Sebuah motor besar berhenti tepat di samping Irene. Gadis itu pun mengamati sosok laki-laki yang sedang mengemudikan motor tersebut. “Bener, kan. Kamu ngapain malem-malem jalan sendiri, Irene?” tanya seorang laki-laki yang sedang mengemudikan motor besarnya. Irene harus menyipitkan matanya. Dia tak mengetahui sosok di balik helm full face yang sedang dikenakan laki-laki itu. “Oh, sorry.” Laki-laki itu segera melepaskan helm-nya. Kemudian dia menggelengkan kepala, mengibaskan rambutnya. “Ray?” ucap Irene saat melihat wajah yang sudah tak tertutup helm itu. Ray tersenyum. “Kamu ngapain malem-malem sendirian? Apa nggak takut diculik?”Irene nampak bingung saat ditanya seperti itu. “Oh, aku lagi cari a—“Kruuuk~~Spontan Irene memegang perutnya yang bunyi itu. Kini kepanikan nampak di wajahnya, dan tiba-tiba saja tenggorokannya itu terasa kering. ‘Ah, kenapa nggak bisa kerja sama sebentar aja, sih ini perut?’ batin Irene. Ia tersenyum kaku, menahan rasa malu. “Kamu laper?” tanya Ra
Juna tak berniat untuk mengejar Irene. Dia sengaja membiarkan gadis itu berlari meninggalkannya. Sedangkan dirinya masih diam di tempat, duduk di tepian kasur.Untuk sesaat, Juna merasa kalau apa yang dikatakannya barusan sudah keterlaluan. Maka dari itu, saat Irene memutuskan untuk pergi, Juna membiarkannya. Mungkin gadis itu butuh waktu sejenak. Lagi pula, pikir Juna, Irene hanya pergi sebentar. “Sudah jam berapa ini?” gumam Juna. Dia melihat pada arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya. “Jam sepuluh. Sudah hampir satu jam dia keluar.”Kepanikan melanda Juna. Akhirnya pria itu pun beranjak, mencoba mencari Irene. Dia turun ke lobi apartemen, tepatnya ke tempat mini market.Akan tetapi, pencarian Juna tidak membuahkan hasil. Mini market itu sudah tutup, dan di depan mini market tesebut—tempat deretan kursi dan meja berada—tidak menampakkan siapa pun di sana.“Ah, dia pergi ke mana? Masalahnya udah malem,” desah Juna. Ponsel yang ada di sakunya pun ia keluarkan. Kemudian m
Hati Irene yang kemarin sedikit kusut, kini mulai tertata rapi kembali. Walau masih ada sisa-sisa kekesalan dalam dirinya. Beruntung semalam Irene memilih untuk menghabiskan energinya. Sehingga dia bisa tertidur dengan pulas.“Mbak Irene, bisa minta tolong buatkan surat izin untuk observasi nggak?” tanya seorang mahasiswi di balik kaca.Irene berdiri dan menyodorkan sebuah buku besar pada mahasiswi tersebut. “Bisa. Silakan kamu isi dulu datanya di buku ini.”“Tapi siang ini bisa selesai, kan?” Irene mendesah. “Nggak bisa. Paling cepet juga besok,” jawabnya. “Kok gitu, sih? Kan, cuman bikin surat doang. Bukannya tamplate juga sudah ada? Harusnya nanti siang juga selesai.”Kurang ajar memang mahasiswi yang satu ini. Masih pagi tapi sudah mencari gara-gara saja. Irene memperhatikan penampilan mahasiswi tersebut dengan saksama. Dia melihat kalau mahasiswi ini masih menggunakan name tag kuning yang tersemat di dadanya.“Nama kamu Putri, kan?” tanya Irene.“Iya, kenapa?” sahutnya sedikit
Seminggu sudah Irene tak bertegur sapa dengan Juna. Sebisa mungkin dirinya pun selalu menghindari Juna, baik di lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja. Pagi ini, Irene berangkat kesiangan. Gara-gara semalam dia maraton membaca novel online milik penulis favoritnya. Itu pun belum ia baca sampai tamat. Maklum, satu novel bisa berisi hampir dua ratus bab lebih. “Tumben kamar di depan sepi,” gumam Irene, dirinya kini sedang melihat ke arah pintu flat milik Juna. Sudah beberapa hari ini, Irene tak mendengar pergerakan dari kamar tersebut. Maksudnya, mendengar pintu itu di buka malam-malam, atau saat Juna pulang kerja pun tidak. Irene menggelengkan kepalanya. “Ih, apaan, sih. Ngapain juga mikirin dia?” gerutunya. Entah kenapa otaknya itu, tiba-tiba memikirkan Juna. Jika dipikir lagi, Irene sudah tidak melihat Juna sejak tiga hari yang lalu. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di tempat kerja Irene. Gara-gara kesiangan, dia akhirnya terjebak macet di beberapa ti
“Terima kasih, Ren,” ucap Juna. Gadis itu membantu Juna menuju kamarnya. Tak hanya itu, ia nampak sibuk merapikan barang-barang Juna. Sedangkan pria itu dibiarkan berbaring du atas kasurnya.Wajah Juna nampak pucat, bahkan terlihat keringat membasahi sisi wajahnya. Irene yang melihat hal itu, tentu tak tega jika tak membantunya.“Kamu kenapa?” tanya Irene lagi.“Cuman kecapekan. Minum obat dan tidur juga baikan, kok,” jawabnya. Irene mendesah. “Kamu habis dari mana, sih? Udah beberapa hari ini aku nggak lihat kamu. Sekalinya lihat, kondisimu kayak begini. Bikin khawatir aja,” ucapnya sembari mengelap keringat yang membanjiri wajah tampan sang dosen.Juna menarik kedua sudut bibirnya. Mata hitamnya itu menatap Irene yang tak bisa menyembunyikan perasaan paniknya. “Terima kasih,” ucap Juna pelan. Dalam hati Juna merasa senang, ternyata diam-diam Irene mencarinya. “Aku habis dinas luar. Yayasan akan mengadakan program pendidikan, yang bekerja sama dengan salah satu universitas di Be
Memikirkan hubungan Irene dengan sang ibu, rasanya tak pernah ada ujungnya. Juna masih belum menemukan informasi lebih. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu. “Kondisi lo gimana, Jun?” Seorang pria bertanya pada Juna. Malam ini, Juna sedang bertemu dengan sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Stefan. Mereka sedang membicarakan sebuah project penting. “Baik.” Juna menimpal. Stefan mendesah, ia menyandarkan punggungnya pada kursi. “Maksud gue, kondisi itu.” Ia mengarahkan pandangannya pada satu titik di tengah-tengah tubuh Juna. “Iya, baik. Semakin membaik,” jawabnya. Pria itu menarik sudut bibirnya sebelah. “Udah coba sama cewek lain?” tanya Stefan lagi. Juna mendesah. “Belum,” timpalnya singkat. Dirinya terlihat malam membahas tentang ini. “Yah, berarti belum baik. Treatment lo dikatakan baik dan berhasil, kalau lo udah coba sama cewek lain,” komentarnya. “Kayaknya nggak perlu.” Stefan membulatkan matanya. “No, jangan bilang lo nyaman sam
Juna sudah tidak menutupi lagi perasaannya. Setiap melihat momen kedekatan Irene dengan Ray, membuat hatinya gusar. Perasaan tak nyaman itu, semakin lama tak bisa ia tahan.Ting.Pintu lift pun terbuka. Karena lantai ini adalah tujuan mereka. Irene dan Juna pun segera keluar dari lift tersebut.“Jun, kamu nggak lagi mabuk, kan?” tanya Irene yang tersadar dari serangan yang baru saja ia terima dari Juna.“Mabuk? Nggak.” Juna menggeleng.“Terus? Kamu nggak salah ngomong, kan?” Irene mencoba memastikan apa yang baru saja didengarnya.Perasaannya sudah tak karuhan, bahkan jantungnya itu sudah berdetak dengan cepat. Namun, Irene berusaha untuk tetap dalam mode normal.Juna mendesah. “Yang kamu denger itu bener, Irene. Aku nggak suka lihat kamu berduaan sama Ray.”“Kenapa?”“Ya, nggak suka. Rasanya panas aja lihat kalian berdua. Bukannya
“Kita ketemu langsung di cinema aja. Aku ada urusan dulu sebentar.”Irene sedang melakukan panggilan telepon dengan Ray. Rencanya Ray akan menjemputnya di apartemen. Mendadak Irene ada tugas tambahan dari Pak Erick untuk kegiatan KKL nanti. “Oke. Kita ketemu jam tujuh di cinema, ya. See you, Ren.” Panggilan itu pun terputus. Secepatnya Irene mengerjakan tugas dadakan yang diberikan oleh Erick. Setelah itu dia pun langsung pergi bertemu dengan Ray. “Aku nggak telat, kan?” tanya Irene yang baru saja datang. Gadis itu mengenakan kemeja biru langit yang dipadukan dengan celana jeans. Entah kenapa, Ray pun mengenakan baju yang sama. “Nggak, kok. Aku juga baru datang lima menit yang lalu,” jawab Ray. Dia pun memperhatikan penampilan Irene, lalu tersenyum tipis, “kita nggak janjian, ya,” imbuhnya.“Oh?” Irene tahu betul maksud kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ray. Dia pun memperhatikan pakaian yang ia kenakan dengan pakaian Ray. Irene tersenyum canggung. “I-iya.” “Sehati berarti,”
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka