Melody sedang serius membaca buku di perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya tanpa permisi. Sebuah buku tebal terbuka begitu saja menampilkan deretan abjad yang entah membahas tentang apa. Gadis itu mendongak sekilas, memastikan siapa yang duduk diam-diam tanpa kata permisi padanya padahal banyak bangku kosong yang lain di sana-sini. Begitu mengetahui sosok itu spontan rasa sebal menderanya tanpa ampun. Gadis itu mendengus halus, ungkapan rasa kesal sekaligus penanda kalau dirinya mengakhiri acara membaca di perpustakaan. Padahal sesungguhnya belum genap lima belas menit Melody duduk dan membuka buku yang sejak beberapa hari lalu menjadi incarannya. Tanpa banyak berfikir lagi, gadis itu segera berdiri, menutup buku yang sedang dia baca kemudian berjalan menuju ke meja petugas perpustakaan.
“Mbak Atik, buku ini gue pinjem, ya,” ujar Melody sambil menyodorkan kartu anggota perpustakaan. Perempuan setengah baya yang di panggil Melody segera menerima kartu dan mengecek buku yang akan di pinjam oleh Melody, kemudian memasukkan datanya ke komputer.
Selesai memasukkan buku yang di pinjam ke dalam tas dan memastikan tas sudah tertutup aman, Melody melangkah santai keluar dari ruang perpustakaan. Di liriknya jam di pergelangan tangan, kuliah kedua baru akan di mulai setengah jam lagi. Langkah kaki santainya mengarah ke kantin kampus, niat hati sekedar beli air mineral untuk melegakan tenggorokan keringnya karena musim panas yang belum berkesudahan beberapa bulan ini. Dia hanya sendiri semenjak tadi karena Sisil hari ini bolos kuliah riweh dengan segala urusan pertunangannya dua minggu yang akan datang. Ajakan Mela teman sekelasnya selepas kuliah jam pertama untuk nongkrong di kantin dia tolak dengan halus gara-gara teringat mau pinjam buku dan khawatir buku incarannya di perpustakaan keburu di pinjam orang lagi karena sebelumnya Melody udah sempat cek ke Mbak Atik kapan jadwal buku akan di kembalikan. Sayang kalau tiba-tiba buku itu raib kepegang tangan orang. Bakal sia-sia penantiannya selama ini.
“Eh!” teriak Melody terkejut ketika seseorang menyenggol lengannya cukup keras. Dia antara keterkejutannya, di lihatnya Alfa melenggang cuek tak jauh di depannya.
“Eh, es batu. Elo lagi suka ngikutin gue, ya? Resek, ngaku aja elo julid sama hidup gue,” maki Melody meluapkan kekesalan yang terpendam sejak di dalam perpustakaan tadi. Tak salah emang, dialah cowok menyebalkan yang tiba-tiba duduk di depannya dan secara otomatis menghilangkan mood bacanya.
Alfa berhenti, sengaja menunggu Melody yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. Begitu dekat, segera di tarik dan di cengkeramnya lengan gadis itu yang berusaha melepaskan diri dengan menarik kembali tangannya.
“Dengerin dodol, elo lupa status gue sama elo sampai-sampai elo keberatan gue ikuti? Kalau bukan karena pesan gue harus jagain elo, nggak akan gue kuntit elo kayak gini. Gue sebenarnya juga nggak sudi. Apalagi yang harus gue jagain cewek dodol macam elo yang nggak akan pernah bisa ngalahin gue sekenceng-kencengnya elo berusaha."
Gigi Melody bergemeletuk mendengar nada meremehkan yang Alfa ucapkan barusan.
“Eh es batu, dengerin ya, gue nggak butuh di jagain sama elo. Nggak ngaruh buat hidup gue, sana jagain aja janda elo daripada repot-repot jagain gue, biar gue bisa hidup dengan damai.”
Beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat dan mendapati dua orang yang sedang berdebat itu menghentikan lagkah mereka. Asli niat mereka itu hanya untuk kepo sok wartawan. Dan terbukti mereka kasak kusuk dengan tatapan jelas-jelas ke arah dua orang yang bertengkar adu mulut. Nggak ada niat lain bagi mereka kecuali dapat tontonan drama gratis di siang bolong.
“Jadi elo bener-bener lupa status kita?”
“Status apa maksudnya? Elo yang lupa, gue kemarin sampaikan apa ke elo. Terserah anggapan elo apa tentang status kita tapi bagi gue enggak. Gue punya hidup gue sendiri.”
“Dan gue bilang bakal review, kan? Hari ini gue ubah. Elo harus ngikutin gue, ingat, elo cewek gue. Atau perlu gue bikin pengumuman di sini juga biar semua tahu?”
Mata Melody mulai kembali memanas. Jengkel luar biasa di rasanya kini. Hingga akhirnya menurut saja ketika Alfa menarik tangannya, mengajaknya duduk di bangku kosong bawah pohon tak jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya.
“Lihat gue sekarang,” perintah Alfa.
Melody menurut, tajam mata merahnya bekas tangis menatap lurus ke arah Alfa yang duduk di sampingnya.
“Kenapa elo egois dan sombong banget sama gue? Karena elo ngerasa kalau gue nggak akan pernah bisa ngalahin nilai-nilai elo, ya?” serak Melody bersuara, mata berembunnya tak kuasa lagi menahan bendungan air mata yang siap meleleh di pipi mulusnya. Sebuah gerakan jari kilat namun terasa lembut menghapus perlahan lelehan air mata itu. Melody kembali shock. Terpana sejenak, benarkah barusan Alfa berlaku so sweet menghapus air matanya?
“Nah itu elo tahu, sekeras apapun elo berusaha, elo nggak akan bisa ngalahin gue. Gue tahu kok nilai-nilai elo mulai awal semester. Selalu di bawah gue kan, beruntung-untungnya sama dengan nilai gue. Yang artinya nggak pernah melebihi nilai gue. Jadi elo nggak usah terlalu serius belajar kalau niatnya cuma buat bersaing ngalahin gue.”
Wusss … bagai di terjang angin puting beliung, simpati Melody pada Alfa yang tadi tercipta dadakan seketika menguap terbang terbawa angin.
“Songong,” desis Melody.
“Wajar dong, gue ada modal buat songong di depan elo.”
Tiba-tiba handphone Alfa berdering. Tanpa sengaja Melody melihat foto pemanggil di layar handphone cowok itu. Bibirnya mencebik otomatis.
“Iya, nanti habis kuliah jam kedua aku ke ruang dosen.”
Aku?
Hoho, senyum sinis kembali tercipta di bibir Melody. Aku dan Kamu, so sweet banget emang kalau di dengerin. Bukan “saya” padahal Melody jelas-jelas melihat lawan bicara Alfa saat ini, seorang dosen cantik berstatus janda.
Setelah menutup teleponnya, Alfa menatap ke wajah cantik di depannya yang sudah berusaha pasang mimik normal lagi. Gadis itu nggak mau raut jengkelnya menjadi bahan bullyan Alfa yang bisa saja mengira dia sedang merasa cemburu.
“Janji kencan lagi sama Si Janda?” sindir Melody yang bersiap berdiri hendak pergi karena kuliah akan di mulai sepuluh menit lagi.
Alfa tak menjawab, hanya saja dia segera ikut berdiri. Tanpa kata apapun dia kembali menggenggam telapak tangan Melody dan mengajaknya dengan paksa berjalan bergandengan menuju ruang kelas mereka.
Suit … suit …
Suara riuh menggoda dan banyak tatapan penuh arti menyambut kedatangan dua sejoli itu. Apalagi dengan sengaja Alfa memaksa Melody duduk di sampingnya. Tak dia hiraukan godaan dari teman-temannya. Melody pun malas bicara meski dia merasa sangat risih. Untungnya tak berapa lama kondisi tak mengenakkan itu terselamatkan dengan masuknya dosen ke kelas mereka. Suara riuh di kelas segera menghilang.
…
Dari dalam mobil, Melody kembali memperhatikan dua orang yang sedang bercengkrama di dekat mobil Alfa.Iya, Alfa dan Hesta. Melihat canda ringan mereka sebelum masuk ke mobil tak urung membuat Melody berdecih sebal.
"Bisa-bisanya cowok macam dia begitu genit deket-deket sama janda," dumel Melody seorang diri. Tak lama setelahnya, melihat mobil Alfa berjalan keluar parkir, Melody segera mengekor di belakang mereka. Namun pada akhirnya dia memutuskan tak jadi mengikuti mobil itu. Tak jauh dari kampus, Melody membelokkan mobil ke cafe sederhana namun aestetik tempat biasa dia nongkrong bareng Sisil. Ah, tanpa Sisil hidupnya terasa begitu hampa. Banyak cobaan batin yang harus sanggup di hadapi seorang diri.
Sambil menunggu pesanan datang, Melody asyik bermain game kesukaannya di handphone.
Ting.
Sebuah notifikasi pesan dari nomor tak di kenal muncul di layar handphone nya.
"Hai Melody, salam kenal," sapa pesan seseorang yang tidak Melody kenal. Gadis itu menimbang, perlu memberikan sebuah jawaban atau enggak. Sebentara di klik-nya foto profil seseorang itu. Hanya bergambar sebuah mobil ferrari berwarna bru. Feeling Melody mengatakan bahwa si pemberi pesan adalah seorang cowok. Karena kebetulan makanan dan minuman yang dia pesan sudah datang sehingga Melody mengabaikan sejenak pesan yang di terimanya. Meski pada akhirnya, sambil menyeruput minuman, sambil diam Melody mempertimbangkan untuk menjawab pesan itu.
Jiwa kepo dan juteknya tak tahan untuk mengabaikan pesan itu.
"Siapa, Lo? Darimana tahu nama gue?"
"Sori, gue cuma kenalan aja, kok."
"Sekalinya nggak ngomong sama gue, gue blokir nomor elo."
"Duh bener ternyata, ya, elo jutek."
"Badak bener emang seseorang ini, barusan berkirim pesan aja udah berani ngatain sifat gue," batin Melody.
Agak terasa panas dada Melody karena seseorang yang tidak dia kenal sudah seenaknya mengatakan kalau dia cewek jutek. Meskipun kata itu hampir bener, sih. Melody kembali menimbang, harus jawab pesan atau enggak. Tapi naluri tidak terimanya berkata dia wajib balas pesan itu.
"Eh, dari mana elo bisa ngatain jutek, gue nggak kenal elo, elo kenal gue?"
"Haha, lihat dari wajah kamu juga udah bisa ketebak sifat kamu."
"Wajah? Elo udah stalk tentang gue, ya?"
"Enggak mbak Melody Cinta, aku lihatnya dari wajah di poto profil kamu ini."
Melody mendelik heran begitu melihat jawaban si pemberi pesan yang sama sekali belum terdeteksi siapakah dia sebenarnya.
Kengangguran Melody membuatnya semakin keasyikan membalas pesan misterius itu.
"Eh badak, foto profil gue ini gambarnya Mickey Mouse, darimana lihat juteknya?"
"Haha...iyaya, aku ketauan bohongnya. Kenalin ya, Mel, nama gue Ansyara Perdana."
Tanpa Melody tanya seseorang yang benar berjenis kelamin cowok itu sudah menulis sendiri namanya.
"Gue belum nanya elo, Bad?"
"Aku ngasih tahu, Mel, biar kamu juga kenal aku. Ah ... ijin ya, kita gue elo dulu aja, ntar kalo lo dah mau deket sama gue baru aku kamu lagi, biar so sweet."
"Sesuka elo, Bad."
"Bad?"
"Badak ... "
"Astaga, elo jutek tapi lucu, ya. Makasih udah punya panggilan sayang buat gue, padahal nama gue Ansya."
"Mau Ansya atau Angsa gue nggak perduli, Bad."
Emot ketawa kiriman dari cowok yang mengaku bernama Ansya menghias layar chat handphone Melody. Mau nggak mau gadis itu tersenyum seorang diri. Ansya, cowok yang tetap sopan meskipun dia jutekin ternyata lumayan buat nemenin kesepiannya.
Melody diam sejenak, dia teringat rencana untuk merubah takdirnya yang kemarin dia bahas bersama Sisil, yaitu mulai membuka hati buat cowok. Bisa lewat sosmed atau dunia nyata. Pada akhirnya dia mengetik agak panjang yang tertuju untuk Ansya.
"Iya deh, Bad. Berhubung elo datang ke gue di waktu yang tepat, salam kenal juga. Elo udah tahu tentang gue, sedang gue kebalikannya. Elo wajib memperkenalkan diri elo lebih jelas lagi."
"Syukurlah, berarti perkenalan gue di terima, nih?"
"Di terima, dengan syarat elo jadi teman yang baik buat gue. Kalo elo nyebelin gue nggak segan blokir nomor elo."
"Siap Cinta."
"Cinta?"
"Mulai sekarang gue manggil elo, Cinta, tidak boleh di tolak."
Melody kembali tersenyum seorang diri.
"Terserah elo, karena itu juga nama gue sendiri, gue mau pulang sekarang. Bye."
"Bye."
Melody berniat memasukkan handphone ke tas nya ketika satu notif pesan kembali dia terima. Kali ini dari seseorang berjudul nama "Es Batu".
"Elo kemana aja nggak pulang-pulang?" pesan yang di tulis Alfa.
"Bukan urusan elo, gue lagi pacaran," jawab Melody dengan asal ketik.
Tanpa menunggu lama, panggilan dari Alfa segera menginterupsi langkah Melody.
"Elo lagi sama siapa?" tanya Alfa tanpa basa basi begitu Melody mengangkat teleponnya.
"Bukan urusan elo."
"Urusan gue karena elo cewek gue."
"Oh, kalau gue bilang gue lagi pacaran juga jadi urusan elo? Gue aja nggak ngurusin elo yang sibuk pacaran sama janda," ketus Melody.
"Elo pulang sekarang, gue ada di rumah elo."
"Mati gue kalau nggak segera pulang, bakal urusan lagi sama mama papa kalau si penjilat itu beraksi depan mereka lagi," dumel Melody dalam hati.
...
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Melody melenggang santai masuk rumah dengan lagak tanpa dosa. Padahal aslinya, jangan di tanya seberapa dag dig dug jantung ini saat membayangkan omelan panjang kedua orang tuanya nanti. Apalagi di garasi tadi sudah di lihatnya mobil papa bertengger dengan gagahnya. Jika sekedar beradu mulut dengan Alfa, semenjak acara kenal-kenalan kapan hari sudah menjadi hal biasa bagi Melody selayaknya iklan pemutih atau pengharum cucian yang tiap hari mondar mandir di layar televisi tanpa pernah mau mengerti pemirsanya pada pengin lihat atau enggak. Namun untuk menerima omelan panjang kedua orang tuanya, terlebih omelan papa, yang parahnya lagi bisa-bisa di bumbui fitnah si tukang jilat calon menantu kesayangan mereka itu benar-benar membuat nyali Melody menciut. Selain karena harus repot-repot menyiapkan jiwa dan raga mendengar omelan yang harus dia terima, mengingat sikap penjilat seorang Alfa yang suka berkata manis di depan o
Melody tersenyum seorang diri di bangku bawah pohon taman kampus. Tangan gadis itu sibuk memencet abjad-abjad di layar touchscreen handphone-nya. Di sebelahnya Sisil tak kalah sibuk, gadis itu asyik bertelepon ria dengan Kevin calon tunangan pujaan hatinya. Semakin mendekati acara pertunangan sepertinya mereka nampak semakin lengket. "Sil, elo yakin kan si Ansya ini bukan teman atau kenalan elo, dia bener-bener tahu banyak tentang kita, lho," jawil Melody pada sahabatnya yang baru saja mengakhiri acara berteleponnya. "Gue yakin banget, Mel. Sejak elo cerita kapan hari gue udah nyari info kemana-mana, ke teman-teman gue yang lain juga dan pada yakin nggak ada yang kenal dia." "Iya nih orang, akrab sama gue tapi kok misterius juga, ya?" "Di ajak video call sama ketemuan belum mau juga?" "Belum Sil, tapi gue nyaman aja, sih, pada dasarnya gue juga nggak ngebet banget pengin ketemu dia, terserah dia aja, orang dia yang datang ke gue." "But
Tiga hari berlalu dari permintaan Ansya. Setiap harinya mereka masih tetap berkomunikasi dengan baik, penuh dengan canda tawa dan perhatian yang manis dari Ansya untuk Melody. Melody belum berani memberikan keputusan untuk cowok itu. Dia sudah jujur pada hatinya sendiri bahwa dia menyukai Ansya. Sejujurnya juga ingin segera memberi jawaban "iya". Tapi keberadaan Alfa meski penuh dengan tingkah menyebalkan dan juga memikirkan hati orang tua mereka tetap menjadi pertimbangan yang utama. Di satu sisi, meskipun belum pernah bertemu, dia tidak mau asal menjawab sekedar untuk bersenang-senang saja. Melody tetap berusaha menghargai perasaan Ansya. Gadis itu selalu begitu, meski banyak hati yang dia tolak, tapi dia selalu berusaha untuk melakukannya dengan baik supaya tidak terlalu menyakiti hati orang itu. Bukan tanpa alasan, apalagi untuk seorang Ansya. Melody bisa merasakan dia cowok yang baik, kedekatan komunikasi mereka beberapa hari ini, pendekatan manis dari Ansya yang tanpa pa
Semilir angin memainkan rambut kecoklatan Melody. Gadis itu duduk santai di balkon kamarnya. Sejauh mata memandang nampak taman kesayangan mama yang segar bersih terawat, kolam ikan koi kesayangannya dan kolam renang tempat biasanya dia dan keluarga bersantai sekaligus berolah raga. "Jadi apa yang pengin elo bicarakan sama gue?" tanya Ansya di telepon mereka sore ini. "Sebelumnya gue minta maaf, Bad. Gue siap apapun yang bakal elo putusin ke gue setelah tahu semua tentang gue." "Iya, Cinta. Gue siap dengerin apapun yang mau elo sampaikan. Gue simak dulu. Sekarang elo bicara dulu aja biar gue sempat memikirkannya." Ini adalah acara bertelepon langsung mereka yang kedua dan kali ini Melody yang berinisiatif menelepon duluan meskipun berawal dengan rasa dag dig dug teleponnya bakal di terima atau enggak. Ada rasa adem dan tenang mendengar suara Ansya yang begitu sabar dan pengertian padanya. "Elo sekarang dimana? Gue ganggu nggak kalau ma
Melody duduk bersebelahan dengan Sisil yang setia menemani di aula gedung tempat di laksanakan presentasi final lomba karya ilmiah remaja. Total peserta ada 25 mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh universitas di kota mereka. Dari total peserta, empat orang adalah perwakilan dari almamater Melody. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan membuat bangga. Dari 25 peserta tersebut hanya akan di ambil enam orang pemenang yaitu juara 1 sampai dengan juara 3 dan juara harapan 1 sampai dengan juara harapan 3. Pemenang pertama otomatis akan mewakili universitas di kota mereka menuju persaingan nasional universitas se-Indonesia. “Nomor peserta sembilan, Melody Cinta Efenira Atma dari Universitas Saktya Jaya di persilahkan ke atas panggung.” Melody segera berdiri dari tempat duduk, menggenggam sejenak tangan sahabatnya yang mengangguk sambil tersenyum memberikan semangat. Menoleh sebentar ke arah dosen-dosen pendamping sekaligus ke teman-teman satu universitasnya. Senyuman dan ac
“Ayo dong, Ma, dandannya lama banget sih, ngalah-ngalahin gadis yang belum laku kawin,” celetuk Melody yang menunggui mama merias diri di kamarnya. Sudah ketiga kalinya gadis itu menengok ke kamar mama, dan akhirnya dia duduk di ranjang orang tuanya sengaja merecoki Meira yang belum selesai-selesai berdandan sejak tadi.“Aish, kamu nih, ya, sabar dikit dong ah. Ini lho wajah mama banyak kerutan, bikin nggak sempurna penampilan. Iya kalau kamu, pake make up gitu juga udah cantik banget, pasti nanti Alfa terpesona.”“Ngapain bawa-bawa nama Alfa sih, Ma. Emang dia bakal tahu secantik apa Melody malam ini?”“Ya pasti tahulah, kan nanti dia berangkat bareng kita.”“Hah, apa? Ogah ah, Ma, lagian dia nggak di undang tuh sama Sisil.”“Oh, ketahuan nih akhirnya, jangan-jangan Sisil nggak undang Alfa karena kamu, ya? Padahal semua teman sekelasnya katanya di undang, tapi kemarin
Melody mematut diri di depan cermin. Blouse pendek warna biru langit, celana jeans 7/8 warna putih, tas selempang kecil dan flat shoes putih menyempurnakan gaya santainya di minggu pagi ini. Seperti biasa, rambutnya yang tak terlalu panjang dia biarkan tergerai, kali ini sebuah jepit mungil dia sematkan di bagian samping antara rambut poninya, mempermanis tampilannya dan tampak semakin imut. Lipgloss tipis dia ulaskan di bibir pink alaminya, pun begitu dengan bedak tipis yang juga menyapu wajah cantiknya. Wajah putih dan bersih Melody sepertinya emang tak membutuhkan banyak polesan, apalagi karakter gadis itupun adalah type yang santai. Pesolek bukan, tapi di kata tomboi pun enggak. Simple, itulah keseharian Melody. Wajah oriental manadonya yang sedikit bergeser ke wajah gadis ala korea mungkin oleh-oleh dari ngidam Meira yang pada waktu hamil pengin banget pergi ke negeri gingseng yang penuh oppa-oppa cakep dan unnie-unnie cantik itu, namun tak kesampaian karena kondisi kesehatan p
Melody sedang bersenda gurau bersama Sisil dan beberapa teman sekelas mereka di koridor kelas karena jadwal kuliah hari ini batal di sebabkan dosen mereka sedang berhalangan hadir karena kecelakaan ketika menuju kampus untuk mengajar. “Nanti update kondisi Pak Krisna, ya, Dik. Kalau sudah boleh di kunjungi biar kita bisa segera jenguk,” saran Melody pada Dika ketua kelasnya. “Siap, Mel. Nanti gue cari info perkembangan kesehatan Pak Krisna, semoga beliau nggak terlalu parah lukanya.” “Aamiin … “ jawaban serentak Melody dan teman-temannya. “Ke kantin yuk, mumpung kita masih ngumpul di kampus bersama, sekali-kali ngantin bareng,” usul Chacha. “Kayak mau kemana aja, Lo,” ledek Sinta yang sebenarnya tiba-tiba merasa terharu. “Skripsi kita udah pada jalan gess … semoga semua lancar, nanti semester depan tiba-tiba udah ada yang lulus aja, jadi nggak bisa ngumpul kan kayak hari ini,” bela Chacha pada usulnya tadi. “Kok, elo bikin gue
Entah berapa jam Melody tak sadarkan diri dia tak mengetahuinya. Ketika matanya terbuka dia hanya menyadari bahwa kini sedang tidak berada di kamarnya. Sebentar memutar bola matanya hanya ruang kamar serba putih yang di lihatnya. Bau obat menyeruak ke indera penciumannya dan tepat di pergelangan tangannya dia merasakan ada rasa menekan dengan sedikit nyeri. Sebentar segera dia coba menggerakkan tangan dan mengangkatnya. Yang di lihatnya pertama kali adalah selang bening kecil, dan ternyata yang membuat pergelangan tangannya terasa tertekan dan nyeri adalah jarum yang menancap di situ, secara reflek Melody mendongak ke atas melihat kantong infus berisi tinggal separuh yang tergantung di situ. Perlahan ingatan Melody kembali, tentang bagaimana pada akhirnya dia bisa berada di sini. Tak salah lagi, ini adalah rumah sakit. Dengan gerakan lemahnya spontan dia mengelus perut ratanya yang sedikit masih terasa nyeri. Matanya memanas, entah kenapa dia merasakan kehilangan bahkan pada
Sebulan berlalu dari semua kejadian dan kisah tentang Bimo. Cowok itu akhirnya harus merasakan indahnya tinggal di dalam penjara, kasusnya cepat di putuskan karena banyak saksi dan diapun cukup kooperatif tak banyak perlawanan ataupun sanggahan atas tindak kejahatannya. Tak hanya kasus melukai Melody dan Alfa, dia terjerat juga kasus penggunaan narkotika. Di luar itu, ternyata Bimo juga terjerat kasus penggelapan uang perusahaan. Karena begitu urusan pekerjaan yang biasanya di pegang oleh Bimo di alih tangankan kepada orang lain nampak banyak kejanggalan pada laporan aliran keuangan. Terutama keuangan perusahaan Pak Edward yang masuk ke perusahaan Fendy Atma. Setelah di telusur lagi oleh tim forensik kepolisian, di temukan Bimo tak main sendiri, dia di bantu oleh Alisa, perempuan berstatus kekasih tersembunyi Bimo yang bekerja di bagian keuangan perusahaan Fendy Atma. Melody hanya menatap sedih gadis bernama Alisa yang sampai bersujud memohon ampun atas kesalahannya. Namun u
Melody telungkup di sisi ranjang tempat tubuh Alfa tak sadarkan diri. Sebentar pun dia tak mau meninggalkan lelaki yang sama sekali belum membuka mata semenjak kemarin di bawa ke rumah sakit, masuk ruang operasi sampai dengan di pindahkan ke ruang observasi khusus dengan campur tangan kekuasaan uang atas keinginan keluarga. Mimpi buruk seolah mengejar Melody setiap kali matanya terpejam, hingga menjadikannya bertahan berusaha membuka mata. Tangannya menggenggam erat tangan Alfa, doa tak henti dia panjatkan berharap tiba-tiba tangan itu bergerak balik menggenggam erat tangannya. Hampir dua puluh empat jam belum ada tanda-tanda bahwa Alfa akan tersadar, semua peralatan medis lengkap yang di butuhkan berada di kamar yang cukup luas ini.Meira, Nela, Fendy, Rudi, Boy, Rheiga, Sisil dan Kevin berjaga di luar. Bergantian mereka keluar masuk ruang berusaha membujuk Melody supaya bersedia untuk istirahat sejenak meredakan lelah dan setresnya. Tak henti meyakinkan gadis itu bahwa Alfa
Melody masih mengikuti langkah Bimo yang memperlakukan dirinya sebagai tawanan. Dirinya benar-benar tak habis fikir bagaimana seorang Bimo nekat melakukan kejahatan seperti ini di kondisi sekarang. Sama sekali tidak mempertimbangkan keadaan yang bisa saja tidak berpihak padanya. "Mas Bimo, sadarlah, tindakan Mas Bimo ini tidak benar, berbahaya," Melody masih berusaha bersikap baik menyadarkan cowok ini. Di apa-apain juga, selama bekerjasama dengannya dia selalu menampakkan sikap baik di depannya. Urusan sikap dia itu asli atau palsu, buat Melody saat ini tak jadi soal. Dia hanya ingin selamat dan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya dan Bimo, apalagi dengan tindakan-tindakan kekerasan. "Selama ini aku sudah berusaha bersikap benar tapi hal itu tak pernah nampak di mata dan hati kamu, Mel. Hari ini, nggak ada salahnya kan aku sekali berbuat tidak benar tapi pada akhirnya bisa memiliki hidup bersama kamu. Setelah ini kita akan menikmati indahnya surga dunia bersama, Me
Meeting di hari kedua lebih seru dari hari kemarin. Lebih banyak hal dan permasalahan di masing-masing grup yang di bahas pada hari ini selain dari perwakilan masing-masing grup yang harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kuartal satu. Dan tepat mulai jam tiga sore, beberapa kolega yang merupakan tamu undangan mulai di ikutkan masuk ke forum. Termasuk Pak Edward dan sesuai prediksi Alfa, Bimo nampak hadir juga saat ini. Semenjak seseorang yang sedang Alfa waspadai itu masuk ruang, tak hentinya mata cowok itu menatap tajam ke arah Bimo tanpa sungkan-sungkan lagi tak memikirkan apakah cowok itu akan merasa atau tidak jika ternyata sedang di lihatnya. Alfa sengaja memperhatikan setiap gerak gerik Bimo yang sering mencuri pandang ke arah Melody padahal saat ini gadisnya itu banyak diam karena di sesi ngobrol bersama kolega ini para peserta meeting lebih banyak berbincang dengan Pak Fendy selaku Presdir Fendy Atma Group. Setelah penuh dengan diskusi seru antara pes
Melody sedang berada di ruang kerja Fendy bersama Dista. Mereka membahas rencana meeting direksi kuartal pertama tahun ini yang biasanya di adakan dengan menginap di sebuah cottage atau hotel sekaligus untuk refreshing karyawan di sepertiga tahun pertama. Yang bertujuan untuk menjaga semangat kerja para pejabat perusahaan supaya tetap fresh dalam memimpin dan mempertahankan kinerja terbaik di masing-masing bagiannya. “Jadi gimana, Dis, budgetnya apakah sudah fixed semua?” tanya Fendy pada Dista. “Sudah, Pak. Tadi sudah saya serahkan kepada Alisa supaya di aturkan booking ball room beserta kamar-kamarnya,” jelas Dista. “Berapa total pesertanya nanti?” tanya Fendy selanjutnya. “Total 7 orang direktur di tambah 16 orang manager, Pak,” jawab Dista sambil melihat catatan anggaran budgetnya. “Baik, nanti hitungkan sekalian seperti biasa buat kita, kamu ajak putri dan suami kamu juga, kan? Kasian di tinggal sibuk terus sama kamu,” ujar Fendy sambil t
Begitu Melody menyusul Boy ke lantai dua, Rheiga segera berjalan ke arah kamar tamu yang terletak tak jauh dari ruang keluarga. Di sofa ruang keluarga tempat biasanya di pakai untuk nonton tivi bersama, nampak Alfa dan Hesta yang sedang duduk berdua. Rheiga menahan langkahnya dan berlindung di balik almari hias tempat pajangan pernak pernik koleksi Nela. Dari tempat itu terdengar jelas pembicaraan Hesta dan Alfa.“Al, kamu sungguh bisa maafin kesalahanku, kan?” rayu Hesta tak ubahnya gadis SMA yang mau di putuskan oleh pacarnya. Entah hilang kemana urat malu perempuan itu yang pada hari ini masih nekat untuk menemui lelaki yang kemarin jelas-jelas menolaknya.Alfa diam sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Al, aku mohon, aku tahu kamu marah sama aku, tapi aku tahu hatimu tak sejahat itu ke aku. Apapun yang kamu katakan ke aku di rumahku kemarin bagiku tak lebih dari emosi kamu saja,” lanjut Hesta dengan nada penuh hiba. Menu
Minggu pagi yang cerah. Rheiga dan Alfa sedang duduk santai di pinggir lapangan basket komplek perumahan Alfa. Pagi-pagi tadi Rheiga menyusulnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan jogging menikmati kebersamaan pertemanan mumpung Rheiga sedang tak ada job. Sesuatu hal langka yang terjadi pada Rheiga dan Alfa di hari minggu. Aktifitas pagi mereka awali dengan jogging dan berakhir di sport center komplek perumahan. Ikut tanding basket sebentar bersama klub lokal komplek yang kebetulan sedang menggelar latihan bersama. Sambil beristirahat mereka membahas beberapa hal dan terutama tentang kejadian yang masih hangat kemarin. Tentang Hesta dan Melody. "Jadi elo jalanin rencana sesuai obrolan kita kapan hari?" tanya Rheiga pada Alfa. "Iya, dan sepertinya dugaanku tak meleset jauh, Bimo nampak begitu gencar dan lebih antusias mendekati Melody. Gue hanya perlu menangkap basahnya saja sebagai bukti." "Yang penting elo dan Melody harus tetap hati-hati, kar
Semenjak insiden Alfa dan Hesta pada hari itu, sepertinya Bimo benar-benar merasa peluang untuk mendekati Melody lebih terbuka lagi. Seperti yang dia lihat untuk waktu saat ini, jika dulu hubungan Alfa dan Melody nampak begitu baik dengan hal nyata bahwa Alfa tak segan menunjukkan perhatiannya untuk Melody di depan publik, yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Mereka berdua nampak saling diam. Melody memasang sikap cueknya, nampak begitu acuh dengan Alfa. Pun begitu dengan Alfa, yang ikut mendiamkan Melody dengan tak banyak mengajaknya bicara. Hanya satu dua kata saja mereka nampak bertukar suara, dan itupun tentang kerja. Tak banyak yang tahu rencana mereka berdua, hanya Dista satu-satunya yang mengerti semua cerita tentang Melody. Itupun Melody sampaikan di luar jam kerja, ketika mereka memutuskan pulang kerja bersama dan shoping bersama. Jika saja Dista tak melihat kejadian di ruang Melody pagi harinya, mungkin dia pun termasuk dalam orang-orang yang tidak akan Melod