Share

Leah dan Rahasia Sihir
Leah dan Rahasia Sihir
Penulis: Kamila Rahma

BAB 1 - Penyihir Dihukum Mati

Wanita itu tersungkur lemah. Tubuhnya terhantam tanah kering bebatuan. Tangan dan kakinya terikat oleh seutas tali yang saling terhubung. Menarik paksa tubuhnya satu sama lain hingga menyentuh kulit yang membiru.

Seluruh tubuhnya bersimbah darah. Pakaiannya tercabik oleh pedang dan rasa takut. Isi kepalanya berantakan. Melihat dua sosok yang terus menatapnya dengan linangan air mata di ujung sana.

"Kau penyihir, kau tak pantas tinggal di dunia suci ini."

Pria berjubah itu begitu enteng memainkan pedang miliknya. Sementara wanita yang berada di kakinya, ia hanya mampu berteriak kesakitan saat pedang menghunus kedua tangannya.

"Sakit.. selamatkan aku.." ucapnya lirih.

Tatapan mata wanita itu terus tertuju ke arah air mancur yang terletak cukup jauh darinya. Orang-orang hanya akan mengira jika ia sangat kehausan dan berharap agar bisa menegak seluruh air di sana. Tetapi bukan itu yang ia pikirkan. Wanita itu menatap ke sosok yang berada di balik Air Mancur itu.

"Lalu apa yang harus kita lakukan padanya, Yang Mulia?" teriak salah satu warga yang turut menyaksikan eksekusi di tengah kota.

"Tak ada pilihan lagi. Musnahkan semua penyihir di dunia ini. Jangan ada yang tersisa" sahut temannya yang juga ikut berada di area itu.

Sontak seluruh rakyat di sana bersorak ramai penuh semangat, meningat bahwa kedamaian akan segera hadir di antara mereka. Tak memperdulikan wanita itu yang telah terbujur kaku.

Namun tidak untuk anak itu. Seluruh tubuhnya tak mampu melakukan apapun. Ia bahkan tak dapat mengucapkan satu kalimat pun. Bukan tak mau, namun tak bisa. Air matanya mengering usai menatap wanita yang sangat berharga di hidupnya tergelatak tak bernyawa.

"Hidup Yang Mulia Rashzan!"

"Musnahkan penyihir!"

"Penyihir harus mati!"

"Neraka bagi mu, wanita penyihir gila!"

Suara kemenangan saling bersaut. Para rakyat bersuka cita saat melihat wanita itu kehilangan kepalanya. Mereka enggan menutup mata hanya karena ingin menyaksikan eksekusi sore itu. Namun, mereka justru menutup mata hingga berpuluh tahun lamanya akan pertanda datangnya mara bahaya.

"Mengapa kau menahanku. Tidakkah kedua mata mu masih berguna dengan baik."

Anak itu masih terdiam di sana. Kedua matanya merah, tangannya mengepal, menahan amarah di dadanya. Sejak awal anak itu tidak sendirian. Seorang pria dewasa ada di sana, menahan bahu kecil yang ada dihadapannya.

"Kau tak bisa ke sana."

"Apa kau meremehkan kemampuan ku."

"Tentu saja bukan. Aku percaya pada kalian berdua."

"Lalu mengapa. Setidaknya biarkan dia menghampiri wanita itu untuk terakhir kalinya."

Pria itu melirik ke 'dia' yang dimaksud anak itu. Gadis kecil berambut pirang, terdiam di sebelahnya dengan boneka di tangan.

Tak ada kesedihan di wajahnya melainkan sebuah senyum dengan mata yang terus terpejam.

"Kalian tidak bisa ke sana. Tidak untuk sekarang."

Anak itu terdiam seakan mengerti maksud pria di belakangnya itu.

Ia menggenggam gadis itu semakin erat, lalu berkata "Kau harus berjanji satu hal padaku."

"Apa yang kau mau, putraku?" ucap pria itu dengan seringai tipis di wajahnya.

"Berjanjilah padaku kau tidak akan menahan kami untuk kedua kalinya, Luke."

Mendengar ucapan anak itu, kini seringai di wajahnya terlihat jelas. Aura menyeramkan menyeruak masuk hingga ke seluruh tubuh anak itu. Perasaan cemas menyelimuti jiwa anak itu. Namun ia tak menggubrisnya dan tetap percaya kepada pria yang bernama Luke.

"Ya. Percayalah padaku, aku akan memberikan segalanya untuk kalian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status