“Terus dia ke mana sekarang?” tanya Juna yang baru saja mendapatkan panggilan dari Mia. Barusan, Juna meminta bantuan Mia untuk memanggil Irene. Karena dia tidak bisa menghubungi gadis itu sama sekali. Banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh Juna pada Irene. Namun, barusan Mia memberi kabar, bahwa Irene tak bisa menemuinya dengan segera. “Di ruang media, kayaknya memang jadwal dia beres-beres di sana,” jawab Mia. Juna menghela napas. “Oke, makasih banyak, Bu,” jawabnya. Panggilan itu pun berakhir. Juna sendiri segera beranjak dari kursi. Langkah kaki membawanya menuju ruang media. “Aku nggak bisa tinggal diam! Jawaban dia sekarang bakal jadi keputusanku kedepannya,” gumam Juna. Sepanjang jalan beberapa mahasiswa melemparkan sebulan pada Juna. Akan tetapi, sang dosen seolah tak menghiraukan sapaan tersebut. Yang ia pedulikan hanya segera menemui Irene. Handle sebuah pintu besar pun Juna tekan. Ternyata ruangan tersebut tidak di kunci sama sekali. Dengan bebas dan lelu
“Eh?” Seorang gadis terperanjat saat melihat sosok Irene yang baru saja membuka pintu. “Maaf, Mbak saya mau ambil media diminta sama Pak Ir. Kata Bu Mia, Mbak Irene ada di sini,” ucapnya. Irene menjilat bibirnya, lalu dia menarik napas dalam. Kemudian dirinya tersenyum pada mahasiswi tersebut. “Oh, iya, boleh.”Irene mencoba untuk bersikap seprofesional mungkin. Mau tak mau, Irene pun harus kembali memasuki ruangan tersebut. Walau hatinya kini sedang berapi-api. Juna masih ada di dalam sana. Sang mahasiswi pun menyapa Juna. Namun, dia hanya membalas dengan anggukan kecil. Kemudian pria itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dengan langkah terburu-buru Juna segera menuju ruangannya. Pikiran dan harinya sudah diselimuti bara api. Tak hanya Irene yang merasa emosi. Namun, Juna pun memiliki perasaan yang sama. “Oke kalau maunya begitu, Ren. Aku bisa sembuh tanpa bantuan kamu!” tegasnya. Sebuah keputusan baru yang diambil oleh Juna. Dia tak ingin semakin melukai harga dirinya, de
“Stefan, lo kenapa, sih?” serang Juna. Malam harinya saat Juna mendapatkan panggilan dari Memey. Dia mengajak sahabatnya itu bertemu. “Gue bantu lo. Siapa suruh pergerakan lo lambat?” balasnya. Stefan sudah bosan dengan cerita Juna yang impoten. Dia ingin sahabatnya itu sembuh dan mendapatkan kebahagiaannya. “Bukan lambat, gue masih menimbang.”“Nimbang apa lagi? Berat badan?” sindir Stefan, “gini loh, apa yang menjadi pemberat lo sampai harus menimbang? Lo sendiri udah memutuskan nggak pake Irene, kan? Ya udah, berarti sama Memey. Lagi pula kalian saling mengenal.”“Ya tapi nggak segampang itu juga!” sanggah Juna cepat. “Nah, ini, nggak segampang itu. Karena gue tahu kalau ini nggak gampang. Makanya gue pengin lo mulai pendekatan lagi sama Memey dari sekarang. Emang dia kelihatannya welcome sama lo. Tapi, buat ngajak ‘tidur’ itu nggak mudah, kan?” terang Stefan, “ya, walau jaman kuliah dulu begituan bukan hal asing buat kalian.” Stefan merendahkan nada bicaranya. “Ah, udahlah.”
“Kamu jadi ke Bali, kan, Jun?” tanya seorang wanita di seberang sana. “Iya,” jawabnya singkat. Juna sedang melangkahkan kakinya menuju pintu keberangkatan si sebuah bandara. Sesuai jadwal, hari ini Juna hendak pergi menuju pulau dewata. “Baiklah. Jadi, kita bisa ketemu dong?” tanyanya lagi penuh harap. “Bisa. Tapi mungkin lusa. Hari ini dan besok aku ada pekerjaan dulu.”“Hmm … oke. Berkabar aja, ya.”“Hmm.” Juna mengiyakan, “aku tutup, ya. Mau flight dulu, Mey.” “Oh, oke. Save flight, Jun.” Wanita itu pun langsung menutup panggilannya. Barusan Juna berbicara dengan Memey. Memang komunikasi mereka belum intens. Namun, Juna memberi kabar bahwa dirinya hendak ke Bali. Juna pergi ke pulau dewata, bukan semata-mata ingin menemui Memey saja. Melainkan dia ada kunjungan ke salah satu sekolah yang baru saja didirikan di bawah naungan yayasan milik keluarganya. ***“Terima kasih banyak, Pak. Atas bantuan dari Yayasan Atmadjadarma, akhirnya di sini dibangun sekolah baru,” ucap Wayan, c
“I Miss you, Jun,” bisik Memey. “Mey, ini tempat umum.” Juna berusaha menegur wanita itu. Dia mencoba melepaskan genggaman tangan dan sedikit menjauh dari Memey. “Di sini sudah biasa. Dan, bukannya dulu kita juga biasa seperti ini, Jun?” Memey mencoba membela dirinya. Juna hanya bisa menarik sudut bibirnya. Memang benar, dulu saat mereka masih muda dan menjalin hubungan. Kontak fisik seperti tadi, bukanlah hal yang aneh. Lagi pula, mereka sudah pernah melalukan hal yang lebih gila dari sekedar mengecup pipi. Memey segera duduk di depan Juna. Kemudian mereka memesan makanan best seller di tempat tersebut. “Kamu makin tua, makin tampan dan gagah, ya, Jun,” ucap Memey sambil memperhatikan setiap inci wajah pria tersebut. “Terima kasih,” timpalnya. Sebenarnya Juna ingin membalas pujian yang baru saja dilontarkan Memey. Karena pada kenyataannya, Memey benar-benar cantik. Namun, rasanya sedikit gengsi. Karena dia pernah melakukan kesalahan pada wanita itu. Benar. Setelah diin
Apa yang sedang Irene pikiran, sebenarnya tak Ray ketahui dengan persis. Namun, satu hal yang ia tahu, kalau perempuan itu masih memikirkan sang dosen yang pernah menjalin hubungan dengannya. Ray tahu kalau hubungan mereka sudah kandas. Walau dia tak pernah menanyakan hal tersebut pada Irene. Hanya saja, Ray sedikit peka dengan keadaan. “Keberadaan aku di sini masih kurang?” tanya Ray. Bagaimana pun Raynald juga seorang manusia, yang memiliki perasaan kesal. Padahal dia selalu menemani Irene dan memberikan dukungan padanya. Akan tetapi, gadis itu malah masih sibuk memikirkan Juna. Irene yang mendapatkan pertanyaan seperti itu, diam sejenak. Tak lama dari itu, dia langsung bangkit dan melihat ke kanan dan kiri.Meskipun keadaan kampus tak seramai biasanya. Namun, dia takut ada yang mendengar ucapan Raynald barusan. “Tenang, nggak ada siapa-siapa,” cetus Ray yang peka dengan sikap Irene barusan. “Kenapa kamu nanya kayak gitu? Aku … aku nggak mikirin siapa-siapa,” kilah Irene. Ray
Benar saja dugaan Irene. Pria yang baru saja tiba di ruang staff administrasi dan memanggil nama Erlina adalah Juna. Pria yang tak ingin ia temu, tapi sedikit ia rindukan.“Ya. Ada apa, Pak Juna?” tanya Erlina yang sedang membaca dokumen pemberian Mia. “Boleh bicara sebentar? Ada yang ingin saya diskusikan,” ucap Juna. “Silakan. Di sini saja, karena setelah ini saya harus meninggalkan fakultas,” ujarnya. Kemudian Juna dan Erlina pun duduk di sofa ruangan tersebut. Sedangkan Irene terlihat beberapa kali mencuri pandang pada Juna. Sayangnya pria itu tidak melihat ke arah Irene barang sedetik pun. “Ini tentang mahasiswi bernama Desi, Bu,” ucap Juna memulai percakapannya.“Desi?” Erlina menautkan kedua alisnya, “oh, mahasiswi yang saya tolak tadi?” tanyanya. Juna menganggukkan kepala. “Kebetulan pembimbing skripsinya saya, Bu. Dia memang terlambat mengirimkan draft ke penguji karena kesalahannya ada di saya,” terangnya. Baru kali ini baik Erlina, Irene, mau pun Mia mendengar pengaku
“Hari ini aku belum denger suara kamu, loh!”Suara perempuan yang ada di seberang sana, terdengar manis. Irene bisa tahu, kalau perempuan ini bukanlah sembarang orang.“Halo, ma-maaf, Mbak. Saya staff kampus, kebetulan ponsel Pak Juna tertinggal di ruang staff administrasi. Saya sedang dalam perjalanan mengembalikannya,” ucap Irene.Jangan ditanya bagaimana hati Irene sekarang. Dirinya sendiri pun tak tahu apa yang sedang ia rasakan. Terlalu rumit untuk dijelaskan.“Oh, sorry, Mbak. Kalau gitu, nanti tolong sampaikan pada Juna untuk telepon balik, ya. Bilang pacarnya kangen gitu. Thank you,” pungkas wanita bernama Mey itu. Kemudian dia menutup panggilannya.Irene menarik ponsel dari daun telinganya. Dia merasa lemas sekarang.Dengan cepat, Irene menggelengkan kepala. Ia menarik napas dalam, guna mengumpulkan kekuatannya. Kemudian dengan terpaksa, dia melangkahkan kaki menuju ruang kerja J