“Kamu jadi ke Bali, kan, Jun?” tanya seorang wanita di seberang sana. “Iya,” jawabnya singkat. Juna sedang melangkahkan kakinya menuju pintu keberangkatan si sebuah bandara. Sesuai jadwal, hari ini Juna hendak pergi menuju pulau dewata. “Baiklah. Jadi, kita bisa ketemu dong?” tanyanya lagi penuh harap. “Bisa. Tapi mungkin lusa. Hari ini dan besok aku ada pekerjaan dulu.”“Hmm … oke. Berkabar aja, ya.”“Hmm.” Juna mengiyakan, “aku tutup, ya. Mau flight dulu, Mey.” “Oh, oke. Save flight, Jun.” Wanita itu pun langsung menutup panggilannya. Barusan Juna berbicara dengan Memey. Memang komunikasi mereka belum intens. Namun, Juna memberi kabar bahwa dirinya hendak ke Bali. Juna pergi ke pulau dewata, bukan semata-mata ingin menemui Memey saja. Melainkan dia ada kunjungan ke salah satu sekolah yang baru saja didirikan di bawah naungan yayasan milik keluarganya. ***“Terima kasih banyak, Pak. Atas bantuan dari Yayasan Atmadjadarma, akhirnya di sini dibangun sekolah baru,” ucap Wayan, c
“I Miss you, Jun,” bisik Memey. “Mey, ini tempat umum.” Juna berusaha menegur wanita itu. Dia mencoba melepaskan genggaman tangan dan sedikit menjauh dari Memey. “Di sini sudah biasa. Dan, bukannya dulu kita juga biasa seperti ini, Jun?” Memey mencoba membela dirinya. Juna hanya bisa menarik sudut bibirnya. Memang benar, dulu saat mereka masih muda dan menjalin hubungan. Kontak fisik seperti tadi, bukanlah hal yang aneh. Lagi pula, mereka sudah pernah melalukan hal yang lebih gila dari sekedar mengecup pipi. Memey segera duduk di depan Juna. Kemudian mereka memesan makanan best seller di tempat tersebut. “Kamu makin tua, makin tampan dan gagah, ya, Jun,” ucap Memey sambil memperhatikan setiap inci wajah pria tersebut. “Terima kasih,” timpalnya. Sebenarnya Juna ingin membalas pujian yang baru saja dilontarkan Memey. Karena pada kenyataannya, Memey benar-benar cantik. Namun, rasanya sedikit gengsi. Karena dia pernah melakukan kesalahan pada wanita itu. Benar. Setelah diin
Apa yang sedang Irene pikiran, sebenarnya tak Ray ketahui dengan persis. Namun, satu hal yang ia tahu, kalau perempuan itu masih memikirkan sang dosen yang pernah menjalin hubungan dengannya. Ray tahu kalau hubungan mereka sudah kandas. Walau dia tak pernah menanyakan hal tersebut pada Irene. Hanya saja, Ray sedikit peka dengan keadaan. “Keberadaan aku di sini masih kurang?” tanya Ray. Bagaimana pun Raynald juga seorang manusia, yang memiliki perasaan kesal. Padahal dia selalu menemani Irene dan memberikan dukungan padanya. Akan tetapi, gadis itu malah masih sibuk memikirkan Juna. Irene yang mendapatkan pertanyaan seperti itu, diam sejenak. Tak lama dari itu, dia langsung bangkit dan melihat ke kanan dan kiri.Meskipun keadaan kampus tak seramai biasanya. Namun, dia takut ada yang mendengar ucapan Raynald barusan. “Tenang, nggak ada siapa-siapa,” cetus Ray yang peka dengan sikap Irene barusan. “Kenapa kamu nanya kayak gitu? Aku … aku nggak mikirin siapa-siapa,” kilah Irene. Ray
Benar saja dugaan Irene. Pria yang baru saja tiba di ruang staff administrasi dan memanggil nama Erlina adalah Juna. Pria yang tak ingin ia temu, tapi sedikit ia rindukan.“Ya. Ada apa, Pak Juna?” tanya Erlina yang sedang membaca dokumen pemberian Mia. “Boleh bicara sebentar? Ada yang ingin saya diskusikan,” ucap Juna. “Silakan. Di sini saja, karena setelah ini saya harus meninggalkan fakultas,” ujarnya. Kemudian Juna dan Erlina pun duduk di sofa ruangan tersebut. Sedangkan Irene terlihat beberapa kali mencuri pandang pada Juna. Sayangnya pria itu tidak melihat ke arah Irene barang sedetik pun. “Ini tentang mahasiswi bernama Desi, Bu,” ucap Juna memulai percakapannya.“Desi?” Erlina menautkan kedua alisnya, “oh, mahasiswi yang saya tolak tadi?” tanyanya. Juna menganggukkan kepala. “Kebetulan pembimbing skripsinya saya, Bu. Dia memang terlambat mengirimkan draft ke penguji karena kesalahannya ada di saya,” terangnya. Baru kali ini baik Erlina, Irene, mau pun Mia mendengar pengaku
“Hari ini aku belum denger suara kamu, loh!”Suara perempuan yang ada di seberang sana, terdengar manis. Irene bisa tahu, kalau perempuan ini bukanlah sembarang orang.“Halo, ma-maaf, Mbak. Saya staff kampus, kebetulan ponsel Pak Juna tertinggal di ruang staff administrasi. Saya sedang dalam perjalanan mengembalikannya,” ucap Irene.Jangan ditanya bagaimana hati Irene sekarang. Dirinya sendiri pun tak tahu apa yang sedang ia rasakan. Terlalu rumit untuk dijelaskan.“Oh, sorry, Mbak. Kalau gitu, nanti tolong sampaikan pada Juna untuk telepon balik, ya. Bilang pacarnya kangen gitu. Thank you,” pungkas wanita bernama Mey itu. Kemudian dia menutup panggilannya.Irene menarik ponsel dari daun telinganya. Dia merasa lemas sekarang.Dengan cepat, Irene menggelengkan kepala. Ia menarik napas dalam, guna mengumpulkan kekuatannya. Kemudian dengan terpaksa, dia melangkahkan kaki menuju ruang kerja J
Juna terdiam ketika mendengar kalimat godaan yang baru saja dilontarkan lawan bicaranya. Jelas, Juna mengerti maksud Memey. Dia pun masih ingat, tentang aktivitas panas yang dulu pernah mereka lakukan. Bagaimana tidak, selama Juna berkuliah, Memey lah yang menemani dan menyalurkan hasrat milik pria tersebut. “Aku lagi bener-bener capek, Mey,” tolak Juna. Sebenarnya ada rasa penasaran walau hanya sedikit. Ya, mungkin sekitar lima persen. Hanya saja, Juna memilih untuk menolak, karena satu hal. Tiba-tiba saja dia terpikirkan Irene. Aktivitas melayani lewat saluran telepon, sudah lekat sekali dengan diri Irene. Tentu saja, karena gara-gara hal itu Juna dan Irene bisa saling mengenal. “Serius? Kamu nggak mau?” tanya Memey, “ya … memang, rasanya nggak seenak kalau kita melakukan langsung. Tapi aku berani jamin, rasa capek kamu hilang dalam sekejap,” tambahnya. Juna mengembuskan napas kasar. Dia sungguh belum merasa tertarik dengan apa yang dikatakan Memey. “Next time, ya. Beso
“Ren, apakah besok kita bisa bertemu?” Ketika Irene sedang merasa sendiri, seolah tak ada orang yang mau menemaninya. Ternyata ada satu orang yang tiba-tiba mengajaknya untuk bertemu. Seketika seulas senyuman terlukis di bibir perempuan itu. Rasa khawatir akan kesendirian di hari spesialnya seketika sirna. “Ya? Ketemu? Mau ke mana?” tanya Irene. “Sebenarnya sih, aku mau minta tolong kamu temenin aku. Kira-kira kamu free?” tanyanya lagi. “Free, sih.” Karena Zee, Gita dan Irgie tak ada yang mau menemaninya. Alhasil besok Irene tidak memiliki agenda apa pun. “Tapi?” sahut laki-laki itu. “Nggak ada tapinya, sih, Ray,” timpal Irene. Jika kalian menduga yang menghubungi Irene adalah Juna. Maka jawabannya adalah salah besar. Mana mungkin Juna mau menghubungi Irene? Gadis itu berpikir bahwa Juna sudah tak lagi membutuhkannya. Pria itu sudah menemukan orang lain, yang bisa melengkapi kesendiriannya. “Oh, biasanya kalau diakhiri kata ‘sih’ itu ada tapinya,” kata Ray, “jadi kamu
“Motormu ke mana?” tanya Irene, yang baru pertama kali melihat Ray membawa mobil.“Ada. Ini mobil minjem punya temen. Kalau ke Lembang pakai motor, takut hujan. Apalagi cuacanya udah agak mendung,” ujar Ray.Irene pun mengintip menatap langit. Memang benar, cuaca di luar sedang tidak cerah. Terkadang hujan pun datang tanpa pemberitahuan.“Btw, makasih, ya udah mau temenin. Aku ngajak temen seangkatan, tapi pada sibuk. Mentang-mentang aku koordinator logistik, jadi harus sama aku sendiri. Padahal maksudku biar ada orang yang kasih pandangan. Nanti kalau nggak sesuai sama mereka, misuh-misuh. Apalagi cewek, ribet banget, deh, kalau mereka udah nyerocos kayak keran ae. Berisik,” gerutu Ray.Baru pertama kali Irene