~Kadangkala apa yang kita ucapkan dari mulut tak sesuai dengan apa yang kita rasakan dalam hati. Perasaan apa yang engkau ukir hingga sesakit ini~
***
Amanda menghampiri Juna yang berada di toilet. Makan malam yang berharap jadi romantis terkikis oleh kedatangan Elang yang menghancurkan segalanya."Juna, aku Amanda. Kita bicara," kata Amanda mengetuk pintu toilet. Juna yang melihat dirinya dari kaca besar, wajah terias begitu menipu semuanya akan berlanjut terus dalam keadaan seperti ini. Juna membuka pintu dengan muka masamnya.
"Bagaimana?" Amanda mencemaskannya.
"Hatiku merasa janggal Manda. Kenapa Pengacara Bahrun mengatakan itu di depan semuanya? Aku...." Juna tak sanggup mengatakannya.
"Kenapa Juna?"
"Aku takut kehilanganmu."
Amanda menatapnya bermuram durj
~Kau lebih mengetahuiku dengan baik dibanding seseorang yang sering memberitahuku tetapi tak pernah mau tahu walau aku sendiri sudah tau~ ***Juna dan Roy terdiam sejenak karena kaget ibunya sendiri pingsan melihat dirinya. Mereka sama-sama menggotong ibunya ke kamar juga saling kebingungan apa yang harus ia lakukan jika terbangun dan pingsan lagi. Sebentar kemudian, mereka mendadak saling membulatkan mata dan menyepakati rencana."Kau yang keluar," kata mereka dengan seksama."Kau!" Juna mengeraskan suaranya."Kaulah!!" Roy membalas."Hompimpa!" Seru Juna."Oke!"Mereka saling hompimpa dan Juna memegang kemenangan malam ini. Maka, Roy yang mengalah pergi. Juna tak sejahat itu. Meski ia kalah, Juna memberikannya kunci rumah kos-kosan yang ia tempati. Roy menghargai keputusannya sebab ia
~Tabir seseorang yang senantiasa kita harapkan selamanya menjadi rasa sakit yang mendalam hingga tak ada kata selamanya untuk bisa diperjuangkan~ ***Mereka saling menebar senyum. Juna ingin melihat Amanda selalu tersenyum. Begitu pula Amanda. Mereka saling mengikat janji untuk berjuang bersama suka maupun duka."Aku ikut ke kantor," katanya setelah melepaskan ikatan jari kelingkingnya."Boleh."Amanda menyalakan mesin. Mobil berjalan menyeruak. Menghembus angin menerbitkan senyum merekahnya. Biarkan Roy mengurus ibu. Hanya doa yang bisa ia perjuangkan demi kesembuhannya.Roy digandrungi rasa kepanikan selama jalannya pemeriksaan. Dokter psikis bernapas lega akhirnya ibu dapat ditenangkan. Keluar dari kamar, Roy mendekat ke arah dokter."Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" Tanya Roy
~Jarak antara mimpiku dan mimpimu tersekat oleh waktu yang tak memungkinkan kita akan selalu menjalin sebuah cinta~ ***Ibu mengerjapkan mata setelah obat bius merasukinya beberapa jam yang lalu. Roy meyunggingkan bibirnya di hadapan ibu serta menemani di sampingnya tanpa lelah."Juna dimana?" Kata yang terlontar dari mulut ibu menciutkan hati Roy."Dia pasti datang, bu." Bibir Roy bergetar mengatakannya."Dari tadi aku menunggunya.""Sabar saja bu.""Dia pasti datangkan?" Ibu menitikkan air mata."Iya, bu.""Pokoknya dia harus datang." Ibu merengek seperti anak kecil yang minta permen. Tak kuasa Roy melihat ibu dalam kondisi seperti ini. Ia berusaha menyembunyikan air matanya."Ibu mau dibelikan apa?""Aku maunya Juna."
~Usaha seseorang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan bisa tercapai dengan kejujuran. Jawaban mimpi menjadi tabir selama ini ia tak terlihat batang hidungnya~ ***"Apa yang kau katakan Arafa?" Amanda kaget. Ia meyakinkan perkataannya."Aku mimpi mama masuk penjara.""Dalam mimpimu, kenapa mama bisa di penjara?""Mama dikabarkan menjadi pengedar narkoba juga kehilangan kehormatannya.""Tenang, Arafa. Itu hanya mimpi. Bunga tidur.""Beneran kak? Tapi mimpi itu kayak nyata kak.""Semoga saja tidak nyata Arafa."Kemungkinan Arafa lagi merindukan mama dan papa. Ia mencoba menghubungi saja mereka. Pertama, ia menghubungi papa. Teleponnya malah menjawab nomor yang Anda hubungi berada di servis area. Mungkin papa sedang sibuk. Kali ini, ia menghub
~Permasalahan yang terasa asing terjadi pada orang yang kita kenal. Dia yang mengatakan soal kejujuran tapi dia juga yang memberikan kebohongan~ ***Psikiater memberi beberapa pertanyaan pada Roy secara detail. Ia harus tahu duduk permasalahan keluarga mereka juga motif Roy menyembunyikan identitas Juna."Lalu, sekarang Juna sudah meninggal?"Roy terpekur diam. Apakah sudah saatnya Roy mengatakan yang sebenarnya? Apakah sudah tepat waktunya? Ini semua demi ibu yang bukan kandungnya? Tapi, dia yang selama ini merawatnya."Masih, bu," kata Roy bergetar dan hati getir menahannya."Sekarang ada dimana? Kenapa dia tidak kau bawa pulang saja?""Dia...dia...mirip denganku.""Oh, jadi kalian kembar?" Psikiater memahami alasan Roy ragu untuk menjelaskan kebenarannya."
~Satu ungkapan yang mengubah semua cinta dan rasa. Jiwa merana tak tentu arah mengetahui bahwa dia sebenarnya telah tiada. Aku yang salah memilihnya untuk dapat memperjuangkanku~ ***Hati Amanda terlampau perih. Dihantam berbagai ketidakadilan yang Juna rasakan karena dirinya. Ia naik pitam. Bungkam entah harus mengatakan apa. Tangan yang merampas kerah Roy terkulai lemah. Tertunduk merasa bersalah."Dia mati karena kau, Amanda! Apa kau menyadari itu?" Roy menegaskan. Akibat emosinya, Roy terpaksa mengungkapkan semuanya."Sepuluh tahun yang lalu, dia mencintaimu tapi kau mengacuhkannya. Dan lima tahun yang lalu, dia kecelakaan karena dia menyerah mendengar kau dijodohkan dengan pria lain. Bayangkan berapa tahun dia memperjuangkan cintamu? Apa sekarang kau masih meragukan cintanya?"Amanda tersentak mendeng
~Kepalsuan yang dialami pria berwajah sama berujung pilu. Kejujuran cinta yang ia sematkan pada ibu terjerat dalam dimensi kehidupan yang sendu~ ***"Kak Bahrun." Arafa tertegun melihat kedatangannya yang tepat waktu. Ia tak bisa diam dengan tingkah lakunya. Maka, Pengacara Bahrun masuk saja ke mobil tanpa diperintah. Dengan muka tegas, Arafa tak bisa mengelak. Ia menyeka matanya."Kalau kau tidak bisa menyetir, tidak usah sok-sok an menyetir. Apa Amanda tahu soal ini?" Pengacara Bahrun menasehatinya.Arafa menggelengkan kepala. Merasa perkataannya terlalu kasar, Pengacara Bahrun menghembuskan napas untuk menyesuaikan sikap Arafa yang masih labil."
~Pias waktu tersekat rindu yang menggebu. Bagaimana kabarmu duhai belahan jiwaku ?~ ***Detak bergeming di malam hari yang memikat dingin. Daun-daun pohon di dekat rumah Amanda menari-nari tanpa di hembus angin. Suara petir menyambar membuat kabel listrik rumahnya padam. Malam itu menjadi malam merinding bagi Arafa dan Amanda. Tak ada pendamping terjadinya peneroran yang mereka alami. Tulisan darah yang bertuliskan 'kalian harus mati' di kaca jendela menjadi suatu tanda besar siapa yang telah meneror mereka. Arafa mencoba menelpon Roy namun, tak kunjung ia angkat. Tengah malam s