Juna sudah tidak menutupi lagi perasaannya. Setiap melihat momen kedekatan Irene dengan Ray, membuat hatinya gusar. Perasaan tak nyaman itu, semakin lama tak bisa ia tahan.
Ting.
Pintu lift pun terbuka. Karena lantai ini adalah tujuan mereka. Irene dan Juna pun segera keluar dari lift tersebut.
“Jun, kamu nggak lagi mabuk, kan?” tanya Irene yang tersadar dari serangan yang baru saja ia terima dari Juna.
“Mabuk? Nggak.” Juna menggeleng.
“Terus? Kamu nggak salah ngomong, kan?” Irene mencoba memastikan apa yang baru saja didengarnya.
Perasaannya sudah tak karuhan, bahkan jantungnya itu sudah berdetak dengan cepat. Namun, Irene berusaha untuk tetap dalam mode normal.
Juna mendesah. “Yang kamu denger itu bener, Irene. Aku nggak suka lihat kamu berduaan sama Ray.”
“Kenapa?”
“Ya, nggak suka. Rasanya panas aja lihat kalian berdua. Bukannya
“Kita ketemu langsung di cinema aja. Aku ada urusan dulu sebentar.”Irene sedang melakukan panggilan telepon dengan Ray. Rencanya Ray akan menjemputnya di apartemen. Mendadak Irene ada tugas tambahan dari Pak Erick untuk kegiatan KKL nanti. “Oke. Kita ketemu jam tujuh di cinema, ya. See you, Ren.” Panggilan itu pun terputus. Secepatnya Irene mengerjakan tugas dadakan yang diberikan oleh Erick. Setelah itu dia pun langsung pergi bertemu dengan Ray. “Aku nggak telat, kan?” tanya Irene yang baru saja datang. Gadis itu mengenakan kemeja biru langit yang dipadukan dengan celana jeans. Entah kenapa, Ray pun mengenakan baju yang sama. “Nggak, kok. Aku juga baru datang lima menit yang lalu,” jawab Ray. Dia pun memperhatikan penampilan Irene, lalu tersenyum tipis, “kita nggak janjian, ya,” imbuhnya.“Oh?” Irene tahu betul maksud kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ray. Dia pun memperhatikan pakaian yang ia kenakan dengan pakaian Ray. Irene tersenyum canggung. “I-iya.” “Sehati berarti,”
Perjalanan pun di mulai. Tujuan pertama mereka adalah kota Mojokerto.Irene duduk bersama dengan salah satu dosen senior, Bu Leli. Ternyata di samping gadis itu duduk adalah kursi milik Raynald.Jujur saja, dirinya sedikit terkejut dengan kehadiran Ray. Akan tetapi, tadi dia mendengar cerita dari Farhan mengenai keberadaan pria tersebut. “Apa aku harus tukeran sama Farhan?” tanya Juna di seberang sana.Irene yakin seyakin-yakinnya, alasan Juna berkata demikian karena pria itu tahu mengenai keberadaan Raynald. “Jangan macem-macem, deh,” jawab Irene sambil berbisik. Sebenarnya dia tak nyaman mengangkat telepon dari Juna. “Aku juga tahu harus bersikap gimana. Kalau kamu gitu terus, honestly aku nggak nyaman,” imbuhnya. Terdengar helaan napas dari ujung sana.“Maaf. Ya sudah, aku percaya sama kamu.”“Nah, gitu dong. Hubungan itu bisa baik, kalau dibangun atas dasar kepercayaan.”Untuk sesaat Irene ingin memuji dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Padahal ini pertama
Irene tersentak, saat melihat salah satu dosen yang menarik tangannya. Diluar dugaan, ternyata yang memisahkan mereka adalah Pak Wawan.“Pak, maaf. Tadi ada guncangan lumayan besar. Mbak Irene hampir jatoh, jadi saya tahan,” terang Ray. “Benar begitu?” tanya Wawan sambil melirik pada Irene. Irene mengangguk. “Benar, Pak. Ini nggak sengaja, kok.” Wawan pun menatap Irene, Ray dan dua teman Ray bergantian. “Oke, tapi jangan sampai mengambil kesempatan dalam kesempitan, Ray. Kalian hati-hati,” pungkas Wawan lalu dia pun berlalu.Irene bernapas lega. Jangan ditanya bagaimana perasaan Irene sekarang. Sudah barang tentu terkejut sekaligus malu. “Mbak Irene,” panggil seseorang dari belakang.Indra pendengaran Irene masih berfungsi dengan baik. Di tengah tiupan angin laut yang lumayan kencang, dia masih bisa mengenali pemilik suara tersebut. Irene menghela napas, lalu dia menoleh ke belakang.“Ya, ada apa, Pak Juna?” tanyanya.Sesuatu yang dibayangkan Irene pun terjadi. Dia melihat raut
“Bukannya tadi staff hotel bilang habis? Kok dia bisa dapat, sih?” gumam Irene, tersipu malu. “Kenapa, Mbak?” sahut Farhan. Ternyata dia mendengar gumaman Irene. Kemudian matanya tertuju pada kue yang ada di hadapan gadis itu. “Loh, kok dapat kuenya, Mbak? Tadi saya minta katanya udah habis sama mahasiswa.”“Hah?”Irene terkesiap, dia langsung menunjukkan wajah panik. “Oh … i-ini. I-iya aku dapat potongan terkahir,” kata Irene berkelit. Mata Farhan menyipit. Namun, sedetik kemudian pria itu hanya mengangguk. Tak ada pertanyaan apa pun lagi yang keluar dari mulutnya. Irene hanya bisa menghela napas lega. “Hampir aja. Aku kudu hati-hati kalau ngomong,” batinnya. Sekitar pukul sembilan rombongan yang sedang melaksanakan KKL itu pergi meninggalkan hotel. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Museum Bali. Irene berjalan bersama Leli. Menelusuri setiap koleksi museum, yang berisi informasi sejarah kebudayaan pulau Dewata.Sesekali matanya itu mencari keberadaan seseorang. Sele
Ada perasaan senang, yang menyeruak di hari Irene. Setelah seharian memilih sabar untuk diam menunggu. Kini dia bisa mendapatkan apa yang sedari tadi diharapkannya. “Tokonya yang ini, bukan, ya?” tanya Irene.Pandangannya melihat ke arah sebuah toko yang tak begitu besar. Kemudian dia menatap sekelilingnya, khawatir ada toko lain.“Kayaknya, sih, bener. Tapi kok orangnya nggak ada?” katanya lagi.Irene mengeluarkan ponsel dari sling bag-nya. Membuka aplikasi WhensApp, tapi sedetik kemudian ia urungkan. “Aku tunggu aja, deh. Lagi pula masih jam sepuluh kurang.”Antara tak sabar dan takut terlambat. Semuanya terlihat beda tipis. Ternyata, tak hanya Irene yang datang lebih awal. Juna sedari tadi memperhatikan Irene dari dalam mobil. Pria itu juga sudah tak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya.TID.Suara klakson mobil mengejutkan Irene. Matanya langsung tertuju pada mobil berwarna silver. Ia menengok ke kanan dan kiri. Akan tetapi, tak ada seorang pun di sana. “Juna,” ucap Irene, ke
Juna mengerti tentang kegelisahan Irene. Di antara perempuan yang pernah ia kencani. Memang Irene yang bisa dikatakan sedikit berbeda. Baik dari segi fisik, maupun latar belakang kehidupannya.Bukan berarti Irene tak cantik. Dia cantik dengan dirinya sendiri. Biasanya Juna lebih memilih perempuan yang sexy dan terkesan hot. Berbeda dengan Irene yang lugu dan polos.Tak ingin mendengar lagi kata apa pun keluar dari mulut Irene. Juna pun langsung membungkamnya. Ia mencium Irene dengan lembut.“Jangan mengkhawatirkan hal itu. Aku nggak akan ninggalin kamu,” bisik Juna, ketika ciuman itu terlepas. Walau sudah mendengar jawaban dari pertanyaannya. Terlihat raut wajah Irene tak begitu senang. “Kenapa?” tanya Juna dengan lembut. Irene menggeleng. Terlihat masih ada sesuatu yang mengganjal dari wajahnya. Namun, gadis itu malah memalingkan muka ke arah lain. “Terima kasih,” lirihnya. Irene merasa memang Juna memiliki perasaan yang sama, dan bahkan lebih besar darinya. Ciuman hangat yang b
Halo, kakak-kakak semua. Buat kakak-kakak yang menjalankan ibadah puasa, bagaimana, apakah lancar? Semoga semuanya selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin. Kakak-kakak, aku mau menyampaikan sesuatu, nih. Bapak dosen kita mau bagi-bagi THR untuk pembaca setia novel “Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten”. Syaratnya gampang banget, loh: 1. Kakak hanya perlu memberikan review atau ulasan pada halaman utama buku ini. Contoh: Kawal Irene dan Pak Juna sampai halal. 2. Follow juga akun ige aku di [at]mayuunice.feli. Karena nanti aku akan umumkan juga pemenangnya di sana. 3. Nanti kakak konfirmasi by DM ke ige-ku, kalau kakak mengikuti event ini. Jika kakak beruntung, maka aku akan menghubungi kakak via DM. Pak dosen akan memilih 3 orang secara acak, yang berhak mendapatkan uang masing-masing senilai 50k rupiah. Periode THR ini berlangsung mulai:12 April 2023 sampai dengan 19 April 2023. Ayok, terus berikan semangat untuk Irene dan Pak Jun
“Temanmu sudah pulang?” tanya Juna. Dirinya baru saja tiba di cafe dan menemui Irene. “Baru banget pulang. Sayang kalian nggak ketemu,” balasnya. Juna menganggukkan kepalanya. “Ya sudah, sebaiknya kita juga segera pulang.”Irene dan Juna juga segera kembali menuju hotel. Seperti biasa Juna tak menurunkan Irene tepat di depan hotel. “Terima kasih, ya.”Irene melepaskan seat belt-nya, lalu ia keluar dari mobil.“Sama-sama, Sayang.”Juna berpamitan dan melaju dengan mobil sewaannya. Tak langsung ke hotel, melainkan dia hendak mengembalikan mobil tersebut. Saat kaki Irene hendak melangkah menuju hotel. Tiba-tiba saja seseorang memanggilnya, dan sukses membuat Irene terpaku di tempat.“Irene?”Irene menelan ludahnya kasar. Matanya pun seketika membulat. Ia dengan kaku memutar tubuhnya ke belakang. “Y-ya,” balasnya tergagap. Seorang pria baru saja keluar dari toko. Matanya menatap Irene penuh selidik. Tentu itu membuat sang gadis tak nyaman. “Habis dari mana?” tanyanya. “Oh … habis