Halo, akhirnya aku bisa double up, ya! Terima kasih banyak sudah menunggu. Maaf selalu membuat kalian menunggu, ya. Aku harap kalian tidak meninggalkan Irene, ya. Terima kasih banyak <3
“Papa.”Dengan perasaan kacau, tak karuhan, Irene berlari masuk ke dalam ruang IGD. Suasana di dalam ruangan itu sangat sibuk, bahkan untuk berjalan saja rasanya sesak.“Suster, di mana Papa saya?” tanya Irene pada seorang perawat.Sayangnya karena perawat tersebut sedang kesusahan menangani pasiennya, dia pun tak menggubris Irene. Yang dilakukan gadis itu sekarang adalah mencari sang ayah ke setiap penjuru ruang IGD.“Papa di mana?” lirihnya dengan pipi yang sudah basah, karena air mata tak hentinya mengalir. Sayangnya, Irene tak bisa menemukan ayahnya di mana pun.“Wali Pak Ilyas Syahputra belum datang?” tanya seorang perawat pada rekan sejawatnya.Mendengar nama ayahnya disebut, Irene langsung menoleh ke sumber suara. Dengan cepat dia menghampiri perawat tersebut.“Saya, Suster. Saya anak dari Pak Ilyas,” ucap Irene dengan cepat.Suster itu pun memperhatikan Irene. Kemudian dia memberikan secarik kertas pada Irene.“Dek, Ayahmu harus segera di operasi. Maka dari itu, ada dokumen ya
Irene baru saja terbangung dari tidurnya. Mimpi buruk yang terjadi enam tahun yang lalu kini kembali menghantuinya. Gadis itu menarik napas dalam, lalu dia memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Ia meraih ponsel yang ada di atas nakas, dan membaca sebuah pesan yang dikirimkan oleh sang adik. [Irgie: Aku udah sampai rumah. Aku tunggu Kakak, ya. Kita ke makam Papa sama Mama bareng-bareng. Kakak nggak pernah nengokin sama sekali, semenjak Kakak sudah di Bandung.] Lagi, Irene menghela napas. Pesan yang dikirim oleh sang adik pukul sepuluh malam itu, baru Irene baca pagi ini. “Ah, Irgie,” desah Irene. Memang benar setelah Irene pergi jauh dari kampung halaman untuk kuliah dan bekerja. Dia tidak pernah mengunjungi tempat perisirahatan terakhir orang tuanya. Bahkan untuk pulang ke rumah bibinya pun tidak . Padahal dulu, Irene sering sekali mampir mengunjungi makan sang ibu bersama almarhum ayah dan adiknya. Namun, bukan berarti Irene sudah tidak peduli. Hanya saja, banyak kenangan de
Sebenarnya, kejadian Juna bertemu dengan Irene bukanlah hal kebetulan. Dia memang berniat menjemput Irene di kosannya, karena mendapatkan permintaan dari Irgie. Ternyata, Tuhan mempermudah usahanya, dia malah bertemu dengan Irene di halte.Irgie menghubungi Juna dan memintanya untuk mengantar Irene ke terminal. Karena Irgie mendapatkan pesan dari sang kakak, yang harus menunggu karena terjebak hujan.“Hari ini tepat enam tahun ayahmu meninggal, kan?”“Kok Bapak bisa tahu?” tanya Irene dengan ekspresi wajah terkejut. Seingatnya dia tidak pernah memberi tahu, kapan ayahnya meninggal pada Juna.“Aku tahu. Ayo aku antar. Kasihan adik kamu nunggu,” jawab Juna yang tidak menjawab pertanyaan Irene dengan jelas.Irene mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian, dia merasa sedikit curiga.“Ah, jangan-jangan Irgie yang kasih tahu,” batinnya.“Ayok, kita segera berangkat. Apa kamu mau menunggu empat jam di sini?” tanya Juna.Tentu tidak, Irene tidak ingin menunggu selama itu. Ditambah cuaca kota ke
Rasanya sesak ketika Irene menyebut nama perempuan yang kini tengah dekat dengan Juna. “Mey?” Juna sedikit tersentak. Padahal sedetik lalu, dia merasa hatinya berbunga. “Iya, Mey,” kata Irene kembali memperjelas. Juna menghela napas. Dia ingat kalau Irene pernah mengangkat panggilan dari Memey. Dan nama kontak perempuan itu di handphone Juna adalah Mey. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama perempuan itu,” jawab Juna. “Bohong.” Irene langsung menyangkal dengan cepat. Sudah menjadi kebiasaan Juna untuk tidak jujur. “Bener, Ren. Aku nggak ada hubungan apa-apa. Oke, aku ngaku dia memang mantanku ketika kuliah. Tapi sekarang kami nggak ada hubungan apa pun.” Juna mencoba untuk meyakinkan dan jujur pada Irene. “Tapi saat di telepon, dia memanggilmu dengan sapaan sayang.” Tanpa Irene sadari, dia menunjukkan sikap posesifnya. Irene masih ingat dengan jelas ucapan wanita tersebut. Karena itu lumayan memberikan impact yang besar untuknya. Emosinya pada Juna pun meningkat. Gara-gara wani
“Maaf, Jun … sepertinya tidak bisa.”Jawaban Irene tentu membuat hati Juna berdenyut nyeri. Dia tidak menyangka akan mendapatkan sebuah penolakan dari gadis itu. Padahal Juna yakin, kalau Irene pun masih memiliki perasaan yang sama padanya.“Kenapa, Ren?”Tentu Juna butuh alasan dari jawaban Irene itu.Irene menjilat bibirnya yang mendadak kering itu. Sebenarnya, Irene ingin mengatakan iya. Hanya saja, hatinya masih bimbang. Masih banyak kekhawatiran yang terus membayangi Irene. Apalagi kejadian malam itu, Irene masih belum bisa melupakannya.“Aku masih ingin sendiri. Aku ingin menata hatiku lagi,” jawabnya singkat namun jelas.“Kamu masih khawatir dan nggak percaya sama aku, Ren?” tanya Juna.Pastilah Juna sadar diri dengan posisinya. Irene berlaku seperti ini, karena perilaku Juna yang menyakiti hatinya. Juna yang sudah gegabah dalam mengambil langkah, dan tidak sabaran.Juna mencoba meraih tangan Irene. Beruntungnya gadis itu tidak menolak, bahkan dia menoleh ke arah Juna dengan ta
Benar, dua orang yang sedang berada di dekat pusara ayah Irene adalah Justin dan Jessica, kedua orang tua Juna. Yang terkejut bukan hanya mereka bertiga, tetapi kedua pasangan suami istri itu pun nampak kaget tatkala melihat Juna dan Irene yang ada di sana. “Ah, J-Juna. Sedang apa kamu di sini?” tanya Jessica yang mendadak tergagap. Juna mengerutkan keningnya. “Aku yang bertanya duluan, Ma?” lemar Juna. “Iya, Tante dan Om sedang apa di makam papa saya?” tanya Irene. Jika Irene dan Juna merasa heran dengan keberadaan Justin dan Jessica. Maka berbeda dengan Irgie. Dia juga merasa terheran-heran, tapi alasannya berbeda dengan mereka berdua. “Ah … a-anu ….” Jessica nampak gugup saat ditanya demikian. “Kak, lebih baik kita sapa Mama dan Papa dulu,” bisik Irgie. Adik laki-laki Irene itu, langsung mengalihkan fokus mereka. “Benar, Ren. Kalian mau menyapa kedua orang tuamu, bukan? Silakan, kami sudah selesai,” sambut Justin, yang langsung mempersilakan mereka untuk mendekat ke arah mak
Irene hanya bisa berdiam diri di kamar. Padahal beberapa kali Irgie dan Lina memanggilnya. Bahkan untuk makan saja dia enggan keluar kamar. Tidak hanya sang adik dan bibinya yang mengkhawatirkan Irene. Juna pun turut merasa gelisah dengan keadaan yang sedang dirasakan Irene. Beberapa kali pria itu mencoba menghubungi Irene, tapi tak kunjung dijawab. Malahan Irene memutuskan untuk mematikan ponselnya. Keesokan harinya, saat kondisi Irene merasa sudah baikan. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Salah satu alasan dia keluar dari kamar, karena merasa lapar, seharian kemarin dia tidak masuk makanan sama sekali. “Bibi udah bikinkan sarapan. Makanannya ada di meja, ya, Kak,” ucap Irgie yang membuat Irene sedikit tersentak. Pasalnya adiknya itu tiba-tiba keluar dari kamar dan berjalan di belakang Irene. “Aku mandi dulu. Kalau Kakak mau mandi setelah aku. Lebih baik Kakak makan dulu aja,” imbuh Irgie, lalu melangkah menuju kamar mandi dengan handuk yang melingkar di lehernya. I
“Ada apa Irene?” tanya Erlina. Karena rasa penasarannya masih belum terjawab, maka Irene memberanikan diri untuk bertanya langsung pada sang ketua departemen. Dari awal memang Erlina lah yang langsung memberikan tawaran pekerjaan menjadi staff administrasi departemen sejarah. Saat itu rona bahagia terpancar di wajah Irene. Karena ini merupakan kesempatan yang sangat langka. “Maaf, Bu. Ada yang ingin saya tanyakan,” jawab Irene yang kini sedang duduk berhadapan dengan Erlina di ruang kerjanya. “Iya, silakan,” ucap Erlina mempersilakan Irene. Gadis itu menarik bibirnya ke dalam, “Maaf kalau saya lancang dengan pertanyaan saya ini, Bu,” ucap Irene memberikan prolog. Irene tahu, mungkin pertanyaannya ini bisa dikatakan tidak sopan. Apalagi kalau dugaannya salah. Namun, begitu, dia tetap ingin mempertanyakannya. Karena ini menyangkut prinsip hidupnya sendiri. “Katakan saja,” sahut Erlina sambil mengangguk. Seolah dirinya tidak keberatan dengan apa pun pertanyaan yang akan keluar dar