“Temenin gue ke supermarket,” kata Ratu sore itu pada Rangga, karena pemuda itu masih di rumahnya.
“Lo mau beli apa? Biar gue yang beliin,” balas Rangga. “Ada lah, lo nggak usah banyak tanya. Yang penting anterin gue aja.” Ratu melangkah keluar rumah lebih dulu, terlihat tak sabaran untuk segera pergi. Dan Rangga baru tahu apa yang dibeli oleh Ratu ketika mereka sampai di supermarket. Ternyata Ratu membeli banyak sekali nanas di keranjangnya. Rangga merasa bingung, tak tahan untuk bertanya, “Buat apa lo beli nanas sebanyak ini, Ra?” “Buat ilangin anak lo!” katanya dengan jelas. “Ratu yang gue kenal nggak sekejam ini,” sarkasnya. “Ya lo pikir enak jadi gue? Lo sih, gampang. Nggak dirugikan dari segi mana aja. Gue yang hamil, nggak bisa ke mana-mana, dimarahin Papa, diomongin banyak orang!” “Semua udah terlanjur, udah jadi, mau diapain lagi?” balas Rangga tak tahu harus berkata apa lagi. “Ya udah, terserah lo deh. Gue udah payah ngingetin lo. Tapi kalau ada apa-apa, tolong jangan pernah teriak ke siapapun karena ini akibat dari kesalahan lo sendiri, dan gue udah berusaha menawarkan tanggung jawab!” tekannya. Rangga sudah hampir berlalu, ketika Ratu berteriak, “Rangga?!” Rangga berhenti. Dia menoleh. “Mau lo apa sih, sebenernya?!” “Sekali aja lo melangkah ngejauhin gue, gue nggak akan mau berteman lagi sama lo!” ancam Ratu membuat Rangga mengacak rambutnya frustrasi. Kenapa dia harus terjebak dalam situasi seperti ini? ***/ Keduanya sudah sampai di rumah Ratu lagi. Kini Ratu tengah menghaluskan semua nanas-nanas itu ke dalam mesin penggiling. Tapi jangan harap Rangga akan membantunya. Karena semua rencana itu bertentangan dengan nalurinya yang ingin tetap mempertahankan janin tersebut. Tentu saja tak mudah Rangga berdiam diri. Karena di sana, dia sengaja menutup kedua telinganya agar tak mendengar mulut pedas gadis itu, yang sangat mungkin membuatnya sakit hati. “Bisa nggak sih, sekali ini aja lo dukung keputusan gue?! Gue ngelakuin ini juga bukan tanpa alasan!” “Gue itu udah capek tau, nggak? Keluarga nyokap sama bokap gue hancur, kedua kakak gue juga gagal rumah tangganya, anak-anaknya jadi terlantar, jadi gue nggak mau nambahin masalah lagi dalam hidup gue setelah mereka! Gue trauma! “Tolong ngertiin gue donk, Ngga. Gue juga punya hak buat nentuin hidup gue kayak gimana ke depannya.” “Dikira gampang apa, berumah tangga dan punya anak? Dua hal itu adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar. “Lebih baik anak ini hidup di surga daripada dia hidup di dalam neraka yang gue ciptain! Gue nggak bisa sebaik itu jadi seorang ibu! Gue bukan cewek yang sempurna! Gue nggak bisa jadi kayak mereka?! Yang ada dia malah tersiksa! “Misalpun gue taruh anak ini nantinya di Panti, gue jamin akan tetep jadi masalah ke depannya. Nggak jarang kasusnya terjadi kan? “Ngga! Rangga!” Ratu menghentikan kegiatannya mengupas nanas dan beranjak dari tempat duduknya. Dia kemudian mendekati Rangga untuk memastikan sendiri dugaannya itu. Emosinya semakin menjadi-jadi, karena ia melihat sesuatu yang menyumpal di kedua telinga pria itu. Sampai dia tertidur pulas di sofa. Ratu melempar pisaunya. Dia menuju ke kamarnya dan menangis untuk melampiaskan emosinya itu. Rangga terbangun setelah beberapa saat kemudian. Melihat bekas kegiatan yang baru saja Ratu tinggalkan. Rupanya, dia sudah memakan nanas itu setengahnya. Rangga mengusap wajah. Dia tak pulang malam itu untuk berjaga-jaga, terjadi sesuatu yang tak terduga pada Ratu malam harinya saat dia tak ada. Syukurnya, tak terdengar apa-apa dari kamar gadis itu hingga pagi. Pertanda bahwa nanas-nanas itu sama sekali tak berpengaruh di tubuhnya. Rangga menghela napas lega. Bersyukur lantaran batal terjadi tambahan masalah baru dalam hidupnya setelah karena perbuatan nekat Ratu. Menjelang subuh, Rangga pun terbangun. Dia membuka pintu kamar Ratu untuk memastikan sendiri keadaan gadis itu. Dilihatnya, dia masih tertidur pulas. Oleh karenanya lah, Rangga pulang. Tentunya setelah membelikan Ratu sarapan agar dia tak perlu ke pergi mana-mana. Rangga tiba di rumah jam setengah enam. Langsung mandi dan mengganti pakaian rapi. Karena rencananya ia akan langsung berangkat ke kantor setelah ini. Selesai, Rangga menuju ke ruang tengah di mana ibunya tengah menyiapkan sarapan. “Habis dari mana toh, Ngga? Jam segini baru pulang. Sekarang udah mau berangkat kerja lagi. Kapan di rumahnya?” komentar wanita itu. “Namanya juga anak laki-laki, Bu.” “Anak laki-laki bibimu nggak separah ini.” “Kan anak bibi tinggal di desa, bukan di kota. Nggak bisa disamain,” jawab Rangga. “Tapi semalam kamu tidur kan?” “Tidur, kok.” “Nih, sarapan dulu. Harus sarapan sebelum berangkat biar maag nya nggak kambuh.” Rangga menarik kursi. Ibunya itu tidak marah walau dia jarang pulang. Dia selalu memaafkannya sebesar apapun dirinya melakukan kesalahan. Tapi ... bagaimana kah dengan kesalahan besar yang satu ini? Apakah setelah mengetahuinya, beliau masih menganggapnya sebagai anak? Batin Rangga cemas. “Bu...” panggilnya membuat sang ibu menemui pandangannya. “Ada apa, Ngga? Ada yang mau disampaikan?” Rangga mengangguk pelan. “Ya udah, sok, atuh. Kenapa kayak takut-takut gitu mukanya?” “Takut ibu marah...” “Lebih marah lagi kalau kamu nggak jujur. Apalagi setelah berhasil bikin ibu penasaran begini.” “Rangga habis buat kesalahan besar. Tapi yang satu ini kayaknya udah nggak bisa ditutupi lagi. Lambat laun pasti semua orang bakalan tahu.” “Biasanya karena udah keseringan. Makanya Allah lagi kasih peringatan sekarang. Sebab kalau nggak ditegur, kamu bakalan keterusan.” “Ibu bisa maafin Rangga nggak ya, Bu, kali ini?” “Ibu kan bukan Tuhan. Allah saja maha pemaaf, masa Ibu enggak? Tapi ibu juga bukan malaikat, ibu Cuma manusia biasa, jadi kalau ibu marah, kecewa, itu wajar dan nggak mungkin bisa dihindari,” jawab ibunya bijak. “Memangnya apa kesalahan besarnya Rangga?” Walaupun ragu, namun Rangga berusaha meyakinkan diri untuk membuka semua ini, sebelum semuanya terlambat dan ibu lebih dulu mengetahuinya dari orang lain. Rangga mengeluarkan amplop hasil pemeriksaan Ratu yang berisi kertas USG dari dalam tas kerjanya, lalu menyerahkannya pada sang ibu. Selera makan ibu mendadak hilang. Nama yang tertulis di sana, Ny Ratu Syifana Zakiya 7 week 5 day membuat air matanya seketika mengalir deras. “Jadi ini kesalahan besar yang Rangga maksud?” tanya ibu dengan suara bergetar. Sementara Rangga hanya bisa mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang mengguncang hatinya. “Maafin Rangga ya, Bu. Maafin Rangga.” Sekali lagi Rangga meminta maaf. Namun wanita itu kini beranjak pergi dari tempat duduknya. Lalu mengunci pintu kamar. Rangga kembali terduduk lemas. Sudah berapa kali dia membuat ibunya menangis seperti itu? Bahkan setelah beberapa kali dia berjanji untuk tak membuat kesalahan lagi.Kembali ke tempat kerja.Tak Rangga sangka, ternyata hari ini Ratu sudah bisa kembali bekerja. Gadis itu datang bersama Sabila.“Nah, tuh, udah balik kerja lagi Si Ratu,” ujar Putra pada Rangga, “dicariin tuh, sama Yayang, Ra. Kangen katanya.”Ratu terkekeh. “Resek lo!”“Udah sembuh, Ra? Katanya lagi kurang fit?” tanya pria itu lagi.“Cuma meriang doang, kok.”“Meriang, merindukan kasih sayang.”“Lo kali tuh, yang begitu.”“Udah jadian ya kalian? Kok, makin lengket aja kelihatannya. Kemaren gue lihat kalian di Extraindo,” sahut Adisty membuat semua memusatkan pandangannya pada kedua orang tersebut.“Oh, udah pada ketemuan ternyata lo berdua? Ngomong donk, jangan diem bae, heeuuu, dasar playboy cap kampak,” Putra menimpali.“Apaan sih? Bukan urusan lo, berisik aja!” Rangga jadi sewot. Dia juga menjelaskan, ia hanya mengantar Ratu membeli buah, itu saja. Jam kerja di mulai, semua mulai menyalakan layarnya. Sesekali Rangga melirik Ratu yang saat ini tengah fokus sendiri. Dia mengirim pe
Kembali ke tempat kerja.Tak Rangga sangka, ternyata hari ini Ratu sudah bisa kembali bekerja. Gadis itu datang bersama Sabila.“Nah, tuh, udah balik kerja lagi Si Ratu,” ujar Putra pada Rangga, “dicariin tuh, sama Yayang, Ra. Kangen katanya.”Ratu terkekeh. “Resek lo!”“Udah sembuh, Ra? Katanya lagi kurang fit?” tanya pria itu lagi.“Cuma meriang doang, kok.”“Meriang, merindukan kasih sayang.”“Lo kali tuh, yang begitu.”“Udah jadian ya kalian? Kok, makin lengket aja kelihatannya. Kemaren gue lihat kalian di Extraindo,” sahut Adisty membuat semua memusatkan pandangannya pada kedua orang tersebut.“Oh, udah pada ketemuan ternyata lo berdua? Ngomong donk, jangan diem bae, heeuuu, dasar playboy cap kampak,” Putra menimpali.“Apaan sih? Bukan urusan lo, berisik aja!” Rangga jadi sewot. Dia juga menjelaskan, ia hanya mengantar Ratu membeli buah, itu saja. Jam kerja di mulai, semua mulai menyalakan layarnya. Sesekali Rangga melirik Ratu yang saat ini tengah fokus sendiri. Dia mengirim pe
“Ngga, takut, Ngga...” ujar Ratu begitu mereka sampai di rumah Rangga. “Nggak ada yang perlu ditakutin, nyokap gue bukan setan,” balas pria itu, “assalamu'alaikum, Bu!”Agak lama keheningan terjadi sebelum akhirnya beliau menjawab salam keduanya dengan suara lirih, “Waalaikumsalam.”Wanita itu keluar dari ruang tengah yang hanya ditutup dengan tirai gorden. Masih dengan memakai mukena, itu sebabnya beliau cukup lama menjawab salam.Raut wajahnya menunjukkan kehangatan, namun tak dipungkiri, ada kesedihan yang tersimpan dibalik tatapannya.“Maaf, Bu. Kita ganggu, ya,” ujar Ratu mencium punggung tangan beliau. “Nggak... udah selesai kok, solatnya. Ngga buatin minum buat Ratu, Ngga. Jangan teh, jus saja. Ibu punya alpukat di kulkas.” Usai berbicara dengan sang anak, Ibu Ratih kembali pada Ratu. “Duduk, Nak. Mau makan apa biar Ibu buatkan.”“Jangan repot-repot, Bu. Aku masih kenyang, kok.” Ratu memaksakan senyumnya. Ratu duduk. Ditemani Bu Ratih di sampingnya. Kecanggungan jelas terasa
“Alhamdulillah sehat, Om,” jawab Rangga. “Masih jualan nasi uduk?”“Masih, Om. Tapi kalau lagi sehat aja. Udah nggak terlalu memaksakan lagi.”“Wahh, sayang banget, ya. Padahal enak banget lho, nasi uduknya. Om pernah coba kan sama teman Om waktu itu di perempatan. Kata teman Om, nasi uduk ibumu yang paling beda. Gurih. Nggak bikin bosan biar kita makannya banyak.”“Ya, mau gimana lagi, Om. Udah faktor usia.”“Udah berapa sih, usia ibumu?”“Agak lupa sih, Om. Tapi yang jelas lebih dari lima puluhan. Soalnya, almarhumah Mbak saya juga usianya udah tiga puluh lebih sekarang.”“Oh, iya iya.” Pak Bandi menyeruput kopinya terlebih dahulu. Pun sama dengan yang Rangga lakukan sehingga beliau bertanya, “Gimana? Beda kan, rasanya?”“Iya, Om. Kopi mana ini?”“Kopinya orang Cisadon, Mas. Asli. Tau Desa Cisadon nggak?”“Waduh, baru dengar itu, Om. Daerah mana ya itu?”“Sentul, tau tidak? Masih kabupaten Bogor sih, Jawa barat. Kapan-kapan deh, Om ajak ke sana sambil motoran.”Sementara itu, di se
Malam sudah sangat larut, tapi Rangga masih mondar-mandir di kamarnya. Pemuda itu tak bisa tidur, harinya gelisah, pikirannya dipenuhi oleh Ratu, sosok yang kini menjadi pusat dunia kecilnya.Setiap detik terasa sangat lama, membayangkan bagaimana keadaan Ratu saat ini.Terakhir, Ratu berkirim pesan setengah jam yang lalu. Mestinya belum terlalu lama, kan? Namun, Rangga ingin tahu keadaannya lagi sekarang ini, ingin memastikan bahwa Ratu baik-baik saja.Ratu: ya kalau lo kayak gitu terus, nanya-nanya tanpa henti, gue kapan tidurnya, Njir? Gue juga mau istirahat.Balas Ratu setelah Rangga menanyakan kembali kondisi gadis itu.Rangga: Kita ke rumah sakit aja, yuk, Ra. Tapi gue nggak ada uang lebih. Lo ada BPJS kan? Ratu: Dasar kismin. Kismin, tapi nggak punya otak hamilin anak orang. Semestinya kata-kata hinaan seperti ini tidak bisa diterima. Namun karena yang mengucapkannya adalah Ratu, jadi Rangga tak peduli.Terserah dia saja mau bilang apa. Rangga sudah terbiasa dengan ucapan Ra
"Abang, Papa?” Ratu langsung mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, begitu melihat Abang dan Papanya membuka tirai IGD tempatnya barusan diberikan penanganan. Ia masih menunggu informasi dari mereka tentang kondisinya, serta tahap penanganan selanjutnya. Setelah ditanya-tanya oleh dokter jaga, dipasang infus dan diberikan obat. Kedua laki-laki itu menghampirinya. Marcel, abangnya, mengusap kepala Ratu dan mencium keningnya. “Gimana keadaan Ratu sekarang? Apa yang Ratu rasain?” tanya Marcel. Ratu bisa ketakutan dan kekhawatiran di wajah pria itu. “Nggg.... Pegel sama lemes, Bang. Sampai mata kunang-kunang. Tapi sekarang udah ngga terlalu lagi, kok,” jawab Ratu mencoba memaksakan senyum. Ia sudah berdebar tadinya, membayangkan reaksi papa dan abangnya setelah mereka tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi yang Ratu tangkap dari wajah keduanya justru ketakutan dan kekhawatiran. “Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Jangan main HP,” pesan Marcel. “Aku belum izin ke atasan kalau
Dua orang suster datang menemui pasien dan keluarga pasien atas nama Ratu, untuk menginformasikan bahwa Ratu sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan.Mereka sigap membantu mendorong brankar yang ditempati Ratu, ke ruangan yang ada di lantai lima.Di sana, Ratu langsung mendapatkan sarapan paginya, makanan pendamping lain, obat-obatan. Serta vitaminnya. Papa Bandi Setia mendampingi Ratu seorang diri, karena putranya, Marcel, telah meninggalkan rumah sakit.Marcel harus memenuhi janjinya untuk mengantarkan anaknya ke lomba, sehingga ia tidak bisa menunggu Ratu di sini. Toh, sudah ada papa yang menemaninya.Meski begitu, Marcel tetap meminta papanya untuk memberinya kabar tentang kondisi Ratu, sekecil apapun informasi yang didapat, serta tindakan dan keputusan yang akan diambil.Menjelang siang, seorang suster kembali berkunjung dan mengatakan, bahwa dokter kandungan sudah tiba. Ia akan mengantarkan Ratu ke ruang praktik untuk diperiksakan melalui USG.Ratu diantarkan menggunakan kurs
“Bu, Ngga?” tanya Ratu begitu melihat kedua orang tersebut memasuki ruangan.“Gimana keadaanmu, Nak?” Bu Ratih mendekat dan menggenggam tangan Ratu.Sentuhan hangat wanita kalem itu memberikan sedikit kenyamanan di hati Ratu yang kini tengah gelisah. Karena banyaknya hal yang dipikirkan. “Udah agak baikan, kok,” jawab Ratu pelan.Tak dipungkiri dia merasa bingung dan takut akan reaksi orang-orang di sekitarnya.Rangga berdiri di samping ibunya. Ia ingin bertanya mengapa Ratu tak kunjung membalas pesannya, namun melihat wajah Papa Ratu saat ini membuat nyalinya menciut. Hingga ia memilih untuk diam dan menunggu waktu yang tepat.“Ibu turut sedih dengan keadaan Ratu. Awalnya bagaimana? Kenapa bisa sampai pendarahan?” tanya Bu Ratih lagi.“Ngak tahu, Bu. Tiba-tiba sakit aja,” jawab Ratu. “Tapi sebelum ini, aku banyak makan nanas. Apa itu berpengaruh? Soalnya sehari sebelumnya masih baik-baik saja,” jelasnya. “Astaghfirullah, Nak. Jangan seperti ini lagi. Semoga bukan Rangga yang menyur
“Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi
Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan
Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s
Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“
Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m
“Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?
Sekilas memang seperti tak ada yang berubah dari Rangga setelah kejadian menegangkan semalam. Namun di dalam hati pria itu, sebenarnya masalah ini sangat mengganggu. Berbagai kekhawatiran muncul di kepalanya; bagaimana kalau dia sampai diputus mitra, kemudian ia tak bisa mendapat kerja sampingan lagi, lalu, setelah itu nasib dia ke depannya akan seperti apa nantinya?Karena kejadian semalam itu juga, Rangga tidak bisa masuk ke kantor hari ini. Tujuannya adalah ke Kemang—head office untuk melakukan banding—proses yang tidak bisa ia tentukan kapan selesainya. Bisa cepat, bisa lambat, tergantung situasi dan kondisi yang ada di sana.Berdasarkan pengalaman dari teman-teman seperjuangan nya yang pernah mengalami hal serupa, mereka selalu bertemu banyak driver/kurir lain yang juga berkepentingan. Jadi bukan tidak mungkin Rangga pun juga akan mengantre.Beruntung, Rangga memiliki bukti. Ia berhasil merekam sebagian akhir percakapan antara dirinya dan pe
“Katanya mau tidur lagi? Nggak jadi?” tanya Rangga Begitu pak Bandi dan Marcel pergi.“Nggak tau. Udah keburu ilang ngantuknya,” jawab Ratu.“Karena pengen ikut?”Ratu kembali menjawab tidak tahu.“Udah mau jam setengah enam, Ra. Aku pulang dulu kali ya. Mau ganti baju. Kamu mau ikut nggak?” tawar Rangga, karena sejujurnya dia juga tidak tega membiarkan istrinya sendirian di sini.Tetangga Ratu agak berjarak, hingga tak lebih memudahkan siapapun yang memiliki sebuah urusan atau meminta tolong.Lagipula jika menyangkut masalah kepedulian dan kekeluargaan,tetap lebih solid tetangganya sendiri yang ada di RT sebelah.Namun, ini hanya sebuah pemikiran dari seorang suami yang khawatir akan kondisi istrinya yang hamil dengan riwayat pendarahan. Harapannya sih, tidak akan terjadi apa-apa lagi pada istrinya itu.“Tapi aku belum mandi...” balas Ratu.“Nggak papa. Nanti bisa mandi di sana.”Ratu mengambi
Memang benar, pada malam itu Rangga bisa tertidur nyenyak. Namun kebiasaannya untuk bangun pagi tetap tak pernah berubah. Beberapa waktu terakhir, ia selalu terbangun sebelum adzan subuh berkumandang, walaupun malam sebelumnya ia merasa begitu lelah. Rangga melihat ke samping. Ratu, istrinya, tampak tertidur damai dengan bantal guling yang dipeluknya erat. Rambutnya yang panjang terurai di atas bantal dan wajahnya memancarkan ketenangan. Rangga mendekatkan wajahnya, embusan napas hangat Ratu menerpa kulitnya yang dingin. Perlahan Rangga mendaratkan kecupannya di kening gadis itu. Dilihatnya lamat-lamat wajah cantik Ratu, kulitnya yang cantik, halus mulus tanpa noda, alisnya yang tebal dan rapi, bulu matanya yang lentik, belum lagi bibirnya yang manis yang membuatnya selalu tergoda. Pikiran Rangga berisik, mengingat bahwa ia bisa melakukan lebih di sini untuk menyalurkan perasaan rindunya. Namun hatinya seolah memasang rambu-rambu, agar dia berhenti. Jika tak ingin lantas mengul