“Bukannya tadi staff hotel bilang habis? Kok dia bisa dapat, sih?” gumam Irene, tersipu malu. “Kenapa, Mbak?” sahut Farhan. Ternyata dia mendengar gumaman Irene. Kemudian matanya tertuju pada kue yang ada di hadapan gadis itu. “Loh, kok dapat kuenya, Mbak? Tadi saya minta katanya udah habis sama mahasiswa.”“Hah?”Irene terkesiap, dia langsung menunjukkan wajah panik. “Oh … i-ini. I-iya aku dapat potongan terkahir,” kata Irene berkelit. Mata Farhan menyipit. Namun, sedetik kemudian pria itu hanya mengangguk. Tak ada pertanyaan apa pun lagi yang keluar dari mulutnya. Irene hanya bisa menghela napas lega. “Hampir aja. Aku kudu hati-hati kalau ngomong,” batinnya. Sekitar pukul sembilan rombongan yang sedang melaksanakan KKL itu pergi meninggalkan hotel. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Museum Bali. Irene berjalan bersama Leli. Menelusuri setiap koleksi museum, yang berisi informasi sejarah kebudayaan pulau Dewata.Sesekali matanya itu mencari keberadaan seseorang. Sele
Ada perasaan senang, yang menyeruak di hari Irene. Setelah seharian memilih sabar untuk diam menunggu. Kini dia bisa mendapatkan apa yang sedari tadi diharapkannya. “Tokonya yang ini, bukan, ya?” tanya Irene.Pandangannya melihat ke arah sebuah toko yang tak begitu besar. Kemudian dia menatap sekelilingnya, khawatir ada toko lain.“Kayaknya, sih, bener. Tapi kok orangnya nggak ada?” katanya lagi.Irene mengeluarkan ponsel dari sling bag-nya. Membuka aplikasi WhensApp, tapi sedetik kemudian ia urungkan. “Aku tunggu aja, deh. Lagi pula masih jam sepuluh kurang.”Antara tak sabar dan takut terlambat. Semuanya terlihat beda tipis. Ternyata, tak hanya Irene yang datang lebih awal. Juna sedari tadi memperhatikan Irene dari dalam mobil. Pria itu juga sudah tak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya.TID.Suara klakson mobil mengejutkan Irene. Matanya langsung tertuju pada mobil berwarna silver. Ia menengok ke kanan dan kiri. Akan tetapi, tak ada seorang pun di sana. “Juna,” ucap Irene, ke
Juna mengerti tentang kegelisahan Irene. Di antara perempuan yang pernah ia kencani. Memang Irene yang bisa dikatakan sedikit berbeda. Baik dari segi fisik, maupun latar belakang kehidupannya.Bukan berarti Irene tak cantik. Dia cantik dengan dirinya sendiri. Biasanya Juna lebih memilih perempuan yang sexy dan terkesan hot. Berbeda dengan Irene yang lugu dan polos.Tak ingin mendengar lagi kata apa pun keluar dari mulut Irene. Juna pun langsung membungkamnya. Ia mencium Irene dengan lembut.“Jangan mengkhawatirkan hal itu. Aku nggak akan ninggalin kamu,” bisik Juna, ketika ciuman itu terlepas. Walau sudah mendengar jawaban dari pertanyaannya. Terlihat raut wajah Irene tak begitu senang. “Kenapa?” tanya Juna dengan lembut. Irene menggeleng. Terlihat masih ada sesuatu yang mengganjal dari wajahnya. Namun, gadis itu malah memalingkan muka ke arah lain. “Terima kasih,” lirihnya. Irene merasa memang Juna memiliki perasaan yang sama, dan bahkan lebih besar darinya. Ciuman hangat yang b
Halo, kakak-kakak semua. Buat kakak-kakak yang menjalankan ibadah puasa, bagaimana, apakah lancar? Semoga semuanya selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin. Kakak-kakak, aku mau menyampaikan sesuatu, nih. Bapak dosen kita mau bagi-bagi THR untuk pembaca setia novel “Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten”. Syaratnya gampang banget, loh: 1. Kakak hanya perlu memberikan review atau ulasan pada halaman utama buku ini. Contoh: Kawal Irene dan Pak Juna sampai halal. 2. Follow juga akun ige aku di [at]mayuunice.feli. Karena nanti aku akan umumkan juga pemenangnya di sana. 3. Nanti kakak konfirmasi by DM ke ige-ku, kalau kakak mengikuti event ini. Jika kakak beruntung, maka aku akan menghubungi kakak via DM. Pak dosen akan memilih 3 orang secara acak, yang berhak mendapatkan uang masing-masing senilai 50k rupiah. Periode THR ini berlangsung mulai:12 April 2023 sampai dengan 19 April 2023. Ayok, terus berikan semangat untuk Irene dan Pak Jun
“Temanmu sudah pulang?” tanya Juna. Dirinya baru saja tiba di cafe dan menemui Irene. “Baru banget pulang. Sayang kalian nggak ketemu,” balasnya. Juna menganggukkan kepalanya. “Ya sudah, sebaiknya kita juga segera pulang.”Irene dan Juna juga segera kembali menuju hotel. Seperti biasa Juna tak menurunkan Irene tepat di depan hotel. “Terima kasih, ya.”Irene melepaskan seat belt-nya, lalu ia keluar dari mobil.“Sama-sama, Sayang.”Juna berpamitan dan melaju dengan mobil sewaannya. Tak langsung ke hotel, melainkan dia hendak mengembalikan mobil tersebut. Saat kaki Irene hendak melangkah menuju hotel. Tiba-tiba saja seseorang memanggilnya, dan sukses membuat Irene terpaku di tempat.“Irene?”Irene menelan ludahnya kasar. Matanya pun seketika membulat. Ia dengan kaku memutar tubuhnya ke belakang. “Y-ya,” balasnya tergagap. Seorang pria baru saja keluar dari toko. Matanya menatap Irene penuh selidik. Tentu itu membuat sang gadis tak nyaman. “Habis dari mana?” tanyanya. “Oh … habis
Malam hari, setelah selesai dari situs Candi Ratu Boko. Para peserta KKL menuju hotel yang akan mereka singgahi untuk malam ini. Jaraknya lumayan jauh dari situs tersebut.Suasana di bus dua, nampaknya tak begitu ramai seperti biasanya. Terlihat para mahasiswa sudah kelelahan. Biasanya mereka akan aktif, baik itu sekedar bernyanyi atau saling melempar bahan candaan. “Guys, hotelnya kok gelap banget?” celetuk seorang mahasiswi yang duduk tepat di belakang Irene. Bus yang mereka tumpangi sudah memasuki area tempat parkir sebuah hotel tua. Mendengar hal itu, Irene segera menoleh ke samping. Ternyata benar, hotel yang akan menjadi tempat bermalam mereka sangatlah gelap.“Iya. Gelap banget, ya, dari luar. Semoga aja di dalem nggak gelap, deh,” timpal gadis lainnya.Kedua bus milik rombongan KKL berhenti di tempat parkir. Seorang pemandu bus menginstruksikan untuk turun dan membawa barang mereka secara tertib. Irene yang duduk di bangku depan turun terlebih dahulu, beserta dengan dosen
Erick dan Rina terpaksa harus menunggu di mobil. Sedangkan Juna berada di rumah itu bersama dengan sang pria tua. “Saya lupa, saking sibuknya dengan gadis tadi. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Mbah Kemis, Mas Juna,” ucapnya memperkenalkan diri. Mendengar nama itu, seketika mata Juna membulat. “Pantas saja alamatnya nggak asing,” batin Juna. Saat dia mendapatkan secarik kertas dari resepsionis hotel. Juna merasa pernah membaca alamat tersebut. Entah memang ini adalah sebuah kebetulan, atau memang takdir Tuhan. “Oh, iya, Mbah.” Juna menganggukkan kepalanya. “Hmm … apa kamu mengalami gangguan yang membuat dirimu tersiksa?” tanya Mbah Kemis. Juna mengangguk. Bukan waktunya untuk menyembunyikan hal ini. “Kamu bercerai dengan mantan istrimu juga gara-gara gangguan itu, kan? Dan, kamu akan terus mengalami hal seperti itu, jika kamu tak segera melepaskan kutukanmu.” Untuk kedua kalinya, Juna dibuat terkejut oleh Mbah Kemis. “Bagaimana caranya saya bisa lepas dari kutukan i
Semenjak pulang dari kegiatan KKL. Irene merasa ada yang aneh dari Juna. Entah kenapa pria itu terasa sedikit lebih pendiam dari biasanya. “Wah, baru kali ini saya lihat Pak Juna kena semprot Bu Erlina,” celetuk Mia yang baru saja tiba di ruang kerjanya.Mendengar nama Juna disebut, membuat fokus Irene buyar. Tatapan kosong yang tadi ia arahkan ke layar komputer, kini ia alihkan. Dirinya menatap Mia dengan penuh tanda tanya. “Gimana, Bu?” tanyanya penasaran. “Tadi saya baru dari ruangan Ibu. Terus pas banget sama momen Pak Juna kena tegur Bu Erlina,” jawabnya. “Memangnya kenapa Bu Erlina sampai menegur Pak Juna?” Mia menggeleng sambil menarik bibirnya ke bawah. “Saya nggak tahu pasti. Tapi kayaknya Bu Erlina kasih kerjaan sama Pak Juna, dan hasilnya tidak sesuai harapan,” kata Mia. Irene mendadak terdiam. Sedetik kemudian, dia melihat Juna baru saja keluar dari ruang kerja Erlina. Raut wajahnya memang tak sesegar biasanya.Entah apa yang sedang dirasakan dan disembunyikan oleh
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka