Hari itu adalah hari keluarga bagi kediaman Duke. Duchess sengaja meminta butler untuk mengosongkan jadwal Duke, sore hari ini. Ia ingin membawa anggota keluarganya pergi minum teh bersama di taman. Seakan dirinya tahu, tak akan ada lagi hari keluarga untuk mereka.
Namun harapan Duchess gagal begitu saja, ketika Emperor tiba-tiba memanggil Duke untuk segera ke Istana. "Kenapa Yang Mulia tiba-tiba memanggilmu. Apa yang sebenarnya ingin ia bicarakan." Lilyana menghentikan suaminya, tepat sebelum Duke memasuki ruang kerja. "Tenanglah, sayang. Mungkin Yang Mulia hanya ingin menyapaku, setelah sekian lama aku tidak kembali ke kota." "Ia yang mengirimmu ke perbatasan dan sekarang ia berpura-pura ingin menyapamu. Apa itu masuk akal." Jika Count Kris adalah kapten dari ksatria tim A, maka Duke Hans adalah kapten dari ksatria tim B. Para ksatria yang ditugaskan untuk menjaga wilayah gerbang perbatasan Murloc dari para monster. "Ayah akan pergi?" tanya Arez saat melihat kedua orang tuanya tengah berbicara, berada di sebuah lorong dekat ruang kerja Duke. "Emperor lagi-lagi memanggil ayahmu" kata Lilyana ketus. "Ada urusan apa?" "Itulah yang ibumu tanyakan. Bukankah kau juga berpikir hal yang sama, putraku?" Duchess merasa kesal setiap kali suaminya dipanggil oleh Emperor Rashzan. Karena setiap Duke dipanggil ke istana, maka itu artinya ia harus kembali berpisah dengan suaminya. Emperor terus meminta Duke untuk pergi ke wilayah ujung dan melawan para monster di perbatasan Murloc, tanpa memikirkan solusinya. Sangat berbeda dengan mendiang raja sebelumnya dan para raja terdahulu. Mereka lebih memilih membuka gerbang Bumera, daripada harus membuat para ksatria kewalahan. "Ibu penasaran, apa Yang Mulia Rashzan, akan terus membuat ayahmu bertemu dengan monster hingga akhir." Lilyana terus melontarkan kalimat ketus dan sarkasnya, sementara Duke juga terus berusaha menenangkan istrinya. "Sayang, bagaimana pun kita tinggal di Brigstone. Mengabdi kepada Yang Mulia adalah tugas kita, kaum bangsawan." "..Kau selalu seperti itu. Setidaknya berikan kita satu hari saja untuk menikmati waktu keluarga" ucap Duchess dengan raut wajah sedihnya. Duchess pun pergi meninggalkan Duke dan Arez di sana. Kekesalannya sudah tak sanggup lagi ia bendung. Lilyana memutuskan untuk kembali ke kamarnya,karena tak mungkin ia menunjukkan amarahnya di tempat terbuka. Ia kesal namun tidak dapat ia tunjukan di tempat umum. Duke yang melihat istrinya semakin menjauh, ia lantas berkata "Ayah akan menyusul ibumu terlebih dulu. Kau ada urusan di tempat lain, bukan?" "Iya ayah." "Berhati-hatilah" ucap Duke sebelum menghilang dari hadapan Arez. Duke hanya bisa menghela nafasnya kasar dan segera mengejar istrinya. Melihat ayah dan ibunya menghilang begitu saja, Arez kemudian turut bergegas menemui Leah untuk memenuhi janjinya. Letak kediaman Count Kris dan Duke Hans tidaklah jauh. Hanya perlu waktu beberapa menit untuk sampai, jika Arez menunggangi kuda. Sementara jika ia berjalan kaki, membutuhkan kisaran 5 hingga 7 menit untuk tiba di sana. "Bawa ini dan ikuti aku." "Sebanyak ini untuk apa?" "Sudah ikuti aku saja. " "Kak, tunggu aku." "Cepatlah!" Setibanya Arez di sana, ia disuguhkan dengan pemandangan yang mengherankan. Seorang pria yang bahkan belum dewasa nampak tergopoh-gopoh mengejar Leah. "Kakak tunggu, ini terlalu banyak." Ia adalah Galen, adik bungsu Leah. Satu lagi sepupu Arez. "Kau ini seorang pria, jangan lemah begitu!" "Tapi ini terlalu banyak kakak. Aku bahkan tidak bisa melihat jalan di depan ku!" Leah segera menoleh ketika mendengar adiknya mengomel, berniat ingin memarahi Galen karena membuatnya kesal. Tetapi saat melihat tumpukan karung di lengan Galen dan menutupi sebagaian wajahnya, saat itulah amarah Leah tergantikan dengan perasaan ingin tertawa. Namun tentusaja ia menahannya. "..Ups, sorry. Sini aku bantu, hehe" ucap Leah seraya mengambil beberapa tumpukan karung dari lengan Galen. Keduanya terlihat sangat sibuk. Saking sibuknya, mereka bahkan tidak sadar akan kehadiran Arez yang sejak awal terus mengamati keduanya dengan tatapan heran. "Apa yang sedang kalian lakukan?" sapa Arez menginterupsi keduanya, membuat kakak beradik itu menoleh padanya. "Arez! Akhirnya kau datang!" ucap Leah senang. Ia segera berlari menghampiri Arez, menariknya agar lebih dekat dengan tumpukan karung bewarna cokelat yang sedaritadi tertutup oleh tubuh Galen. Saat Galen bergeser dari posisinya, saat itulah tatapan Arez berubah. "Kak Arez selamatkan aku!" teriak Galen menyadari kehadiran Arez. "Kali ini apa yang kau lakukan padanya, Leah." "Bukan apa-apa. Aku hanya memintanya untuk membantu ku membawa seluruh karung ini" balas Leah sambil menujuk seluruh karung yang ada di sampingnya. Arez mengikuti kemana arah tangan Leah tertuju. Tempat di mana tumpukan karung telah tersusun rapi, seperti telah disesuaikan oleh Leah. "Semua itu, apa isinya?" "Tanaman obat. Kemarin aku seharian mencarinya di bukit belakang. Ini semua lah hasilnya." Sore itu ia menepati janjinya bertemu Dante dan berpetualang mencari semua tanaman obat ini di rumah penelitian. "Lalu, mau kau apakan semua ini di sini." "Tidak. Tidak di sini. Tapi di sana" ucapnya lalu menujuk ke arah selatan, tepat di mana sebuah bangunan tua berada di atas bukit, masih berdiri dengan kokohnya sendirian. "Jadi ini tugasku yang kau maksud itu" tanya Arez yang disambut anggukan Leah. "Cepat tunjukkan padaku mana yang harus ku bawa." "Tentu! Ayo Galen, kita kerjakan sama-sama!" ajak Leah kepada adiknya. "Kan sudah ada kak Arez, aku juga-" "Sudah, bawa ini cepat!" perintah Leah yang disusul dengan memberikan 2 buah karung kepada adiknya. "Jangan sampai jatuh ya! Ikuti aku~" sambungnya. Meski menahan kesal, Galen mencoba menatap Arez meminta pertolongan. Tapi Arez hanya memejamkan matanya dan menggeleng pelan, tanda bagi Galen untuk menyerah dan mengikuti perintah Leah. Mereka bertiga pun memulai aksi mengangkut karung dan memindahkannya ke tempat yang dimaksud Leah. Tak begitu jauh, tapi jalanan yang terjal membuat tak mudah untuk sampai ke sana. - (Leah Pov) Beruntungnya aku hari ini. Coba saja kalau Arez waktu itu tidak meminta bantuan padaku, bisa jadi aku harus bolak-balik hanya untuk mengangkut karung bersama Galen. Kekuatan Galen tak sebanding dengan Arez. Pantas saja ayah selalu memujinya di mana saja. Sepertinya aku harus sering memanfatkan kekuatannya itu. "Taruh di sini saja," kata ku sembari meletakkan karung itu di rumah penelitian. Disusul dengan karung-karung milik Arez dan Galen. Bruk! "Hah-hah-hah.. Akhirnya selesai!" teriak Jadda sembari menjatuhkan dirinya di sebuah sofa di rumah tersebut. Lihatlah itu. Arez bahkan dengan santainya membawa semua karung itu tanpa terlihat lelah. Sementara Jadda yang hanya membawa 4 karung, wajah dan nafasnya sudah seperti kipas angin rusak. "Sekarang apalagi?" tanya Arez. "Tak ada, kalian sudah boleh pulang." "Kau akan mengerjakan ini semua ini dengannya?" tanyanya sekali lagi. "Yap! Hari ini akan menjadi hari panjang untuk kami." Kami yang ku maksud adalah aku dan Dante. Kami sudah merencanakan untuk melakukan penelitian tanaman obat di sini, rumah penelitian kami. "Baiklah, aku akan pergi kalau begitu." ujar Arez sembari terus menatap ke sekeliling. Entahlah apa yang membuatnya terus menatap ke sekeliling. Padahal ini bukan pertama kalinya ia ke sini. "Kau tidak istirahat sebentar?" "Tak perlu." "Baiklah, hati-hati di jalan. Terimakasih bantuanmu hari ini-" Belum sempat ku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Galen terperanjat dari tidurnya dan segera menyusul Arez. "Kak Arez, aku ikut denganmu!" kata Galen lantang. Ini adalah kesempatan emas untuknya kabur, aku tahu itu Galen. "Terimakasih bantuannya untuk hari ini. Hati-hati di jalan ya!" teriakku mengiringi langkah keduanya yang mulai menghilang dari balik pintu.Kini tinggal aku sendirian di bangunan tua ini. Kedua manusia yang tadi membantuku mulai menghilang dari pandanganku. "Lebih baik aku bersiap-siap agar nanti bisa langsung dikerjakan" ucapku seraya menghampiri karung-karung yang telah diletakkan oleh Arez dan Galen. Aku mulai menata tumpukkan karung-karung dan memisahkan beberapa tumbuhan sesuai jenisnya. Jumlahnya tak terlalu banyak, namun tanaman yang ku peroleh jauh lebih banyak dari biasanya. "Ini adalah penemuan terbaruku. Dante pasti sangat bangga padaku!" ucapku puas saat melihat tanaman obat di sekelilingku. "Apalagi tanaman itu, ia pasti terkejut ketika melihatnya" ungkapku sembari menatap salah satu tanaman obat yang memang sangat sulit untuk didapatkan. Khusus tanaman tersebut akan aku simpan terlebih dahulu, dan ketika ulangtahunnya tiba akan aku jadikan tanaman itu sebagai kado spesial dariku. Bukan hanya tanaman yang cukup langka saja yang ku sisihkan,
Leah masih belum mampu mencerna semua hal di otaknya. Lengannya terasa sakit, sama seperti kepalanya yang terus berdenyut seakan memaksa dirinya untuk kembali terpejam. Kejadian di rumah penelitian bersama Dante ataupun keadaan di hadapannya sat ini, Leah berusaha menguhubungkan keduanya. "Sebenarnya, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.." gumam Leah. Ia berusaha melihat di sekelilingnya melalui celah dari bahu Galen. Namun sayang, tatapannya terus terganggu oleh lautan manusia yang berlalu lalang, beserta jeritan yang saling bersahut. Tak sedikit orang yang bahkan memang sengaja menubrukkan diri mereka ke Galen, karena rasa takut menyelimuti pandangan mereka. "Kakak. Berpegangan lah yang erat. Orang-orang mulai tidak bisa mengendalikan diri mereka" ucap Galen. Galen memperkuat genggamannya untuk memastikan, agar Leah tidak akan terlepas darinya. "Kita akan kemana?" tanya Leah lirih. "Kak Arez telah menunggu kita di dek
"Huwah! Terimakasih kak Arez telah menyelamatkan aku dari belenggu kakak!" Sepanjang perjalanan pulang, Galen terus mengeluh menggunakan suara lantangnya. Pria itu terus mengeluhkan kakaknya yang selalu memberikan banyak perintah. "Kak Leah itu sama seperti ibu. Tidak akan pernah berhenti memberi perintah dari A hingga A lagi. Rasanya aku bisa gila kalau terus menerus begini!" lanjutnya. Arez yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, ia sengaja mengacak-acak rambut Galen, bersamaan dengan tawa kecil yang masih melekat di wajahnya. Ia sangat hafal dengan sifat Leah, dan membuatnya paham dengan segala kekesalan Galen. Setelah pergi dari rumah penelitian milik Leah, kedua orang itu terus berjalan menuju ke istana. Arez sengaja ingin ke istana karena tahu kalau ayahnya sedang berada di sana. Sedangkan Galen tak ada alasan khusus, karena ia hanya ingin mengikuti saudara laki-lakinya pergi
"Arez!" Terdengar suara seorang wanita yang tak asing untuknya, memanggil nama Arez dari belakang. Suara itu adalah milik ibunya, Duchess Lilyana, bersama Countess Lianne di sampingnya. Duchess memeriksa Arez dari ujung kepala hingga kakinya, memastikan tidak terlihat darah di sana. Lalu ia segera memeluk Arez, bersyukur karena putranya dalam keadaan baik-baik saja. Lilyana sangat cemas karena tidak melihat kedua putranya sejak tadi. Apalagi setelah mendengar dari Lianne bahwa ia sempat bertemu Arez, Duchess segera berlari ke tempat di mana yang diceritakan oleh Lianne, untuk melihat putranya. "Syukurlah kau tak terluka.." ucap Duchess sembari melepas pelukannya. "Arez, dimana Galen?" Kini bibinya lah yang memanggil namanya. "Ia pergi menjemput Leah, bibi. Kami telah berjanji akan bertemu di bangunan tua milik keluarga Hugo." "Baiklah, bi
(Leah Pov) Usai melihat crystal ball pemberian Blair, suasana di rumah ini terasa semakin pengap. Termasuk juga untukku dan Arez, ketika melihat bagaimana sihir merah itu datang dan membawa pergi keluarga kami. "Leah." Arez memanggilku. Ia nampak sangat kusut, semenjak melihat Duchess yang telah menghilang lebih dulu. "Bagaimana keadaanmu" sambungnya. "Aku merasa lebih baik. Setelah meminum minuman dari Galen, tubuhku terasa sehat kembali." Sebenarnya bukan karena minuman dari Galen, karena aku bahkan belum meminumnya. Tetapi aku harus memastikannya terlebih dahulu kepada Blair, sebelum menyimpulkannya sendiri. "Leah, apa yang terjadi padamu" ucap Arez sembari duduk di sebelahku. Maksud dari pertanyaanya, pasti mengenai Dante beberapa saat
"Bagaimana bisa kau menemukan kami di sini?" ucap Arez memulai percakapan dengan Blair. Usai pergi meninggalkan Leah, mereka berdua saat ini tengah berada di dekat perapian yang telah mati di bangunan itu. Walaupun saat itu cuaca sedang dingin, namun karena pintu dan seluruh jendela telah tertutup rapat, angin dari udara luar tidak dapat menembus masuk ke dalam. "Kedua orang tua kalian yang memberi tahu kami" jawabnya. "Sejak kapan" tanya Arez sembari menoleh ke arah Blair berada. Blair sempat terkejut saat Arez menoleh kepadanya, karena jarak mereka yang cukup dekat, memudahkan Blair untuk melihat bola mata Arez dari dekat. Tetapi ia segera menoleh ke arah berlawanan, mengembalikan kesadarannya untuk menjawab pertanyaan Arez dengan jawaban yang sedikit lebih serius dari sebelumnya. "..Mungkin kau belum mengetahui ini, Arez. Bahwa Duchess dan Countess, sebenarny
Leah, bangunlah. Hari ini kita akan segera memulai perjalanan" kata Abigail sembari membangunkan Leah dari tidurnya. "..Perjalanan?" balas Leah di tengah kesadarannya. "Iya, perjalanan ke dunia sihir. Ayo cepatlah bangun." Sesuai kesepakatan, hari ini mereka telah setuju untuk mengikuti Blair dan Skye pergi ke dunia sihir, seperti pesan yang disampaikan oleh Archmage. Saat memastikan Leah telah mengerjapkan matanya, Abigail kemudian berkata "Bersiaplah, aku akan menunggu di luar" lalu pergi meninggalkannya. Leah hanya mengangguk, masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Bukan hanya tersisa Leah seorang di dalam sana, tetapi ada Hugo dan juga Galen yang masih sibuk bersiap dengan segala barangnya. Seperti Hugo yang sibuk dengan membongkar jendela-jendela di rumah itu.
(Leah POV) Kalimat yang diucapkan Arez memang menyebalkan, dan itu sudah cukup sering terdengar olehku. Tapi sepertinya kali ini aku sedang tidak bisa menerimanya. Perasaanku sedang tidak nyaman, apalagi setelah melihat crystal ball yang ditunjukkan Blair. Melihat bagaimana mereka membawa orangtua kami pergi.. Untunglah ada Blair. Kurasa dia telah membantuku berulang kali, salah satunya kejadian yang baru saja terjadi. Jika Blair tidak menghampiriku, mungkin aku akan memukul wajah Arez yang menyebalkan itu dan menimbulkan kecanggungan di antara kami nantinya. "Ini makanlah" ucap Skye sembari memberikan piring berisi makanan untukku. "Setidaknya biarkan aku duduk dulu" cibirku yang bahkan tak membuat Skye melirik sekalipun. Pagi itu Skye yang memasak sarapan untuk kami, dan ia terus pamer padaku secara tidak langsung. Bahkan aku belum sempat duduk, Skye sudah lebih dulu mendatangiku dan menunjukan masakannya, dengan raut wajah sombongnya itu. Ia juga terus menatapku dengan waja