Sayembara babak kedua selesai tepat ketika matahari condong ke arah barat. 25 orang peserta sudah memastikan dirinya ke tahap tiga, sementara sisanya harus kembali mencoba peruntungan tahun depan, sembari berharap mereka akan di lirik para Tetua untuk menjadi anak didiknya dan bergabung di Sekte Naga Putih. "25 orang itu sudah pasti akan di pilih menjadi murid oleh para Tetua, hanya tinggal menentukan siapa yang terbaik di antara mereka, serta melihat sebesar apa potensi mereka untuk menjadi pendekar ... " Ucap Abinawa. Sejak di mulainya sayembara, Abinawa sudah menarik minat pada sosok Arya Dwi Raga. Tepat setelah sayembara selesai, Abinawa langsung bergegas mencari keberadaan dari Arya. Dia merasa sosok Arya ini memiliki latar belakang yang tidak biasa karena memiliki kemampuan yang tidak biasa. "Ah, itu dia ... " Abinawa mempercepat langkahnya ke arah salah satu bangunan yang di fungsikan untuk tempat istirahat bagi peserta dan penonton. "Namamu Arya bukan?" Tanya Abinawa. Pemu
Ini Chapter 146. Kemarin ada kesalahan sistemnya kebalik chapter.Hari berganti dengan cepat, suasana Sekte Naga Putih mulai membaik. Semua orang sudah mulai melupakan kejadian dan tragedi besar beberapa waktu yang lalu, selain itu mereka juga sudah mempersiapkan tempat dan meja antrian untuk yang ingin mendaftarkan diri pada kegiatan sayembara penjaringan murid baru di Sekte Naga Putih.Tepat di depan gerbang utama, antrian panjang sudah tercipta sejak pagi-pagi sekali. Antuasias anak-anak Kota Sungai Putih dan sekitarnya untuk mengikuti sayembara ini sangatlah tinggi. Banyak dari mereka yang sudah ikut di tahun-tahun sebelumnya, tetapi gagal kembali ingin mencoba peruntungan, dengan tekad baru dan semangat baru pula.Syak Lanar yang berdiri di salah satu bangunan sekte, tampak tersenyum tipis. Syak Lanar merasa kekuatan yang hilang akan segera terganti andai mereka berhasil menghimpun kekuatan baru dari para peserta yang memenuhi antrian itu."Tetua, ini sangat luar biasa... Antusia
Sumbayu lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan pribadinya. Dia yang selama ini hidup sendiri dan jauh dari keramaian, masih terasa sulit untuk bersosialisasi.Sumbayu hanya beberapa kali saja terlihat meninggalkan ruangannya, hanya sekedar untuk mengisi perutnya yang sudah terasa kosong. "Sumbayu, ku lihat kau lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Mengapa tidak bergabung bersama yang lain atau sekedar menikmati sayembara?" Tanya Abinawa yang sudah tiba sejak berusia menit yang lalu.Abinawa memang langsung mengunjungi Sumbayu setelah pertemuannya dengan Arya."Aku hanya belum terbiasa ... Dan, aku juga sedang mempelajari hal-hal baru mengenai dunia persilatan," jawab Sumbayu singkat."Haha, kau mulai tertarik sepertinya dengan dunia persilatan, Bayu."Sumbayu menggeleng."Keadaan yang memaksa diriku untuk terjun ke dunia persilatan, selain itu keadaan juga memaksaku untuk mempelajarinya, karena di dunia persilatan hanya yang berkekuatan yang berhak memutuskan...
Seorang laki-laki bergerak dengan kecepatan tinggi menembus hutan di kaki Gunung Amarasa, laki-laki itu terus bergerak menuju lembah paling dalam di Gunung Amarasa.Jika di lihat dari kecepatan yang di miliki laki-laki itu, laki-laki itu jelas seorang pendekar yang memiliki kemampuan tinggi. Sangking cepatnya gerakan laki-laki itu, tupai dan hewan lainnya tidak sadar jika dirinya baru saja melintas.Laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang tua yang di balut lumut itu."Kau sudah kembali, Komandan Aksa," ucap salah seorang yang bertugas berjaga di depan gerbang utama itu.Laki-laki itu adalah Aksa, salah satu komandon yang di miliki oleh Elang Hitam, salah satu kelompok aliran hitam yang menghilang selama beberapa tahun belakangan. Tidak ada yang mengetahui alasan Elang Hitam menutup diri dan menghilang dari dunia persilatan secara pasti, akan tetapi banyak yang berpendapat jika salah satunya adalah kehilangan banyak kekuatan di kala pertempuran besar."Bawa aku ber
Kota Angin Selatan menjadi tempat pertama yang di datangi oleh kelompok Elang Hitam. Selain jarak kota ini dengan Gunung Amarasa tidak terlalu jauh, Kota Angin Selatan juga hanya di lindungi sekte menengah yang tidak memiliki kekuatan terlalu besar, sehingga dapat dengan mudah di lumpuhkan oleh para pendekar Elang Hitam dan menguasai kota itu dengan cepat. "Ampun tuan pendekar, kalian boleh mengambil semua harta dan menjadi penguasa kota ini, tetapi tolong biarkan aku dan keluargaku hidup," pinta Wali Kota itu sambil bersujud di kaki Dwi Pangga. "Membiarkanmu pergi? Aku tidak keberatan, tetapi untuk putrimu, aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja," ucap Dwi Pangga. Wali Kota itu langsung berkeringat dingin dan tubuhnya pun bergetar hebat. Dia jelas menyadari jika bukan perkara mudah meminta para perampok ini untuk melepaskan putrinya. "Tuan, aku rela memberikan semua hartaku untuk kalian, tapi tolong jangan untuk putriku," Wali Kota itu bersujud di hadapan Dwi Pangga. Bu
Ayundia menghabiskan bertahun-tahun untuk terus berlatih agar dapat menjadi kuat dan melindungi orang-orang yang di saingi. Satu yang terpenting, dia tidak ingin menjadi beban bagi orang lain lagi. Tragedi pertempuran beberapa tahun silam benar-benar membekas di ingatannya.Ayundia terus bertambah kuat setiap harinya, bahkan dia benar-benar sudah melampaui kemampuan para pendekar yang berusia sama dengan dirinya.Bukan hanya itu, seni berpedangnya pun meningkat drastis. Banyak yang yakin jika pewaris Sage pedang sesungguhnya adalah keturunan Sentika itu sendiri.Bahkan, beberapa waktu terakhir seluruh penjuru sekte di kejutkan dengan keberhasilan Ayundia menembus tingkatan pendekar suci di usianya yang masih sangat muda."Selamat Tetua, adik Ayundia benar-benar mewarisi bakat dirimu, aku yakin dia akan mampu melampaui pancapaianmu saat ini,""Luar biasa, aku yakin adik Ayundia akan membawa sekte kita mencapai puncak kejayaan," "Kau memiliki putri yang luar biasa, Tetua," Selama bebe
Tetua Warna, Candra, dan Kara tertegun dan melongo. Mereka bertiga kompak meneguk ludahnya dengan sulit saat menemukan aula utama yang di maksud murid tadi."Apa kalian tidak salah bangunan?" Tanya Tetua Warna.Murid itu menggeleng dengan pelan."Tidak, bangunan di depan ini memang aula utama Pulau Es Utara,""Ini bak istana," ucap Kara.Aula utama Pulau Es Utara di bangun cukup dekat dengan dermaga, agar memudahkan tamu untuk berkunjung dan melakukan jamuan. Selain itu, aula utama juga di bangun dengan sangat megah, bahkan kemegahan aula utama ini membuatnya terlihat seperti sebuah istana.Kemegahan aula utama Pulau Es Utara selalu membuat para tamu yang pertama kali berkunjung terperangah. Aula utama itu memang di bangun sebagai simbol kemakmuran Pulau Es Utara, sekaligus menunjukkan pada dunia jika mereka memiliki kekuasaan penuh atas pulau es ini.Selain aula utama, bangunan yang berdiri di samping aula itu juga di bangun sangat mewah dengan arsitektur unik yang tidak pernah di te
"Ayun, kau bisa mengajak Chandra dan Kara berkeliling Pulau Es Utara bukan? Sayang sekali jika mereka tidak menikmati keindahan pulau es setelah berkunjung kemari," Perintah Sentika."Baik ayah," balas Ayundia."Candra, Kara mari ikut denganku. Aku akan mengajak kalian berkeliling pulau es," ajak Ayundia.Candra dan Kara mengangguk, mereka tentu paham jika para Tetua akan membicarakan hal yang serius dan mereka tidak bisa ikut di dalamnya.Setelah kepergian Ayundia, Candra, dan Kara. Raut wajah Sentika menjadi lebih serius, bahkan dia tanpa sadar melepaskan hawa bertarungnya."Sentika, tahan dirimu... " Perintah Astika.Sentika tersenyum tipis, dia lantas menarik kembali aura bertarungnya itu."Aku sangat menghargai keinginan Ketua Dawan untuk menjadikan putriku sebagai menantunya, akan tetapi cara kalian sangat salah.Apa kalian pikir kami takut dengan ancaman kalian akan menyerang Pulau Es Utara jika kami menolak keinginan kalian? Aku bisa saja menghabisi kalian bertiga di tempat in