Halo, kakak-kakak semua. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat, ya. Aku sebagai penulis Layanan Telepon Panas Untuk Dosen Impoten, izin memberikan pengumuman. Karena kondisi aku yang sedang tidak baik-baik saja. Kebetulan semalam baru kena musibah, yang mengakibatkan tangan kanan aku terluka cukup parah. Maka dari itu, dengan berat hati, aku harus meliburkan novel ini untuk beberapa hari ke depan. Karena keterbatasan aku yang tidak bisa mengetik dengan baik :”) Semoga kondisi aku segera membaik, dan bisa kembali melanjutkan cerita ini. Aku harap kakak-kakak sekalian bisa memaklumi dan menunggu kisah Irene dan Juna yang sebentar lagi selesai :”). Sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua, Aamiin. Terima kasih banyak atas pengertiannya. Salam mayuunice
“Papa.”Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, baru saja turun dari angkutan umum. Dia berlari menuju IGD sebuah rumah sakit. Suasa di sana terlihat sangat sibuk. Beberapa ambulance yang mengangkut pasien, baru saja tiba di rumah sakit.Air matanya sudah mengalir deras membasahi pipi. Perasaan takut sudah menyelimuti dirinya sejak tadi.“Suster, di mana Papa saya?” tanya gadis yang masih mengenakan seragam putih abu. Di dada kanannya tersemat sebuah papan nama, yang bertuliskan ‘Irene Isabella H’.Namun, bukannya menjawab pertanyaannya, sang suster yang tengah sibuk berlalu begitu saja. Irene mendesah, dia langsung berlari mencari suster lain, yang nampak tak terlalu sibuk. Sialnya, semua yang sedang berada di ruang IGD nampak sangat sibuk. Pandangan Irene terus mengedar ke segala penjuru ruangan. Kepanikan sudah semakin menjalar di dalam dirinya. “Papa! Papa di mana?” teriak Irene. Tak ingin menyerah dia berlari mencari ke setiap celah di ruangan tersebut. Mencoba mengidentifik
Sudah tiga kali Irene mencoba menghungi Juna. Namun, pria itu tak kunjung mengangkatnya. Gadis itu pun mendesah, perasaannya berkecamuk sekarang. Takut, sedih, berselimut kesal. Pasalnya dia memang sedang membutuhkan orang untuk menemaninya. Mimpi buruk barusan, memiliki efek yang sangat kuat untuk dirinya. Alhasil, Irene menyerah. Mungkin memang Juna sudah tak ingin berhubungan dengannya. Segampang itu ternyata bagi Juna untuk berpaling dari Irene. “Irene!” panggil seseorang dari luar sembari mengetuk pintu dengan pelan.“Ya?” Irene segera beranjak membukakan pintu tersebut. Di sana sudah berdiri Raynald, dengan jaket kulitnya. Ya, setelah Juna tidak mengangkat panggilan Irene. Gadis itu segera menghubungi Ray. Beginilah nasib karena sudah tak memiliki teman. Irene merasa hanya dua orang yang memiliki kedekatan dengannya sekarang. Biasanya, jika Irene sedang ketakutan seperti ini, Gita lah yang menemaninya. Perempuan itu pun mengetahui alasan di balik Irene bersikap seperti itu
“Terus dia ke mana sekarang?” tanya Juna yang baru saja mendapatkan panggilan dari Mia. Barusan, Juna meminta bantuan Mia untuk memanggil Irene. Karena dia tidak bisa menghubungi gadis itu sama sekali. Banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh Juna pada Irene. Namun, barusan Mia memberi kabar, bahwa Irene tak bisa menemuinya dengan segera. “Di ruang media, kayaknya memang jadwal dia beres-beres di sana,” jawab Mia. Juna menghela napas. “Oke, makasih banyak, Bu,” jawabnya. Panggilan itu pun berakhir. Juna sendiri segera beranjak dari kursi. Langkah kaki membawanya menuju ruang media. “Aku nggak bisa tinggal diam! Jawaban dia sekarang bakal jadi keputusanku kedepannya,” gumam Juna. Sepanjang jalan beberapa mahasiswa melemparkan sebulan pada Juna. Akan tetapi, sang dosen seolah tak menghiraukan sapaan tersebut. Yang ia pedulikan hanya segera menemui Irene. Handle sebuah pintu besar pun Juna tekan. Ternyata ruangan tersebut tidak di kunci sama sekali. Dengan bebas dan lelu
“Eh?” Seorang gadis terperanjat saat melihat sosok Irene yang baru saja membuka pintu. “Maaf, Mbak saya mau ambil media diminta sama Pak Ir. Kata Bu Mia, Mbak Irene ada di sini,” ucapnya. Irene menjilat bibirnya, lalu dia menarik napas dalam. Kemudian dirinya tersenyum pada mahasiswi tersebut. “Oh, iya, boleh.”Irene mencoba untuk bersikap seprofesional mungkin. Mau tak mau, Irene pun harus kembali memasuki ruangan tersebut. Walau hatinya kini sedang berapi-api. Juna masih ada di dalam sana. Sang mahasiswi pun menyapa Juna. Namun, dia hanya membalas dengan anggukan kecil. Kemudian pria itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dengan langkah terburu-buru Juna segera menuju ruangannya. Pikiran dan harinya sudah diselimuti bara api. Tak hanya Irene yang merasa emosi. Namun, Juna pun memiliki perasaan yang sama. “Oke kalau maunya begitu, Ren. Aku bisa sembuh tanpa bantuan kamu!” tegasnya. Sebuah keputusan baru yang diambil oleh Juna. Dia tak ingin semakin melukai harga dirinya, de
“Stefan, lo kenapa, sih?” serang Juna. Malam harinya saat Juna mendapatkan panggilan dari Memey. Dia mengajak sahabatnya itu bertemu. “Gue bantu lo. Siapa suruh pergerakan lo lambat?” balasnya. Stefan sudah bosan dengan cerita Juna yang impoten. Dia ingin sahabatnya itu sembuh dan mendapatkan kebahagiaannya. “Bukan lambat, gue masih menimbang.”“Nimbang apa lagi? Berat badan?” sindir Stefan, “gini loh, apa yang menjadi pemberat lo sampai harus menimbang? Lo sendiri udah memutuskan nggak pake Irene, kan? Ya udah, berarti sama Memey. Lagi pula kalian saling mengenal.”“Ya tapi nggak segampang itu juga!” sanggah Juna cepat. “Nah, ini, nggak segampang itu. Karena gue tahu kalau ini nggak gampang. Makanya gue pengin lo mulai pendekatan lagi sama Memey dari sekarang. Emang dia kelihatannya welcome sama lo. Tapi, buat ngajak ‘tidur’ itu nggak mudah, kan?” terang Stefan, “ya, walau jaman kuliah dulu begituan bukan hal asing buat kalian.” Stefan merendahkan nada bicaranya. “Ah, udahlah.”
“Kamu jadi ke Bali, kan, Jun?” tanya seorang wanita di seberang sana. “Iya,” jawabnya singkat. Juna sedang melangkahkan kakinya menuju pintu keberangkatan si sebuah bandara. Sesuai jadwal, hari ini Juna hendak pergi menuju pulau dewata. “Baiklah. Jadi, kita bisa ketemu dong?” tanyanya lagi penuh harap. “Bisa. Tapi mungkin lusa. Hari ini dan besok aku ada pekerjaan dulu.”“Hmm … oke. Berkabar aja, ya.”“Hmm.” Juna mengiyakan, “aku tutup, ya. Mau flight dulu, Mey.” “Oh, oke. Save flight, Jun.” Wanita itu pun langsung menutup panggilannya. Barusan Juna berbicara dengan Memey. Memang komunikasi mereka belum intens. Namun, Juna memberi kabar bahwa dirinya hendak ke Bali. Juna pergi ke pulau dewata, bukan semata-mata ingin menemui Memey saja. Melainkan dia ada kunjungan ke salah satu sekolah yang baru saja didirikan di bawah naungan yayasan milik keluarganya. ***“Terima kasih banyak, Pak. Atas bantuan dari Yayasan Atmadjadarma, akhirnya di sini dibangun sekolah baru,” ucap Wayan, c
“I Miss you, Jun,” bisik Memey. “Mey, ini tempat umum.” Juna berusaha menegur wanita itu. Dia mencoba melepaskan genggaman tangan dan sedikit menjauh dari Memey. “Di sini sudah biasa. Dan, bukannya dulu kita juga biasa seperti ini, Jun?” Memey mencoba membela dirinya. Juna hanya bisa menarik sudut bibirnya. Memang benar, dulu saat mereka masih muda dan menjalin hubungan. Kontak fisik seperti tadi, bukanlah hal yang aneh. Lagi pula, mereka sudah pernah melalukan hal yang lebih gila dari sekedar mengecup pipi. Memey segera duduk di depan Juna. Kemudian mereka memesan makanan best seller di tempat tersebut. “Kamu makin tua, makin tampan dan gagah, ya, Jun,” ucap Memey sambil memperhatikan setiap inci wajah pria tersebut. “Terima kasih,” timpalnya. Sebenarnya Juna ingin membalas pujian yang baru saja dilontarkan Memey. Karena pada kenyataannya, Memey benar-benar cantik. Namun, rasanya sedikit gengsi. Karena dia pernah melakukan kesalahan pada wanita itu. Benar. Setelah diin
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka