Halo! Mohon maaf kemarin aku tidak update. Karena kondisi yang tidak memungkinkan. Maaf juga update-nya sedikit-sedikit. Sebenernya pengin up banyak, tapi waktunya belum sempet. Jaga kesehatan, ya, Kakak-kakak. Cuaca sekarang kadang panas banget., tapi tiba-tiba hujan besar. Stay safe di mana pun kalian berada ❤️
“Sebentar aku cari dulu, ya.” Irene nampak sibuk dengan tumpukan kardus di pojok kamarnya. Gadis itu sedang berbicara dengan seseorang dalam panggilan telepon. Sepasang earphone berwarna putih ia kenakan pada telinganya. Saat ini Irene sedang mencari catatan kuliah miliknya. Ia nampak kesulitan, karena Irene tak mengingat dengan pasti di mana dirinya menyimpan catatan zaman kuliah. Setelah hampir tiga menit Irene membongkar tumpukan kardus tersebut. Akhirnya dia menemukan buku catatan berwarna kuning. Dia masih ingat, ketika semester satu bukunya itu berwarna kuning. Di semester dua berwarna biru, dan setiap semester warna bukunya berbeda. “Ketemu, Ray!” katanya senang. Dia mencoba membuka setiap lembar buku catatannya. “Tapi ini agak lembab bukunya. Maklum udah hampir lima tahun yang lalu.” “Nggak papa, Ren. Tulisannya masih bisa kebaca, kan?” tanya Ray dari seberang sana. “Bisa, kok.” Irene mendaratkan bokongnya di atas kasur, sembari membolak-balikan halaman buku tersebut. “
“Bagaimana kalau kita menikah saja?” Irene langsung terkesiap. Dengan spontan dia menoleh ke arah Juna. Kedua pupilnya membesar, bahkan pipinya mulai memerah. Jangan ditanya bagaimana jantungnya. Sudah berdegup dua kali lebih cepat. “Me-menikah?” timpal Irene dengan suara yang kecil. Walau begitu Juna bisa mendengarnya, dan dia mengangguk. Terlihat senyuman terukir di bibir Irene. Namun, sedetik kemudian, kedua matanya itu berkedip cepat. Irene mendengus—salah tingkah, lalu dia menggelengkan kepalanya. “Ngajak nikah kayak ngajak jajan aja,” ucapnya dengan berusaha terlihat tenang. Padahal dalam hatinya, Irene merasakan seperti ada letupan popcorn. Bahkan dia bisa merasakan ada kupu-kupu yang menari di perutnya. Perempuan mana yang tidak akan terkejut. Ketika seorang pria dewasa mengajaknya menikah. Apalagi perempuan itu memiliki sebuah ketertarikan pada pria tersebut. “Bercanda.”“Hah?” Lagi Irene tersentak. Namun, kali ini berbeda dari sebelumnya. “Bercanda. Lagi pula kamu ju
Sebuah motor besar berhenti tepat di samping Irene. Gadis itu pun mengamati sosok laki-laki yang sedang mengemudikan motor tersebut. “Bener, kan. Kamu ngapain malem-malem jalan sendiri, Irene?” tanya seorang laki-laki yang sedang mengemudikan motor besarnya. Irene harus menyipitkan matanya. Dia tak mengetahui sosok di balik helm full face yang sedang dikenakan laki-laki itu. “Oh, sorry.” Laki-laki itu segera melepaskan helm-nya. Kemudian dia menggelengkan kepala, mengibaskan rambutnya. “Ray?” ucap Irene saat melihat wajah yang sudah tak tertutup helm itu. Ray tersenyum. “Kamu ngapain malem-malem sendirian? Apa nggak takut diculik?”Irene nampak bingung saat ditanya seperti itu. “Oh, aku lagi cari a—“Kruuuk~~Spontan Irene memegang perutnya yang bunyi itu. Kini kepanikan nampak di wajahnya, dan tiba-tiba saja tenggorokannya itu terasa kering. ‘Ah, kenapa nggak bisa kerja sama sebentar aja, sih ini perut?’ batin Irene. Ia tersenyum kaku, menahan rasa malu. “Kamu laper?” tanya Ra
Juna tak berniat untuk mengejar Irene. Dia sengaja membiarkan gadis itu berlari meninggalkannya. Sedangkan dirinya masih diam di tempat, duduk di tepian kasur.Untuk sesaat, Juna merasa kalau apa yang dikatakannya barusan sudah keterlaluan. Maka dari itu, saat Irene memutuskan untuk pergi, Juna membiarkannya. Mungkin gadis itu butuh waktu sejenak. Lagi pula, pikir Juna, Irene hanya pergi sebentar. “Sudah jam berapa ini?” gumam Juna. Dia melihat pada arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya. “Jam sepuluh. Sudah hampir satu jam dia keluar.”Kepanikan melanda Juna. Akhirnya pria itu pun beranjak, mencoba mencari Irene. Dia turun ke lobi apartemen, tepatnya ke tempat mini market.Akan tetapi, pencarian Juna tidak membuahkan hasil. Mini market itu sudah tutup, dan di depan mini market tesebut—tempat deretan kursi dan meja berada—tidak menampakkan siapa pun di sana.“Ah, dia pergi ke mana? Masalahnya udah malem,” desah Juna. Ponsel yang ada di sakunya pun ia keluarkan. Kemudian m
Hati Irene yang kemarin sedikit kusut, kini mulai tertata rapi kembali. Walau masih ada sisa-sisa kekesalan dalam dirinya. Beruntung semalam Irene memilih untuk menghabiskan energinya. Sehingga dia bisa tertidur dengan pulas.“Mbak Irene, bisa minta tolong buatkan surat izin untuk observasi nggak?” tanya seorang mahasiswi di balik kaca.Irene berdiri dan menyodorkan sebuah buku besar pada mahasiswi tersebut. “Bisa. Silakan kamu isi dulu datanya di buku ini.”“Tapi siang ini bisa selesai, kan?” Irene mendesah. “Nggak bisa. Paling cepet juga besok,” jawabnya. “Kok gitu, sih? Kan, cuman bikin surat doang. Bukannya tamplate juga sudah ada? Harusnya nanti siang juga selesai.”Kurang ajar memang mahasiswi yang satu ini. Masih pagi tapi sudah mencari gara-gara saja. Irene memperhatikan penampilan mahasiswi tersebut dengan saksama. Dia melihat kalau mahasiswi ini masih menggunakan name tag kuning yang tersemat di dadanya.“Nama kamu Putri, kan?” tanya Irene.“Iya, kenapa?” sahutnya sedikit
Seminggu sudah Irene tak bertegur sapa dengan Juna. Sebisa mungkin dirinya pun selalu menghindari Juna, baik di lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja. Pagi ini, Irene berangkat kesiangan. Gara-gara semalam dia maraton membaca novel online milik penulis favoritnya. Itu pun belum ia baca sampai tamat. Maklum, satu novel bisa berisi hampir dua ratus bab lebih. “Tumben kamar di depan sepi,” gumam Irene, dirinya kini sedang melihat ke arah pintu flat milik Juna. Sudah beberapa hari ini, Irene tak mendengar pergerakan dari kamar tersebut. Maksudnya, mendengar pintu itu di buka malam-malam, atau saat Juna pulang kerja pun tidak. Irene menggelengkan kepalanya. “Ih, apaan, sih. Ngapain juga mikirin dia?” gerutunya. Entah kenapa otaknya itu, tiba-tiba memikirkan Juna. Jika dipikir lagi, Irene sudah tidak melihat Juna sejak tiga hari yang lalu. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di tempat kerja Irene. Gara-gara kesiangan, dia akhirnya terjebak macet di beberapa ti
“Terima kasih, Ren,” ucap Juna. Gadis itu membantu Juna menuju kamarnya. Tak hanya itu, ia nampak sibuk merapikan barang-barang Juna. Sedangkan pria itu dibiarkan berbaring du atas kasurnya.Wajah Juna nampak pucat, bahkan terlihat keringat membasahi sisi wajahnya. Irene yang melihat hal itu, tentu tak tega jika tak membantunya.“Kamu kenapa?” tanya Irene lagi.“Cuman kecapekan. Minum obat dan tidur juga baikan, kok,” jawabnya. Irene mendesah. “Kamu habis dari mana, sih? Udah beberapa hari ini aku nggak lihat kamu. Sekalinya lihat, kondisimu kayak begini. Bikin khawatir aja,” ucapnya sembari mengelap keringat yang membanjiri wajah tampan sang dosen.Juna menarik kedua sudut bibirnya. Mata hitamnya itu menatap Irene yang tak bisa menyembunyikan perasaan paniknya. “Terima kasih,” ucap Juna pelan. Dalam hati Juna merasa senang, ternyata diam-diam Irene mencarinya. “Aku habis dinas luar. Yayasan akan mengadakan program pendidikan, yang bekerja sama dengan salah satu universitas di Be
Memikirkan hubungan Irene dengan sang ibu, rasanya tak pernah ada ujungnya. Juna masih belum menemukan informasi lebih. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu. “Kondisi lo gimana, Jun?” Seorang pria bertanya pada Juna. Malam ini, Juna sedang bertemu dengan sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Stefan. Mereka sedang membicarakan sebuah project penting. “Baik.” Juna menimpal. Stefan mendesah, ia menyandarkan punggungnya pada kursi. “Maksud gue, kondisi itu.” Ia mengarahkan pandangannya pada satu titik di tengah-tengah tubuh Juna. “Iya, baik. Semakin membaik,” jawabnya. Pria itu menarik sudut bibirnya sebelah. “Udah coba sama cewek lain?” tanya Stefan lagi. Juna mendesah. “Belum,” timpalnya singkat. Dirinya terlihat malam membahas tentang ini. “Yah, berarti belum baik. Treatment lo dikatakan baik dan berhasil, kalau lo udah coba sama cewek lain,” komentarnya. “Kayaknya nggak perlu.” Stefan membulatkan matanya. “No, jangan bilang lo nyaman sam