~Cinta yang kita bina selama itu, akan terasa hambar ketika wajah yang ada didekat kita bukan pemilik hatinya~
***
Mereka bertatap mata nanar. Hari apa ini sehingga ia bisa keliru dengan pasangannya. Juna takut dengan keadaan Amanda di restoran. Ia tak mungkin lari karena Arafa sudah mengetahui keberadaannya."Aku ke toilet dulu ya? Kau tunggu disini." Kata Juna berdalih dan keluar dari taksi. Mengedarkan pandangannya ke arah rumah sakit. Mungkin, Roy masih di ruang icu. Saat dia memasuki ruang icu, nyatanya dia tidak disana. Juna panik. Bagaimana perasaannya jika mengetahui dirinya sekarang bersama Arafa. Ia menelpon juga tidak mungkin karena ponselnya ketinggalan di rumah Amanda. Bagaimana kalau Amanda tersesat? Kepanikan bertubi-tubi mengelilingi hati dan pikirannya. Ia kembali ke mobil dengan muka masam.
~Meluangkan waktu untuk berduaan dengan kekasih adalah impian indah yang segera diwujudkan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kata nanti hanyalah membuang waktu saja bagi para pujangga~ ***Juna dan Roy gelagapan panik mencari persembunyian. Alifa mencoba membuka gerbang ternyata tidak dikunci. Ia main masuk saja ke dalam. Mereka tambah panik mendengar aba-aba Amanda yang mengatakan kalau Alifa sekarang sudah di depan pintu."Kita tukar baju saja." Roy tak berpikir jernih. Mereka tanpa malu melepas baju di depan Amanda."Hey, kalian ngapain?" Amanda sontak menutup matanya.Suara bel pintu berbunyi. Mereka makin tidak masuk akal karena paniknya."Buka celanamu!!" Perintah Roy."Hey, aku cewek!!!" Teriak Amanda sampai terdengar Alifa. Ia jadi tercengang dan i
~Malam penuh kemesraan yang diidamkan hancur karena mengorbankan satu pasangan~ ***"Ria? Siapa ria itu?" Roy bertanya dengan muka herannya."Kak Ria itu teman Kak Manda. Rekan kerjanya."Roy mengangguk pelan. Bayangan wajah Juna tiba-tiba terlintas. Wajah cantik namun posturnya bukan porsinya."Bagaimana kak Manda? Sekarang, kau hubungi kak Ria biar nanti dinnernya tidak kemalaman," kata Arafa memerintahkan Amanda. Ia ragu melakukannya serta kasihan dengan keadaan Juna yang baru keluar dari rumah sakit tinggal di kos-kosan sendirian. Ia terpaksa menghubungi Juna lewat pesan whatsapp. Ia mengirim pesan kepada Juna agar nanti malam pergi kencan.Di seberang sana, dering ponsel Juna berbunyi. Saat itu dia sedang rebahan di sofa ruang tamunya. Ia lihat siapa yang mengirim pesan ternyata Ama
~Detak bergeming di dada merasakan kisah berdua dalam menjalin asmara walau belum tentu entah kau menjadi yang terakhir atau kesekian kalinya~ ***Juna bisa membaca pikiran Roy kalau dia tahu yang sebenarnya. Ia pun membalas Hay sambil berjabat tangan dengannya. Arafa merasa terbakar cemburu dan membuang tangan Juna dengan muka sebal."Dia pacarku. Jangan pegang-pegang," geram Arafa."Tidaklah, aku kan yang kau jodohkan dengan Pengacara Bahrun," bujuk Juna agar dia tidak salah paham."Sudah jangan bertengkar...ayo berangkat ke restoran." Amanda menenangkan situasi kali ini. Mereka mengiyakan dan keluar dari mobil dengan seksama. Amanda mengunci pintunya. Roy yang mengendarai mobilnya. Posisi duduk mereka sesuai dengan pasangan masing-masing. Roy dan Arafa duduk di depan. Pengacara Bahrun, Amanda dan Juna dud
~Kadangkala apa yang kita ucapkan dari mulut tak sesuai dengan apa yang kita rasakan dalam hati. Perasaan apa yang engkau ukir hingga sesakit ini~ ***Amanda menghampiri Juna yang berada di toilet. Makan malam yang berharap jadi romantis terkikis oleh kedatangan Elang yang menghancurkan segalanya."Juna, aku Amanda. Kita bicara," kata Amanda mengetuk pintu toilet. Juna yang melihat dirinya dari kaca besar, wajah terias begitu menipu semuanya akan berlanjut terus dalam keadaan seperti ini. Juna membuka pintu dengan muka masamnya."Bagaimana?" Amanda mencemaskannya."Hatiku merasa janggal Manda. Kenapa Pengacara Bahrun mengatakan itu di depan semuanya? Aku...." Juna tak sanggup mengatakannya."Kenapa Juna?""Aku takut kehilanganmu."Amanda menatapnya bermuram durj
~Kau lebih mengetahuiku dengan baik dibanding seseorang yang sering memberitahuku tetapi tak pernah mau tahu walau aku sendiri sudah tau~ ***Juna dan Roy terdiam sejenak karena kaget ibunya sendiri pingsan melihat dirinya. Mereka sama-sama menggotong ibunya ke kamar juga saling kebingungan apa yang harus ia lakukan jika terbangun dan pingsan lagi. Sebentar kemudian, mereka mendadak saling membulatkan mata dan menyepakati rencana."Kau yang keluar," kata mereka dengan seksama."Kau!" Juna mengeraskan suaranya."Kaulah!!" Roy membalas."Hompimpa!" Seru Juna."Oke!"Mereka saling hompimpa dan Juna memegang kemenangan malam ini. Maka, Roy yang mengalah pergi. Juna tak sejahat itu. Meski ia kalah, Juna memberikannya kunci rumah kos-kosan yang ia tempati. Roy menghargai keputusannya sebab ia
~Tabir seseorang yang senantiasa kita harapkan selamanya menjadi rasa sakit yang mendalam hingga tak ada kata selamanya untuk bisa diperjuangkan~ ***Mereka saling menebar senyum. Juna ingin melihat Amanda selalu tersenyum. Begitu pula Amanda. Mereka saling mengikat janji untuk berjuang bersama suka maupun duka."Aku ikut ke kantor," katanya setelah melepaskan ikatan jari kelingkingnya."Boleh."Amanda menyalakan mesin. Mobil berjalan menyeruak. Menghembus angin menerbitkan senyum merekahnya. Biarkan Roy mengurus ibu. Hanya doa yang bisa ia perjuangkan demi kesembuhannya.Roy digandrungi rasa kepanikan selama jalannya pemeriksaan. Dokter psikis bernapas lega akhirnya ibu dapat ditenangkan. Keluar dari kamar, Roy mendekat ke arah dokter."Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" Tanya Roy
~Jarak antara mimpiku dan mimpimu tersekat oleh waktu yang tak memungkinkan kita akan selalu menjalin sebuah cinta~ ***Ibu mengerjapkan mata setelah obat bius merasukinya beberapa jam yang lalu. Roy meyunggingkan bibirnya di hadapan ibu serta menemani di sampingnya tanpa lelah."Juna dimana?" Kata yang terlontar dari mulut ibu menciutkan hati Roy."Dia pasti datang, bu." Bibir Roy bergetar mengatakannya."Dari tadi aku menunggunya.""Sabar saja bu.""Dia pasti datangkan?" Ibu menitikkan air mata."Iya, bu.""Pokoknya dia harus datang." Ibu merengek seperti anak kecil yang minta permen. Tak kuasa Roy melihat ibu dalam kondisi seperti ini. Ia berusaha menyembunyikan air matanya."Ibu mau dibelikan apa?""Aku maunya Juna."
~Usaha seseorang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan bisa tercapai dengan kejujuran. Jawaban mimpi menjadi tabir selama ini ia tak terlihat batang hidungnya~ ***"Apa yang kau katakan Arafa?" Amanda kaget. Ia meyakinkan perkataannya."Aku mimpi mama masuk penjara.""Dalam mimpimu, kenapa mama bisa di penjara?""Mama dikabarkan menjadi pengedar narkoba juga kehilangan kehormatannya.""Tenang, Arafa. Itu hanya mimpi. Bunga tidur.""Beneran kak? Tapi mimpi itu kayak nyata kak.""Semoga saja tidak nyata Arafa."Kemungkinan Arafa lagi merindukan mama dan papa. Ia mencoba menghubungi saja mereka. Pertama, ia menghubungi papa. Teleponnya malah menjawab nomor yang Anda hubungi berada di servis area. Mungkin papa sedang sibuk. Kali ini, ia menghub