Leah masih belum mampu mencerna semua hal di otaknya. Lengannya terasa sakit, sama seperti kepalanya yang terus berdenyut seakan memaksa dirinya untuk kembali terpejam. Kejadian di rumah penelitian bersama Dante ataupun keadaan di hadapannya sat ini, Leah berusaha menguhubungkan keduanya.
"Sebenarnya, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.." gumam Leah. Ia berusaha melihat di sekelilingnya melalui celah dari bahu Galen. Namun sayang, tatapannya terus terganggu oleh lautan manusia yang berlalu lalang, beserta jeritan yang saling bersahut. Tak sedikit orang yang bahkan memang sengaja menubrukkan diri mereka ke Galen, karena rasa takut menyelimuti pandangan mereka. "Kakak. Berpegangan lah yang erat. Orang-orang mulai tidak bisa mengendalikan diri mereka" ucap Galen. Galen memperkuat genggamannya untuk memastikan, agar Leah tidak akan terlepas darinya. "Kita akan kemana?" tanya Leah lirih. "Kak Arez telah menunggu kita di dekat gerbang perbatasan Murloc." Betapa terkejutnya Leah mendengar kalimat gerbang Murloc. Ayahnya terus melarang mereka untuk mendekati gerbang monster itu. Bagaimana bisa Galen dengan yakinnya, mengajak kakaknya pergi ke sana di saat-saat seperti ini. Pikir Leah. "Tapi ayah melarang kita ke sana.." Leah tahu jika pertanyaannya adalah hal yang tidak pantas ia ucapkan saat ini. Tetapi hati kecilnya terus menolak jika mereka melakukan hal yang bertentangan dengan perintah Count. "Percaya saja padaku kak." Meski terasa janggal, namun Leah lebih memilih diam. Saat ini ia tidak dapat melakukan apa-apa, selain berpasrah di punggung adiknya. Seluruh tubuhnya lemas, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang telah menguras habis tenaga Leah. Satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah menghiraukan suara dentuman di sekelilingnya dan segera memejamkan mata. Hingga tiba di saat langkah kaki Galen terhenti, lantaran mereka telah tiba di perbatasan gerbang Murloc. Mereka tiba di sebuah bangunan tua yang diselimuti oleh rumput liar dan jamur, namun isi di dalamnya masih cukup rapi untuk digunakan sebagai tempat beristirahat. "Kakak bangunlah, kita sudah sampai.." ucap Galen lembut. Galen meletakkan kakaknya di atas sofa dan membangunkannya, hingga perlahan Leah pun membuka matanya kembali. Disanalah, samar-samar ia melihat Arez tengah duduk melingkar bersama orang asing yang tak pernah Leah lihat sebelumnya. Tidak banyak orang yang berada di ruangan itu, namun juga tidak sedikit. Satu hal yang pasti, Leah berada di dalam ruangan minim cahaya lantaran seluruh pintu, jendela bahkan celah-celah di sana sengaja ditutup. Hanya satu buah lampu kuning berukuran kecil terletak di tengah ruangan untuk membantu menerangi pandangan. "Beristirahat lah di sini, aku akan ke sana sebentar" kata Galen sembari menujuk ke arah belakang. Sekali lagi, Leah hanya menuruti perintah adiknya. Ia kembali merehatkan tubuhnya di atas sofa tua yang sudah tidak begitu layak digunakan. Tetapi sofa itu adalah satu-satunya benda lembut di ruangan ini. "Kau sudah bangun, Leah." Seorang perempuan berambut merah mendekati Leah. Ia adalah Abigail. Putri tunggal dari kediaman Marquess. Salah satu teman Leah dan Arez. "Abby, kau juga ada di sini.." Abby adalah nama panggilan Abigail. Hanya orang-orang terdekat yang diperbolehkan Abigail untuk memanggil namanya dengan sebutan Abby. "Kita ada di mana?" sambungnya. Bukannya menjawab pertanyaan Leah, perempuan itu justru berbalik arah menuju tempat di mana Galen berada. Ia berbicara sebentar dengan Galen, lalu ia kembali bersama sebuah cangkir dengan asap yang mengepul di tangannya. "Minumlah ini selagi hangat. Galen yang membuatkannya untukmu" ujar Abigail seraya menyodorkan cangkir hangat untuk Leah. Perlahan Leah meraih cangkir itu dan menghirup asapnya. Belum sempat ia meneguknya, dirinya bahkan sudah tau isi kandungan dalam racikan minum tersebut. "Bagaimana Galen bisa membuat ini?" tanya Leah. "Aku tak paham dengan maksudmu. Apakah adikmu tak pernah membuatkanmu minuman?" "Bukan, aku tak bermaksud begitu. Hanya saja, ini ramuan dari tanaman obat untuk menetralisir racun." "Lalu, apakah itu hal yang tidak normal untuk Galen?" "Memang tidak sulit membuatnya, tapi ini bukan hal yang harusnya diketahui oleh orang umum. Maksudnya.. dari mana ia belajar tentang hal-" "Ibu yang mengajarkan padaku kak." Galen dengan sengaja memotong kalimat kakaknya. Ia berjalan mendekat dan kemudian duduk di sebelahnya. "Sebelum aku menjemput kakak, ibu sudah lebih dulu sibuk menyelamatkan para warga di sekitarnya. Ia lalu memberikanku ini dan menyuruhku untuk pergi menjemput kakak" ucapnya sembari menunjukkan sebuah buku kecil bewarna cokelat. Itu adalah buku ramuan tanaman obat milik Lannie. Ibu mereka dulunya seorang peracik obat, yang kerap menghabiskan waktunya untuk meneliti tanaman obat. Jauh sebelum Dante dan Leah, sudah ada Lannie yang lebih dulu sibuk dengan tanaman-tanaman itu. "Lalu, di mana ibu sekarang?" Pertanyaan Leah membuat seisi ruangan hening. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan orang-orang yang tadi duduk melingkar di sana menoleh menghadap Leah, namun tetap tak bergeming. Leah perlahan mengerti arti dari senyapnya ruangan itu. Raut wajahnya kini berubah. Marah, sedih, cemas, dan bingung, semuanya bercampur menjadi satu. "Leah." Seorang perempuan asing tiba-tiba memanggil namanya. Ia mengenakan serba serbi coklat di seluruh tubuhnya hingga rambut. Wanita itu datang mendekat dan tanpa basa-basi langsung memeluk Leah. "Kau siapa.." tanya Leah heran. Walaupun ia ingin melepas pelukan dari wanita itu, namun rasa lemas masih menjalar di tubuh Leah. Ia pasrah dan membiarkan wanita itu memeluknya sebentar. "Namaku Blair" ucap perempuan itu sesaat setelah melepaskan pelukannya. Ketika Blair melepas pelukannya, saat itulah tubuh Leah sepenuhnya terasa ringan kembali. Padahal ia belum meminum air racikan Galen, tapi tubuhnya telah kembali bugar. "Bagaimana bisa-" "Aku ingin memberikan mu sesuatu, Leah." Blair sengaja memotong kalimat Leah dan segara menggiringnya ke topik lain, yaitu dengan sebuah benda berbentuk bulat di tangannya. Ia mengeluarkan bola kaca dari tasnya, sebuah bola bewarna ungu. Tak ada isi apapun di dalamnya, benar-benar hanya seperti dekorasi bola lampu di meja belajar. "Crystal Ball ini untukmu" ujar Blair. Bola bewarna itu adalah crystal ball milik Blair dari dunianya. Ia segera meletakkan bola itu di tangan Leah seraya berkata "Jangan berikan ini kepada siapapun, karena hanya kau yang bisa menggunakan, Leah" bisiknya. Sebenarnya Leah bingung harus menerima crytal ball itu atau justru menolaknya. "Apa kegunaan benda ini untukku?" tanya Leah. Blair tersenyum mendengar pertanyaan tersebut. "Kau mau tahu fungsi benda ini salah satunya untuk apa?" Mendengar pertanyaan tersebut, kini bukan hanya Leah, melainkan seluruh orang di ruangan itu yang justru mengangguk. Membuat Blair terkekeh kecil. "Baiklah. Pejamkan kedua matamu jika kau ingin mengetahui apa yang telah terjadi selama kau pingsan." Seluruh orang di ruangan itu terkejut mendengar perintah Blair. Mereka terdiam dan terus menatap Leah, berharap agar wanita itu menuruti kalimat Blair tentang crystal ball di tangannya. "Namun ingatlah, kau hanya bisa menggunakan crystal ball ini untuk melihat kejadian dalam kurun waktu 1 hari. Jika sudah melebihi dari batas yang ditentukan, maka kau membutuhkan mana berukuran besar" jelas Blair. Apa itu mana, sebenarnya Leah atau siapapun di ruangan itu tidak mengerti ucapan Blair. Mereka tidak mengerti apa itu Mana. Tetapi mereka tetap mengangguk, mengiyakan seluruh ucapan Blair. Tanpa berpikir panjang, Leah segera memejamkan matanya sembari terus memegang bola milik Blair. Saat itulah seluruh kejadian beberapa jam sebelumnya, muncul di dalam crystal ball itu. Memperlihatkan betapa mengerikannya kota Brigstone di saat Leah tak sadarkan diri. "Sekarang bukalah matamu Leah, dan lihat apa yang terjadi di sana." Halo, jangan lupa vote dan komennya yang temann-temannnn. Thankyou!! 🥰"Huwah! Terimakasih kak Arez telah menyelamatkan aku dari belenggu kakak!" Sepanjang perjalanan pulang, Galen terus mengeluh menggunakan suara lantangnya. Pria itu terus mengeluhkan kakaknya yang selalu memberikan banyak perintah. "Kak Leah itu sama seperti ibu. Tidak akan pernah berhenti memberi perintah dari A hingga A lagi. Rasanya aku bisa gila kalau terus menerus begini!" lanjutnya. Arez yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, ia sengaja mengacak-acak rambut Galen, bersamaan dengan tawa kecil yang masih melekat di wajahnya. Ia sangat hafal dengan sifat Leah, dan membuatnya paham dengan segala kekesalan Galen. Setelah pergi dari rumah penelitian milik Leah, kedua orang itu terus berjalan menuju ke istana. Arez sengaja ingin ke istana karena tahu kalau ayahnya sedang berada di sana. Sedangkan Galen tak ada alasan khusus, karena ia hanya ingin mengikuti saudara laki-lakinya pergi
"Arez!" Terdengar suara seorang wanita yang tak asing untuknya, memanggil nama Arez dari belakang. Suara itu adalah milik ibunya, Duchess Lilyana, bersama Countess Lianne di sampingnya. Duchess memeriksa Arez dari ujung kepala hingga kakinya, memastikan tidak terlihat darah di sana. Lalu ia segera memeluk Arez, bersyukur karena putranya dalam keadaan baik-baik saja. Lilyana sangat cemas karena tidak melihat kedua putranya sejak tadi. Apalagi setelah mendengar dari Lianne bahwa ia sempat bertemu Arez, Duchess segera berlari ke tempat di mana yang diceritakan oleh Lianne, untuk melihat putranya. "Syukurlah kau tak terluka.." ucap Duchess sembari melepas pelukannya. "Arez, dimana Galen?" Kini bibinya lah yang memanggil namanya. "Ia pergi menjemput Leah, bibi. Kami telah berjanji akan bertemu di bangunan tua milik keluarga Hugo." "Baiklah, bi
(Leah Pov) Usai melihat crystal ball pemberian Blair, suasana di rumah ini terasa semakin pengap. Termasuk juga untukku dan Arez, ketika melihat bagaimana sihir merah itu datang dan membawa pergi keluarga kami. "Leah." Arez memanggilku. Ia nampak sangat kusut, semenjak melihat Duchess yang telah menghilang lebih dulu. "Bagaimana keadaanmu" sambungnya. "Aku merasa lebih baik. Setelah meminum minuman dari Galen, tubuhku terasa sehat kembali." Sebenarnya bukan karena minuman dari Galen, karena aku bahkan belum meminumnya. Tetapi aku harus memastikannya terlebih dahulu kepada Blair, sebelum menyimpulkannya sendiri. "Leah, apa yang terjadi padamu" ucap Arez sembari duduk di sebelahku. Maksud dari pertanyaanya, pasti mengenai Dante beberapa saat
"Bagaimana bisa kau menemukan kami di sini?" ucap Arez memulai percakapan dengan Blair. Usai pergi meninggalkan Leah, mereka berdua saat ini tengah berada di dekat perapian yang telah mati di bangunan itu. Walaupun saat itu cuaca sedang dingin, namun karena pintu dan seluruh jendela telah tertutup rapat, angin dari udara luar tidak dapat menembus masuk ke dalam. "Kedua orang tua kalian yang memberi tahu kami" jawabnya. "Sejak kapan" tanya Arez sembari menoleh ke arah Blair berada. Blair sempat terkejut saat Arez menoleh kepadanya, karena jarak mereka yang cukup dekat, memudahkan Blair untuk melihat bola mata Arez dari dekat. Tetapi ia segera menoleh ke arah berlawanan, mengembalikan kesadarannya untuk menjawab pertanyaan Arez dengan jawaban yang sedikit lebih serius dari sebelumnya. "..Mungkin kau belum mengetahui ini, Arez. Bahwa Duchess dan Countess, sebenarny
Leah, bangunlah. Hari ini kita akan segera memulai perjalanan" kata Abigail sembari membangunkan Leah dari tidurnya. "..Perjalanan?" balas Leah di tengah kesadarannya. "Iya, perjalanan ke dunia sihir. Ayo cepatlah bangun." Sesuai kesepakatan, hari ini mereka telah setuju untuk mengikuti Blair dan Skye pergi ke dunia sihir, seperti pesan yang disampaikan oleh Archmage. Saat memastikan Leah telah mengerjapkan matanya, Abigail kemudian berkata "Bersiaplah, aku akan menunggu di luar" lalu pergi meninggalkannya. Leah hanya mengangguk, masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Bukan hanya tersisa Leah seorang di dalam sana, tetapi ada Hugo dan juga Galen yang masih sibuk bersiap dengan segala barangnya. Seperti Hugo yang sibuk dengan membongkar jendela-jendela di rumah itu.
(Leah POV) Kalimat yang diucapkan Arez memang menyebalkan, dan itu sudah cukup sering terdengar olehku. Tapi sepertinya kali ini aku sedang tidak bisa menerimanya. Perasaanku sedang tidak nyaman, apalagi setelah melihat crystal ball yang ditunjukkan Blair. Melihat bagaimana mereka membawa orangtua kami pergi.. Untunglah ada Blair. Kurasa dia telah membantuku berulang kali, salah satunya kejadian yang baru saja terjadi. Jika Blair tidak menghampiriku, mungkin aku akan memukul wajah Arez yang menyebalkan itu dan menimbulkan kecanggungan di antara kami nantinya. "Ini makanlah" ucap Skye sembari memberikan piring berisi makanan untukku. "Setidaknya biarkan aku duduk dulu" cibirku yang bahkan tak membuat Skye melirik sekalipun. Pagi itu Skye yang memasak sarapan untuk kami, dan ia terus pamer padaku secara tidak langsung. Bahkan aku belum sempat duduk, Skye sudah lebih dulu mendatangiku dan menunjukan masakannya, dengan raut wajah sombongnya itu. Ia juga terus menatapku dengan waja
"Lama tak berjumpa denganmu, Lily." Seorang pria bertubuh tinggi, menyembunyikan wajahnya di jubah hitam miliknya. "Apa kau merindukanku?" tanyanya. Saat ini Lilyana berada di sebuah ruangan bernuansa oranye, karena cahaya matahari yang masuk dari sela-sela jendela. Ia terpisah dengan Duke dan juga kedua adiknya, yang telah berada lebih dulu di ruang bawah tanah. "Kenapa kau membawaku kemari." "Untuk apalagi, bukankah itu sudah jelas?" Ia berjalan mendekati Duchess, lalu meraih wajahnya menggunakan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya berada di pinggang. Kedua tangan pria tersebut dapat dengan bebas bergerak, tidak seperti kedua tangan Lilyana yang terikat oleh tali."Aku ingin menatap wajahmu yang cantik itu, tentu saja" sambungnya.Meskipun gelap, tetapi senyuman menyeringainya masih dapat terlihat oleh Lilyana. Membuat seluruh tubuh Lilyana bergidik ngeri."Harusnya kau berterimakasi
Wanita itu tersungkur lemah. Tubuhnya terhantam tanah kering bebatuan. Tangan dan kakinya terikat oleh seutas tali yang saling terhubung. Menarik paksa tubuhnya satu sama lain hingga menyentuh kulit yang membiru.Seluruh tubuhnya bersimbah darah. Pakaiannya tercabik oleh pedang dan rasa takut. Isi kepalanya berantakan. Melihat dua sosok yang terus menatapnya dengan linangan air mata di ujung sana."Kau penyihir, kau tak pantas tinggal di dunia suci ini."Pria berjubah itu begitu enteng memainkan pedang miliknya. Sementara wanita yang berada di kakinya, ia hanya mampu berteriak kesakitan saat pedang menghunus kedua tangannya."Sakit.. selamatkan aku.." ucapnya lirih.Tatapan mata wanita itu terus tertuju ke arah air mancur yang terletak cukup jauh darinya. Orang-orang hanya akan mengira jika ia sangat kehausan dan berharap agar bisa menegak seluruh air di sana. Tetapi bukan itu yang ia pikirkan. Wanita itu menatap ke sosok yang berada di balik Air Mancur itu."Lalu apa yang harus kita