“Dokter Juan?”Lelaki itu menarik kedua sudut bibirnya, bahkan matanya terlihat berbinar. “Ternyata benar, kamu Irene. Wah, kamu sudah besar, ya,” kata Juan.“Iya, Dok.” Irene mengangguk. Mendadak perasaannya tidak enak. Pria di samping Irene langsung mengerutkan alisnya. Kenapa Juan—sang kakak—bisa mengenal Irene dan begitu pun sebaliknya?Saat Juan hendak mengajukan pertanyaan lagi pada Irene. Sang master of ceremony, langsung menaiki panggung. “Selamat malam, hadirin sekalian. Mohon maaf atas sedikit keterlambatannya. Untuk mengefektifkan waktu, mari kita mulai acaranya.”Acara pun mulai, dan dibuka dengan sambutan dari pemilik Atmadjadarma Group, siapa lagi kalau bukan Jodi. Pria yang hari ini genap berumur delapan puluh tahun itu masih terlihat sehat. Irene merasa terkesima dengan pidato dari Jodi. Pasalnya pria itu bukan berasal dari keluarga kaya raya. Namun, atas kegigihan, keuletan dan keikhlasannya. Dirinya bisa sukses dan memimpin yayasan dengan baik. Berawal dari hanya
“Halo, Mama Jessica dan semuanya. Kalian apa kabar?” Seorang perempuan memecah perhatian mereka. Tanpa sadar Jessica menaikkan kedua alisnya. Ketika mengetahui siapa orang yang baru saja menyapanya. “Oh, Amara. Kabar saya baik,” ucap Jessica.Setelah perempuan itu bercerai lima tahun lalu dengan anaknya. Amara sudah tidak pernah datang ke acara keluarga seperti ini. Entah apa yang merubah pikiran perempuan itu sekarang. Sampai akhirnya dia mau datang ke acara ulang tahun kakek Juna. “Mas Julian dan Mbak Shania?” Amara beralih menatap dua pasangan tersebut. “Baik,” jawab Juan irit. Kemudian pandangan Amara ia lemparkan pada Juna. Sudut bibirnya terangkat sebelah. Tipis memang, tapi Juna bisa melihatnya. “Kamu, Jun?”“Baik.” Pria itu pun segera menjawab dan enggan untuk balik melempar pertanyaaan. Amara diam sejenak, melirik mereka secara bergantian. Namun, apa yang diharapkannya tak terjadi. Dia pun menghela napas kasar. “Syukurlah kalau baik. Saya ke sini hanya ingin menyapa s
Tebak, siapa orang yang sedang duduk di depan Irene sekarang? Dengan perasaan canggung, Irene akhirnya mengiyakan ajakan orang tersebut untuk berbicara empat mata. Untungnya Mia mengizinkan Irene untuk izin keluar di jam kerjanya. Orang yang sedang duduk di hadapan Irene ini adalah seorang perempuan. Rambutnya panjang bergelombang, tubuhnya ramping. Untuk visual, jangan ditanya, dia sangat cantik sekali. Irene bukanlah tandingannya. “Maaf, ada perlu apa, Mbak Amara menemui saya?” tanya Irene dengan sopan, sekaligus ia memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Benar, perempuan yang sedang bersama dengan Irene adalah mantan istri Juna. Irene begitu terkejut, ketika mendapati Amara jauh-jauh dari Jakarta datang ke Bandung untuk menemuinya. Dan dalam detik itu juga, Irene merasa bulu kuduknya berdiri. Ini pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Amara tak langsung menjawab. Dirinya sibuk memindai Irene yang sedang duduk di hadapannya, sembari menyeruput kopi miliknya. “Kamu
“Untuk perkuliahan hari ini cukup sekian. Saya harap kelompok selanjutnya bisa lebih baik dan matang dalam mempresentasikan materi di depan kelas. Terima kasih.”Juna baru saja menutup perkuliahan mahasiswa semester lima. Ia kemudian melangkah keluar kelas, sembari menenteng sebuah map. Sedari tadi, ponselnya terus bergetar di balik saku celana. Khawatir panggilan penting, dia pun segera merogoh dan mengambil ponsel pintar tersebut. Namun, saat ponselnya sudah ia pegang, untuk beberapa saat Juna terdiam. Matanya menyipit, ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya itu. “Amara?” gumam Juna.Tak ingin ada yang menguping pembicaraannya. Ia pun segera beranjak menuju tempat yang sepi. “Halo,” sapa Juna pada lawan bicaranya yang ada di seberang sana. Untuk pertama kalinya, setelah mereka berdua dinyatakan bercerai oleh pengadilan. Wanita itu kembali menghubungi Juna. “Halo, Juna. Kamu benar bertunangan atau hanya sandiwara belaka?”Tanpa basa-basi, tiba-tiba saja Amara bert
“Mbak Irene?”“Ya?” Seketika Irene tersentak, lalu menatap wajah Erlina yang nampak penasaran. Menunggu Irene menjawab pertanyaannya.“Kamu baik-baik saja, kan?” Erlina memastikan. Pasalnya wajah Irene berubah pucat pasi. “Oh.” Irene meneguk ludahnya kasar. Dia menjilat bibirnya yang terasa kering. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. “Anu …. Ma-maaf tadi Ibu bilang apa?” Irene mencoba memastikan lagi apa yang baru ia dengar. Erlina menarik napas dalam. “Baik, saya ulangi. Apa benar kalau kamu dan Pak Juna sudah bertunangan?” tanya Erlina. Irene langsung memejamkan mata dalam. ‘Astaga. Kenapa kabar ini sampai ke Bu Erlina. Aku harus ngomong apa coba?’ batinnya. “Maaf, bukannya saya ingin ikut campur. Tapi saya hanya ingin memastikan. Soalnya saya mendapatkan kabar dari Bu Jessica, ibunda Pak Juna,” tegasnya. ‘Mampus. Mampus.’ Irene merutuki dalam hati. Lidahnya ini mendadak kelu, otaknya pun terasa membeku.“Tadi Bu Jessica menghungi saya, dan menanyakan bahwa kabar ini apaka
Di hadapan Juna, kini duduk seorang wanita. Terlihat dia menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Setiap dia datang ke Bandung, restoran ini adalah langganannya. Sebuah restoran yang menyajikan khusus masakan dari tatar Sunda. Juna pun membiarkan wanita itu untuk menghabiskan makanan yang dipesannya. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan pada Mama, Juna?” Wanita yang saat ini ada di hadapannya adalah Jessica. Sesuai dengan janjinya, Jessica menemui Juna karena ada yang ingin dibicarakan oleh anak bungsunya itu. “Mama, sehat?” tanya Juna berbasa-basi. Senyuman tipis nampak di wajah Jessica. “Sehat, Sayang.” Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tapi, sayangnya Mama tidak memiliki banyak waktu. Karena Mama harus segera kembali ke Jakarta. Empat jam lagi papamu ada pertemuan, dan Mama harus menemaninya.” Setelah kakak iparnya menjabat sebagai pemimpin yayasan. Maka, jabatan direktur rumah sakit Atmadjadarma jatuh ke tangan suaminya. “Baik, Ma. Aku hanya
“Sebentar aku cari dulu, ya.” Irene nampak sibuk dengan tumpukan kardus di pojok kamarnya. Gadis itu sedang berbicara dengan seseorang dalam panggilan telepon. Sepasang earphone berwarna putih ia kenakan pada telinganya. Saat ini Irene sedang mencari catatan kuliah miliknya. Ia nampak kesulitan, karena Irene tak mengingat dengan pasti di mana dirinya menyimpan catatan zaman kuliah. Setelah hampir tiga menit Irene membongkar tumpukan kardus tersebut. Akhirnya dia menemukan buku catatan berwarna kuning. Dia masih ingat, ketika semester satu bukunya itu berwarna kuning. Di semester dua berwarna biru, dan setiap semester warna bukunya berbeda. “Ketemu, Ray!” katanya senang. Dia mencoba membuka setiap lembar buku catatannya. “Tapi ini agak lembab bukunya. Maklum udah hampir lima tahun yang lalu.” “Nggak papa, Ren. Tulisannya masih bisa kebaca, kan?” tanya Ray dari seberang sana. “Bisa, kok.” Irene mendaratkan bokongnya di atas kasur, sembari membolak-balikan halaman buku tersebut. “
“Bagaimana kalau kita menikah saja?” Irene langsung terkesiap. Dengan spontan dia menoleh ke arah Juna. Kedua pupilnya membesar, bahkan pipinya mulai memerah. Jangan ditanya bagaimana jantungnya. Sudah berdegup dua kali lebih cepat. “Me-menikah?” timpal Irene dengan suara yang kecil. Walau begitu Juna bisa mendengarnya, dan dia mengangguk. Terlihat senyuman terukir di bibir Irene. Namun, sedetik kemudian, kedua matanya itu berkedip cepat. Irene mendengus—salah tingkah, lalu dia menggelengkan kepalanya. “Ngajak nikah kayak ngajak jajan aja,” ucapnya dengan berusaha terlihat tenang. Padahal dalam hatinya, Irene merasakan seperti ada letupan popcorn. Bahkan dia bisa merasakan ada kupu-kupu yang menari di perutnya. Perempuan mana yang tidak akan terkejut. Ketika seorang pria dewasa mengajaknya menikah. Apalagi perempuan itu memiliki sebuah ketertarikan pada pria tersebut. “Bercanda.”“Hah?” Lagi Irene tersentak. Namun, kali ini berbeda dari sebelumnya. “Bercanda. Lagi pula kamu ju