~Mereka mulai memperjuangkan cinta masing-masing. Memiliki cinta sedarah namun tak pelak saling menguatkan untuk mendapat restu kedua orang tua. Siapa sangka ketika cinta mereka diuji, saling menyalahkan yang ada~
***
"Bruno yang mencintai Amanda." Kata Ibu Roy beberapa menit sejenak termenung."Apa dia masih hidup?"
"Itu yang menjadi pertanyaanku, dimana dia selama ini? Bruno dan Roy menghilang entah kemana."
Alifa mengumpama pernyataan Ibu Roy jika Roy membawa kabur Bruno karena dia telah merebut Amanda. Padahal, dia tidak mencintai Arafa. Mungkin saja Roy yang menyembunyikan Bruno selama ini karena ia memiliki dendam padanya. Ia lebih mencintai Amanda ketimbang Arafa. Begitu asumsi Alifa mengenai keterangan Ibunya.
Selebihnya ia akan menanyakan langsung pada Roy dan Amanda. Jika memang benar, ia tak menyan
~Wajah tak berartinya membuktikan cinta. Kebiasaan yang menjunjung tinggi pada siapa sebenarnya dia bercinta~ ***Arafa menatapnya berpendar apakah pria yang di depan matanya adalah Roy atau bukan. Ia mendekat dan Juna tak bisa bergerak. Membeku entah apa yang harus ia lakukan. Untung saja Amanda tertidur pulas. Padahal, ia ingin mencari udara sekedar mencari sesuatu untuk Amanda. Tidak tahu bakal seperti ini."Roy, kenapa kau memakai seragam pasien? Kau sakit?" Arafa mengamati dalam-dalam wajah Juna."Emmm...." Juna masih memikirkan alasan."Bukankah tadi siang baru saja kau menemaniku sekarang kau ke ruang icu. Apa kau mengalami kecelakaan?" Arafa bertubi-tubi menerkanya. Juna tertunduk masih terpekur."Iya, sayang. Tadi sore aku mau membelikanmu boneka terus aku kecelakaan." Kata J
~Cinta yang kita bina selama itu, akan terasa hambar ketika wajah yang ada didekat kita bukan pemilik hatinya~ ***Mereka bertatap mata nanar. Hari apa ini sehingga ia bisa keliru dengan pasangannya. Juna takut dengan keadaan Amanda di restoran. Ia tak mungkin lari karena Arafa sudah mengetahui keberadaannya."Aku ke toilet dulu ya? Kau tunggu disini." Kata Juna berdalih dan keluar dari taksi. Mengedarkan pandangannya ke arah rumah sakit. Mungkin, Roy masih di ruang icu. Saat dia memasuki ruang icu, nyatanya dia tidak disana. Juna panik. Bagaimana perasaannya jika mengetahui dirinya sekarang bersama Arafa. Ia menelpon juga tidak mungkin karena ponselnya ketinggalan di rumah Amanda. Bagaimana kalau Amanda tersesat? Kepanikan bertubi-tubi mengelilingi hati dan pikirannya. Ia kembali ke mobil dengan muka masam.
~Meluangkan waktu untuk berduaan dengan kekasih adalah impian indah yang segera diwujudkan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kata nanti hanyalah membuang waktu saja bagi para pujangga~ ***Juna dan Roy gelagapan panik mencari persembunyian. Alifa mencoba membuka gerbang ternyata tidak dikunci. Ia main masuk saja ke dalam. Mereka tambah panik mendengar aba-aba Amanda yang mengatakan kalau Alifa sekarang sudah di depan pintu."Kita tukar baju saja." Roy tak berpikir jernih. Mereka tanpa malu melepas baju di depan Amanda."Hey, kalian ngapain?" Amanda sontak menutup matanya.Suara bel pintu berbunyi. Mereka makin tidak masuk akal karena paniknya."Buka celanamu!!" Perintah Roy."Hey, aku cewek!!!" Teriak Amanda sampai terdengar Alifa. Ia jadi tercengang dan i
~Malam penuh kemesraan yang diidamkan hancur karena mengorbankan satu pasangan~ ***"Ria? Siapa ria itu?" Roy bertanya dengan muka herannya."Kak Ria itu teman Kak Manda. Rekan kerjanya."Roy mengangguk pelan. Bayangan wajah Juna tiba-tiba terlintas. Wajah cantik namun posturnya bukan porsinya."Bagaimana kak Manda? Sekarang, kau hubungi kak Ria biar nanti dinnernya tidak kemalaman," kata Arafa memerintahkan Amanda. Ia ragu melakukannya serta kasihan dengan keadaan Juna yang baru keluar dari rumah sakit tinggal di kos-kosan sendirian. Ia terpaksa menghubungi Juna lewat pesan whatsapp. Ia mengirim pesan kepada Juna agar nanti malam pergi kencan.Di seberang sana, dering ponsel Juna berbunyi. Saat itu dia sedang rebahan di sofa ruang tamunya. Ia lihat siapa yang mengirim pesan ternyata Ama
~Detak bergeming di dada merasakan kisah berdua dalam menjalin asmara walau belum tentu entah kau menjadi yang terakhir atau kesekian kalinya~ ***Juna bisa membaca pikiran Roy kalau dia tahu yang sebenarnya. Ia pun membalas Hay sambil berjabat tangan dengannya. Arafa merasa terbakar cemburu dan membuang tangan Juna dengan muka sebal."Dia pacarku. Jangan pegang-pegang," geram Arafa."Tidaklah, aku kan yang kau jodohkan dengan Pengacara Bahrun," bujuk Juna agar dia tidak salah paham."Sudah jangan bertengkar...ayo berangkat ke restoran." Amanda menenangkan situasi kali ini. Mereka mengiyakan dan keluar dari mobil dengan seksama. Amanda mengunci pintunya. Roy yang mengendarai mobilnya. Posisi duduk mereka sesuai dengan pasangan masing-masing. Roy dan Arafa duduk di depan. Pengacara Bahrun, Amanda dan Juna dud
~Kadangkala apa yang kita ucapkan dari mulut tak sesuai dengan apa yang kita rasakan dalam hati. Perasaan apa yang engkau ukir hingga sesakit ini~ ***Amanda menghampiri Juna yang berada di toilet. Makan malam yang berharap jadi romantis terkikis oleh kedatangan Elang yang menghancurkan segalanya."Juna, aku Amanda. Kita bicara," kata Amanda mengetuk pintu toilet. Juna yang melihat dirinya dari kaca besar, wajah terias begitu menipu semuanya akan berlanjut terus dalam keadaan seperti ini. Juna membuka pintu dengan muka masamnya."Bagaimana?" Amanda mencemaskannya."Hatiku merasa janggal Manda. Kenapa Pengacara Bahrun mengatakan itu di depan semuanya? Aku...." Juna tak sanggup mengatakannya."Kenapa Juna?""Aku takut kehilanganmu."Amanda menatapnya bermuram durj
~Kau lebih mengetahuiku dengan baik dibanding seseorang yang sering memberitahuku tetapi tak pernah mau tahu walau aku sendiri sudah tau~ ***Juna dan Roy terdiam sejenak karena kaget ibunya sendiri pingsan melihat dirinya. Mereka sama-sama menggotong ibunya ke kamar juga saling kebingungan apa yang harus ia lakukan jika terbangun dan pingsan lagi. Sebentar kemudian, mereka mendadak saling membulatkan mata dan menyepakati rencana."Kau yang keluar," kata mereka dengan seksama."Kau!" Juna mengeraskan suaranya."Kaulah!!" Roy membalas."Hompimpa!" Seru Juna."Oke!"Mereka saling hompimpa dan Juna memegang kemenangan malam ini. Maka, Roy yang mengalah pergi. Juna tak sejahat itu. Meski ia kalah, Juna memberikannya kunci rumah kos-kosan yang ia tempati. Roy menghargai keputusannya sebab ia
~Tabir seseorang yang senantiasa kita harapkan selamanya menjadi rasa sakit yang mendalam hingga tak ada kata selamanya untuk bisa diperjuangkan~ ***Mereka saling menebar senyum. Juna ingin melihat Amanda selalu tersenyum. Begitu pula Amanda. Mereka saling mengikat janji untuk berjuang bersama suka maupun duka."Aku ikut ke kantor," katanya setelah melepaskan ikatan jari kelingkingnya."Boleh."Amanda menyalakan mesin. Mobil berjalan menyeruak. Menghembus angin menerbitkan senyum merekahnya. Biarkan Roy mengurus ibu. Hanya doa yang bisa ia perjuangkan demi kesembuhannya.Roy digandrungi rasa kepanikan selama jalannya pemeriksaan. Dokter psikis bernapas lega akhirnya ibu dapat ditenangkan. Keluar dari kamar, Roy mendekat ke arah dokter."Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" Tanya Roy