“Ren, maaf … maaf aku bener-bener nggak sengaja. Aku terbawa suasana,” ucap Ray setengah berbisik.Mereka sedang berjalan meniti tangga lantai dua fakultas. Irene tak menanggapi, sedangkan Ray mencoba untuk mendapatkan permintaan maaf dari Irene.Malam itu, Ray merasa terbawa suasana. Sehingga tanpa sadar dia malah mengecup Irene. Serius itu hanya kecupan biasa, dan Ray pun segera tersadar beberapa detik kemudian.Namun, sayangnya setelah kejadian itu, wajah Irene langsung berubah. Air mukanya itu menunjukkan perasaan tidak suka dan tidak nymana. Pada akhirnya, mereka mengakhiri percakapan, dan Irene memutuskan untuk memasuki kamarnya.Saat pagi, Ray sudah tak mendapati Irene di apartemen yang disewanya. Gita berkata kalau gadis itu segera berangkat kerja. Dan itulah yang menjadi alasan Ray menunggu Irene di depan fakultas pagi-pagi seperti ini. Padalah kelasnya baru akan mulai nanti jam sepuluh.“Iya. Nggak usah dibahas lagi,” ucap Irene.Gadis itu terpaksa membuka mulutnya, karena a
“Tidak usah memaksakan kalau kamu sama sekali belum siap, Ren,” ucap Gita pada panggilan telepon.Sudah hampir satu minggu berlalu sejak kejadian kemarin. Irene sendiri belum menghubungi Ray. Padahal beberapa kali Ray mengiriminya pesan, dan tentu Irene tak membalasnya.“Iya,” jawab Irene singkat.“Terus sama Pak dosen itu gimana? Kamu nggak ada niat untuk balik lagi, kan?” todong Gita.Karena sahabatnya ini sedikit memaksa, akhirnya Irene menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan Juna. Namun, tentu saja Irene tidak menceritakan secara detail bagaimana rumitnya hubungan mereka berdua.Apalagi Irene tidak menceritakan kalau Juna adalah Jun. Karena Gita adalah orang yang sangat menentang Irene berhubungan dengan laki-laki bernama Jun itu.“Jangan pernah mau balikan sama cowok yang suka selingkuh,” cicitnya lagi.Benar, Irene beralasan kalau hubungan antara Juna dan Irene berakhir, karena pria itu selingkuh dengan perempuan lain. Karena tidak mungkin dia cerita hal yang sebenarnya
22 Maret, 6 tahun yang lalu. “Pa, padahal besok aku mau ulangan, loh. Tapi malah diajak jalan-jalan gini,” komentar seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMA. Pada dada kanannya tersemat papan identitas nama gadis tersebut, tertulis ‘Irene Isabella H’. “Mumpung Papa lagi libur, Ren. Kamu juga pulang cepat dari sekolah. Sesekali otakmu itu harus refreshing, jangan dipakai belajar terus. Tapi … jangan bilang Irgie kalau kita jalan-jalan berdua, ya,” balas seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dari Irene. Tidak biasa ayah Irene mengajak anak gadisnya itu jalan-jalan. Terakhir Irene mengingat momen mereka jalan-jalan bersama, mungkin sekitar lima tahun lalu. “Kita mampir ke toko itu, yuk! Papa pengin belikan kamu baju,” ajak Ilyas, ayah dari Irene. “Ih, nggak usah, Pa. Baju Irene masih banyak,” tolak sang gadis. “Banyak, tapi nggak ada yang baru dan bagus, kan? Ayok, jangan menolak. Papa lagi ada rezeki.” Ilyas menarik lengan anak ga
“Papa.”Dengan perasaan kacau, tak karuhan, Irene berlari masuk ke dalam ruang IGD. Suasana di dalam ruangan itu sangat sibuk, bahkan untuk berjalan saja rasanya sesak.“Suster, di mana Papa saya?” tanya Irene pada seorang perawat.Sayangnya karena perawat tersebut sedang kesusahan menangani pasiennya, dia pun tak menggubris Irene. Yang dilakukan gadis itu sekarang adalah mencari sang ayah ke setiap penjuru ruang IGD.“Papa di mana?” lirihnya dengan pipi yang sudah basah, karena air mata tak hentinya mengalir. Sayangnya, Irene tak bisa menemukan ayahnya di mana pun.“Wali Pak Ilyas Syahputra belum datang?” tanya seorang perawat pada rekan sejawatnya.Mendengar nama ayahnya disebut, Irene langsung menoleh ke sumber suara. Dengan cepat dia menghampiri perawat tersebut.“Saya, Suster. Saya anak dari Pak Ilyas,” ucap Irene dengan cepat.Suster itu pun memperhatikan Irene. Kemudian dia memberikan secarik kertas pada Irene.“Dek, Ayahmu harus segera di operasi. Maka dari itu, ada dokumen ya
Irene baru saja terbangung dari tidurnya. Mimpi buruk yang terjadi enam tahun yang lalu kini kembali menghantuinya. Gadis itu menarik napas dalam, lalu dia memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Ia meraih ponsel yang ada di atas nakas, dan membaca sebuah pesan yang dikirimkan oleh sang adik. [Irgie: Aku udah sampai rumah. Aku tunggu Kakak, ya. Kita ke makam Papa sama Mama bareng-bareng. Kakak nggak pernah nengokin sama sekali, semenjak Kakak sudah di Bandung.] Lagi, Irene menghela napas. Pesan yang dikirim oleh sang adik pukul sepuluh malam itu, baru Irene baca pagi ini. “Ah, Irgie,” desah Irene. Memang benar setelah Irene pergi jauh dari kampung halaman untuk kuliah dan bekerja. Dia tidak pernah mengunjungi tempat perisirahatan terakhir orang tuanya. Bahkan untuk pulang ke rumah bibinya pun tidak . Padahal dulu, Irene sering sekali mampir mengunjungi makan sang ibu bersama almarhum ayah dan adiknya. Namun, bukan berarti Irene sudah tidak peduli. Hanya saja, banyak kenangan de
Sebenarnya, kejadian Juna bertemu dengan Irene bukanlah hal kebetulan. Dia memang berniat menjemput Irene di kosannya, karena mendapatkan permintaan dari Irgie. Ternyata, Tuhan mempermudah usahanya, dia malah bertemu dengan Irene di halte.Irgie menghubungi Juna dan memintanya untuk mengantar Irene ke terminal. Karena Irgie mendapatkan pesan dari sang kakak, yang harus menunggu karena terjebak hujan.“Hari ini tepat enam tahun ayahmu meninggal, kan?”“Kok Bapak bisa tahu?” tanya Irene dengan ekspresi wajah terkejut. Seingatnya dia tidak pernah memberi tahu, kapan ayahnya meninggal pada Juna.“Aku tahu. Ayo aku antar. Kasihan adik kamu nunggu,” jawab Juna yang tidak menjawab pertanyaan Irene dengan jelas.Irene mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian, dia merasa sedikit curiga.“Ah, jangan-jangan Irgie yang kasih tahu,” batinnya.“Ayok, kita segera berangkat. Apa kamu mau menunggu empat jam di sini?” tanya Juna.Tentu tidak, Irene tidak ingin menunggu selama itu. Ditambah cuaca kota ke
Rasanya sesak ketika Irene menyebut nama perempuan yang kini tengah dekat dengan Juna. “Mey?” Juna sedikit tersentak. Padahal sedetik lalu, dia merasa hatinya berbunga. “Iya, Mey,” kata Irene kembali memperjelas. Juna menghela napas. Dia ingat kalau Irene pernah mengangkat panggilan dari Memey. Dan nama kontak perempuan itu di handphone Juna adalah Mey. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama perempuan itu,” jawab Juna. “Bohong.” Irene langsung menyangkal dengan cepat. Sudah menjadi kebiasaan Juna untuk tidak jujur. “Bener, Ren. Aku nggak ada hubungan apa-apa. Oke, aku ngaku dia memang mantanku ketika kuliah. Tapi sekarang kami nggak ada hubungan apa pun.” Juna mencoba untuk meyakinkan dan jujur pada Irene. “Tapi saat di telepon, dia memanggilmu dengan sapaan sayang.” Tanpa Irene sadari, dia menunjukkan sikap posesifnya. Irene masih ingat dengan jelas ucapan wanita tersebut. Karena itu lumayan memberikan impact yang besar untuknya. Emosinya pada Juna pun meningkat. Gara-gara wani
“Maaf, Jun … sepertinya tidak bisa.”Jawaban Irene tentu membuat hati Juna berdenyut nyeri. Dia tidak menyangka akan mendapatkan sebuah penolakan dari gadis itu. Padahal Juna yakin, kalau Irene pun masih memiliki perasaan yang sama padanya.“Kenapa, Ren?”Tentu Juna butuh alasan dari jawaban Irene itu.Irene menjilat bibirnya yang mendadak kering itu. Sebenarnya, Irene ingin mengatakan iya. Hanya saja, hatinya masih bimbang. Masih banyak kekhawatiran yang terus membayangi Irene. Apalagi kejadian malam itu, Irene masih belum bisa melupakannya.“Aku masih ingin sendiri. Aku ingin menata hatiku lagi,” jawabnya singkat namun jelas.“Kamu masih khawatir dan nggak percaya sama aku, Ren?” tanya Juna.Pastilah Juna sadar diri dengan posisinya. Irene berlaku seperti ini, karena perilaku Juna yang menyakiti hatinya. Juna yang sudah gegabah dalam mengambil langkah, dan tidak sabaran.Juna mencoba meraih tangan Irene. Beruntungnya gadis itu tidak menolak, bahkan dia menoleh ke arah Juna dengan ta