“Mbak Irene?”“Ya?” Seketika Irene tersentak, lalu menatap wajah Erlina yang nampak penasaran. Menunggu Irene menjawab pertanyaannya.“Kamu baik-baik saja, kan?” Erlina memastikan. Pasalnya wajah Irene berubah pucat pasi. “Oh.” Irene meneguk ludahnya kasar. Dia menjilat bibirnya yang terasa kering. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. “Anu …. Ma-maaf tadi Ibu bilang apa?” Irene mencoba memastikan lagi apa yang baru ia dengar. Erlina menarik napas dalam. “Baik, saya ulangi. Apa benar kalau kamu dan Pak Juna sudah bertunangan?” tanya Erlina. Irene langsung memejamkan mata dalam. ‘Astaga. Kenapa kabar ini sampai ke Bu Erlina. Aku harus ngomong apa coba?’ batinnya. “Maaf, bukannya saya ingin ikut campur. Tapi saya hanya ingin memastikan. Soalnya saya mendapatkan kabar dari Bu Jessica, ibunda Pak Juna,” tegasnya. ‘Mampus. Mampus.’ Irene merutuki dalam hati. Lidahnya ini mendadak kelu, otaknya pun terasa membeku.“Tadi Bu Jessica menghungi saya, dan menanyakan bahwa kabar ini apaka
Di hadapan Juna, kini duduk seorang wanita. Terlihat dia menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Setiap dia datang ke Bandung, restoran ini adalah langganannya. Sebuah restoran yang menyajikan khusus masakan dari tatar Sunda. Juna pun membiarkan wanita itu untuk menghabiskan makanan yang dipesannya. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan pada Mama, Juna?” Wanita yang saat ini ada di hadapannya adalah Jessica. Sesuai dengan janjinya, Jessica menemui Juna karena ada yang ingin dibicarakan oleh anak bungsunya itu. “Mama, sehat?” tanya Juna berbasa-basi. Senyuman tipis nampak di wajah Jessica. “Sehat, Sayang.” Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tapi, sayangnya Mama tidak memiliki banyak waktu. Karena Mama harus segera kembali ke Jakarta. Empat jam lagi papamu ada pertemuan, dan Mama harus menemaninya.” Setelah kakak iparnya menjabat sebagai pemimpin yayasan. Maka, jabatan direktur rumah sakit Atmadjadarma jatuh ke tangan suaminya. “Baik, Ma. Aku hanya
“Sebentar aku cari dulu, ya.” Irene nampak sibuk dengan tumpukan kardus di pojok kamarnya. Gadis itu sedang berbicara dengan seseorang dalam panggilan telepon. Sepasang earphone berwarna putih ia kenakan pada telinganya. Saat ini Irene sedang mencari catatan kuliah miliknya. Ia nampak kesulitan, karena Irene tak mengingat dengan pasti di mana dirinya menyimpan catatan zaman kuliah. Setelah hampir tiga menit Irene membongkar tumpukan kardus tersebut. Akhirnya dia menemukan buku catatan berwarna kuning. Dia masih ingat, ketika semester satu bukunya itu berwarna kuning. Di semester dua berwarna biru, dan setiap semester warna bukunya berbeda. “Ketemu, Ray!” katanya senang. Dia mencoba membuka setiap lembar buku catatannya. “Tapi ini agak lembab bukunya. Maklum udah hampir lima tahun yang lalu.” “Nggak papa, Ren. Tulisannya masih bisa kebaca, kan?” tanya Ray dari seberang sana. “Bisa, kok.” Irene mendaratkan bokongnya di atas kasur, sembari membolak-balikan halaman buku tersebut. “
“Bagaimana kalau kita menikah saja?” Irene langsung terkesiap. Dengan spontan dia menoleh ke arah Juna. Kedua pupilnya membesar, bahkan pipinya mulai memerah. Jangan ditanya bagaimana jantungnya. Sudah berdegup dua kali lebih cepat. “Me-menikah?” timpal Irene dengan suara yang kecil. Walau begitu Juna bisa mendengarnya, dan dia mengangguk. Terlihat senyuman terukir di bibir Irene. Namun, sedetik kemudian, kedua matanya itu berkedip cepat. Irene mendengus—salah tingkah, lalu dia menggelengkan kepalanya. “Ngajak nikah kayak ngajak jajan aja,” ucapnya dengan berusaha terlihat tenang. Padahal dalam hatinya, Irene merasakan seperti ada letupan popcorn. Bahkan dia bisa merasakan ada kupu-kupu yang menari di perutnya. Perempuan mana yang tidak akan terkejut. Ketika seorang pria dewasa mengajaknya menikah. Apalagi perempuan itu memiliki sebuah ketertarikan pada pria tersebut. “Bercanda.”“Hah?” Lagi Irene tersentak. Namun, kali ini berbeda dari sebelumnya. “Bercanda. Lagi pula kamu ju
Sebuah motor besar berhenti tepat di samping Irene. Gadis itu pun mengamati sosok laki-laki yang sedang mengemudikan motor tersebut. “Bener, kan. Kamu ngapain malem-malem jalan sendiri, Irene?” tanya seorang laki-laki yang sedang mengemudikan motor besarnya. Irene harus menyipitkan matanya. Dia tak mengetahui sosok di balik helm full face yang sedang dikenakan laki-laki itu. “Oh, sorry.” Laki-laki itu segera melepaskan helm-nya. Kemudian dia menggelengkan kepala, mengibaskan rambutnya. “Ray?” ucap Irene saat melihat wajah yang sudah tak tertutup helm itu. Ray tersenyum. “Kamu ngapain malem-malem sendirian? Apa nggak takut diculik?”Irene nampak bingung saat ditanya seperti itu. “Oh, aku lagi cari a—“Kruuuk~~Spontan Irene memegang perutnya yang bunyi itu. Kini kepanikan nampak di wajahnya, dan tiba-tiba saja tenggorokannya itu terasa kering. ‘Ah, kenapa nggak bisa kerja sama sebentar aja, sih ini perut?’ batin Irene. Ia tersenyum kaku, menahan rasa malu. “Kamu laper?” tanya Ra
Juna tak berniat untuk mengejar Irene. Dia sengaja membiarkan gadis itu berlari meninggalkannya. Sedangkan dirinya masih diam di tempat, duduk di tepian kasur.Untuk sesaat, Juna merasa kalau apa yang dikatakannya barusan sudah keterlaluan. Maka dari itu, saat Irene memutuskan untuk pergi, Juna membiarkannya. Mungkin gadis itu butuh waktu sejenak. Lagi pula, pikir Juna, Irene hanya pergi sebentar. “Sudah jam berapa ini?” gumam Juna. Dia melihat pada arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya. “Jam sepuluh. Sudah hampir satu jam dia keluar.”Kepanikan melanda Juna. Akhirnya pria itu pun beranjak, mencoba mencari Irene. Dia turun ke lobi apartemen, tepatnya ke tempat mini market.Akan tetapi, pencarian Juna tidak membuahkan hasil. Mini market itu sudah tutup, dan di depan mini market tesebut—tempat deretan kursi dan meja berada—tidak menampakkan siapa pun di sana.“Ah, dia pergi ke mana? Masalahnya udah malem,” desah Juna. Ponsel yang ada di sakunya pun ia keluarkan. Kemudian m
Hati Irene yang kemarin sedikit kusut, kini mulai tertata rapi kembali. Walau masih ada sisa-sisa kekesalan dalam dirinya. Beruntung semalam Irene memilih untuk menghabiskan energinya. Sehingga dia bisa tertidur dengan pulas.“Mbak Irene, bisa minta tolong buatkan surat izin untuk observasi nggak?” tanya seorang mahasiswi di balik kaca.Irene berdiri dan menyodorkan sebuah buku besar pada mahasiswi tersebut. “Bisa. Silakan kamu isi dulu datanya di buku ini.”“Tapi siang ini bisa selesai, kan?” Irene mendesah. “Nggak bisa. Paling cepet juga besok,” jawabnya. “Kok gitu, sih? Kan, cuman bikin surat doang. Bukannya tamplate juga sudah ada? Harusnya nanti siang juga selesai.”Kurang ajar memang mahasiswi yang satu ini. Masih pagi tapi sudah mencari gara-gara saja. Irene memperhatikan penampilan mahasiswi tersebut dengan saksama. Dia melihat kalau mahasiswi ini masih menggunakan name tag kuning yang tersemat di dadanya.“Nama kamu Putri, kan?” tanya Irene.“Iya, kenapa?” sahutnya sedikit
Seminggu sudah Irene tak bertegur sapa dengan Juna. Sebisa mungkin dirinya pun selalu menghindari Juna, baik di lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja. Pagi ini, Irene berangkat kesiangan. Gara-gara semalam dia maraton membaca novel online milik penulis favoritnya. Itu pun belum ia baca sampai tamat. Maklum, satu novel bisa berisi hampir dua ratus bab lebih. “Tumben kamar di depan sepi,” gumam Irene, dirinya kini sedang melihat ke arah pintu flat milik Juna. Sudah beberapa hari ini, Irene tak mendengar pergerakan dari kamar tersebut. Maksudnya, mendengar pintu itu di buka malam-malam, atau saat Juna pulang kerja pun tidak. Irene menggelengkan kepalanya. “Ih, apaan, sih. Ngapain juga mikirin dia?” gerutunya. Entah kenapa otaknya itu, tiba-tiba memikirkan Juna. Jika dipikir lagi, Irene sudah tidak melihat Juna sejak tiga hari yang lalu. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di tempat kerja Irene. Gara-gara kesiangan, dia akhirnya terjebak macet di beberapa ti