Halo, maaf baru update kembali. Selamat Idul fitri untuk kakak-kakak yang merayakannya. Terima kasih sudah berpartisipasi dalam event Pak Juna bagi-bagi THR. Silakan cek di ige aku untuk pengumuman pemenangnya.
Juna hanya bisa terdiam. Dia tahu apa yang baru saja dilakukannya itu salah. Hanya saja, tadi dia baru saja kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Sekarang Juna dilema. Apakah dia harus menyusul dan segera meminta maaf pada Iren, atau bahkan sebaliknya? “Ah, sial! Kamu menghancurkan semuanya, Jun!” rutuknya. Alhasil Juna memilih bangkit dan menyusul Irene. Ia segera mengetuk pintu apartemen milik Irene. Hanya saja perempuan itu tak merespon apa pun.“Ren, tolong buka pintunya. Aku mau ngomong sebentar,” ucap Juna mencoba tenang. Sayangnya, tak ada jawaban apa pun dari dalam. Seolah di dalam sana tidak ada siapa pun. Juna mendesah, dan mengacak rambutnya kasar. Otaknya benar-benar tidak bisa dikendalikan tadi. Bagian penting tubuhnya itu seolah memberikan perintah untuk segera melakukan hal yang bisa menghapus kutukannya. “Irene, please sebentar. Lima menit, aku cuman mau menjelaskan saja,” tambahnya.Lagi, Irene tak menjawab. Jemarinya itu bergerak memencet kombinasi sandi ka
Irene hanya bisa mengurung diri di kamar. Ingin rasanya memejamkan mata, tertidur dan melupakan kejadian yang baru saja menimpanya. Sayang, dia tak bisa melakukan hal itu. Gadis itu tahu betul, apa yang dia lakukan selama ini dengan Juna adalah salah. Maka dari itu, dia tak ingin menambah daftar kesalahan tersebut. Sebisa mungkin tak boleh ada satu pun pria yang menidurinya, selain dari pria yang sudah menjadi suaminya. “Ahhh. Kenapa harus jadi seperti ini?” lirihnya frustrasi.Bohong, jika Irene merasa senang dan lega karena sudah mengakhiri hubungannya dengan Juna. Tentu dia tak ingin kisahnya berakhir seperti ini. Namun, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Jika Juna melakukan hal yang tidak-tidak, dia harus segera memutuskan hubungan dengan Juna detik itu juga. Keesokan harinya, Irene izin untuk tidak masuk kerja. Sesuai dengan janjinya, dia akan pergi meninggalkan tempat ini. Walau Irene belum tahu harus pergi ke mana. Sebelum benar-benar pergi, Irene menyimpan sebuah cin
Saat keluar dari ruangan Juna, Ray dikejutkan oleh keberadaan Irene. Gadis itu menunjukkan wajah bersalahnya ketika berhadapan dengan Ray. Namun, Ray hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.Seolah dirinya tak keberatan dimarahi dan diancam tak mendapatkan nilai bagus oleh Juna.“Mau ke dalam? Silakan,” ucap Ray. Dia menahan daun pintu, agar Irene bisa masuk ke dalam ruangan tersebut.Irene mengangguk. “Terima kasih,” balasnya.Ray menutup kembali pintu, sedangkan Irene sudah berada di ruangan tersebut. Juna sudah menatap Irene dari jauh. Seulas senyuman terukir di wajahnya.“Maaf, Pak. Ini dokumen dari Bu Mia,” ucap Irene.Gadis itu memberikan sebuah map berwarna maroon dan menyimpannya di atas meja kerja Juna. Kedua mata cokelatnya itu berusaha untuk menghindar dari tatapan Juna.“Saya permisi, Pak,” pamitnya.Irene berbalik dan mempercepat l
Irene mencoba menyipitkan matanya. Melihat foto profil yang sangat kecil di atas layar. “Jessica?”Gadis itu bergumam, mencoba mengingat nama tersebut. Rasa-rasanya Irene tidak mempunyai teman bernama Jessica. Jeje mungkin iya, tapi Jessica dia tidak mengingatnya. “Oh, Jessica! Astaga,” pekik Irene.Bisa-bisanya dia lupa dengan nama tersebut. Kini perasaan dilema menghantui Irene. Haruskah dia mengangkat panggilan tersebut?Namun, tepat beberapa detik sebelum akhirnya muncul notifikasi panggilan tak terjawab. Irene akhirnya mengangkat panggilan itu. “Hallo, Tante,” panggil Irene.“Hallo, Irene. Kamu lagi sibuk?” tanya Jessica, ibu Juna. “Oh, nggak, Tante ….” Irene menjeda kalimatnya, “tadi aku habis dari toilet,” imbuhnya berbohong. “Oh, Tante takut ganggu kamu soalnya.”“Nggak, kok, Tan. Aku lagi free, baru pulang kerja,” timpalnya. “Syukurlah. Irene lusa kamu kosong? Rencananya saya mau ke Bandung, dan pengin ketemu sama kamu. Bisa?”Panik. Mendapatkan pertanyaan seperti itu I
Halo, kakak-kakak semua. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat, ya. Aku sebagai penulis Layanan Telepon Panas Untuk Dosen Impoten, izin memberikan pengumuman. Karena kondisi aku yang sedang tidak baik-baik saja. Kebetulan semalam baru kena musibah, yang mengakibatkan tangan kanan aku terluka cukup parah. Maka dari itu, dengan berat hati, aku harus meliburkan novel ini untuk beberapa hari ke depan. Karena keterbatasan aku yang tidak bisa mengetik dengan baik :”) Semoga kondisi aku segera membaik, dan bisa kembali melanjutkan cerita ini. Aku harap kakak-kakak sekalian bisa memaklumi dan menunggu kisah Irene dan Juna yang sebentar lagi selesai :”). Sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua, Aamiin. Terima kasih banyak atas pengertiannya. Salam mayuunice
“Papa.”Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, baru saja turun dari angkutan umum. Dia berlari menuju IGD sebuah rumah sakit. Suasa di sana terlihat sangat sibuk. Beberapa ambulance yang mengangkut pasien, baru saja tiba di rumah sakit.Air matanya sudah mengalir deras membasahi pipi. Perasaan takut sudah menyelimuti dirinya sejak tadi.“Suster, di mana Papa saya?” tanya gadis yang masih mengenakan seragam putih abu. Di dada kanannya tersemat sebuah papan nama, yang bertuliskan ‘Irene Isabella H’.Namun, bukannya menjawab pertanyaannya, sang suster yang tengah sibuk berlalu begitu saja. Irene mendesah, dia langsung berlari mencari suster lain, yang nampak tak terlalu sibuk. Sialnya, semua yang sedang berada di ruang IGD nampak sangat sibuk. Pandangan Irene terus mengedar ke segala penjuru ruangan. Kepanikan sudah semakin menjalar di dalam dirinya. “Papa! Papa di mana?” teriak Irene. Tak ingin menyerah dia berlari mencari ke setiap celah di ruangan tersebut. Mencoba mengidentifik
Sudah tiga kali Irene mencoba menghungi Juna. Namun, pria itu tak kunjung mengangkatnya. Gadis itu pun mendesah, perasaannya berkecamuk sekarang. Takut, sedih, berselimut kesal. Pasalnya dia memang sedang membutuhkan orang untuk menemaninya. Mimpi buruk barusan, memiliki efek yang sangat kuat untuk dirinya. Alhasil, Irene menyerah. Mungkin memang Juna sudah tak ingin berhubungan dengannya. Segampang itu ternyata bagi Juna untuk berpaling dari Irene. “Irene!” panggil seseorang dari luar sembari mengetuk pintu dengan pelan.“Ya?” Irene segera beranjak membukakan pintu tersebut. Di sana sudah berdiri Raynald, dengan jaket kulitnya. Ya, setelah Juna tidak mengangkat panggilan Irene. Gadis itu segera menghubungi Ray. Beginilah nasib karena sudah tak memiliki teman. Irene merasa hanya dua orang yang memiliki kedekatan dengannya sekarang. Biasanya, jika Irene sedang ketakutan seperti ini, Gita lah yang menemaninya. Perempuan itu pun mengetahui alasan di balik Irene bersikap seperti itu
“Terus dia ke mana sekarang?” tanya Juna yang baru saja mendapatkan panggilan dari Mia. Barusan, Juna meminta bantuan Mia untuk memanggil Irene. Karena dia tidak bisa menghubungi gadis itu sama sekali. Banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh Juna pada Irene. Namun, barusan Mia memberi kabar, bahwa Irene tak bisa menemuinya dengan segera. “Di ruang media, kayaknya memang jadwal dia beres-beres di sana,” jawab Mia. Juna menghela napas. “Oke, makasih banyak, Bu,” jawabnya. Panggilan itu pun berakhir. Juna sendiri segera beranjak dari kursi. Langkah kaki membawanya menuju ruang media. “Aku nggak bisa tinggal diam! Jawaban dia sekarang bakal jadi keputusanku kedepannya,” gumam Juna. Sepanjang jalan beberapa mahasiswa melemparkan sebulan pada Juna. Akan tetapi, sang dosen seolah tak menghiraukan sapaan tersebut. Yang ia pedulikan hanya segera menemui Irene. Handle sebuah pintu besar pun Juna tekan. Ternyata ruangan tersebut tidak di kunci sama sekali. Dengan bebas dan lelu