~Malam penuh kemesraan yang diidamkan hancur karena mengorbankan satu pasangan~
***
"Ria? Siapa ria itu?" Roy bertanya dengan muka herannya."Kak Ria itu teman Kak Manda. Rekan kerjanya."
Roy mengangguk pelan. Bayangan wajah Juna tiba-tiba terlintas. Wajah cantik namun posturnya bukan porsinya.
"Bagaimana kak Manda? Sekarang, kau hubungi kak Ria biar nanti dinnernya tidak kemalaman," kata Arafa memerintahkan Amanda. Ia ragu melakukannya serta kasihan dengan keadaan Juna yang baru keluar dari rumah sakit tinggal di kos-kosan sendirian. Ia terpaksa menghubungi Juna lewat pesan whatsapp. Ia mengirim pesan kepada Juna agar nanti malam pergi kencan.
Di seberang sana, dering ponsel Juna berbunyi. Saat itu dia sedang rebahan di sofa ruang tamunya. Ia lihat siapa yang mengirim pesan ternyata Ama
~Detak bergeming di dada merasakan kisah berdua dalam menjalin asmara walau belum tentu entah kau menjadi yang terakhir atau kesekian kalinya~ ***Juna bisa membaca pikiran Roy kalau dia tahu yang sebenarnya. Ia pun membalas Hay sambil berjabat tangan dengannya. Arafa merasa terbakar cemburu dan membuang tangan Juna dengan muka sebal."Dia pacarku. Jangan pegang-pegang," geram Arafa."Tidaklah, aku kan yang kau jodohkan dengan Pengacara Bahrun," bujuk Juna agar dia tidak salah paham."Sudah jangan bertengkar...ayo berangkat ke restoran." Amanda menenangkan situasi kali ini. Mereka mengiyakan dan keluar dari mobil dengan seksama. Amanda mengunci pintunya. Roy yang mengendarai mobilnya. Posisi duduk mereka sesuai dengan pasangan masing-masing. Roy dan Arafa duduk di depan. Pengacara Bahrun, Amanda dan Juna dud
~Kadangkala apa yang kita ucapkan dari mulut tak sesuai dengan apa yang kita rasakan dalam hati. Perasaan apa yang engkau ukir hingga sesakit ini~ ***Amanda menghampiri Juna yang berada di toilet. Makan malam yang berharap jadi romantis terkikis oleh kedatangan Elang yang menghancurkan segalanya."Juna, aku Amanda. Kita bicara," kata Amanda mengetuk pintu toilet. Juna yang melihat dirinya dari kaca besar, wajah terias begitu menipu semuanya akan berlanjut terus dalam keadaan seperti ini. Juna membuka pintu dengan muka masamnya."Bagaimana?" Amanda mencemaskannya."Hatiku merasa janggal Manda. Kenapa Pengacara Bahrun mengatakan itu di depan semuanya? Aku...." Juna tak sanggup mengatakannya."Kenapa Juna?""Aku takut kehilanganmu."Amanda menatapnya bermuram durj
~Kau lebih mengetahuiku dengan baik dibanding seseorang yang sering memberitahuku tetapi tak pernah mau tahu walau aku sendiri sudah tau~ ***Juna dan Roy terdiam sejenak karena kaget ibunya sendiri pingsan melihat dirinya. Mereka sama-sama menggotong ibunya ke kamar juga saling kebingungan apa yang harus ia lakukan jika terbangun dan pingsan lagi. Sebentar kemudian, mereka mendadak saling membulatkan mata dan menyepakati rencana."Kau yang keluar," kata mereka dengan seksama."Kau!" Juna mengeraskan suaranya."Kaulah!!" Roy membalas."Hompimpa!" Seru Juna."Oke!"Mereka saling hompimpa dan Juna memegang kemenangan malam ini. Maka, Roy yang mengalah pergi. Juna tak sejahat itu. Meski ia kalah, Juna memberikannya kunci rumah kos-kosan yang ia tempati. Roy menghargai keputusannya sebab ia
~Tabir seseorang yang senantiasa kita harapkan selamanya menjadi rasa sakit yang mendalam hingga tak ada kata selamanya untuk bisa diperjuangkan~ ***Mereka saling menebar senyum. Juna ingin melihat Amanda selalu tersenyum. Begitu pula Amanda. Mereka saling mengikat janji untuk berjuang bersama suka maupun duka."Aku ikut ke kantor," katanya setelah melepaskan ikatan jari kelingkingnya."Boleh."Amanda menyalakan mesin. Mobil berjalan menyeruak. Menghembus angin menerbitkan senyum merekahnya. Biarkan Roy mengurus ibu. Hanya doa yang bisa ia perjuangkan demi kesembuhannya.Roy digandrungi rasa kepanikan selama jalannya pemeriksaan. Dokter psikis bernapas lega akhirnya ibu dapat ditenangkan. Keluar dari kamar, Roy mendekat ke arah dokter."Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" Tanya Roy
~Jarak antara mimpiku dan mimpimu tersekat oleh waktu yang tak memungkinkan kita akan selalu menjalin sebuah cinta~ ***Ibu mengerjapkan mata setelah obat bius merasukinya beberapa jam yang lalu. Roy meyunggingkan bibirnya di hadapan ibu serta menemani di sampingnya tanpa lelah."Juna dimana?" Kata yang terlontar dari mulut ibu menciutkan hati Roy."Dia pasti datang, bu." Bibir Roy bergetar mengatakannya."Dari tadi aku menunggunya.""Sabar saja bu.""Dia pasti datangkan?" Ibu menitikkan air mata."Iya, bu.""Pokoknya dia harus datang." Ibu merengek seperti anak kecil yang minta permen. Tak kuasa Roy melihat ibu dalam kondisi seperti ini. Ia berusaha menyembunyikan air matanya."Ibu mau dibelikan apa?""Aku maunya Juna."
~Usaha seseorang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan bisa tercapai dengan kejujuran. Jawaban mimpi menjadi tabir selama ini ia tak terlihat batang hidungnya~ ***"Apa yang kau katakan Arafa?" Amanda kaget. Ia meyakinkan perkataannya."Aku mimpi mama masuk penjara.""Dalam mimpimu, kenapa mama bisa di penjara?""Mama dikabarkan menjadi pengedar narkoba juga kehilangan kehormatannya.""Tenang, Arafa. Itu hanya mimpi. Bunga tidur.""Beneran kak? Tapi mimpi itu kayak nyata kak.""Semoga saja tidak nyata Arafa."Kemungkinan Arafa lagi merindukan mama dan papa. Ia mencoba menghubungi saja mereka. Pertama, ia menghubungi papa. Teleponnya malah menjawab nomor yang Anda hubungi berada di servis area. Mungkin papa sedang sibuk. Kali ini, ia menghub
~Permasalahan yang terasa asing terjadi pada orang yang kita kenal. Dia yang mengatakan soal kejujuran tapi dia juga yang memberikan kebohongan~ ***Psikiater memberi beberapa pertanyaan pada Roy secara detail. Ia harus tahu duduk permasalahan keluarga mereka juga motif Roy menyembunyikan identitas Juna."Lalu, sekarang Juna sudah meninggal?"Roy terpekur diam. Apakah sudah saatnya Roy mengatakan yang sebenarnya? Apakah sudah tepat waktunya? Ini semua demi ibu yang bukan kandungnya? Tapi, dia yang selama ini merawatnya."Masih, bu," kata Roy bergetar dan hati getir menahannya."Sekarang ada dimana? Kenapa dia tidak kau bawa pulang saja?""Dia...dia...mirip denganku.""Oh, jadi kalian kembar?" Psikiater memahami alasan Roy ragu untuk menjelaskan kebenarannya."
~Satu ungkapan yang mengubah semua cinta dan rasa. Jiwa merana tak tentu arah mengetahui bahwa dia sebenarnya telah tiada. Aku yang salah memilihnya untuk dapat memperjuangkanku~ ***Hati Amanda terlampau perih. Dihantam berbagai ketidakadilan yang Juna rasakan karena dirinya. Ia naik pitam. Bungkam entah harus mengatakan apa. Tangan yang merampas kerah Roy terkulai lemah. Tertunduk merasa bersalah."Dia mati karena kau, Amanda! Apa kau menyadari itu?" Roy menegaskan. Akibat emosinya, Roy terpaksa mengungkapkan semuanya."Sepuluh tahun yang lalu, dia mencintaimu tapi kau mengacuhkannya. Dan lima tahun yang lalu, dia kecelakaan karena dia menyerah mendengar kau dijodohkan dengan pria lain. Bayangkan berapa tahun dia memperjuangkan cintamu? Apa sekarang kau masih meragukan cintanya?"Amanda tersentak mendeng
~Perkataan seseorang lebih tajam ketimbang perkataan diri sendiri. Lalu, mana yang lebih engkau prioritaskan?~ ***Psikiater prihatin melihat kesedihan Roy. Perawat yang berjaga di belakang para pasien segera memberikan suntik obat bius. Sedang perawat yang lainnya, membawa pasien ke kamarnya agar tidak ketakutan melihat keadaan Sinta. Psikiater itu menuntun Roy ke ruangan pribadinya. Ia tampak terpukul melihat keadaan Sinta semakin hari semakin tidak keruan."Aku tau Roy, kau pasti sedih melihat ibu Sinta selalu diwarnai kecemasan. Kau sabar saja. Lambat laun, ibumu akan mengetahui kebesaran hatimu," kata Psikiater menenangkan hatinya."Sampai kapan, dok? Dari dulu ibu lebih menyayangi Juna karena memang aku in
~Ketika seseorang terjatuh dalam masalahnya, menangis adalah luapan emosinya dan merenung adalah solusi ketenangannya~ ***Pengacara Bahrun menenangkan Amanda dan memintanya langsung keluar saja ke kantor polisi. Amanda masih menangis dalam pelukannya. Ia tak tahu harus bagaimana menghiburnya."Manda, yang sabar ya...doakan saja semoga mama kamu cepat dikeluarkan dari penjara," katanya menenangkan.Ia lebih memilih menunggu taksi offline. Takutnya kalau dia memesan taksi online, si sopir itu malah yang nongol.Setengah jam berlalu, taksinya datang. Pengacara Bahrun perlahan memapahnya masuk ke dalam mobil. Ia kemudian duduk di sampingnya. Mobil berjalan menyapu jalanan yang pada saat itu memang tidak terlalu macet.
~Sosok yang ia rindukan selama ini, ternyata menyimpan luka dan duka mendalam demi kebahagiaannya~ ***Si sopir itu hanya pasrah. Ia menahan rasa sakit bekas pukulan Pengacara Bahrun."Itu teguran untuk tidak bersikap semena-mena terhadap pelanggan. Faham?""Iya, maafkan saya. Kalau begitu, saya pamit pulang." Dengan muka sendu, si sopir membuka pintu mobil. Dan menyalakan mesinnya. Amanda menatapnya tak tega. Ia kemudian menghentikan mobilnya. Pengacara Bahrun kaget dengan keputusan Amanda yang sepihak."Kita harus menghargai pertolongan orang lain," ujar Amanda pada Pengacara Bahrun. Si sopir itu tersenyum. Ia mengizinkannya masuk ke mobil maka ia pun masuk. Pengacara Bahrun masih dalam tatapan nanarnya."Mas
~Sebuah kata ternyata tidak pantas diungkapkan pada seseorang yang mengenalmu tapi bagaimana jika itu terjadi padamu?~ ***Agen Andara menjadi pusat perhatian di bus saat itu. Semua sudah siap dia masih melakukan aktivitas mandi di belakang bus. Ia segera mencuci muka dengan air yang ada dalam botolnya. Lalu mengenakan jasnya."Siap, kita berangkat," seru Agen Andara sudah siap berangkat ke kantor. Sopir mendengarkan intruksi dari boss, ia menyalakan mesin dan bus siap dijalankan.Berada di bus, Amanda teringat masa-masa camping bersama mereka. Menatap kaca jendela, memori tentang dia juga muncul. Ya, saat dimana Juna memeluk jari kelingkingnya.Roy meminta turun di tengah jalan karena dia berseberangan arus dengan mereka. Ia masih
~Kesedihan mendalam yang dialami tak memungkiri berbagai persoalan hidup menghampiri. Dalam hal ini, siapa yang dapat menghiburmu?~ ***Keadaan jadi semakin rumit dengan keputusan Roy."Lah, kalau kita tinggal di rumah Amanda, kita tidur dimana?" Alifa meragukan keputusannya."Disini ada empat kamar. Kamar Amanda, mama, papa, dan kamar tamu."Amanda tercengang kenapa Roy bisa tahu seisi ruangannya. Ia lupa kalau Juna pernah bilang Roy itu memiliki indera ke tujuh."Kalau begitu, kita bagi kamarnya," sahut Amanda ikut berpendapat.Arafa menatapnya bingung."Jumlah para kolega ini berapa?""Sekitar tiga puluhan.
~Satu cinta sudah terlahir sejak dahulu kini tibanya aku tahu siapa kamu~ ***"Baiklah, maaf jika saya mengganggu kegiatan kalian...." ucap si kurir berpamitan. Ia mengendarai motornya lalu menghilang ditelan kecepatan motornya. Pengacara Bahrun menarik tangan Amanda masuk ke dalam. Menutup pintunya dengan wajah kecemasan.Arafa dan Roy menghampiri mereka juga ikut cemas."Ini benar-benar aneh. Kemarin ada sopir taksi sekarang kurir. Siapa yang telah menerorku? Apa mau mereka?""Tenang, Manda. Jangan cemas. Kita sama-sama membongkar siapa di balik semua ini.""Ya sudah, yang penting kita rayakan pesta hari ini," sahut Arafa menenangkan hati Amanda. Melepas dari peneroran itu, mereka kembali ke tepi kolam. Rupanya acara bakar
~Ketika rindu tersekat oleh waktu apakah hanya sesaat aku bisa bertemu?~ ***Cahaya itu menyingsing. Menyinari pepohon yang berfotosintesis. Sedang para kolega pulang dan lega karena sudah mengikuti diskusi hari ini. Pengacara Bahrun dan Amanda naik mobil. Mereka melambaikan tangan pada para koleganya yang juga naik mobil.Mesin dinyalakan, mobil beringsut menghamburkan dedaunan yang berguguran karena musim kemarau telah datang.Sampai pada rumah, Arafa beranjak dari sofa ruang keluarga yang pada saat itu, dia sedang menonton televisi, membukakan pintu. Mereka hampir mengetuk pintu tidak jadi keburu Arafa sudah membukakan pintunya."Bagaimana dengan si sopir itu, kak?" Dia langsung menanyakannya dan panik."Kita
~Gelisah karena banyak mata yang menyelidik. Galau karena rindu terus merajalela. Merana karena cinta masih berada dalam kadar mimpi~ ***Amanda merasa Pengacara Bahrun memberi perhatian lebih padanya. Kenapa bukan Juna? Kapan dia akan kembali?"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" Amanda bertanya lebih dalam."Terus melihat gerak-gerik mencurigakan di rumahmu atau di sekitarmu.""Baiklah, aku juga harus lebih waspada."Ponsel Amanda berdering beberapa saat kemudian. Ia menengok siapa yang menelpon. Nomor tak diketahui siapa. Ia melirik Pengacara Bahrun sebentar. Namun, ia memberanikan diri mengangkat teleponnya."Hallo, dengan detektif Jack's Angel's ada yang bisa saya bantu?"
~Waktu berputar sesuai dengan porosnya. Bagaimana dengan rindu yang berpijak pada targetnya?~ ***"Bangun kak, ini sudah pagi! Jangan terus menghalu!" Celetuk Arafa."Astaghfirullah! Aku harus kerja." Amanda langsung menyabet handuk yang ia tanggalkan di tengah pintu dan masuk ke kamar mandi nyaris kepeleset namun, kaki kuatnya mampu menahannya. Ia menyengir.Karena bangun kesiangan, Arafa yang harus menyiapkan sarapan hari ini. Memasak seadanya saja dan menata piring, nasi serta lauk pauknya di atas meja. Sepuluh menit sudah Amanda mandi, ia meletakkan handuknya di atas kursi. Mendorong kursinya dan duduk dengan nyaman."Seadanya ya kak," ujar Arafa memelas."Tidak apa. Yang penting pagi-pagi sudah diisi perutn