Ia memang duduk paling dekat dengan batu besar tempat sembunyi Jiu Long dan Gwangsin. Sekitar lima tongkat. Ia mendengar desah nafas muda-mudi, namun ia tak mau gegabah. Semua kawannya membaca tulisan itu, mereka memandang Dwixi. Rupanya dalam segala hal, ia yang memutuskan "Soal tanda itu, nanti saja kita tetapkan di tengah jalan. Kita tidak punya banyak waktu, ayo berangkat sekarang. Kakak Pancaxi kamu paling depan," katanya kepada lelaki yang menulis pesan.Semua bergerak ke kuda masing-masing. Pancaxi sambil menjawab, "Baik Kak” ia memutar tubuh, maju dua langkah, dua tangannya mendorong ke depan. Tiga gerakan hampir serempak. Tenaganya membanjir keluar dan menerpa batu. Batu besar terdorong membentur Jiu Long, dan Gwangsin yang terkejut karena tak menyangka akan diserang. Keduanya terjengkang kebelakang. Pancaxi tidak berhenti sampai di situ. Ia merangkak maju. Dua tangannya mencengkeram pundak dan tengkuk Jiu Long.Jiu Long merasa angin tajam mengiris kulitnya. Dalam keadaan bia
Keduanya melakukan perjalanan cepat ke Lembah Buah Persik.Gwangsin sebagai penunjuk jalan berpatokan pada matahari. Mereka beristirahat hanya waktu siang untuk makan. Gwangsin menangkap ayam hutan dan memanggang. Keduanya makan lahap. Tanpa istirahat lagi mereka melanjutkan perjalanan.Hari sudah senja, mereka tiba di bagian hutan pepohonan jati. Ketika Gwangsin sedang mencari-cari tempat yang layak untuk bermalam, dia mendengar suara keluhan. Ia menoleh, ternyata Jiu Long sudah terbaring di tanah. Lelaki itu terjatuh dari kudanya. Dia terkesiap mendapatkan Jiu Long menggigil hebat. Ia menghampiri. "Jiu Long kenapa kamu?"Jiu Long tak kuasa menjawab. Bibirnya gemetar. Butiran keringat membasahi wajahnya yang pucat pasi Tampak ia sangat kesakitan. Gwangsin ingat akan ancaman Kumarawet. "Rupanya Racun Ular Salju mulai bekerja," kata gadis itu.Gwangsin hendak menolong, tetapi mendadak saja ia merasa seperti ribuan semut merambat dalam tubuhnya. Ra
"Kau berbudi, karena kau tidak jijik malah menolong gadis buruk rupa bekas penderita cacar yang mengalami kesulitan. Kamu bermoral, karena mau jujur mengatakan kamu sudah punya kekasih, kau tidak membohongi aku. Eh, siapa nama gadis kekasihmu itu?""Jen Ting. Aku mencintainya, aku berduka karena aku bakal mati tanpa bertemu lagi dengan dia.""Apakah dia mencintaimu?""Ya dia mencintaiku seperti aku mencintainya.""Lalu, kenapa dia meninggalkan kamu?""Bagaimana kamu tahu dia yang pergi meninggalkan aku bukan sebaliknya?"Gwangsin tertawa, suaranya merdu "Aku menerka asalan saja, kenapa dia pergi, apa katanya?""Ia ingin sendiri, katanya dia ingin memikirkan hubungannya dengan aku.""Perempuan bodoh.""Eh, kau jangan mengatainya bodoh, dia gadis yang cerdas sama seperti kamu""Boleh saja dia cerdas, tetapi dia tetap bodoh, karena apa? Karena melepas sesuatu yang sudah dalam genggaman. Kalau dia sudah yakin bahwa ka
"Kau jangan mengatai dia bodoh."Gwangsin tertawa. "Baiklah aku berjanji tidak akan mengatainya bodoh lagi.""Lantas mau apa kamu ketemu dia?""Mau menasehati dia supaya berpikir cerdas, berpikir sederhana saja dan jangan berpikir njelimet. Eh, kau tadi mengatakan ia lebih tua dari kamu, tentu ia cantik.""Ia memang lebih tua usia, tetapi ilmu yang dipelajarinya membuat ia tampak muda, sama seperti gadis remaja. Dan sangat cantik.""Kamu sudah menidurinya?"Jiu Long mengangguk. "Berulang-ulang, tak pernah bosan.""Jiu Long, coba kau bayangkan, seandainya wajah dan tubuhku bersih dan mulus tanpa ada bercak cacar, apakah aku secantik Jen Ting?"Jiu Long memandang Gwangsin di keremangan cahaya api unggun yang makin meredup. "Kamu cantik, Gwangsin. Tetapi aku mencintai Jen Ting."Gwangsin menelungkup di atas tubuh Jiu Long. "Kamu teruslah mencintai Jen Ting, aku tak akan menghalangimu. Aku tetap mencintaimu dan aku sudah bah
Gwangsin memacu kudanya, memburu waktu, ia harus tiba secepatnya sebelum racun ular itu menyerang lagi. Perjalanan jauh. Ketika matahari mulai tergelincir ke barat, Gwangsin berteriak gembira. Ia memeluk kekasihnya, "Jiu Long, kamu lihat, itu dia Lembah Buah Persik. Sebaiknya kita ganti kuda, supaya bisa lebih cepat"Gwangsin melompat turun. Tetapi berbarengan saat itu racun menyerangnya, ia jatuh bergulingan. Ia menjerit. Jiu Long terkejut, melompat dari kuda ingin menolong Gwangsin.Tetapi lantaran tak lagi punya tenaga yang cukup, Jiu Long pun jatuh bergulingan. Jiu Long merangkak mendekati Gwangsin. Ia memeluk gadis itu yang berontak kesakitan. Tak tahu harus berbuat apa, Jiu Long menyodorkan tangan ke mulut Gwangsin. Tanpa sadar Gwangsin menggigit tangan Jiu Long, ia menggigit sekeras-kerasnya. Jiu Long meringis kesakitan, tetapi ia diam tak bersuara. Ternyata dengan menggigit itu Gwangsin bisa bertahan dari rasa sakit.Tidak lama kemudian gadis itu sadar,
Matahari pagi mulai mengintip dari arah timur, Gwangsin mencubit lengan kekasihnya. "Aku sudah bilang, tak kuijinkan kamu mati, kita sudah sampai di rumahku, nenek pasti bisa mengobatimu, jika dia tak sanggup maka tak seorang pun di kolong langit ini yang bisa menyembuhkanmu"Keduanya bergegas mengenakan pakaian, kemudian melangkah masuk ke dalam pepohonan Buah Persik. Gwangsin melangkah hati-hati, tangannya menuntun tangan Jiu Long dan menghitung langkahnya. Ia melangkah ke kiri, sebentar ke kanan. Terkadang mundur lantas maju lagi. Terkadang berhenti, berpikir sejenak lalu melangkah lagi.Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah tua di tengah Hutan Buah Persik. Rumah berada di tengah kolam yang airnya kehijauan dihiasi banyak bunga teratai. Tak ada jembatanTerdengar suara dari dalam rumah. "Bocah nakal, akhirnya kamu pulang juga, siapa yang kamu bawa?""Namanya Jiu Long, kami berdua kena racun ganas, Racun Ular Salju."Gwangsin belum sele
Dia menghampiri Jiu Long, memukul pelan, Jiu Long jatuh pingsan.Gwangsin berteriak, terkejut. Dewi Obat tertawa, "Dia cuma pingsan supaya aku leluasa memeriksa." Dia meraba nadi, dada dan punggung. Wajahnya memucatIa menjauh dari Jiu Long. Ia kembali mendekat, memeriksa mata, telinga, hidung dan mulut Jiu Long. "Gila, ini tak mungkin!" Ia menempelkan telinga di dada Jiu Long. Matanya berkejap-kejap, menatap langit. Ia menggeleng kepala. "Mana bisa ada kejadian seperti ini. Dia sudah kehilangan seluruh tenaga cadangan, tapi aneh dia tidak mati!"Setelah memeriksa, Dewi Obat menyadarkan Jiu Long, menanyakan asal kejadiannya mendapat luka separah itu. Jiu Long menceritakan seluruhnya. Dewi Obat diam tak bersuara, keningnya berkerut. Ia berpikir keras. Dalam hati, ia tidak yakin bisa menyembuhkan Jiu Long."Akan kutolong sebisanya, kelihatannya lukamu sangat parah. Kamu dihantam pukulan dingin yang merasuk sampai di bagian paling dalam tubuhmu. Sulit disemb
Dewi Obat batuk-batuk kecil, "Benar kata orang, di atas langit masih ada langit lain, kupikir dengan ilmu pengobatanku tidak ada suatu penyakit pun yang tak bisa kutaklukkan. Tapi hari ini aku harus mengakui kenyataan pahit, aku tak mampu menyembuhkan lukamu, aku cuma bisa memperpanjang usiamu”Gwangsin menyela, "Nek”Dewi Obat mengangkat tangan. "Gwangsin jangan potong bicaraku. Semua yang terjadi sudah terjadi, aku juga manusia biasa, kemampuanku terbatas. Racun Ular Salju sudah punah, tetapi luka dingin pukulan Zhang Ma masih menguasai jalan darah bahkan merasuk sampai ke tulang. Tak ada lagi daya yang bisa kukerjakan untuk menolongmu, anak muda. Racun dingin Zhang Ma itu sudah merasuk jauh ke seluruh bagian tubuhmu, dengan ramuan yang kuberikan nanti, kamu bisa bertahan hidup sampai satu bulan lagi."Selama empat hari di Lembah Buah Persik, Jiu Long merasa banyak baikan. Ia kini lebih kuat "Dewi Obat, aku berhutang budi padamu, tadinya u
Perempuan itu tampak cantik luar biasa, mataya berbinar- binar dan mulutnya merah merekah. Jiu Long tiba-tiba saja bergairah, ia memberi isyarat pada isterinya. Mayleen menggeleng. "Tak lama lagi kamu sudah harus bertarung, mana sempat lagi. Jiu Long kamu harus bertarung sungguh-sungguh supaya ibu bisa menetap bersama kita, kamu harus menang.""Kamu membela siapa, ayahmu atau suamimu?""Aku membela kamu suamiku, sebab jika kamu menang, aku tidak perlu pulang ke Himalaya selama-lamanya dan ibu bisa menemani kita sampai aku dan Gwangsin melahirkan. Kamu tahu Jiu Long, terkadang aku takut memikirkan saat melahirkan nanti, pasti sakit. Aku akan bahagia jika ibu ada di sampingku. Makanya kamu harus menang."Tidak lama berselang senja pun tiba. Seluruh anggota keluarga hadir, nonton di tepian danau. Tak seorang pun ketinggalan, termasuk Gan Nung, Gan Ning dan keluarga serta murid Partai Naga Emas.Yudistira melangkah santai di atas permukaan danau. Kakinya mela
"Boleh saja. Tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa mengalahkan aku dalam pertarungan seru, bagaimana bagus kan syaratnya?"Jiu Long terkejut, apalagi Mayleen. Keduanya berdiri dan memandang dua orangtua itu. "Ayah, apakah aku tidak salah dengar?"Yudistira menjelaskan pertarungan tersebut merupakan bagian dari janjinya pada ayahnya, pendekar Himalaya, Takadagawe. Bagaimanapun juga janji itu harus disempurnakan."Kamu mewakili kakek gurumu, Sun Jian dan aku mewakili ayahku, Takadagawe. Kita tarung, jika kamu menang maka aku akan menetap di sini bersama istriku sampai Mayleen dan Gwangsin melahirkan. Jika aku menang, aku akan tentukan apa yang kumau dan kamu sekeluarga tak boleh ingkar. Aku pikir ini cukup adil.""Tidak bisa begitu, bagaimana mungkin aku harus tarung melawan ayah mertua sendiri, tidak mungkin.""Kamu tidak bisa menghindar, Jiu Long. Ini bagian dari hidup yang sudah kamu jalani, dan bagian dari hidupku juga. Kita bertarung hanya sebat
Mendadak saja muncul Yudistira dan Satyawati "Ada kejadian apa? Siapa dua gadis cantik ini?" tanya Satyawati sambil mengamati Hwang Mi Hee dan Jia Li. "Oh kalau kamu, aku pernah melihatmu di Putuo," sambil ia menunjuk Hwang Mi Hee.Jiu Long diam serba salah. Jia Li yang lugu dan berani, menjawab meski sedikit malu-malu, "Kami adalah selir kak Jiu Long."Satyawati terkejut, menutup mulutnya dengan tangan. Tetapi sebelum ibu dan ayahnya mengucap sepatah kata, Mayleen berkata dalam bahasa Himalaya. "Ayah, ibu, aku setuju suamiku mengambil selir. Aku dan Gwangsin berdua tidak mampu melayaninya. Ayah tahu hampir setiap malam bahkan siang juga, suamiku maunya bercinta. Lagipula Jiu Long, Gwangsin dan aku sudah memberitahu mereka, kami berdua adalah isteri sedang mereka berdua hanya selir atau pembantu. Apalagi sekarang aku dan Gwangsin sedang hamil, sudah tentu kami bagaikan permaisuri yang harus dilayani. Sekarang ibu dan ayah mengerti?"Satyawati mengiyakan. "Kamu c
Jiu Long berdiri dan menghampiri. Ia memberi hormat dengan menyentuh ujung kaki ayah mertuanya. Yudistira tertawa. Satyawati berdiri di sampingnya ikut tertawa. "Entah sudah berapa kali ia tertawa hari ini, perubahan yang luar biasa," gumam isterinya dalam hati.Sebelah tangan Yudistira memeluk Mayleen, tangan lainnya merangkul Jiu Long. Suara Mayleen terdengar riang, "Ayah, apakah suamiku sudah boleh Memanggil ayah mertua kepadamu?"Yudistira tertawa. "Jiu Long, pergilah memberi hormat pada ibu mertua dan kakak-kakak iparmu"Setelah memberi hormat dan menyalami keluarga isterinya, Jiu Long menghampiri isterinya. Mayleen melompat dan merangkul suaminya. "Aku bahagia sekarang, semua beres. Tak ada lagi ganjalan dalam hatiku, tak ada gundah, tak ada ketakutan, semua sudah selesai dan sesuai keinginanku." Suara Mayleen mesra. Kemudian dia lari menghambur memeluk Gwangsin. "Terimakasih kakak, kamu sudah banyak membantu aku."Keluarga besar itu berangkat kemba
Yudistira berkata dingin, "Kamu pintar bicara, apakah kamu sungguh-sungguh mau berkorban jiwa untuk isterimu?""Aku bersungguh-sungguh, aku tak akan melawan, seharusnya aku bunuh diri tetapi aku enggan melakukan perbuatan kaum pengecut. Aku bukan pengecut, aku laki-laki sejati. Inilah jalan yang kupilih, sebagai tanda cintaku kepada putrimu. Tetapi sebagai permohonan terakhir aku minta isteriku dibebaskan dari hukuman, sayangilah dia, cintailah dia." Jiu Long tersenyum pahit.Satyawati dan seluruh keluarga diam terpaku. Keringat dingin. Yudistira menoleh pada putrinya."Kamu mau bicara, bicaralah."Perempuan itu duduk bersanding suaminya, dia merangkul erat lengan suaminya. "Ayah, ibu dan kakak juga kakak ipar, aku ibarat Xionglue yang mencintai suaminya tanpa pamrih. Dalam hidup ini hanya satu kali aku dipilih dan memilih. Aku sudah tentukan pilihanku, dan aku tidak akan bergeser dari pilihanku. Jadi jika ayah membunuh suamiku, maka harus membunuh aku ju
Yudistira mendengar semua perkataan Jiu Long, ia tak begitu heran. Sesungguhnya dia tak pernah mengira Jiu Long bisa mengalahkan Wasudeva. Bukankah tadi, beberapa pukulan Wasudeva telak menerpa tubuhnya. Dia masih terpukau dengan jurus yang dimainkan Jiu Long, jurus yang mampu menciptakan pusaran angin topan dingin dan yang terasa sampai radius beberapa tongkat.Ayah Mayleen ini merasa kagum "Ilmu anak muda ini biasa saja, tetapi tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat kelas utama. Bagaimana mungkin seorang yang masih muda bisa memiliki tenaga dalam setinggi itu. Waktu aku seusia dia, tenaga dalamku tak sehebat dia," katanya dalam hati.Pada waktu itu, sang nakhoda perahu menghampiri Mayleen yang masih duduk di sisi suaminya. Ia membungkuk memberi hormat."Nona yang mulia, kami sudah terdesak waktu, harus berangkai secepatnya demi menghindari angin topan di laut dekat Malaka. Jika tidak berangkat hari ini, kami harus menunda tujuh hari dan semua pedagang ini akan
Memang benar adanya, pikiran Jiu Long terganggu. Beberapa jurus berikutnya, dua pukulan menerpa dada dan pundaknya. Wasudeva berteriak, "Mampus kamu" Wasudeva menambah bobot serangan sambil berkata tajam, "Mayleen akan kupaksa melahirkan anak-anakku, ia kuperkosa dengan kasar setiap hari, tak pernah berhenti dan kamu akan menyaksikan itu dari dalam kuburanmu" Teringat akan sifat angin yang bisa melenyapkan suara apa saja, Jiu Long sadar bahwa dia tidak boleh membiarkan tenaga suara lawan mengganggunya. Dia kemudian meredam suara keras di telinganya dengan mendengarkan desir angin sepoi, "dengarlah suara angin, suara keindahan alam, suara dari alam kemerdekaan."Dia berhasil menetralisir tekanan dan magis sihir suara lawannya. Meskipun demikian dia tetap menangkap kata-kata tajam Wasudeva yang menghina isterinya. Ungkapan jorok dan kasar lawannya itu telah mendorong amarahnya melewati puncak kesabaran.Dalam marahnya secara spontan Jiu Long memutar tubuh bagai gasing, g
"Terimakasih atas kemurahan hati paduka tuan, hamba yang rendah hanya butuh sedikit waktu untuk menghilangkan capek." Dia kemudian memainkan empat posisi semadi Angin Es dan Api. Dalam sekejap, uap tipis melayang di atas kepalanya. Hanya dalam waktu yang sangat singkat Jiu Long sudah siap. "Pendekar Wasudeva yang terhormat, silahkan tuan memilih tempat pertarungan."Tenaga dalam Jiu Long sudah pulih seperti sediakala. Ia tidak terluka parah. Hanya kena guncangan yang tidak terlalu berbahaya. Ketika pukulan menerpa pundaknya, saat itu juga tenaga Angin Es dan Api yang melapisi tubuh Jiu Long telah memunahkan sebagian besar pukulan lawan. Itu sebab dia hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan diri.Tadi ketika darah menetes dari ujung mulut Jiu Long, tangan Mayleen dingin, basah dan berkeringat. Sekarang wanita cantik itu tampak tenang, dia percaya kekasihnya akan menyelesaikan kemelut persoalan keluarganya.Yudistira merasa heran bercampur kag
Jiu Long terkesiap. Jurus lawan itu aneh, pukulan yang mengarah ke kiri mendadak bisa berubah ke kanan, atas menjadi bawah dan sebaliknya. Saat itu Jiu Long masih dalam pemulihan tenaga. Ia bergerak pesat, mengelak jika tahu diri terancam, merunduk dan melompat untuk menghindar, geraknya tidak leluasa karena tenaganya belum pulih. Tendangan Wasudeva menerpa pahanya dan jiwanya kini terancam jurus lawan yang mengarah titik kematian. Dia teringat pesan Sepuh, "jika terdesak, tangkis dan balas menyerang. Jangan bertahan, karena menyerang adalah lebih menguntungkan."Dan Jiu Long tak lagi mengelak, ia balas menyerang. Serangan lawan dibalas serangan. Jiu Long bergerak bagai pusaran, tangan membuat lingkaran, tubuhnya ikut berputar seperti gaya menari.Tujuh kali terdengar bentrokan tangan. Wasudeva merasa pukulannya membentur tembok yang bersifat membal. Dia heran bagaimana mungkin seorang yang sudah terluka tenaga dalamnya masih punya tenaga sehebat itu. Hal ini membuat d