Kini tinggal aku sendirian di bangunan tua ini. Kedua manusia yang tadi membantuku mulai menghilang dari pandanganku.
"Lebih baik aku bersiap-siap agar nanti bisa langsung dikerjakan" ucapku seraya menghampiri karung-karung yang telah diletakkan oleh Arez dan Galen. Aku mulai menata tumpukkan karung-karung dan memisahkan beberapa tumbuhan sesuai jenisnya. Jumlahnya tak terlalu banyak, namun tanaman yang ku peroleh jauh lebih banyak dari biasanya. "Ini adalah penemuan terbaruku. Dante pasti sangat bangga padaku!" ucapku puas saat melihat tanaman obat di sekelilingku. "Apalagi tanaman itu, ia pasti terkejut ketika melihatnya" ungkapku sembari menatap salah satu tanaman obat yang memang sangat sulit untuk didapatkan. Khusus tanaman tersebut akan aku simpan terlebih dahulu, dan ketika ulangtahunnya tiba akan aku jadikan tanaman itu sebagai kado spesial dariku. Bukan hanya tanaman yang cukup langka saja yang ku sisihkan, melainkan beberapa tanaman dari tiap karung juga ku simpan, walaupun jumlahnya hanya sedikit dari tiap karungnya. Tanaman-tanaman tersebut juga aku simpan di dalam sebuah laci perapian yang telah mati di bangunan itu. "Supaya tidak layu, mari kita simpan bersama tanahnya dan bungkus dengan tissu" gumamku seorang diri. Dante biasanya akan tiba ketika matahari hampir meletakkan dirinya tepat di atas kepala manusia, yang harusnya masih sekitar beberapa jam lagi untuk matahari bergerak ke atas. Namun hari ini berbeda dari biasanya, sesaat suara pintu kayu telah terbuka lebar. Brak! Hanya dalam sepersekian menit, Dante telah tiba di sini. Bahkan ada hal lainnya juga yang berbeda dari biasanya, di mana Dante datang dengan sedikit..tergopoh-gopoh. Tidak seperti biasanya, Dante yang selalu berpakaian rapi dan tetap tenang di segala situasi. "Kau sudah datang" ucapnya. "...Iya, aku berangkat lebih awal agar bisa menata tanaman-tanaman ini" balasku sembari menunjuk tanaman yang ku punggungi. Dante mengikuti arah di mana aku menunjuk, lalu ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan, dan kembali menatap ke seluruh karung-karung di sekelilingku. Apa yang sedang ia cari.. "Leah, apa isi karung ini semua?" tanya Dante padaku. "Semua ini isinya tanaman obat, Dante. Lihatlah tanaman-tanaman yang ku temukan di kebun belakang." "Kebun belakang Istana?" "Iya! Semuanya sangat langka. Sepertinya karena sedang berganti musim, jadi tanaman yang tumbuh pun juga berubah." "..." Dante tak bergeming. Ia hanya menatap tanganku kosong. "..Ada apa?" tanyaku. Aneh sekali. Kenapa Dante justru tidak terlihat seantusias biasanya. Apakah aku melakukan kesalahan, atau aku salah mengambil tanaman. "Kau pergi ke sana dengan siapa?" tanyanya. Sebenarnya aku pergi bersama Galen, tapi entah kenapa, aku tak ingin mengatakannya. "Sendiri. Siapa lagi yang tertarik dengan tanaman obat selain kau dan aku di kota ini?" Memang bener kalau di kota ini hanya aku dan Dante yang mendalami tentang tanaman obat. Meskipun sebenarnya ada satu orang lagi, tetapi orang yang sudah pensiun tentu tidak masuk hitungan, bukan. Dante tiba-tiba berjalan ke arah pintu dan menutup pintu di sana, lalu menguncinya. "Kenapa kau menguncinya.." Raut wajah Dante berubah saat ia menghampiriku. Ia meraih kedua tanganku dan mengatakan hal yang sama sekali tak pernah lagi ku bayangkan. "Leah, menikahlah denganku." Aku tak bisa menebak apakah ia sedang bercanda atau bukan. Tapi aku tahu, ini bukan saatnya untukku hanyut dalam lamunan. "Dante, apa yang kau maksud!" "Menikahlah denganku dan hentikan tentang penelitian herb ini." Wajah Dante terlihat cemas, seperti seseorang yang terus memohon. Tapi mengapa ia memintaku berhenti. Bukankah sejak kecil kami selalu melakukan penelitian bersama. "Apa kau gila. Kita ini saudara!" Dante berdecak kesal saat mendengar ucapanku. Ia juga sedikit tertawa, namun bukan tawa bahagia melainkan tawa menyeringai. "Saudara.. apa aku harus mengingatkanmu lagi?" Ia mencengkram bahuku dengan sangat erat. "Leah, apa ucapanmu waktu itu tidak ada artinya" lanjutnya. "..Mengapa kau mengungkitnya sekarang." "Kau bilang, kau suka padaku. Apakah kau telah melupakannya." Sebuah kebodohan memilih bangunan ini sebagai tempat penelitian kami. Aku ingin berteriak sekeras mungkin, tapi percuma, karena tidak akan ada yang nendengarku. ".. Hentikan. Pergilah dari sini." "Aku akan pergi jika kau menerima ku." Dante tetap bersikukuh dan tetap mencengkram bahuku, bahkan semakin kencang. Aku semakin takut padanya. Tak ada pilihan lain, aku mencoba mendorongnya, tetapi kekuatannya..aku menyesal menolak ajakan ayah untuk berlatih pedang. "Dante hentikan semua ini, jangan buat aku takut padamu." "Aku sedang tak menakutimu, Leah." "Tapi kau membuatku takut!" "..Aku tak akan melukaimu, jangan takut padaku." Bohong. Apa yang ia ucapkan dengan yang ia katakan berbeda. "Arez sebentar lagi akan tiba." "Arez tidak akan melakukan apapun untukmu." "Kenapa kau seyakin itu." "Karena itu Arez. Anak bodoh yang tidak tahu apa-apa." "Diamlah. Arez tidak akan diam saja jika tahu kakaknya melakukan ini." Dante mendorongku bersamanya. Perlahan aku mulai merasakan dinding yang menyentuh bahuku. "Aku tidak perduli. Saat ini yang aku perdulikan hanya memaksamu untuk segala hal. Apapun itu yang aku mau" ucap Dante dengan raut wajah yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Itu adalah kalimat terakhir yang ku dengar darinya. Setelah itu aku hanya mengingat jika ia menyudutkanku ke tembok dan merobek pakaian ku. Lalu semuanya hilang. (Author Pov) Leah terbangun karena suara teriakkan terdengar di seluruh ruangan. ".. Apa yang terja-!" Ia terkejut melihat pakaiannya yang sangat lusuh. Namun ia lebih terkejut saat melihat seluruh karung di hadapannya menghilang. Perempuan itu tahu siapa pelakunya. Orang yang sama dengan yang telah menyakiti dirinya. Brak! Tiba-tiba suara pintu yang dibuka paksa berhasil membangunkan dirinya dari lamunan. "Galen.." Pelakunya adalah Galen. Adik Leah. "Kakak apa yang kau lakukan berdiam diri seperti itu. Ayo kita pergi dari sini!" teriaknya. Leah masih belum mengerti apa yang terjadi. Tatapannya kosong, dan Galen mengerti. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia langsung menghampiri kakaknya dan menggendong tubuh Leah di punggungnya. "Berpeganganlah kak, aku akan berlari" ucap Galen. "Tunggu sebentar, bantu aku ke sana" pinta Leah sembari menunjuk ke arah laci perapian. Leah mengambil karung kecil yang tadi ia simpan, lalu ia letakkan di sebuah tas yang berada di atas perapian. "Letakkan itu di bahuku kak" kata Galen. Ia mengikuti ucapan adiknya dan segera meletakkan tasnya ke bahu Galen. "Sekarang berpeganganlah kak, kau akan terkejut ketika keluar dari pintu itu." Saat Galen membawanya keluar dari bangunan itu, saat itulah mata Leah terbelalak. Ia melihat pemandangan yang begitu mencekam, di mana seluruh rakyat tengah berlari tanpa arah sambil berteriak ketakutan. Langit tiba-tiba berubah menjadi kemerahan, semakin mencekam untuk Leah sadari. Untuk pertama kalinya, Leah merasa takut berada di Brigstone. Jangan lupa vote dan komentar yaaaa, thankyouuu!!!Leah masih belum mampu mencerna semua hal di otaknya. Lengannya terasa sakit, sama seperti kepalanya yang terus berdenyut seakan memaksa dirinya untuk kembali terpejam. Kejadian di rumah penelitian bersama Dante ataupun keadaan di hadapannya sat ini, Leah berusaha menguhubungkan keduanya. "Sebenarnya, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.." gumam Leah. Ia berusaha melihat di sekelilingnya melalui celah dari bahu Galen. Namun sayang, tatapannya terus terganggu oleh lautan manusia yang berlalu lalang, beserta jeritan yang saling bersahut. Tak sedikit orang yang bahkan memang sengaja menubrukkan diri mereka ke Galen, karena rasa takut menyelimuti pandangan mereka. "Kakak. Berpegangan lah yang erat. Orang-orang mulai tidak bisa mengendalikan diri mereka" ucap Galen. Galen memperkuat genggamannya untuk memastikan, agar Leah tidak akan terlepas darinya. "Kita akan kemana?" tanya Leah lirih. "Kak Arez telah menunggu kita di dek
"Huwah! Terimakasih kak Arez telah menyelamatkan aku dari belenggu kakak!" Sepanjang perjalanan pulang, Galen terus mengeluh menggunakan suara lantangnya. Pria itu terus mengeluhkan kakaknya yang selalu memberikan banyak perintah. "Kak Leah itu sama seperti ibu. Tidak akan pernah berhenti memberi perintah dari A hingga A lagi. Rasanya aku bisa gila kalau terus menerus begini!" lanjutnya. Arez yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, ia sengaja mengacak-acak rambut Galen, bersamaan dengan tawa kecil yang masih melekat di wajahnya. Ia sangat hafal dengan sifat Leah, dan membuatnya paham dengan segala kekesalan Galen. Setelah pergi dari rumah penelitian milik Leah, kedua orang itu terus berjalan menuju ke istana. Arez sengaja ingin ke istana karena tahu kalau ayahnya sedang berada di sana. Sedangkan Galen tak ada alasan khusus, karena ia hanya ingin mengikuti saudara laki-lakinya pergi
"Arez!" Terdengar suara seorang wanita yang tak asing untuknya, memanggil nama Arez dari belakang. Suara itu adalah milik ibunya, Duchess Lilyana, bersama Countess Lianne di sampingnya. Duchess memeriksa Arez dari ujung kepala hingga kakinya, memastikan tidak terlihat darah di sana. Lalu ia segera memeluk Arez, bersyukur karena putranya dalam keadaan baik-baik saja. Lilyana sangat cemas karena tidak melihat kedua putranya sejak tadi. Apalagi setelah mendengar dari Lianne bahwa ia sempat bertemu Arez, Duchess segera berlari ke tempat di mana yang diceritakan oleh Lianne, untuk melihat putranya. "Syukurlah kau tak terluka.." ucap Duchess sembari melepas pelukannya. "Arez, dimana Galen?" Kini bibinya lah yang memanggil namanya. "Ia pergi menjemput Leah, bibi. Kami telah berjanji akan bertemu di bangunan tua milik keluarga Hugo." "Baiklah, bi
(Leah Pov) Usai melihat crystal ball pemberian Blair, suasana di rumah ini terasa semakin pengap. Termasuk juga untukku dan Arez, ketika melihat bagaimana sihir merah itu datang dan membawa pergi keluarga kami. "Leah." Arez memanggilku. Ia nampak sangat kusut, semenjak melihat Duchess yang telah menghilang lebih dulu. "Bagaimana keadaanmu" sambungnya. "Aku merasa lebih baik. Setelah meminum minuman dari Galen, tubuhku terasa sehat kembali." Sebenarnya bukan karena minuman dari Galen, karena aku bahkan belum meminumnya. Tetapi aku harus memastikannya terlebih dahulu kepada Blair, sebelum menyimpulkannya sendiri. "Leah, apa yang terjadi padamu" ucap Arez sembari duduk di sebelahku. Maksud dari pertanyaanya, pasti mengenai Dante beberapa saat
"Bagaimana bisa kau menemukan kami di sini?" ucap Arez memulai percakapan dengan Blair. Usai pergi meninggalkan Leah, mereka berdua saat ini tengah berada di dekat perapian yang telah mati di bangunan itu. Walaupun saat itu cuaca sedang dingin, namun karena pintu dan seluruh jendela telah tertutup rapat, angin dari udara luar tidak dapat menembus masuk ke dalam. "Kedua orang tua kalian yang memberi tahu kami" jawabnya. "Sejak kapan" tanya Arez sembari menoleh ke arah Blair berada. Blair sempat terkejut saat Arez menoleh kepadanya, karena jarak mereka yang cukup dekat, memudahkan Blair untuk melihat bola mata Arez dari dekat. Tetapi ia segera menoleh ke arah berlawanan, mengembalikan kesadarannya untuk menjawab pertanyaan Arez dengan jawaban yang sedikit lebih serius dari sebelumnya. "..Mungkin kau belum mengetahui ini, Arez. Bahwa Duchess dan Countess, sebenarny
Leah, bangunlah. Hari ini kita akan segera memulai perjalanan" kata Abigail sembari membangunkan Leah dari tidurnya. "..Perjalanan?" balas Leah di tengah kesadarannya. "Iya, perjalanan ke dunia sihir. Ayo cepatlah bangun." Sesuai kesepakatan, hari ini mereka telah setuju untuk mengikuti Blair dan Skye pergi ke dunia sihir, seperti pesan yang disampaikan oleh Archmage. Saat memastikan Leah telah mengerjapkan matanya, Abigail kemudian berkata "Bersiaplah, aku akan menunggu di luar" lalu pergi meninggalkannya. Leah hanya mengangguk, masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Bukan hanya tersisa Leah seorang di dalam sana, tetapi ada Hugo dan juga Galen yang masih sibuk bersiap dengan segala barangnya. Seperti Hugo yang sibuk dengan membongkar jendela-jendela di rumah itu.
(Leah POV) Kalimat yang diucapkan Arez memang menyebalkan, dan itu sudah cukup sering terdengar olehku. Tapi sepertinya kali ini aku sedang tidak bisa menerimanya. Perasaanku sedang tidak nyaman, apalagi setelah melihat crystal ball yang ditunjukkan Blair. Melihat bagaimana mereka membawa orangtua kami pergi.. Untunglah ada Blair. Kurasa dia telah membantuku berulang kali, salah satunya kejadian yang baru saja terjadi. Jika Blair tidak menghampiriku, mungkin aku akan memukul wajah Arez yang menyebalkan itu dan menimbulkan kecanggungan di antara kami nantinya. "Ini makanlah" ucap Skye sembari memberikan piring berisi makanan untukku. "Setidaknya biarkan aku duduk dulu" cibirku yang bahkan tak membuat Skye melirik sekalipun. Pagi itu Skye yang memasak sarapan untuk kami, dan ia terus pamer padaku secara tidak langsung. Bahkan aku belum sempat duduk, Skye sudah lebih dulu mendatangiku dan menunjukan masakannya, dengan raut wajah sombongnya itu. Ia juga terus menatapku dengan waja
"Lama tak berjumpa denganmu, Lily." Seorang pria bertubuh tinggi, menyembunyikan wajahnya di jubah hitam miliknya. "Apa kau merindukanku?" tanyanya. Saat ini Lilyana berada di sebuah ruangan bernuansa oranye, karena cahaya matahari yang masuk dari sela-sela jendela. Ia terpisah dengan Duke dan juga kedua adiknya, yang telah berada lebih dulu di ruang bawah tanah. "Kenapa kau membawaku kemari." "Untuk apalagi, bukankah itu sudah jelas?" Ia berjalan mendekati Duchess, lalu meraih wajahnya menggunakan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya berada di pinggang. Kedua tangan pria tersebut dapat dengan bebas bergerak, tidak seperti kedua tangan Lilyana yang terikat oleh tali."Aku ingin menatap wajahmu yang cantik itu, tentu saja" sambungnya.Meskipun gelap, tetapi senyuman menyeringainya masih dapat terlihat oleh Lilyana. Membuat seluruh tubuh Lilyana bergidik ngeri."Harusnya kau berterimakasi