannya terasa tertekan dan nyeri adalah jarum yang menancap di situ, secara reflek Melody mendongak ke atas melihat kantong infus berisi tinggal separuh yang tergantung di situ. Perlahan ingatan Melody kembali, tentang bagaimana pada akhirnya dia bisa berada di sini. Tak salah lagi, ini adalah rumah sakit. Dengan gerakan lemahnya spontan dia mengelus perut ratanya yang sedikit masih terasa nyeri. Matanya memanas, entah kenapa dia merasakan kehilangan bahkan pada
Sebulan berlalu dari semua kejadian dan kisah tentang Bimo. Cowok itu akhirnya harus merasakan indahnya tinggal di dalam penjara, kasusnya cepat di putuskan karena banyak saksi dan diapun cukup kooperatif tak banyak perlawanan ataupun sanggahan atas tindak kejahatannya. Tak hanya kasus melukai Melody dan Alfa, dia terjerat juga kasus penggunaan narkotika. Di luar itu, ternyata Bimo juga terjerat kasus penggelapan uang perusahaan. Karena begitu urusan pekerjaan yang biasanya di pegang oleh Bimo di alih tangankan kepada orang lain nampak banyak kejanggalan pada laporan aliran keuangan. Terutama keuangan perusahaan Pak Edward yang masuk ke perusahaan Fendy Atma. Setelah di telusur lagi oleh tim forensik kepolisian, di temukan Bimo tak main sendiri, dia di bantu oleh Alisa, perempuan berstatus kekasih tersembunyi Bimo yang bekerja di bagian keuangan perusahaan Fendy Atma. Melody hanya menatap sedih gadis bernama Alisa yang sampai bersujud memohon ampun atas kesalahannya. Namun u
Melody telungkup di sisi ranjang tempat tubuh Alfa tak sadarkan diri. Sebentar pun dia tak mau meninggalkan lelaki yang sama sekali belum membuka mata semenjak kemarin di bawa ke rumah sakit, masuk ruang operasi sampai dengan di pindahkan ke ruang observasi khusus dengan campur tangan kekuasaan uang atas keinginan keluarga. Mimpi buruk seolah mengejar Melody setiap kali matanya terpejam, hingga menjadikannya bertahan berusaha membuka mata. Tangannya menggenggam erat tangan Alfa, doa tak henti dia panjatkan berharap tiba-tiba tangan itu bergerak balik menggenggam erat tangannya. Hampir dua puluh empat jam belum ada tanda-tanda bahwa Alfa akan tersadar, semua peralatan medis lengkap yang di butuhkan berada di kamar yang cukup luas ini.Meira, Nela, Fendy, Rudi, Boy, Rheiga, Sisil dan Kevin berjaga di luar. Bergantian mereka keluar masuk ruang berusaha membujuk Melody supaya bersedia untuk istirahat sejenak meredakan lelah dan setresnya. Tak henti meyakinkan gadis itu bahwa Alfa
Melody masih mengikuti langkah Bimo yang memperlakukan dirinya sebagai tawanan. Dirinya benar-benar tak habis fikir bagaimana seorang Bimo nekat melakukan kejahatan seperti ini di kondisi sekarang. Sama sekali tidak mempertimbangkan keadaan yang bisa saja tidak berpihak padanya. "Mas Bimo, sadarlah, tindakan Mas Bimo ini tidak benar, berbahaya," Melody masih berusaha bersikap baik menyadarkan cowok ini. Di apa-apain juga, selama bekerjasama dengannya dia selalu menampakkan sikap baik di depannya. Urusan sikap dia itu asli atau palsu, buat Melody saat ini tak jadi soal. Dia hanya ingin selamat dan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya dan Bimo, apalagi dengan tindakan-tindakan kekerasan. "Selama ini aku sudah berusaha bersikap benar tapi hal itu tak pernah nampak di mata dan hati kamu, Mel. Hari ini, nggak ada salahnya kan aku sekali berbuat tidak benar tapi pada akhirnya bisa memiliki hidup bersama kamu. Setelah ini kita akan menikmati indahnya surga dunia bersama, Me
Meeting di hari kedua lebih seru dari hari kemarin. Lebih banyak hal dan permasalahan di masing-masing grup yang di bahas pada hari ini selain dari perwakilan masing-masing grup yang harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kuartal satu. Dan tepat mulai jam tiga sore, beberapa kolega yang merupakan tamu undangan mulai di ikutkan masuk ke forum. Termasuk Pak Edward dan sesuai prediksi Alfa, Bimo nampak hadir juga saat ini. Semenjak seseorang yang sedang Alfa waspadai itu masuk ruang, tak hentinya mata cowok itu menatap tajam ke arah Bimo tanpa sungkan-sungkan lagi tak memikirkan apakah cowok itu akan merasa atau tidak jika ternyata sedang di lihatnya. Alfa sengaja memperhatikan setiap gerak gerik Bimo yang sering mencuri pandang ke arah Melody padahal saat ini gadisnya itu banyak diam karena di sesi ngobrol bersama kolega ini para peserta meeting lebih banyak berbincang dengan Pak Fendy selaku Presdir Fendy Atma Group. Setelah penuh dengan diskusi seru antara pes
Melody sedang berada di ruang kerja Fendy bersama Dista. Mereka membahas rencana meeting direksi kuartal pertama tahun ini yang biasanya di adakan dengan menginap di sebuah cottage atau hotel sekaligus untuk refreshing karyawan di sepertiga tahun pertama. Yang bertujuan untuk menjaga semangat kerja para pejabat perusahaan supaya tetap fresh dalam memimpin dan mempertahankan kinerja terbaik di masing-masing bagiannya. “Jadi gimana, Dis, budgetnya apakah sudah fixed semua?” tanya Fendy pada Dista. “Sudah, Pak. Tadi sudah saya serahkan kepada Alisa supaya di aturkan booking ball room beserta kamar-kamarnya,” jelas Dista. “Berapa total pesertanya nanti?” tanya Fendy selanjutnya. “Total 7 orang direktur di tambah 16 orang manager, Pak,” jawab Dista sambil melihat catatan anggaran budgetnya. “Baik, nanti hitungkan sekalian seperti biasa buat kita, kamu ajak putri dan suami kamu juga, kan? Kasian di tinggal sibuk terus sama kamu,” ujar Fendy sambil t
Begitu Melody menyusul Boy ke lantai dua, Rheiga segera berjalan ke arah kamar tamu yang terletak tak jauh dari ruang keluarga. Di sofa ruang keluarga tempat biasanya di pakai untuk nonton tivi bersama, nampak Alfa dan Hesta yang sedang duduk berdua. Rheiga menahan langkahnya dan berlindung di balik almari hias tempat pajangan pernak pernik koleksi Nela. Dari tempat itu terdengar jelas pembicaraan Hesta dan Alfa.“Al, kamu sungguh bisa maafin kesalahanku, kan?” rayu Hesta tak ubahnya gadis SMA yang mau di putuskan oleh pacarnya. Entah hilang kemana urat malu perempuan itu yang pada hari ini masih nekat untuk menemui lelaki yang kemarin jelas-jelas menolaknya.Alfa diam sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Al, aku mohon, aku tahu kamu marah sama aku, tapi aku tahu hatimu tak sejahat itu ke aku. Apapun yang kamu katakan ke aku di rumahku kemarin bagiku tak lebih dari emosi kamu saja,” lanjut Hesta dengan nada penuh hiba. Menu
Minggu pagi yang cerah. Rheiga dan Alfa sedang duduk santai di pinggir lapangan basket komplek perumahan Alfa. Pagi-pagi tadi Rheiga menyusulnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan jogging menikmati kebersamaan pertemanan mumpung Rheiga sedang tak ada job. Sesuatu hal langka yang terjadi pada Rheiga dan Alfa di hari minggu. Aktifitas pagi mereka awali dengan jogging dan berakhir di sport center komplek perumahan. Ikut tanding basket sebentar bersama klub lokal komplek yang kebetulan sedang menggelar latihan bersama. Sambil beristirahat mereka membahas beberapa hal dan terutama tentang kejadian yang masih hangat kemarin. Tentang Hesta dan Melody. "Jadi elo jalanin rencana sesuai obrolan kita kapan hari?" tanya Rheiga pada Alfa. "Iya, dan sepertinya dugaanku tak meleset jauh, Bimo nampak begitu gencar dan lebih antusias mendekati Melody. Gue hanya perlu menangkap basahnya saja sebagai bukti." "Yang penting elo dan Melody harus tetap hati-hati, kar
Semenjak insiden Alfa dan Hesta pada hari itu, sepertinya Bimo benar-benar merasa peluang untuk mendekati Melody lebih terbuka lagi. Seperti yang dia lihat untuk waktu saat ini, jika dulu hubungan Alfa dan Melody nampak begitu baik dengan hal nyata bahwa Alfa tak segan menunjukkan perhatiannya untuk Melody di depan publik, yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Mereka berdua nampak saling diam. Melody memasang sikap cueknya, nampak begitu acuh dengan Alfa. Pun begitu dengan Alfa, yang ikut mendiamkan Melody dengan tak banyak mengajaknya bicara. Hanya satu dua kata saja mereka nampak bertukar suara, dan itupun tentang kerja. Tak banyak yang tahu rencana mereka berdua, hanya Dista satu-satunya yang mengerti semua cerita tentang Melody. Itupun Melody sampaikan di luar jam kerja, ketika mereka memutuskan pulang kerja bersama dan shoping bersama. Jika saja Dista tak melihat kejadian di ruang Melody pagi harinya, mungkin dia pun termasuk dalam orang-orang yang tidak akan Melod