Malam hari, setelah selesai dari situs Candi Ratu Boko. Para peserta KKL menuju hotel yang akan mereka singgahi untuk malam ini. Jaraknya lumayan jauh dari situs tersebut.Suasana di bus dua, nampaknya tak begitu ramai seperti biasanya. Terlihat para mahasiswa sudah kelelahan. Biasanya mereka akan aktif, baik itu sekedar bernyanyi atau saling melempar bahan candaan. “Guys, hotelnya kok gelap banget?” celetuk seorang mahasiswi yang duduk tepat di belakang Irene. Bus yang mereka tumpangi sudah memasuki area tempat parkir sebuah hotel tua. Mendengar hal itu, Irene segera menoleh ke samping. Ternyata benar, hotel yang akan menjadi tempat bermalam mereka sangatlah gelap.“Iya. Gelap banget, ya, dari luar. Semoga aja di dalem nggak gelap, deh,” timpal gadis lainnya.Kedua bus milik rombongan KKL berhenti di tempat parkir. Seorang pemandu bus menginstruksikan untuk turun dan membawa barang mereka secara tertib. Irene yang duduk di bangku depan turun terlebih dahulu, beserta dengan dosen
Erick dan Rina terpaksa harus menunggu di mobil. Sedangkan Juna berada di rumah itu bersama dengan sang pria tua. “Saya lupa, saking sibuknya dengan gadis tadi. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Mbah Kemis, Mas Juna,” ucapnya memperkenalkan diri. Mendengar nama itu, seketika mata Juna membulat. “Pantas saja alamatnya nggak asing,” batin Juna. Saat dia mendapatkan secarik kertas dari resepsionis hotel. Juna merasa pernah membaca alamat tersebut. Entah memang ini adalah sebuah kebetulan, atau memang takdir Tuhan. “Oh, iya, Mbah.” Juna menganggukkan kepalanya. “Hmm … apa kamu mengalami gangguan yang membuat dirimu tersiksa?” tanya Mbah Kemis. Juna mengangguk. Bukan waktunya untuk menyembunyikan hal ini. “Kamu bercerai dengan mantan istrimu juga gara-gara gangguan itu, kan? Dan, kamu akan terus mengalami hal seperti itu, jika kamu tak segera melepaskan kutukanmu.” Untuk kedua kalinya, Juna dibuat terkejut oleh Mbah Kemis. “Bagaimana caranya saya bisa lepas dari kutukan i
Semenjak pulang dari kegiatan KKL. Irene merasa ada yang aneh dari Juna. Entah kenapa pria itu terasa sedikit lebih pendiam dari biasanya. “Wah, baru kali ini saya lihat Pak Juna kena semprot Bu Erlina,” celetuk Mia yang baru saja tiba di ruang kerjanya.Mendengar nama Juna disebut, membuat fokus Irene buyar. Tatapan kosong yang tadi ia arahkan ke layar komputer, kini ia alihkan. Dirinya menatap Mia dengan penuh tanda tanya. “Gimana, Bu?” tanyanya penasaran. “Tadi saya baru dari ruangan Ibu. Terus pas banget sama momen Pak Juna kena tegur Bu Erlina,” jawabnya. “Memangnya kenapa Bu Erlina sampai menegur Pak Juna?” Mia menggeleng sambil menarik bibirnya ke bawah. “Saya nggak tahu pasti. Tapi kayaknya Bu Erlina kasih kerjaan sama Pak Juna, dan hasilnya tidak sesuai harapan,” kata Mia. Irene mendadak terdiam. Sedetik kemudian, dia melihat Juna baru saja keluar dari ruang kerja Erlina. Raut wajahnya memang tak sesegar biasanya.Entah apa yang sedang dirasakan dan disembunyikan oleh
Untuk sesaat Juna merasakan perasaan bersalah. Memang semenjak dirinya mendapatkan wejangan dari Mbah Kemis, untuk menghapuskan kutukannya. Sikap Juna sedikit berbeda pada Irene. “By the way, itu aku buat sendiri. Maaf, kalau jelek,” ucap Irene pelan. Juna sedang menatap syal rajut berwarna abu-abu. Sedetik kemudian dia menatap wajah Irene yang sangat terlihat hangat. “Kenapa kamu repot-repot, Sayang?” tanya Juna. Perasaan bersalah semakin dirinya rasakan. “Nggak, Kok.” Irene melambaikan kedua tangannya. “Aku tidak merasa direpotkan. Aku agak bingung soalnya. Kalau beli sesuatu, mungkin nggak seberapa. Jadi, aku pikir lebih baik aku buat sendiri aja,” terangnya. Irene merasa Juna bisa membeli apa saja yang ia inginkan. Secara dari segi finansial, Juna jauh di atas Irene. “Terima kasih, ya.” Juna menatap nanar gadis di hadapannya itu. Sedang terjadi pergolakan batin dalam dirinya. Antara hati dan pikirannya kini sedang tidak sejalan. Apa yang harus Juna lakukan? Setela
Juna hanya bisa terdiam. Dia tahu apa yang baru saja dilakukannya itu salah. Hanya saja, tadi dia baru saja kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Sekarang Juna dilema. Apakah dia harus menyusul dan segera meminta maaf pada Iren, atau bahkan sebaliknya? “Ah, sial! Kamu menghancurkan semuanya, Jun!” rutuknya. Alhasil Juna memilih bangkit dan menyusul Irene. Ia segera mengetuk pintu apartemen milik Irene. Hanya saja perempuan itu tak merespon apa pun.“Ren, tolong buka pintunya. Aku mau ngomong sebentar,” ucap Juna mencoba tenang. Sayangnya, tak ada jawaban apa pun dari dalam. Seolah di dalam sana tidak ada siapa pun. Juna mendesah, dan mengacak rambutnya kasar. Otaknya benar-benar tidak bisa dikendalikan tadi. Bagian penting tubuhnya itu seolah memberikan perintah untuk segera melakukan hal yang bisa menghapus kutukannya. “Irene, please sebentar. Lima menit, aku cuman mau menjelaskan saja,” tambahnya.Lagi, Irene tak menjawab. Jemarinya itu bergerak memencet kombinasi sandi ka
Irene hanya bisa mengurung diri di kamar. Ingin rasanya memejamkan mata, tertidur dan melupakan kejadian yang baru saja menimpanya. Sayang, dia tak bisa melakukan hal itu. Gadis itu tahu betul, apa yang dia lakukan selama ini dengan Juna adalah salah. Maka dari itu, dia tak ingin menambah daftar kesalahan tersebut. Sebisa mungkin tak boleh ada satu pun pria yang menidurinya, selain dari pria yang sudah menjadi suaminya. “Ahhh. Kenapa harus jadi seperti ini?” lirihnya frustrasi.Bohong, jika Irene merasa senang dan lega karena sudah mengakhiri hubungannya dengan Juna. Tentu dia tak ingin kisahnya berakhir seperti ini. Namun, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Jika Juna melakukan hal yang tidak-tidak, dia harus segera memutuskan hubungan dengan Juna detik itu juga. Keesokan harinya, Irene izin untuk tidak masuk kerja. Sesuai dengan janjinya, dia akan pergi meninggalkan tempat ini. Walau Irene belum tahu harus pergi ke mana. Sebelum benar-benar pergi, Irene menyimpan sebuah cin
Saat keluar dari ruangan Juna, Ray dikejutkan oleh keberadaan Irene. Gadis itu menunjukkan wajah bersalahnya ketika berhadapan dengan Ray. Namun, Ray hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.Seolah dirinya tak keberatan dimarahi dan diancam tak mendapatkan nilai bagus oleh Juna.“Mau ke dalam? Silakan,” ucap Ray. Dia menahan daun pintu, agar Irene bisa masuk ke dalam ruangan tersebut.Irene mengangguk. “Terima kasih,” balasnya.Ray menutup kembali pintu, sedangkan Irene sudah berada di ruangan tersebut. Juna sudah menatap Irene dari jauh. Seulas senyuman terukir di wajahnya.“Maaf, Pak. Ini dokumen dari Bu Mia,” ucap Irene.Gadis itu memberikan sebuah map berwarna maroon dan menyimpannya di atas meja kerja Juna. Kedua mata cokelatnya itu berusaha untuk menghindar dari tatapan Juna.“Saya permisi, Pak,” pamitnya.Irene berbalik dan mempercepat l
Irene mencoba menyipitkan matanya. Melihat foto profil yang sangat kecil di atas layar. “Jessica?”Gadis itu bergumam, mencoba mengingat nama tersebut. Rasa-rasanya Irene tidak mempunyai teman bernama Jessica. Jeje mungkin iya, tapi Jessica dia tidak mengingatnya. “Oh, Jessica! Astaga,” pekik Irene.Bisa-bisanya dia lupa dengan nama tersebut. Kini perasaan dilema menghantui Irene. Haruskah dia mengangkat panggilan tersebut?Namun, tepat beberapa detik sebelum akhirnya muncul notifikasi panggilan tak terjawab. Irene akhirnya mengangkat panggilan itu. “Hallo, Tante,” panggil Irene.“Hallo, Irene. Kamu lagi sibuk?” tanya Jessica, ibu Juna. “Oh, nggak, Tante ….” Irene menjeda kalimatnya, “tadi aku habis dari toilet,” imbuhnya berbohong. “Oh, Tante takut ganggu kamu soalnya.”“Nggak, kok, Tan. Aku lagi free, baru pulang kerja,” timpalnya. “Syukurlah. Irene lusa kamu kosong? Rencananya saya mau ke Bandung, dan pengin ketemu sama kamu. Bisa?”Panik. Mendapatkan pertanyaan seperti itu I