Hati Irene yang kemarin sedikit kusut, kini mulai tertata rapi kembali. Walau masih ada sisa-sisa kekesalan dalam dirinya. Beruntung semalam Irene memilih untuk menghabiskan energinya. Sehingga dia bisa tertidur dengan pulas.“Mbak Irene, bisa minta tolong buatkan surat izin untuk observasi nggak?” tanya seorang mahasiswi di balik kaca.Irene berdiri dan menyodorkan sebuah buku besar pada mahasiswi tersebut. “Bisa. Silakan kamu isi dulu datanya di buku ini.”“Tapi siang ini bisa selesai, kan?” Irene mendesah. “Nggak bisa. Paling cepet juga besok,” jawabnya. “Kok gitu, sih? Kan, cuman bikin surat doang. Bukannya tamplate juga sudah ada? Harusnya nanti siang juga selesai.”Kurang ajar memang mahasiswi yang satu ini. Masih pagi tapi sudah mencari gara-gara saja. Irene memperhatikan penampilan mahasiswi tersebut dengan saksama. Dia melihat kalau mahasiswi ini masih menggunakan name tag kuning yang tersemat di dadanya.“Nama kamu Putri, kan?” tanya Irene.“Iya, kenapa?” sahutnya sedikit
Seminggu sudah Irene tak bertegur sapa dengan Juna. Sebisa mungkin dirinya pun selalu menghindari Juna, baik di lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja. Pagi ini, Irene berangkat kesiangan. Gara-gara semalam dia maraton membaca novel online milik penulis favoritnya. Itu pun belum ia baca sampai tamat. Maklum, satu novel bisa berisi hampir dua ratus bab lebih. “Tumben kamar di depan sepi,” gumam Irene, dirinya kini sedang melihat ke arah pintu flat milik Juna. Sudah beberapa hari ini, Irene tak mendengar pergerakan dari kamar tersebut. Maksudnya, mendengar pintu itu di buka malam-malam, atau saat Juna pulang kerja pun tidak. Irene menggelengkan kepalanya. “Ih, apaan, sih. Ngapain juga mikirin dia?” gerutunya. Entah kenapa otaknya itu, tiba-tiba memikirkan Juna. Jika dipikir lagi, Irene sudah tidak melihat Juna sejak tiga hari yang lalu. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di tempat kerja Irene. Gara-gara kesiangan, dia akhirnya terjebak macet di beberapa ti
“Terima kasih, Ren,” ucap Juna. Gadis itu membantu Juna menuju kamarnya. Tak hanya itu, ia nampak sibuk merapikan barang-barang Juna. Sedangkan pria itu dibiarkan berbaring du atas kasurnya.Wajah Juna nampak pucat, bahkan terlihat keringat membasahi sisi wajahnya. Irene yang melihat hal itu, tentu tak tega jika tak membantunya.“Kamu kenapa?” tanya Irene lagi.“Cuman kecapekan. Minum obat dan tidur juga baikan, kok,” jawabnya. Irene mendesah. “Kamu habis dari mana, sih? Udah beberapa hari ini aku nggak lihat kamu. Sekalinya lihat, kondisimu kayak begini. Bikin khawatir aja,” ucapnya sembari mengelap keringat yang membanjiri wajah tampan sang dosen.Juna menarik kedua sudut bibirnya. Mata hitamnya itu menatap Irene yang tak bisa menyembunyikan perasaan paniknya. “Terima kasih,” ucap Juna pelan. Dalam hati Juna merasa senang, ternyata diam-diam Irene mencarinya. “Aku habis dinas luar. Yayasan akan mengadakan program pendidikan, yang bekerja sama dengan salah satu universitas di Be
Memikirkan hubungan Irene dengan sang ibu, rasanya tak pernah ada ujungnya. Juna masih belum menemukan informasi lebih. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu. “Kondisi lo gimana, Jun?” Seorang pria bertanya pada Juna. Malam ini, Juna sedang bertemu dengan sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Stefan. Mereka sedang membicarakan sebuah project penting. “Baik.” Juna menimpal. Stefan mendesah, ia menyandarkan punggungnya pada kursi. “Maksud gue, kondisi itu.” Ia mengarahkan pandangannya pada satu titik di tengah-tengah tubuh Juna. “Iya, baik. Semakin membaik,” jawabnya. Pria itu menarik sudut bibirnya sebelah. “Udah coba sama cewek lain?” tanya Stefan lagi. Juna mendesah. “Belum,” timpalnya singkat. Dirinya terlihat malam membahas tentang ini. “Yah, berarti belum baik. Treatment lo dikatakan baik dan berhasil, kalau lo udah coba sama cewek lain,” komentarnya. “Kayaknya nggak perlu.” Stefan membulatkan matanya. “No, jangan bilang lo nyaman sam
Juna sudah tidak menutupi lagi perasaannya. Setiap melihat momen kedekatan Irene dengan Ray, membuat hatinya gusar. Perasaan tak nyaman itu, semakin lama tak bisa ia tahan.Ting.Pintu lift pun terbuka. Karena lantai ini adalah tujuan mereka. Irene dan Juna pun segera keluar dari lift tersebut.“Jun, kamu nggak lagi mabuk, kan?” tanya Irene yang tersadar dari serangan yang baru saja ia terima dari Juna.“Mabuk? Nggak.” Juna menggeleng.“Terus? Kamu nggak salah ngomong, kan?” Irene mencoba memastikan apa yang baru saja didengarnya.Perasaannya sudah tak karuhan, bahkan jantungnya itu sudah berdetak dengan cepat. Namun, Irene berusaha untuk tetap dalam mode normal.Juna mendesah. “Yang kamu denger itu bener, Irene. Aku nggak suka lihat kamu berduaan sama Ray.”“Kenapa?”“Ya, nggak suka. Rasanya panas aja lihat kalian berdua. Bukannya
“Kita ketemu langsung di cinema aja. Aku ada urusan dulu sebentar.”Irene sedang melakukan panggilan telepon dengan Ray. Rencanya Ray akan menjemputnya di apartemen. Mendadak Irene ada tugas tambahan dari Pak Erick untuk kegiatan KKL nanti. “Oke. Kita ketemu jam tujuh di cinema, ya. See you, Ren.” Panggilan itu pun terputus. Secepatnya Irene mengerjakan tugas dadakan yang diberikan oleh Erick. Setelah itu dia pun langsung pergi bertemu dengan Ray. “Aku nggak telat, kan?” tanya Irene yang baru saja datang. Gadis itu mengenakan kemeja biru langit yang dipadukan dengan celana jeans. Entah kenapa, Ray pun mengenakan baju yang sama. “Nggak, kok. Aku juga baru datang lima menit yang lalu,” jawab Ray. Dia pun memperhatikan penampilan Irene, lalu tersenyum tipis, “kita nggak janjian, ya,” imbuhnya.“Oh?” Irene tahu betul maksud kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ray. Dia pun memperhatikan pakaian yang ia kenakan dengan pakaian Ray. Irene tersenyum canggung. “I-iya.” “Sehati berarti,”
Perjalanan pun di mulai. Tujuan pertama mereka adalah kota Mojokerto.Irene duduk bersama dengan salah satu dosen senior, Bu Leli. Ternyata di samping gadis itu duduk adalah kursi milik Raynald.Jujur saja, dirinya sedikit terkejut dengan kehadiran Ray. Akan tetapi, tadi dia mendengar cerita dari Farhan mengenai keberadaan pria tersebut. “Apa aku harus tukeran sama Farhan?” tanya Juna di seberang sana.Irene yakin seyakin-yakinnya, alasan Juna berkata demikian karena pria itu tahu mengenai keberadaan Raynald. “Jangan macem-macem, deh,” jawab Irene sambil berbisik. Sebenarnya dia tak nyaman mengangkat telepon dari Juna. “Aku juga tahu harus bersikap gimana. Kalau kamu gitu terus, honestly aku nggak nyaman,” imbuhnya. Terdengar helaan napas dari ujung sana.“Maaf. Ya sudah, aku percaya sama kamu.”“Nah, gitu dong. Hubungan itu bisa baik, kalau dibangun atas dasar kepercayaan.”Untuk sesaat Irene ingin memuji dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Padahal ini pertama
Irene tersentak, saat melihat salah satu dosen yang menarik tangannya. Diluar dugaan, ternyata yang memisahkan mereka adalah Pak Wawan.“Pak, maaf. Tadi ada guncangan lumayan besar. Mbak Irene hampir jatoh, jadi saya tahan,” terang Ray. “Benar begitu?” tanya Wawan sambil melirik pada Irene. Irene mengangguk. “Benar, Pak. Ini nggak sengaja, kok.” Wawan pun menatap Irene, Ray dan dua teman Ray bergantian. “Oke, tapi jangan sampai mengambil kesempatan dalam kesempitan, Ray. Kalian hati-hati,” pungkas Wawan lalu dia pun berlalu.Irene bernapas lega. Jangan ditanya bagaimana perasaan Irene sekarang. Sudah barang tentu terkejut sekaligus malu. “Mbak Irene,” panggil seseorang dari belakang.Indra pendengaran Irene masih berfungsi dengan baik. Di tengah tiupan angin laut yang lumayan kencang, dia masih bisa mengenali pemilik suara tersebut. Irene menghela napas, lalu dia menoleh ke belakang.“Ya, ada apa, Pak Juna?” tanyanya.Sesuatu yang dibayangkan Irene pun terjadi. Dia melihat raut