“Alhamdulillah sehat, Om,” jawab Rangga.
“Masih jualan nasi uduk?” “Masih, Om. Tapi kalau lagi sehat aja. Udah nggak terlalu memaksakan lagi.” “Wahh, sayang banget, ya. Padahal enak banget lho, nasi uduknya. Om pernah coba kan sama teman Om waktu itu di perempatan. Kata teman Om, nasi uduk ibumu yang paling beda. Gurih. Nggak bikin bosan biar kita makannya banyak.” “Ya, mau gimana lagi, Om. Udah faktor usia.” “Udah berapa sih, usia ibumu?” “Agak lupa sih, Om. Tapi yang jelas lebih dari lima puluhan. Soalnya, almarhumah Mbak saya juga usianya udah tiga puluh lebih sekarang.” “Oh, iya iya.” Pak Bandi menyeruput kopinya terlebih dahulu. Pun sama dengan yang Rangga lakukan sehingga beliau bertanya, “Gimana? Beda kan, rasanya?” “Iya, Om. Kopi mana ini?” “Kopinya orang Cisadon, Mas. Asli. Tau Desa Cisadon nggak?” “Waduh, baru dengar itu, Om. Daerah mana ya itu?” “Sentul, tau tidak? Masih kabupaten Bogor sih, Jawa barat. Kapan-kapan deh, Om ajak ke sana sambil motoran.” Sementara itu, di sebuah kamar, ada Ratu yang sedang bolak-balik memikirkan sebuah cara agar Rangga cepat pulang sebelum dia mengatakannya. Dia tengah memasang telinganya baik-baik, agar tak ada pembicaraan yang dia lewatkan. Duhh, gimana caranya ya? “Oh, iya. Tadi bukannya Mas bilang ada yang mau dibicarakan? Ada apa nih, Mas? Menyangkut Ratu?” lanjut Pak Bandi membuat Ratu semakin panik lagi. “Eum, iya, Om.” Suara Rangga jelas terdengar gugup. Detik itu juga, Ratu pun keluar setelah menyambar ponselnya dengan cepat. Dia berpura-pura telepon di hadapan kedua laki-laki itu. Mimik wajahnya, dibuat sangat meyakinkan. “Iya, Bu? Iya, ini, Rangga ada di sini. Oh, Ya Allah, Bu. Kok, bisa?! Iya, Bu, iya. Segera Ratu sampaikan ke anaknya. Ngga, Ibumu jatuh katanya, Ngga!” “Ra, lo jangan coba-coba bohongin gue, ya!” Rangga tak percaya. “Ihh, serius, makanya buka donk, HP lo, jangan ngobrol terus!” “Ra, nggak lucu bercandaan kek gini!” “Daripada lo nyalahin gue, buang-buang waktu, mending lo liat sendiri deh, ibu di rumah.” Rangga pun gegas beranjak dari duduknya dan berpamitan secara tergesa. Lalu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. “Apa Papa perlu ke sana, Ra?” tanya Pak Bandi. “Ya, kalau Papa mau. Kalau nggak mau ya nggak usah.” Ratu acuh tak acuh. “Coba Ratu hubungi Mas Rangga atau tetangga dekatnya itu, cari tau kenapa ibunya bisa sampai jatuh, jatuhnya di mana, kenapa bisa sampai seperti itu, dan sekarang di bawa ke rumah sakit mana.” “Bisa nanti dulu nggak sih, Pa? Masih capek..." “Tumben Ratu nggak antusias, yang jatuh itu teman Ratu, lho.” “Males, ah!” “Ratu bohongin Papa sama Rangga, ya? Padahal tadi Mas Rangga mau ngomong sesuatu sama Papa dan kelihatannya penting.” “Pa, Ratu ke kamar dulu, ya, capek banget hari ini. Pegal semua badan Ratu. Oh, iya, kasih Ratu uang jajan ya, Pa. Udah berapa lama, ya, Papa nggak kasih Ratu nafkah. Bisa mati lho, Pa, anakmu ini kalau nggak kerja.” “Kenapa nggak kasih tau Papa kalau uang jajanmu habis?” “Ya, logika aja kalau pergi berbulan-bulan nggak pernah kasih uang. Aneh banget Papa ini.” “Papa mana tahu, biasanya mamamu yang ngatur semuanya.” “Anggap aja papa makan sehari berapa kali, Pa. Dikalikan sebulan, atau seberapa lama kira-kira sebelum. papa kasih uang lagi. Gitu aja ketemu, kok. Dah, ya, Pa. Ratu mau masuk kamar dulu. Laper masak sendiri.” *** "Sial!” Rangga menendang kosong. Kesal karena merasa dibohongi. Sebab sesampainya di rumah, ia melihat ibunya baik-baik saja. Tengah melipat pakaian dan tentu saja bingung melihatnya yang panik begitu, menanyakan apakah beliau baik-baik saja. “Nggak papa, Nak. Ibu nggak papa. Emangnya kenapa, sih?” kata beliau heran. “Ratu bohongin aku, Bu. Kata dia, tetangga kita telepon kalau ibu habis jatuh.” Bu Ratih menghela napas kasarnya. Tak heran dengan Ratu dan Rangga yang sifatnya masih kekanak-kanakan. Masih suka saling mengerjai dan iseng. “Emangnya kenapa? Kok, Rangga sampai di usir secara halus begitu?” “Itu bukan diusir secara halus, Bu. Tapi secara brutal.” “Ya sudahlah, dimaafkan saja. Dia cuma lagi bercanda saja mungkin.” “Nggak lucu, bikin orang jantungan aja.” “Kapan Rangga bicara sama Papanya Ratu?” “Itu dia, Bu. Papanya Ratu ada di rumah tadi. Makanya aku mau bicara sama beliau, tapi malah dibohongi. Padahal tadi timingnya sepertinya pas.” Bu Ratih menghentikan aktivitasnya melipat pakaian agar dia bisa berbicara lebih serius. “Rangga bisa kan, menghadapi Papanya Ratu sendiri?” “Ini kesalahanku, Bu. Aku harus bertanggung jawab.” Bu Ratih mengangguk. Beliau juga memahami bahwa Ratu mungkin masih belum siap jika papanya harus mengetahuinya sekarang. “Papanya Ratu pasti marah banget ya, Bu, kalau beliau tau. Apalagi Mama dan kakaknya.” “Makanya berpikir dulu sebelum bertindak, Nak. Jangan bertindak dulu baru mikir belakangan. Karena... ya, beginilah akibatnya.” Sore itu, suasana masih tampak baik-baik saja. Dan Rangga sudah berencana akan mengatakannya besok pagi, mumpung besok ia libur bekerja. Tapi pagi sekali, tiba-tiba saja Ratu mengabarkan kalau dirinya mengaku tak enak badan dan mengalami flek. “Nggaaa, aku takutt...” katanya di sambungan telepon. Padahal sebelumnya Ratu telah berencana untuk meluruhkan anaknya tersebut. Tapi begitu mengalami semacam ancaman keguguran, Ratu malah ketakutan sendiri. Aneh sekali bukan? “Ya lo emangnya habis ngapain?” suara Rangga meninggi. “Nggak ngapa-ngapain, semalam kan aku tidur.” “Trus yang dimakan?” “Gue belum makan apa-apa dari semalam, Suneo!” “Astaga, Ratu!” kesal, Rangga pun menutup teleponnya. Namun bukan berarti dia tak melakukan apa-apa. Rangga menginstal sebuah aplikasi kesehatan untuk berkonsultasi dengan dokter tentang masalah ini. Dalam beberapa menit, Rangga kembali menghubungi Ratu lagi agar dia bedrest saja selama seharian ini, seperti saran dokter. Untuk urusan makanan, Rangga juga yang menyiapkannya dan mengantarnya langsung ke rumah gadis itu. Dari luar, Rangga menunggu Ratu yang kini berjalan dengan hati-hati menghampirinya. “Masih flek?” tanya Rangga sambil mengulurkan makanan yang dibawanya. “Masih, Ngga. Malah tambah banyak,” Ratu tak dapat menyembunyikan kecemasan di wajahnya. “Gimana ini? Aku beneran takut kenapa-kenapa.” “Ya udah, lo istirahat aja, dulu. Nggak usah ngapa-ngapain dulu. Kalau bokap lo nyuruh apa, bilang aja lagi kurang enak badan.” “Ini apa, Ngga?” “Itu masakan ibu. Sayur asem sama tahu tempe, ikannya nila. Vitamin sama obatnya ada di situ sekalian. Udah aman kok, buat bumil.” “Kalau sampai siang nanti masih begini juga gimana?” “Makanya lo jangan stress. Kalau stress kondisinya malah tambah parah!” “Gue yang ngalamin sendiri, mana bisa nggak stress?” “Kita tunggu dulu sampai besok. Gimana perkembangannya. Yang penting lo terus kabarin kondisi lo ke gue.”Malam sudah sangat larut, tapi Rangga masih mondar-mandir di kamarnya. Pemuda itu tak bisa tidur, harinya gelisah, pikirannya dipenuhi oleh Ratu, sosok yang kini menjadi pusat dunia kecilnya.Setiap detik terasa sangat lama, membayangkan bagaimana keadaan Ratu saat ini.Terakhir, Ratu berkirim pesan setengah jam yang lalu. Mestinya belum terlalu lama, kan? Namun, Rangga ingin tahu keadaannya lagi sekarang ini, ingin memastikan bahwa Ratu baik-baik saja.Ratu: ya kalau lo kayak gitu terus, nanya-nanya tanpa henti, gue kapan tidurnya, Njir? Gue juga mau istirahat.Balas Ratu setelah Rangga menanyakan kembali kondisi gadis itu.Rangga: Kita ke rumah sakit aja, yuk, Ra. Tapi gue nggak ada uang lebih. Lo ada BPJS kan? Ratu: Dasar kismin. Kismin, tapi nggak punya otak hamilin anak orang. Semestinya kata-kata hinaan seperti ini tidak bisa diterima. Namun karena yang mengucapkannya adalah Ratu, jadi Rangga tak peduli.Terserah dia saja mau bilang apa. Rangga sudah terbiasa dengan ucapan Ra
"Abang, Papa?” Ratu langsung mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, begitu melihat Abang dan Papanya membuka tirai IGD tempatnya barusan diberikan penanganan. Ia masih menunggu informasi dari mereka tentang kondisinya, serta tahap penanganan selanjutnya. Setelah ditanya-tanya oleh dokter jaga, dipasang infus dan diberikan obat. Kedua laki-laki itu menghampirinya. Marcel, abangnya, mengusap kepala Ratu dan mencium keningnya. “Gimana keadaan Ratu sekarang? Apa yang Ratu rasain?” tanya Marcel. Ratu bisa ketakutan dan kekhawatiran di wajah pria itu. “Nggg.... Pegel sama lemes, Bang. Sampai mata kunang-kunang. Tapi sekarang udah ngga terlalu lagi, kok,” jawab Ratu mencoba memaksakan senyum. Ia sudah berdebar tadinya, membayangkan reaksi papa dan abangnya setelah mereka tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi yang Ratu tangkap dari wajah keduanya justru ketakutan dan kekhawatiran. “Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Jangan main HP,” pesan Marcel. “Aku belum izin ke atasan kalau
Dua orang suster datang menemui pasien dan keluarga pasien atas nama Ratu, untuk menginformasikan bahwa Ratu sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan.Mereka sigap membantu mendorong brankar yang ditempati Ratu, ke ruangan yang ada di lantai lima.Di sana, Ratu langsung mendapatkan sarapan paginya, makanan pendamping lain, obat-obatan. Serta vitaminnya. Papa Bandi Setia mendampingi Ratu seorang diri, karena putranya, Marcel, telah meninggalkan rumah sakit.Marcel harus memenuhi janjinya untuk mengantarkan anaknya ke lomba, sehingga ia tidak bisa menunggu Ratu di sini. Toh, sudah ada papa yang menemaninya.Meski begitu, Marcel tetap meminta papanya untuk memberinya kabar tentang kondisi Ratu, sekecil apapun informasi yang didapat, serta tindakan dan keputusan yang akan diambil.Menjelang siang, seorang suster kembali berkunjung dan mengatakan, bahwa dokter kandungan sudah tiba. Ia akan mengantarkan Ratu ke ruang praktik untuk diperiksakan melalui USG.Ratu diantarkan menggunakan kurs
“Bu, Ngga?” tanya Ratu begitu melihat kedua orang tersebut memasuki ruangan.“Gimana keadaanmu, Nak?” Bu Ratih mendekat dan menggenggam tangan Ratu.Sentuhan hangat wanita kalem itu memberikan sedikit kenyamanan di hati Ratu yang kini tengah gelisah. Karena banyaknya hal yang dipikirkan. “Udah agak baikan, kok,” jawab Ratu pelan.Tak dipungkiri dia merasa bingung dan takut akan reaksi orang-orang di sekitarnya.Rangga berdiri di samping ibunya. Ia ingin bertanya mengapa Ratu tak kunjung membalas pesannya, namun melihat wajah Papa Ratu saat ini membuat nyalinya menciut. Hingga ia memilih untuk diam dan menunggu waktu yang tepat.“Ibu turut sedih dengan keadaan Ratu. Awalnya bagaimana? Kenapa bisa sampai pendarahan?” tanya Bu Ratih lagi.“Ngak tahu, Bu. Tiba-tiba sakit aja,” jawab Ratu. “Tapi sebelum ini, aku banyak makan nanas. Apa itu berpengaruh? Soalnya sehari sebelumnya masih baik-baik saja,” jelasnya. “Astaghfirullah, Nak. Jangan seperti ini lagi. Semoga bukan Rangga yang menyur
Pagi itu, Ibu Ratih mengundang semua saudara terdekatnya untuk turut menjadi saksi atas pernikahan putranya.Kabar mendadak yang mereka terima tentu saja membuat semua orang bertanya-tanya, mengapa pernikahan tersebut dilaksanakan sedemikian mendadak?Semestinya pernikahan itu membutuhkan persiapan yang tidak sebentar. Belum lagi mengurus surat-menyuratnya yang biasanya memakan waktu cukup lama. Namun tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja mereka mendengar Rangga akan melakukan akad nikah pagi ini juga. Situasi ini membuat semua berpikir, apakah ada kecelakaan atau kejadian buruk yang menimpa? Kecelakaan dalam artian tanda kutip, maksud mereka.Mirah, adik Ibu Ratih, membawa kakaknya itu ke kamar agar perbicaraan mereka tak sampai terdengar keluar.“Mbak, kita kan saudara kandung. Seharusnya nggak perlu ada rahasia sekecil apapun di antara kita. Toh, lambat laun aku juga pasti akan tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Mirah berbisik, “Rangga buat ulah kah, Mbak?”Ibu Ratih
Rangga dan keluarganya telah tiba di depan rumah Ratu. Disana, beberapa orang telah menunggu kedatangan mereka dan bersiap untuk menyambut rombongan keluarga ini—terutama Pak Bandi sendiri dan anak laki-lakinya.Jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Rangga saat ini. Melihat kedua wajah laki-laki itu membuatnya menciut. Entah ke mana keberanian yang dimilikinya, karena yang tersisa hanyalah rasa takut.Luka di wajahnya, bekas pukulan kemarin, menjadi pengingat pahit akan kesalahan besar yang telah dilakukannya. Andai mereka yang melihat, benar-benar memahami bahwa itu adalah luka bekas pukulan.Pak Bandi dan Marcel mengamati semua anggota keluarga yang hadir, tetapi tatapan mereka kepada Rangga begitu dingin. Dendamnya pada Rangga masih sangat membara.Namun meski demikian Rangga merasa ini masih lebih baik, lantaran mereka masih mau memberinya kesempatan untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.Seorang ustadz atau tokoh masyarakat memasuki rumah, di mana banyak orang telah menunggu
“Ngga, bangun! Udah adzan!”Seruan ibunya dari balik pintu kamar membuat Rangga terjaga dari tidurnya yang lelap.“Iya, Bu!” jawabnya dengan suara parau.Rangga beranjak dari kasurnya. Dia kemudian duduk di tepi tempat tidur dan meneguk air putih dingin yang sengaja dia sediakan. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dia haus tengah malam.Sensasi segar air itu, sedikit membantunya mengusir rasa kantuk.Tiba-tiba saja, Rangga terbayang pernikahannya yang baru saja berlangsung kemarin. Kenangan indah itu membuatnya tersenyum, dan tanpa berpikir panjang, ia iseng mengirim voice note kepada perempuan yang kini sudah sah menjadi istrinya tersebut.“Ra, my wife, bikinin gue kopi, dong. Masakin yang enak juga ya. Kamu tahu makanan kesukaanku kan? Ya, nasgor.”Rangga terkekeh geli dengan keisengan nya sendiri.Namun Rangga tak menunggu balasan, karena sekarang ia harus segera mengambil air wudhu dan bersiap menuju musala terdekat, sebelum iqamah dikumandangkan.“Emangnya bener ya, Ngga, kemarin ka
“Hampir aja gue telat,” gumam Rangga begitu tiba di kantornya, dan bisa men-scan jarinya di mesin absensi tepat waktu.“Woi!” seseorang dari belakang mengejutkannya dengan menepuk punggungnya.Rangga menoleh, Putra adalah pelakunya.“Ke mana aja lo? Tumben banget kemarin lo nggak ikut anak-anak nongkrong. Jangankan ikut nongkrong, nongol di grup aja kagak.”“Sorry, sorry. Gue sibuk,” jawab Rangga sembari melangkah menuju ruangan mereka yang ada di lantai empat.Sedikit penjelasan, kantor Rangga adalah perusahaan yang bergerak di bidang brand design. Meski belum terlalu besar, namun jangan salah, perusahaan ini sudah sering mengerjakan berbagai proyek untuk klien-klien ternama.Di ruangan tersebut, terdapat dua tim yang berbagi ruang kerja, yaitu Tim 1 dan Tim 2. Namun masing-masing tim memiliki spesialisasi dan fokus yang berbeda. Rangga berada di tim 1 yang dibawaih oleh Ibrahim.“Halah, sibuk apaan? Sibuk sama cewek-cewek lo?”“Enggak lah, gue udah nggak kayak gitu lagi kok.”“Emang
“Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi
Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan
Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s
Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“
Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m
“Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?
Sekilas memang seperti tak ada yang berubah dari Rangga setelah kejadian menegangkan semalam. Namun di dalam hati pria itu, sebenarnya masalah ini sangat mengganggu. Berbagai kekhawatiran muncul di kepalanya; bagaimana kalau dia sampai diputus mitra, kemudian ia tak bisa mendapat kerja sampingan lagi, lalu, setelah itu nasib dia ke depannya akan seperti apa nantinya?Karena kejadian semalam itu juga, Rangga tidak bisa masuk ke kantor hari ini. Tujuannya adalah ke Kemang—head office untuk melakukan banding—proses yang tidak bisa ia tentukan kapan selesainya. Bisa cepat, bisa lambat, tergantung situasi dan kondisi yang ada di sana.Berdasarkan pengalaman dari teman-teman seperjuangan nya yang pernah mengalami hal serupa, mereka selalu bertemu banyak driver/kurir lain yang juga berkepentingan. Jadi bukan tidak mungkin Rangga pun juga akan mengantre.Beruntung, Rangga memiliki bukti. Ia berhasil merekam sebagian akhir percakapan antara dirinya dan pe
“Katanya mau tidur lagi? Nggak jadi?” tanya Rangga Begitu pak Bandi dan Marcel pergi.“Nggak tau. Udah keburu ilang ngantuknya,” jawab Ratu.“Karena pengen ikut?”Ratu kembali menjawab tidak tahu.“Udah mau jam setengah enam, Ra. Aku pulang dulu kali ya. Mau ganti baju. Kamu mau ikut nggak?” tawar Rangga, karena sejujurnya dia juga tidak tega membiarkan istrinya sendirian di sini.Tetangga Ratu agak berjarak, hingga tak lebih memudahkan siapapun yang memiliki sebuah urusan atau meminta tolong.Lagipula jika menyangkut masalah kepedulian dan kekeluargaan,tetap lebih solid tetangganya sendiri yang ada di RT sebelah.Namun, ini hanya sebuah pemikiran dari seorang suami yang khawatir akan kondisi istrinya yang hamil dengan riwayat pendarahan. Harapannya sih, tidak akan terjadi apa-apa lagi pada istrinya itu.“Tapi aku belum mandi...” balas Ratu.“Nggak papa. Nanti bisa mandi di sana.”Ratu mengambi
Memang benar, pada malam itu Rangga bisa tertidur nyenyak. Namun kebiasaannya untuk bangun pagi tetap tak pernah berubah. Beberapa waktu terakhir, ia selalu terbangun sebelum adzan subuh berkumandang, walaupun malam sebelumnya ia merasa begitu lelah. Rangga melihat ke samping. Ratu, istrinya, tampak tertidur damai dengan bantal guling yang dipeluknya erat. Rambutnya yang panjang terurai di atas bantal dan wajahnya memancarkan ketenangan. Rangga mendekatkan wajahnya, embusan napas hangat Ratu menerpa kulitnya yang dingin. Perlahan Rangga mendaratkan kecupannya di kening gadis itu. Dilihatnya lamat-lamat wajah cantik Ratu, kulitnya yang cantik, halus mulus tanpa noda, alisnya yang tebal dan rapi, bulu matanya yang lentik, belum lagi bibirnya yang manis yang membuatnya selalu tergoda. Pikiran Rangga berisik, mengingat bahwa ia bisa melakukan lebih di sini untuk menyalurkan perasaan rindunya. Namun hatinya seolah memasang rambu-rambu, agar dia berhenti. Jika tak ingin lantas mengul