Share

BAB 5 - Langit Kemerahan

Kini tinggal aku sendirian di bangunan tua ini. Kedua manusia yang tadi membantuku mulai menghilang dari pandanganku.

"Lebih baik aku bersiap-siap agar nanti bisa langsung dikerjakan" ucapku seraya menghampiri karung-karung yang telah diletakkan oleh Arez dan Galen.

Aku mulai menata tumpukkan karung-karung dan memisahkan beberapa tumbuhan sesuai jenisnya. Jumlahnya tak terlalu banyak, namun tanaman yang ku peroleh jauh lebih banyak dari biasanya.

"Ini adalah penemuan terbaruku. Dante pasti sangat bangga padaku!" ucapku puas saat melihat tanaman obat di sekelilingku.

"Apalagi tanaman itu, ia pasti terkejut ketika melihatnya" ungkapku sembari menatap salah satu tanaman obat yang memang sangat sulit untuk didapatkan.

Khusus tanaman tersebut akan aku simpan terlebih dahulu, dan ketika ulangtahunnya tiba akan aku jadikan tanaman itu sebagai kado spesial dariku.

Bukan hanya tanaman yang cukup langka saja yang ku sisihkan, melainkan beberapa tanaman dari tiap karung juga ku simpan, walaupun jumlahnya hanya sedikit dari tiap karungnya. Tanaman-tanaman tersebut juga aku simpan di dalam sebuah laci perapian yang telah mati di bangunan itu.

"Supaya tidak layu, mari kita simpan bersama tanahnya dan bungkus dengan tissu" gumamku seorang diri.

Dante biasanya akan tiba ketika matahari hampir meletakkan dirinya tepat di atas kepala manusia, yang harusnya masih sekitar beberapa jam lagi untuk matahari bergerak ke atas.

Namun hari ini berbeda dari biasanya, sesaat suara pintu kayu telah terbuka lebar.

Brak!

Hanya dalam sepersekian menit, Dante telah tiba di sini. Bahkan ada hal lainnya juga yang berbeda dari biasanya, di mana Dante datang dengan sedikit..tergopoh-gopoh. Tidak seperti biasanya, Dante yang selalu berpakaian rapi dan tetap tenang di segala situasi.

"Kau sudah datang" ucapnya.

"...Iya, aku berangkat lebih awal agar bisa menata tanaman-tanaman ini" balasku sembari menunjuk tanaman yang ku punggungi.

Dante mengikuti arah di mana aku menunjuk, lalu ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan, dan kembali menatap ke seluruh karung-karung di sekelilingku. Apa yang sedang ia cari..

"Leah, apa isi karung ini semua?" tanya Dante padaku.

"Semua ini isinya tanaman obat, Dante. Lihatlah tanaman-tanaman yang ku temukan di kebun belakang."

"Kebun belakang Istana?"

"Iya! Semuanya sangat langka. Sepertinya karena sedang berganti musim, jadi tanaman yang tumbuh pun juga berubah."

"..."

Dante tak bergeming. Ia hanya menatap tanganku kosong.

"..Ada apa?" tanyaku.

Aneh sekali. Kenapa Dante justru tidak terlihat seantusias biasanya. Apakah aku melakukan kesalahan, atau aku salah mengambil tanaman.

"Kau pergi ke sana dengan siapa?" tanyanya.

Sebenarnya aku pergi bersama Galen, tapi entah kenapa, aku tak ingin mengatakannya.

"Sendiri. Siapa lagi yang tertarik dengan tanaman obat selain kau dan aku di kota ini?"

Memang bener kalau di kota ini hanya aku dan Dante yang mendalami tentang tanaman obat. Meskipun sebenarnya ada satu orang lagi, tetapi orang yang sudah pensiun tentu tidak masuk hitungan, bukan.

Dante tiba-tiba berjalan ke arah pintu dan menutup pintu di sana, lalu menguncinya.

"Kenapa kau menguncinya.."

Raut wajah Dante berubah saat ia menghampiriku. Ia meraih kedua tanganku dan mengatakan hal yang sama sekali tak pernah lagi ku bayangkan.

"Leah, menikahlah denganku."

Aku tak bisa menebak apakah ia sedang bercanda atau bukan. Tapi aku tahu, ini bukan saatnya untukku hanyut dalam lamunan.

"Dante, apa yang kau maksud!"

"Menikahlah denganku dan hentikan tentang penelitian herb ini."

Wajah Dante terlihat cemas, seperti seseorang yang terus memohon. Tapi mengapa ia memintaku berhenti. Bukankah sejak kecil kami selalu melakukan penelitian bersama.

"Apa kau gila. Kita ini saudara!"

Dante berdecak kesal saat mendengar ucapanku. Ia juga sedikit tertawa, namun bukan tawa bahagia melainkan tawa menyeringai.

"Saudara.. apa aku harus mengingatkanmu lagi?"

Ia mencengkram bahuku dengan sangat erat.

"Leah, apa ucapanmu waktu itu tidak ada artinya" lanjutnya.

"..Mengapa kau mengungkitnya sekarang."

"Kau bilang, kau suka padaku. Apakah kau telah melupakannya."

Sebuah kebodohan memilih bangunan ini sebagai tempat penelitian kami. Aku ingin berteriak sekeras mungkin, tapi percuma, karena tidak akan ada yang nendengarku.

".. Hentikan. Pergilah dari sini."

"Aku akan pergi jika kau menerima ku."

Dante tetap bersikukuh dan tetap mencengkram bahuku, bahkan semakin kencang. Aku semakin takut padanya. Tak ada pilihan lain, aku mencoba mendorongnya, tetapi kekuatannya..aku menyesal menolak ajakan ayah untuk berlatih pedang.

"Dante hentikan semua ini, jangan buat aku takut padamu."

"Aku sedang tak menakutimu, Leah."

"Tapi kau membuatku takut!"

"..Aku tak akan melukaimu, jangan takut padaku."

Bohong. Apa yang ia ucapkan dengan yang ia katakan berbeda.

"Arez sebentar lagi akan tiba."

"Arez tidak akan melakukan apapun untukmu."

"Kenapa kau seyakin itu."

"Karena itu Arez. Anak bodoh yang tidak tahu apa-apa."

"Diamlah. Arez tidak akan diam saja jika tahu kakaknya melakukan ini."

Dante mendorongku bersamanya. Perlahan aku mulai merasakan dinding yang menyentuh bahuku.

"Aku tidak perduli. Saat ini yang aku perdulikan hanya memaksamu untuk segala hal. Apapun itu yang aku mau" ucap Dante dengan raut wajah yang belum pernah ku lihat sebelumnya.

Itu adalah kalimat terakhir yang ku dengar darinya. Setelah itu aku hanya mengingat jika ia menyudutkanku ke tembok dan merobek pakaian ku. Lalu semuanya hilang.

(Author Pov)

Leah terbangun karena suara teriakkan terdengar di seluruh ruangan.

".. Apa yang terja-!"

Ia terkejut melihat pakaiannya yang sangat lusuh. Namun ia lebih terkejut saat melihat seluruh karung di hadapannya menghilang. Perempuan itu tahu siapa pelakunya. Orang yang sama dengan yang telah menyakiti dirinya.

Brak!

Tiba-tiba suara pintu yang dibuka paksa berhasil membangunkan dirinya dari lamunan.

"Galen.."

Pelakunya adalah Galen. Adik Leah.

"Kakak apa yang kau lakukan berdiam diri seperti itu. Ayo kita pergi dari sini!" teriaknya.

Leah masih belum mengerti apa yang terjadi. Tatapannya kosong, dan Galen mengerti. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia langsung menghampiri kakaknya dan menggendong tubuh Leah di punggungnya.

"Berpeganganlah kak, aku akan berlari" ucap Galen.

"Tunggu sebentar, bantu aku ke sana" pinta Leah sembari menunjuk ke arah laci perapian.

Leah mengambil karung kecil yang tadi ia simpan, lalu ia letakkan di sebuah tas yang berada di atas perapian.

"Letakkan itu di bahuku kak" kata Galen.

Ia mengikuti ucapan adiknya dan segera meletakkan tasnya ke bahu Galen.

"Sekarang berpeganganlah kak, kau akan terkejut ketika keluar dari pintu itu."

Saat Galen membawanya keluar dari bangunan itu, saat itulah mata Leah terbelalak. Ia melihat pemandangan yang begitu mencekam, di mana seluruh rakyat tengah berlari tanpa arah sambil berteriak ketakutan. Langit tiba-tiba berubah menjadi kemerahan, semakin mencekam untuk Leah sadari. Untuk pertama kalinya, Leah merasa takut berada di Brigstone.

Jangan lupa vote dan komentar yaaaa, thankyouuu!!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status