“Hari ini aku belum denger suara kamu, loh!”
Suara perempuan yang ada di seberang sana, terdengar manis. Irene bisa tahu, kalau perempuan ini bukanlah sembarang orang.
“Halo, ma-maaf, Mbak. Saya staff kampus, kebetulan ponsel Pak Juna tertinggal di ruang staff administrasi. Saya sedang dalam perjalanan mengembalikannya,” ucap Irene.
Jangan ditanya bagaimana hati Irene sekarang. Dirinya sendiri pun tak tahu apa yang sedang ia rasakan. Terlalu rumit untuk dijelaskan.
“Oh, sorry, Mbak. Kalau gitu, nanti tolong sampaikan pada Juna untuk telepon balik, ya. Bilang pacarnya kangen gitu. Thank you,” pungkas wanita bernama Mey itu. Kemudian dia menutup panggilannya.
Irene menarik ponsel dari daun telinganya. Dia merasa lemas sekarang.
Dengan cepat, Irene menggelengkan kepala. Ia menarik napas dalam, guna mengumpulkan kekuatannya. Kemudian dengan terpaksa, dia melangkahkan kaki menuju ruang kerja J
Juna terdiam ketika mendengar kalimat godaan yang baru saja dilontarkan lawan bicaranya. Jelas, Juna mengerti maksud Memey. Dia pun masih ingat, tentang aktivitas panas yang dulu pernah mereka lakukan. Bagaimana tidak, selama Juna berkuliah, Memey lah yang menemani dan menyalurkan hasrat milik pria tersebut. “Aku lagi bener-bener capek, Mey,” tolak Juna. Sebenarnya ada rasa penasaran walau hanya sedikit. Ya, mungkin sekitar lima persen. Hanya saja, Juna memilih untuk menolak, karena satu hal. Tiba-tiba saja dia terpikirkan Irene. Aktivitas melayani lewat saluran telepon, sudah lekat sekali dengan diri Irene. Tentu saja, karena gara-gara hal itu Juna dan Irene bisa saling mengenal. “Serius? Kamu nggak mau?” tanya Memey, “ya … memang, rasanya nggak seenak kalau kita melakukan langsung. Tapi aku berani jamin, rasa capek kamu hilang dalam sekejap,” tambahnya. Juna mengembuskan napas kasar. Dia sungguh belum merasa tertarik dengan apa yang dikatakan Memey. “Next time, ya. Beso
“Ren, apakah besok kita bisa bertemu?” Ketika Irene sedang merasa sendiri, seolah tak ada orang yang mau menemaninya. Ternyata ada satu orang yang tiba-tiba mengajaknya untuk bertemu. Seketika seulas senyuman terlukis di bibir perempuan itu. Rasa khawatir akan kesendirian di hari spesialnya seketika sirna. “Ya? Ketemu? Mau ke mana?” tanya Irene. “Sebenarnya sih, aku mau minta tolong kamu temenin aku. Kira-kira kamu free?” tanyanya lagi. “Free, sih.” Karena Zee, Gita dan Irgie tak ada yang mau menemaninya. Alhasil besok Irene tidak memiliki agenda apa pun. “Tapi?” sahut laki-laki itu. “Nggak ada tapinya, sih, Ray,” timpal Irene. Jika kalian menduga yang menghubungi Irene adalah Juna. Maka jawabannya adalah salah besar. Mana mungkin Juna mau menghubungi Irene? Gadis itu berpikir bahwa Juna sudah tak lagi membutuhkannya. Pria itu sudah menemukan orang lain, yang bisa melengkapi kesendiriannya. “Oh, biasanya kalau diakhiri kata ‘sih’ itu ada tapinya,” kata Ray, “jadi kamu
“Motormu ke mana?” tanya Irene, yang baru pertama kali melihat Ray membawa mobil.“Ada. Ini mobil minjem punya temen. Kalau ke Lembang pakai motor, takut hujan. Apalagi cuacanya udah agak mendung,” ujar Ray.Irene pun mengintip menatap langit. Memang benar, cuaca di luar sedang tidak cerah. Terkadang hujan pun datang tanpa pemberitahuan.“Btw, makasih, ya udah mau temenin. Aku ngajak temen seangkatan, tapi pada sibuk. Mentang-mentang aku koordinator logistik, jadi harus sama aku sendiri. Padahal maksudku biar ada orang yang kasih pandangan. Nanti kalau nggak sesuai sama mereka, misuh-misuh. Apalagi cewek, ribet banget, deh, kalau mereka udah nyerocos kayak keran ae. Berisik,” gerutu Ray.Baru pertama kali Irene
Ctas!Suara konfeti yang meletus di dalam ruangan membuat Irene tersentak. Matanya sampai terpejam, dan dia memegang dadanya.“Happy Birthday!” seru beberapa orang yang ada di dalam ruangan.Mata Irene pun terbuka, lalu dia kembali terkejut. Pasalnya, di hadapannya, kini berdiri tiga orang yang sempat mengabari, kalau mereka tidak bisa hadir di sisinya untuk saat ini.Saking terkejutnya, Irene tak bisa berbicara sepatah kata pun. Dirinya masih tidak percaya kalau kedua sahabat dan adik satu-satunya ada di hadapannya.“Irene? Kamu baik-baik saja?” tanya Ray, yang nampak khawatir melihat Irene yang hanya bisa mematung.“Hah?” Irene pun mengerejap, seolah sadar dari lamunannya setelah Ray menyenttuh pundaknya.Kedua matanya itu kembali menatap tiga orang yang kini ada hadapannya.“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene yang akhirnya membuka mulut, “bukannya kalian sedang ada urusan masing-masing?” imbuhnya yang masih tidak percaya.Irgie, sang adik, mengabari kalau dia sedang sibuk deng
Juna baru saja memasuki mobil hitamnya. Namun, begitu pikirannya masih belum bisa fokus, seolah tertinggal di lobby apartemen.Beberapa menit yang lalu, Juna merasa yakin, kalau dia baru saja melihat Irene. Lebih tepatnya, dia berpapasan dengan gadis itu di depan lift. Dan, gadis itu tidak sendirian, tapi bersama dengan laki-laki yang menjadi mahasiswanya.Sudah dua kali, di hari yang sama, Juna melihta Irene bersama dengan Ray.“Shit! Mau apa mereka ke sini?” rutuk Juna sembari memukul kemudinya.Tadi Juna sempat berdiri di depan lift sedikit lebih lama. Mencoba memantau, lift tersebut berhenti di lantai mana. Namun, sayangnya, lift tersebut berhenti di beberapa lantai. Sehingga Juna tidak bisa mengetahui tujuan Irene dan juga Ray.“Apa yang akan mereka lakukan di sini?”Pikiran Juna berkelana jauh. Otaknya itu tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia memikirkan kemungkinan terburuk, jika dua insan yang berbeda memasuki sebuah apartemen.Pria itu melirikkan pandangannya ke samping kiri
“Ren, maaf … maaf aku bener-bener nggak sengaja. Aku terbawa suasana,” ucap Ray setengah berbisik.Mereka sedang berjalan meniti tangga lantai dua fakultas. Irene tak menanggapi, sedangkan Ray mencoba untuk mendapatkan permintaan maaf dari Irene.Malam itu, Ray merasa terbawa suasana. Sehingga tanpa sadar dia malah mengecup Irene. Serius itu hanya kecupan biasa, dan Ray pun segera tersadar beberapa detik kemudian.Namun, sayangnya setelah kejadian itu, wajah Irene langsung berubah. Air mukanya itu menunjukkan perasaan tidak suka dan tidak nymana. Pada akhirnya, mereka mengakhiri percakapan, dan Irene memutuskan untuk memasuki kamarnya.Saat pagi, Ray sudah tak mendapati Irene di apartemen yang disewanya. Gita berkata kalau gadis itu segera berangkat kerja. Dan itulah yang menjadi alasan Ray menunggu Irene di depan fakultas pagi-pagi seperti ini. Padalah kelasnya baru akan mulai nanti jam sepuluh.“Iya. Nggak usah dibahas lagi,” ucap Irene.Gadis itu terpaksa membuka mulutnya, karena a
“Tidak usah memaksakan kalau kamu sama sekali belum siap, Ren,” ucap Gita pada panggilan telepon.Sudah hampir satu minggu berlalu sejak kejadian kemarin. Irene sendiri belum menghubungi Ray. Padahal beberapa kali Ray mengiriminya pesan, dan tentu Irene tak membalasnya.“Iya,” jawab Irene singkat.“Terus sama Pak dosen itu gimana? Kamu nggak ada niat untuk balik lagi, kan?” todong Gita.Karena sahabatnya ini sedikit memaksa, akhirnya Irene menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan Juna. Namun, tentu saja Irene tidak menceritakan secara detail bagaimana rumitnya hubungan mereka berdua.Apalagi Irene tidak menceritakan kalau Juna adalah Jun. Karena Gita adalah orang yang sangat menentang Irene berhubungan dengan laki-laki bernama Jun itu.“Jangan pernah mau balikan sama cowok yang suka selingkuh,” cicitnya lagi.Benar, Irene beralasan kalau hubungan antara Juna dan Irene berakhir, karena pria itu selingkuh dengan perempuan lain. Karena tidak mungkin dia cerita hal yang sebenarnya
22 Maret, 6 tahun yang lalu. “Pa, padahal besok aku mau ulangan, loh. Tapi malah diajak jalan-jalan gini,” komentar seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMA. Pada dada kanannya tersemat papan identitas nama gadis tersebut, tertulis ‘Irene Isabella H’. “Mumpung Papa lagi libur, Ren. Kamu juga pulang cepat dari sekolah. Sesekali otakmu itu harus refreshing, jangan dipakai belajar terus. Tapi … jangan bilang Irgie kalau kita jalan-jalan berdua, ya,” balas seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dari Irene. Tidak biasa ayah Irene mengajak anak gadisnya itu jalan-jalan. Terakhir Irene mengingat momen mereka jalan-jalan bersama, mungkin sekitar lima tahun lalu. “Kita mampir ke toko itu, yuk! Papa pengin belikan kamu baju,” ajak Ilyas, ayah dari Irene. “Ih, nggak usah, Pa. Baju Irene masih banyak,” tolak sang gadis. “Banyak, tapi nggak ada yang baru dan bagus, kan? Ayok, jangan menolak. Papa lagi ada rezeki.” Ilyas menarik lengan anak ga